Chapter 35 ~ Kelabu (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah terbiasa menghadapi kelam.
Namun, aku tidak pernah bisa berdamai dengan rasanya.
Sesak, tersiksa, gelisah tak menentu.
Terima kasih sudah menghadiahi ini kepadaku.
Aku cukup tahu diri

🍀🍀🍀

Semalaman Ganesh mengambil peran penting menjaga adiknya. Ia lebih takut jika Birendra berbuat yang tidak-tidak. Sehingga, tanpa ayah dan mamanya pinta ia sendiri yang berinisiatif untuk menemani si bungsu.

Padahal, saat Ganesh sudah lelap dalam tidurnya, Birendra meninggalkan ranjangnya dan memilih untuk duduk di balkon yang dingin dan cukup berangin. Si bungsu melakukan kebiasaannya lagi seperti saat Radit pergi di masa kecilnya.

Ia juga berharap lampu kamar seberang akan menyala dan memberitahukan bahwa pemiliknya sudah kembali. Setelah lewat beberapa jam, musola dekat rumahnya sudah mulai bersuara menjelang subuh, barulah ia bangkit dan merebahkan tubuhnya lagi di samping Ganesh.

Keesokan harinya, Birendra mengurung diri. Tidak begitu lama, hanya seharian ia menutup pintu kamarnya. Ia betah duduk di balkon kamarnya tanpa alas dan itu ia lakukan sejak matahari belum terbit, sampai matahari akan tenggelam.

"Bi, makan dulu, ya? Seharian itu perut belum diisi. Mama sudah bikin sup tahu kesukaanmu," ujar Ganesh sambil mendekati ranjang dan mengusap kening Birendra yang berkeringat.

"Nanti, Mas. Kalau Abang sudah balik." Birendra menjawab sambil bergerak memunggungi kakaknya.

"Mas Ganesh bawa ke sini, ya? Makan di sini atau mau Mama yang temenin?"

Ganesh berusaha berkata selembut mungkin seperti saran Radit. Ya, Radit pernah beberapa kali meminta Ganesh untuk belajar berbicara pelan, lembut, dan tanpa mengedepankan emosi terlebih dahulu. Intinya, Radit memberitahukan bagaimana cara mendapatkan perhatian Birendra tanpa menyakitinya.

Sampai Ganesh beranjak dan pintu kamarnya tertutup, Birendra tetap bungkam. Si sulung turun menemui mamanya, meminta menyiapkan sup tahu untuk adiknya. meski dengan wajah yang suram, Ganesh tetap semangat untuk menemani si bungsu.

"Bi sepertinya demam, Ma. Semalam dia diam-diam keluar dari kamar dan nunggu di balkon. Ganesh tahu, tapi nggak pengin ganggu."

"Pasti masuk angin, ya?" tanya Mama Ajeng.

"Masuk angin iya, sakit hati iya, pikirannya nggak menentu. Ternyata jadi Bi sesuah itu, ya, Ma?"

"Baru nyadar? Kemarin ke mana aja?"

"Kemarin? Terlalu fokus sama Zio. Setelah Zio nggak di sini baru ngeuh kalau adik sendiri nggak baik-baik saja. Ganesh terlambat, ya, Ma?"

"Nggak ada kata terlambat, ini dianterin buat adiknya. Semoga semua kembali baik-baik saja."

Ganesh mengangguk. Membawa nampan berisikan sup tahu, air hangat, dan obat penurun demam dari ibunya. Berharap setelah kesulitan ini akan ada kabar yang lebih baik dan semua kembali seperti semula.

🍀🍀🍀

Dua hari berlalu begitu saja. Jadwal makan dan jadwal tidurnya sudah tidak menentu. Kadang makan, kadang tidak. Kadang tidur, tetapi lebih sering terjaga. Benar-benar cara terbaik untuk merusak badannya sendiri.

Si bungsu yang absen ke sekolah membuat teman-temannya turut khawatir. Akhirnya, mereka datang untuk menjenguk Birendra yang katanya sakit setelah kelelahan mengikuti acara kegiatan amal di sekolah.

Kebetulan hari ini Ganesh juga mengambil jatah liburnya karena Mama Ajeng ada urusan di luar rumah dan memintanya untuk menemani Birendra.

"Bi gimana kabarnya, Mas? Sakit apa?" tanya Willy begitu Ganesh membukakan pintu untuk ketiganya.

"Masuk aja, dia di kamarnya. Kalau bisa, bujuk juga untuk makan sesuatu, dari kemarin susah bener makannya," pinta Ganesh.

"Boleh dikasih buah? Ini kita bawanya buah sama roti, Mas."

Terlalu sering berkunjung ke rumah keluarga Wardhana membuat Arga, Willy dan Sandi mulai akrab dan tidak lagi takut pada Ganesh. Sebab Ganesh mulai menunjukkan sisi ramahna, hal itu yang membuat ketiganya tidak lagi canggung.

"Langsung aja ke kamarnya. Ajak ngobrol juga. Dia kelamaan diam, Mas takut malah jadi lupa ngomong ntar."

Ketiganya menghela napas. Niat ingin bercanda, tetapi seperti kaku. Ganesh mempersilakan ketiganya untuk menemui Birendra. Begitu pintu kamar si bungsu dibuka, mereka mendapati si penghuni kamar sedang duduk di balkon.

Duduk di tepian dekat pagar, menjulurkan kakinya keluar pagar sampai tergantung begitu saja. Kepalanya ia sandarkan pada pagar besi yang mengelilingi balkon. Ketiganya langsung mendekat, membongkar isi kantong plastik dan menyodorkan pada Birendra.

Si bungsu menggeleng, tetapi ketiga manusia itu tidak kekurangan akal. Buah jeruk yang sudah dikupas Arga letakkan di tangan Birendra dan mengarahkan langsung ke mulutnya.

"Jangan lupa makan, nanti kalau Bang Radit pulang terus lihat lo makin kurus, makin ngerasa bersalah dia." Sandi berujar sambil menyodorkan roti cokelat yang ia sobek langsung ke depan mulut Birendra.

"Jangan terlalu setres, ntar asam lambungnya naik. Kalau sudah naik, perutnya sakit, abis perut sakit pasti kepala juga keliyengan." Berganti Willy yang berbicara sambil menusukkan sedotan pada kotak susu cair yang mereka bawakan untuk Birendra.

Belum juga meminum yang Willy sodorkan, Birendra sudah beranjak dan berlari menuju kamar mandi. Ketiganya mendengar bagaimana Birendra memuntahkan apa yang ia makan. Ketiganya prihatin pada si bungsu.

"Nah, kan? Jackpot dah tuh. Super sekali teman kita ini. Habis, habis dah, tuh, isi lambungnya nggak bersisa. Tiati oleng nih anak, yee. Mending panggil Mas Ganesh, sono!" perintah Willy pada Arga.

Birendra akhirnya keluar kamar mandi. Wajahnya sudah tak berwarna, apalagi dengan badannya yang banjir keringat. Si bungsu tampak mengerikan sekaligus mengenaskan. Baru dua langkah keluar kamar mandi, tubuhnya tiba-tiba ambruk.

Untung saja Sandi memang berjaga untuk situasi yang sudah diprediksi sebelumnya. Begitu juga dengan Willy yang langsung membantunya.

"Kita udah persis cenayang, prediksinya tepat pada sasaran," ujar Willy sambil membantu Sandi memapah Birendra untuk berbaring di ranjangnya.

Mungkin untuk sebagian orang apa yang dialami Birendra bukanlah masalah besar. Semua menilai wajar, atau bahkan sudah biasa dialami setiap manusia yang bernapas.

Ada yang datang, tetapi bisa kembali. Ada yang memang pergi untuk dicari. Namun, tak jarang juga mereka pergi dan tidak pernah kembali. Ketika yang lain sudah siap untuk situasi tak terduga itu, beberapa yang lainnya tidak siap.

Birendra adalah salah satu yang tidak pernah siap untuk menerima situasi yang sama seperti dulu. Ia cenderung takut untuk ditinggalkan. Mungkin juga ditinggalkan kekasih adalah hal biasa dan lumrah.

Namun, ditinggalkan keluarga untuk kedua kalinya, itu seperti patah berulang di tempat yang sama. Jauh lebih menyakitkan dan sepertinya butuh waktu lebih panjang untuk pulih.

Semua yang terjadi seperti mimpi. Beberapa waktu mungkin benar-benar seperti mimpi, tetapi ketika bangun dari tidur barulah sadar, ini adalah kenyataan yang menamparnya supaya segera tersadar, mimpi tidak akan senyata itu.

🍀🍀🍀

Day 37
WPRD Batch 2

Bondowoso, 24 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro