Chapter 34 ~ Tidak Biasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mungkin hadirku memang hanya sebagai pelengkap.
Namun, tidak serta merta kau coba menghilang untuk mengerjaiku.
Supaya apa? Supaya dicari?
Bercanda tak perlu sekocak itu.

🍀🍀🍀

Sosok lelaki dengan kemeja batik, celana hitam berbahan kain, lengkap dengan tanda pengenal panitia yang tergantung di leher sudah beberapa kali bolak-balik dari gedung acara menuju area parkir.

Teriknya panas matahari ia abaikan. Ia lebih memikirkan seseorang yang paling ditunggu dan diberi waktu khusus untuk menyampaikan pesan dan kesan. Sang kakak—Ganesh—lebih dulu masuk membawa undangan yang diberikan Birendra beberapa hari yang lalu saat menghabiskan malam bersama.

Birendra mulai tampak kepayahan, keringat mengucur di pelipis dan lehernya. Memeriksa tamu undangan mendapat tempat yang baik, memastikan pengisi acara sudah berada di posisi masing-masing, dan memastikan para penerima donatur dan anak-anak dari yayasan juga mendapatkan pelayanan terbaiknya.

"Bi, semua sudah beres, acara mau dimulai. Bang Radit sudah datang?" Willy mendekati Birendra yang sedang berteduh di bawah pohon di area parkir.

Si bungsu menggeleng. Keduanya lantas beranjak ketika mendapat panggilan dari HT (Handy Talky) yang mereka kantongi karena acara sudah di mulai. Arga dan Sandi sudah bersiap memberi komando, mendampingi panitia seksi acara yang bertugas saat itu.

"Tadi kita sempat nyapa Mas Ganesh, Bi. Bang Radit gimana? Sudah pasti hadir 'kan?" tanya Arga setelah memberi aba-aba pada pembawa acara untuk membuka acara.

"Janjinya gitu. Abang nggak akan ingkar janji. Abang pasti datang." Birendra berujar dengan penuh keyakinan.

Namun, saat tiba nama Radit yang dipanggil untuk memberikan pesan dan kesan sesuai dengan rencana awal, ia tidak juga muncul. Birendra bersandar pada dinding ditemani oleh Sandi dan Willy. Kakinya terasa lemas, tetapi ia tetap bertahan dengan posisi berdiri.

"Nggak apa-apa, Bi. Mungkin ada kegiatan yang nggak bisa ditinggal atau malah kejebak macet, siapa tahu?" ujar Sandi menenangkannya.

"Pinjem hp. Ini sudah habis baterainya." Birendra mengeluarkan ponsel miliknya yang sudah mati total.

Sekali lagi ia mencoba menelepon ke rumah Radit, tidak ada jawaban. Begitu juga saat langsung menelepon ponsel abangnya. Hanya suara perempuan yang mengatakan sambungan yang dituju sedang tidak aktif.

Napas Birendra memburu. Ia tidak menyangka kejadian ini kembali terulang. Si bungsu keluarga Wardhan ini kembali teringat pada saat ia menunggu kehadiran abangnya di masa lalu.

Setiap rentetan acara akhirnya bisa diselesaikan dengan baik. Posisi Radit untuk memberikan kesan dan pesan akhirnya digantikan oleh ibu wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.

Kesuksesan tentunya sudah terpampang di depan mereka. Jumlah donasi yang masuk lebih dari cukup untuk dibagi ke beberapa tempat. Antusias para pendukung acara, donatur, dan penerima juga sangat terasa.

"Bi, pulang sama Mas Ganesh atau mau tunggu temannya?" ujar Ganesh begitu acara selesai.

Si sulung sadar adiknya sedang tidak baik-baik saja. Ada raut wajah gelisah dan semakin tidak tenang begitu tahu acara selesai, tetapi Radit tidak juga datang.

"Bawa pulang, Mas. Dari tadi nggak bisa diam. Sudah kelihatan capek banget dia." Arga bersuara karena memang seperti itulah yang sebenarnya terjadi.

"Bi, balik sama Mas Ganesh, ya. Nggak apa-apa, nanti Bang Radit pasti dah nungguin di rumahnya. Makanya buruan balik, gih!" Giliran Sandi menepuk bahu Birendra dan mencoba menenangkannya.

"Di sini biar kita yang beresin. Apa gunanya kepanitiaan kalau nggak dimanfaatkan dengan baik," imbuh Willy.

"Sori, nggak bisa bantu-bantu lebih lama lagi."

Ganesh langsung merangkul pundak sang adik. Ia merasakan pakaian yang dipakai Birendra sudah basah karena keringat. Begitu sampai di mobil, ia langsung meminta adiknya untuk membuka kemeja dan berganti dengan jaket yang selalu tersedia di mobilnya.

"Kalau nggak ganti ntar masuk angin, Bi. Apalagi kena AC, makin menggigil."

Si bungsu menurutu. Namun, disepanjang perjalanan pulang, sebanyak apa Ganesh bersuara dan mengajak berbicara, hanya ada jawaban-jawaban singkat yang keluar dari mulut Birendra.

Bahkan, begitu mobil belum sepenuhnya berhenti di depan gerbang, Birendra sudah membuka pintu mobil dan berlari menuju rumah tetangga sebelah. Ia berdiri di depan gerbang sambil memukul pintu besi dengan batu. Suara yang timbul langsung membuat Ganesh menutup telinganya.

"Bi, sudah. Berisik, Bi! Ini masih sore, Bi."

"Rumah Abang nggak ada orang, pintunya digembok. Lampu taman sudah nyala. Padahal matahari masih ada, Mas. Abang ke mana? Pergi lagi? Ninggalin Bi lagi? Kenapa?"

"Kita masuk dulu, ya? Mungkin Mama tau, atau mungkin mereka pergi liburan, Bi."

"Nggak. Abang sudah janji mau datang. Kenapa kejadian lagi? Kenapa seperti ini lagi? Bi punya salah apa?"

Ketidakhadiran seseorang pada sebuah acara mungkin hal yang biasa. Namun, tidak bagi Birendra. Ia tidak bisa menerima situasi ini dengan baik. Si bungsu yang memang memilik pengalaman tidak enak di masa lalu menjadi semakin sulit untuk menerima ini.

"Bi, pulang dulu, yuk? Nanti Mas Ganesh bantu buat cari tahu, ya? Sekarang kita pulang dulu."

Ganesh menunjukkan sisi terlembutnya kali ini. Si sulung tersadar betapa jahat dirinya di masa lalu pada si bungsu. Meninggalkannya, bahkan memarahinya saat sang adik justru tengah terluka karena janji yang pernah terucap telah diingkari, dikhianati. Perasaan bersalahanya menjadi semakin terasa ketika melihat Birendra yang mulai kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

Birendra berlari menuju rumah, ia langsung berteriak. "Ma ..., Mama ..., Mama!"

"Ada apa, Nak?" ujar Mama Ajeng sambil melirik ke arah Ganesh yang terengah karena turut berlari mengejar Birendra.

"Mama tahu 'kan ke mana Bunda Karina sama Abang pergi? Mama jangan bohong sama Bi. Jangan ada yang bohong lagi sama Bi seperti dulu. Bi nggak suka, Ma!"

"Mama memang nggak tahu, Bi. Bunda Karina nggak bilang apa-apa."

"Mas Ganesh bantu Bi bujuk Mama biar bisa bilang yang sebenarnya."

Si sulung kembali merengkuh dan membawa Birendra ke dalam dekapannya. Ditepuknya punggung si bungsu, sembari perlahan mulai membawanya ke kamar. Semua masih abu-abu. Ada apa dan mengapa Radit dan keluarganya menghilang.

Akhirnya, Ganesh benar-benar melihat sisi terapuh dari Birendra. Ia hanya sanggup menemani tanpa kata saat Birendra memilih untuk duduk di balkon kamar sambil menatap balkon seberang kamarnya.

Ganesh tersadar, kesalahannya adalah membiarkan Birendra kecil sendirian. Menanggung sesak, kesal, dan marah yang tidak bisa dilampiaskan. Di situ letak salahnya. Kini, ia hanya bisa menyampirkan selimut dan menemani sang adik dalam lara untuk kedua kalinya.

🍀🍀🍀

Hai, dua bab lagi cerita ini akan selesai.
Sabar menunggu sampai akhir, ya.
😘😘😘

Day 36
WPRD Batch 2

Bondowoso, 23 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro