Chapter 4 ~ Mencoba

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kesempatan itu tidak akan pernah datang dua kali.
Jika hal itu benar-benar datang kedua kalinya,
percayalah bahwa itu adalah campur tangan Tuhan.

🍀🍀🍀

Kehidupan itu berputar, kehidupan itu juga pilihan. Jangan pernah menyesali apa yang sudah dipilih, setidaknya syukuri apa yang sudah dipilih untuk dijalani. Kembali pada hakikatnya, jika memang Tuhan berkehendak dan memberikan jalan lain, maka itulah yang terbaik.

Radit termenung sedikit lebih lama setelah mendengar penjelasan ibundanya. Ia ingin menyesal, tetapi semua sudah terlewati dan terjadi. Ia tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Mungkin benar tidak ada penyesalan di depan, maka setidaknya ia harus bisa memperbaiki "rusak" yang sudah ia berikan untuk seseorang.

Ia sedang tiduran sembari menatap langit-langit kamarnya ketika suara gaduh dari rumah sebelah terdengar. Kamarnya di lantai dua itu memiliki balkon yang bersebelahan dengan jarak sekitar dua meter.

"Kenapa sampai lupa jemput Zio? Dia nungguin sampai lama, Bi. Mas Ganesh kan sudah bilang kalau pulang itu bareng sama Zio."

Suara seseorang yang sangat Radit kenal itu sampai terdengar di kamarnya. Ia sampai terbangun dan menunggu balasan dari seorang lainnya yang berada di kamar sebelahnya.

"Bi pulangnya lebih siang, Mas."

"Kenapa nggak bilang? Kalau kamu bilang, Mas bisa jemput Zio dulu."

"Mau bilang atau nggak, Bi tetap saja salah di mata Mas Ganesh."

"Kamu memang terlalu banyak alasan. Nggak pernah bisa nerima keberadaan Zio di sini. Kamu itu memang nggak pernah tahu gimana perasaan Zio kalau diperlakukan beda."

"Memangnya Mas Ganesh pernah ngerti perasaan Bi seperti apa? Buat Mas Ganesh adik kandungnya itu Zio, bukan Bi."

Suara pertengkaran dua bersaudara itu diakhiri dengan suara pintu yang ditutup dengan keras. Radit langsung saja bergegas turun dan menyambar kunci motornya. Sampai ia berteriak untuk berpamitan pada sang ibu.

Sebuah helm cadangan sudah berada di lengannya. Ia bergegas menuju rumah sebelah, dan bertepatan dengan itu ia melihat sosok remaja keluar dari halaman rumah sebelah.

"Naik!" ujar Radit sambil menyodorkan helm hitam yang dibawanya.

Birendra yang merasa canggung menoleh pada asal suara dan berbalik melihat ke balik punggungnya. Begitu ia melihat sang kakak mengejarnya, dan berteriak memanggil namanya, remaja itu segera menyambut helm dan naik ke boncengan Radit.

Merasa di atas awan, Radit menatap spion sisi kiri dan tersenyum bahagia. Ia juga tidak melewatkan bagaimana wajah kesal Ganesh saat melihat sang adik berada di boncengan Radit. Dengan perasaan bahagia Radit menjalankan motornya.

Sepanjang perjalanan, ia mengendarai motor dengan pelan. Mungkin inilah waktu dan kesempatan kedua yang Tuhan berikan untuk memperbaiki semuanya.

"Kita mau ke mana?"

Hening, hanya suara deru angin yang menjawab pertanyaan Radit. Ia menjadi bimbang, apakah yang ia bonceng itu bukan manusia? Mengapa terlalu sepi? Akhirnya, Radit menghentikan motor saat melihat seorang tua renta duduk dan melayani pembeli. Sebuah tulisan wedang tahu menarik perhatiannya.

"Kita minum ini dulu, ya? Masih suka sama tahu 'kan?"

Lagi-lagi tidak ada suara yang keluar dari mulut Birendra. Ia hanya mengekor ke mana Radit pergi dan memilih tempat duduk di sepanjang trotoar. Sebuah mangkuk dengan berisikan tahu putih lembut dan kuah jahe disodorkan ke hadapan Birendra.

Dengan perlahan remaja itu menyendok dan meniupnya sebelum memasukkan ke dalam mulut. Sensasi hangat langsung menyerbu seluruh tubuhnya.

"Hangat, ya?"

Kali ini anggukan dari kepala Birendra menarik perhatian Radit. Selanjutnya hening kembali menyapa sampai keduanya menghabiskan isi mangkuk tersebut.

"Kalau kamu mau jalan-jalan, jenuh, atau butuh teman cerita, Abang selalu ada sekarang. Jangan lagi sungkan. Kita mulai lagi dari awal."

Bukannya menjawab, lelaki itu hanya menatap netra lelaki yang lebih tua darinya. Selanjutnya, sebelah bibirnya terangkat. Bukan menampilkan senyum hangat, melainkan senyum sinis dan terkesan meremehkan kata-kata Radit.

"Jangan pernah berjanji jika tidak mampu untuk menepatinya."

Radit terpaku mendengar ucapan Birendra. Ia merasa gelagapan dan gugup saat melihat sorot mata yang kelam itu. Tatapan Birendra lebih menyakitkan dari sayatan pisau di tangan yang pernah ia rasakan.

"Maaf."

"Jangan pernah merasa mampu memberi jika kenyataannya tidak seperti itu."

Suara berikutnya terdengar lebih parau dan tercekat. Suara yang mampu membuat radit lebih menundukkan pandangannya. Ia tak menyangka, adiknya menyimpan itu semua dan memendamnya selama ini.

"Maaf, Bi. Abang nggak bermaksud seperti itu."

"Tetapi itu semua terjadi 'kan? Kalau nggak bermaksud, itu semua nggak akan terjadi."

"Abang salah. Izinkan abang untuk memperbaiki itu semuanya, Bi."

"Nggak perlu minta maaf, nggak perlu minta izin. Semua sudah selesai."

"Abang masih menunggu kesempatan itu datang, Bi."

"Terserah. Terima kasih untuk tumpangannya. Dan ini untuk membayar semangkuk wedang jahenya," ujar Birendra sambil meletakkan selembar uang duapuluh ribuan di pangkuan Radit.

Remaja itu memakai tudung jaket berwarna hitamnya dan beranjak pergi meninggalkan Radit. Sementara itu, Radit hanya mampu menatap kepergian si bungsu keluarga Wardana itu dengan tatapan sendu.

Ia ingin menahannya untuk pergi, tetapi penggalan ucapan itu masih terngiang dan membuatnya terpaku cukup lama. Saat kesadarannya kembali, Birendra sudah terlalu jauh dan menghilang dari pandangannya.

🍀🍀🍀

Day 4
WPRD Batch 2

Bondowoso, 19 Februari 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro