Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

2 November 2019

________________________

breathing out

________________________

Olimpiade akan mulai enam belas menit lagi.

Tangan Erik sedingin es batu. Dia mengeratkan jaket merah lusuhnya, tapi tubuhnya masih mengigil. Ini adalah olimpiade pertama dalam hidupnya. Dia tidak boleh mengacau.

Anak-anak yang lain malah asyik bercanda dan tertawa bersama guru pembimbing mereka. Erik tidak mengerti perilaku mereka. Sejak tadi dia berusaha mati-matian untuk menghafal isi buku sejarahnya, tapi anak-anak ini, para perwakilan untuk lomba matematika, malah bermain tebak-tebakan dengan hebohnya. Ibu Alisa, pembimbing mereka, yang tidak berusaha menarik mereka untuk belajar sama sekali, malah ikut tertawa bersama mereka.

Di samping kanan Erik, duduk beberapa anak perwakilan lomba IPA yang hanya memperhatikan jalannya percakapan dengan senyum gugup. Di kiri Erik, satu-satunya perwakilan lomba IPS lainnya, Eiko, sedang berkomat-kamit menghafal jenis-jenis tanah.

Eiko mendongak dari buku geografinya ketika menyadari Erik sedang menatapnya. Erik tidak terlalu mengenal gadis itu, baru seminggu terakhir ini Ibu Anisa menyatukan mereka untuk berlatih dengan soal-soal olimpiade tahun lalu. Entah mengapa, sekolah Erik tak pernah serius mengirim murid-muridnya untuk lomba IPS. Dari tahun ke tahun, anak-anak yang menjadi perwakilan olimpiade IPS selalu kalah.

Tahun ini, Erik akan menang.

"Gimana?" tanya Eiko. "Lo udah bisa semua sejarahnya? Mau tukeran buku sama gue?"

Erik tersenyum sedikit. Ketegangannya agak berkurang. Eiko terdengar lucu saat mengucapkan lo-gue. Dengan suara imut-imut selaras dengan penampilanya, gadis itu sama sekali tidak cocok memakai bahasa gaul.

"Nggak usah," tolak Erik. "Lu lanjut dulu aja. Gue mau baca tentang kabinet sekali lagi, soalnya gue masih banyak yang belum hafal bagian sana."

"Sip." Eiko menunduk dan kembali melanjutkan bacaannya.

Erik memperhatikannya sebentar, kemudian lanjut menekuni bukunya sendiri. Mau bagaimana pun, Eiko juga adalah salah satu pesaingnya. Dia harus waspada. Dari pengamatannya selama sesi latihan mereka kemarin, Eiko tidak terlalu pintar. Yah, mungkin lebih pintar dari kebanyakan anak sehingga terpilih menjadi perwakilan, tapi mencapai kecerdasan yang cukup untuk memenangi olimpiade.

Erik membaca secepat mungkin, berusaha menjejalkan sebanyak mungkin informasi ke dalam kepalanya, meski kebanyakan nama tokoh dan tanggal hanya lewat sekilas di dalam otaknya. Erik belajar dan belajar lagi.

Tapi itu semua tidak cukup saat dia memasuki ruangan tempat olimpiade diselenggarakan.

Nomor satu, Angin Fohn. Mudah. Dia sudah mempelajari itu berulang-ulang.

Nomor sembilan, kota atau kabupaten yang tidak dilalui Bengawan Solo. Erik hampir lupa, tapi jawabannya Kabupaten Sukoharjo.

Nomor enam belas, landform wilayah Sanggiran tempat ditemukannya banyak kerangka manusia purba. Erik mengerutkan dahi. Tidak ingat dia pernah mempelajari itu, tapi jawabannya sudah

Nomor dua puluh enam, tentang Sjafruddin Prawiranegara. Erik ingat nama itu, tapi apa yang dilakukannnya? Bodoh, bodoh, Erik merutuki dirinya sendiri karena tidak mempelajari lagi bagian itu. Erik ingat peran Sjafruddin Prawiranegara diajarkan pada hari Selasa kemarin, sebelum jam istirahat. Peran apa tepatnya, dia sudah lupa. Dia hanya ingat bahwa peran itu dilakukan di Bukittinggi.

Bukittinggi! Ya! Hanya ada satu pilihan yang mencantumkan Bukittinggi!

Nomor tiga puluh dua, makna warna merah pada simbol ASEAN. Tidak mungkin kesatuan, tidak mungkin kemakmuran, tidak mungkin kesucian, jadi jawabannya pasti pilihan A, perdamaian dan stabilitas.

Nomor tiga puluh sembilan, rumah panggung.

Hah?

Erik ingin menghantamkan kepalanya begitu membaca soal itu. Rumah tradisional itu, kan, materi SD!

"Mati gue," bisik Erik. Dia pernah mempelajari tentang itu di SD, tapi apa jawabannya?

Erik memelototi soal nomor tiga puluh sembilan, berharap ada huruf yang bersinar. Nihil.

Erik membulatkan matanya lagi, membaca soal itu berulang-ulang dengan cepat tanpa berkedip.

39. Rumah panggung merupakan rumah tradisonal suku ....

       a. Jawa

       b. Betawi

       c. Baduy

       d. Sunda

Jawabannya apa?

Oke, Erik harus berpikir jernih.

Singkirkan Suku Baduy. Sebodoh-bodohnya Erik, dia tahu Suku Baduy tidak punya rumah panggung.

Tersisa tiga pilihan. Hore.

Mengapa dunia ini sangat kejam?

***

Betawi. Jawabannya Suku Betawi.

Dan Erik ingin menangis.

Dia memilih Suku Jawa tadi.

***

Pengumuman babak penyisihan. Anak-anak matematika bersorak, tiga dari mereka masuk final. Anak-anak IPA saling menepuk punggung, seorang dari mereka lolos ke babak selanjutnya. Erik dan Eiko bertukar pandang tegang.

Bu Alisa menunjukkan pengumuman finalis lomba IPS pada mereka, tidak dengan bersemangat. Peringkat pertama dan kedua memiliki nilai 29 sama, peringkat ketiga sampai kelima mendapat nilai 28. Tidak ada nama Erik ataupun Eiko.

Urutan keenam dengan nilai 27, Erikko Rai.

Satu poin ....

Satu poin lagi dan dia dapat lolos ke final.

Semua karena satu soal anak SD. Satu soal. Soal yang tidak dia ketahui jawabannya, bukan karena salah ingat (karena Erik akan memaafkan dirinya sendiri kalau dia hanya salah ingat, paling tidak dia sudah berusaha) melainkan karena tidak mempelajarinya. Hanya satu soal. Hanya satu.

Satu poin. Satu soal. Satu penyesalan. Satu kekalahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro