Tujuh Belas: Saputangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Natasya mengangkat hati-hati ujung gaunnya yang bersapa pelan dengan tanah. Ujung gaun yang berwarna putih tulang itu kini sedikit kotor karena terkena sapuan tanah di bawah kakinya.

Senyum lebar terkembang di wajah Natasya, seiring dengan setiap langkah yang ia ambil. Gelungan rambut Natasya yang tersembunyi di balik topi renda berwarna merah muda, sedikit menyisakan anak rambut di dekat leher jenjangnya.

Meski gerimis masih menyapa, hal itu tak lantas menghentikan niat Natasya untuk menuju suatu tempat yang sudah ia janjikan dengan seseorang. Karena itulah, meski rintik gerimis membuat pundaknya sedikit basah, Natasya tidak jua berhenti. Setidaknya berhenti untuk berteduh di suatu tempat, sampai gerimis tersebut benar-benar telah pergi.

Tas tangan berukuran kecil yang terbuat dari kain satin, yang ujungnya terkait dengan jari kelingking Natasya, ikut bergoyang pelan, mengikuti setiap gerakan tubuh perempuan itu. Sebuah pondok kecil yang atapnya terbuat dari anyaman menjadi titik terakhir pemberhentian Natasya. Melirik ke kanan dan ke kiri, Natasya pun mengatur napasnya yang tersenggal-senggal.

Mengistirahatkan tubuhnya yang sedikit kelelahan karena setengah berlari menembus gerimis, Natasya lalu duduk di pondok tersebut. Menatap rintik gerimis yang seolah tidak ingin berhenti sedari dini hari tadi.

Awalnya, Natasya sempat ingin mengurungkan niatnya untuk pergi. Apalagi bergelung di bawah selimut di tengah cuaca seperti ini memang sangat menggoda. Namun sisi lain hatinya mengatakan bahwa gerimis sekalipun tidak akan menghalangi Natasya untuk berada di pondok ini.

Karena itulah, meski gerimis tidak juga berhenti, Natasya membulatkan tekad untuk melangkah di tengah-tengah tetesan air yang jatuh dari langit. Tidak peduli dengan fakta bahwa tanah yang basah akan membuat ujung gaun serta sepatunya menjadi kotor.

Natasya melirik ke bawah, pada sepatunya yang terkena cipratan tanah akibat langkah yang ia ambil tadi. Padahal Natasya sudah sangat berhati-hati agar tidak terkena cipratan tanah yang basah.

Alih-alih menggerutu atau repot-repot mencari sesuatu untuk membersihkan jejak tanah tersebut, Natasya malah tersenyum semringah. Bak anak kecil yang begitu riang bermain hujan di tengah-tengah ladang gandum.

Hawa dingin akibat gerimis yang turun sejak dini hari, mulai menyapa Natasya yang kini duduk diam di dalam pondok tanpa dinding penyekat itu. Tidak ingin rasa dingin membuat suhu tubuhnya ikut menurun, Natasya pun menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dan menempelkannya ke pipi.

Seketika saja, kehangatan mulai menjalar di pipi Natasya, yang berasal dari kedua telapak tangannya. Natasya melakukan hal tersebut berkali-kali hingga ia merasa sudah cukup hangat di tengah cuaca yang kurang bersahabat.

Natasya membuka tas kecilnya. Sekedar untuk mengecek sesuatu yang ia simpan di tas kecil tersebut. Senyum tipis tergaris di bibir tipis yang dipoles pewarna merah muda itu, setelah memastikan sesuatu tersebut aman di tempatnya.

Mata Natasya menelisik ke sekitar. Menanti seseorang yang mampu membuat dadanya berdebar-debar hanya karena menunggu. Memegangi dadanya, Natasya bahkan dapat merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdetak kencang.

Natasya belum pernah merasa begitu deg-degan seperti ini hanya karena menunggu seseorang. Tidak sebelum seseorang itu dengan sukarela membantu Natasya yang tiba-tiba terjatuh saat tengah berkuda di tengah hutan.

Kala itu, Natasya tengah berlatih memanah sambil menunggangi kuda. Melihat Xanerza yang begitu gagah memanah sambil berada di atas kudanya yang berlari kencang, membuat Natasya ingin merasakan euforia yang sama. Apalagi setelah berhasil memanah tepat di tengah-tengah papan sasaran, Xanerza benar-benar terlihat puas dengan hasil jerih payahnya.

Selain itu, Seruzen juga terlihat bangga bahwa satu-satunya lelaki di keluarganya itu kini telah bergabung dengan militer kerajaan. Meski sebagai perempuan adalah suatu hal yang sangat mustahil bagi Natasya untuk menjadi salah satu pasukan berkuda kerajaan, Natasya tidak lantas berhenti melatih dirinya sendiri.

Karena itulah, berbekal beberapa anak panah yang dihadiahkan Seruzen sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke lima belas, Natasya pun pergi ke hutan untuk berlatih sendirian. Namun saat tengah berlatih dengan serius, tiba-tiba saja kudanya kehilangan keseimbangan hingga membuat tubuh Natasya terombang-ambing.

Beruntung, sebelum tubuh Natasya jatuh mencium tanah, seseorang berhasil menyelamatkan Natasya. Menangkap tubuh Natasya yang melayang bebas di udara.

Kehadiran seseorang itu yang begitu cepat melebihi datangnya cahaya, mampu membuat jantung Natasya berdegup kencang. Bahkan dengan tidak sadar, Natasya menatap orang itu tanpa berkedip sama sekali. Seolah saat itu waktu di sekitar mereka berhenti berputar untuk mengabadikan momen yang begitu berharga.

Sekali lagi, Natasya mengintip isi dari tas tangan satinnya. Memastikan bahwa apa yang ia simpan di dalam sana benar-benar tidak menghilang atau terjatuh saat Natasya berlari tadi. Natasya benar-benar merasa gugup memikirkan akan memberikan sesuatu yang ia simpan di tas tangannya kepada orang yang saat ini ia tunggu.

Angin yang bertiup sepoi-sepoi seolah ikut merasakan kegugupan yang Natasya rasakan. Menemani perempuan itu dalam menanti seseorang yang membuat pipi Natasya selalu merona saat nama seseorang tersebut disebut.

Penantian Natasya akhirnya terbayar saat dari kejauhan perempuan itu menangkap siluet seseorang yang tengah melangkah ke arahnya. Tiba-tiba saja kegugupan yang sempat menghilang, kini kembali mendatangi Natasya. Dengan panik Natasya melirik ke sana-kemari untuk mencari sesuatu yang bisa membersihkan noda di ujung sepatunya.

Padahal, Natasya terlalu tidak peduli dengan noda tanah yang menempel di ujung sepatunya. Namun setelah melihat siluet orang itu yang mulai mendekat, Natasya tiba-tiba saja ingin menampilkan dirinya dalam sisi yang terbaik. Bukan dengan wujud seorang perempuan yang memiliki noda bekas percikan tanah di ujung sepatunya.

Semakin mendekat sosok tersebut, maka semakin berdegup kencang pula jantung Natasya. Bahkan Natasya kini duduk dengan gelisah karena kehilangan kesempatan untuk memperbaiki penampilannya agar terlihat sesempurna perempuan keturunan bangsawan pada umumnya.

Menarik napas dan mengembuskannya perlahan, Natasya kini berusaha memberikan senyum yang terbaik untuk orang tersebut. Gerakan laki-laki itu yang menyugar perlahan rambutnya yang basah, tidak dilewatkan sedetik pun oleh mata Natasya.

Pemandangan yang begitu menarik itu tentu tidak akan dibuang cuma-cuma oleh Natasya yang memang sudah cukup lama menanti kehadiran lelaki itu. Waktu seolah berlalu dengan begitu cepat karena lelaki itu kini sudah berdiri tepat di hadapan Natasya.

Bola mata yang mampu membuat Natasya tak berkutik itu kembali menyapa. Untuk ke sekian kalinya, jantung Natasya berdebar begitu keras. Hingga Natasya takut jika lelaki di hadapannya ini bisa mendengar dengan jelas betapa keras debaran di dalam dadanya.

Natasya menyelipkan ujung rambutnya yang jatuh, ke belakang telinga. Menyembunyikan senyumnya saat tidak sengaja mata mereka bersirobok dalam beberapa detik. Sang lelaki pun berdeham pelan demi menutupi kecanggungan yang tercipta di antara mereka berdua.

"Apa kau sudah menunggu lama di sini?" tanya sang lelaki pada Natasya yang menunduk malu, menatap ujung sepatunya.

Natasya mendongak perlahan, kembali bersitatap dengan si lelaki. Lalu gelengan kepala pelan menjadi jawaban Natasya atas pertanyaan yang diberikan oleh si lelaki.

"Tidak. Aku juga tidak terlalu lama berada di sini," jawab Natasya yang tentu saja berbohong. Sudah banyak waktu yang Natasya habiskan di pondok tersebut demi menunggu kehadiran sang lelaki.

Sang lelaki mengulas senyum tipis. Percaya begitu saja dengan ucapan dari bibir Natasya. Lalu tak pernah Natasya sangka, sang lelaki ikut duduk di sampingnya. Tentu saja dengan menyisakan jarak yang lumayan lebar di antara mereka.

Natasya rasanya ingin kabur dari sana saat itu juga. Entah kenapa perasaan Natasya terhadap lelaki itu perlahan-lahan berubah semenjak lelaki itu menolong Natasya. Padahal sebelumnya, setiap kali berada di dekat lelaki itu, tidak ada hal khusus yang Natasya rasakan.

"Ehm, apa kau tidak kedinginan dengan gaun setipis itu?" tanya lelaki tersebut.

Natasya menoleh, lalu menatap gaun yang ia kenakan. Benar saja, gaun yang Natasya kenakan saat ini cukup tipis untuk digunakan di tengah cuaca mendung seperti ini. Terlalu terburu-buru untuk bertemu dengan lelaki itu, Natasya sampai lupa untuk memakai gaun dengan kain yang cukup tebal.

"Ah, iya. Namun sebenarnya gaun ini cukup hangat," ucap Natasya yang lagi-lagi hanyalah sebuah kebohongan. Pantas saja Natasya mudah merasa dingin saat angin menyapanya. Rupanya hal tersebut juga disebabkan oleh gaun yang ia kenakan.

Tiba-tiba saja, lelaki tersebut menyodorkan beberapa potongan kecil cokelat kepada Natasya. Mata Natasya mengerjap tak percaya saat melihat potongan cokelat yang cukup menggugah selera itu.

"Ambillah beberapa untuk menghangatkan tubuhmu. Makanan manis akan terasa lebih nikmat jika dinikmati di cuaca mendung seperti ini," ucap sang lelaki.

"Kata siapa cokelat bisa membantu menghangatkan tubuh?" tanya Natasya penasaran. Karena sebelumnya ia sama sekali belum pernah mendengar hal tersebut.

Sang lelaki terkekeh pelan. Tanpa banyak bicara, ia meraih tangan Natasya dan memberikan semua potongan cokelat tersebut.

"Aku yang mengatakannya."

Senyum sang lelaki yang begitu lebar mampu membuat Natasya mencair, alih-alih cokelat yang kini berpindah ke dalam tangkupan tangannya. Menuruti sang lelaki, Natasya pun mengambil satu potong dan langsung menikmati cokelat tersebut.

Bukan tubuh Natasya yang menghangat, melainkan hatinya karena menerima perlakuan manis dari lelaki itu. Melihat Natasya yang mulai menikmati cokelat pemberiannya, lelaki itu pun mengunyah cokelat miliknya yang ia simpan di dalam tas kain yang digantung di pinggang.

Selagi mengunyah cokelatnya dalam diam, Natasya pun teringat akan tujuan awalnya bertemu lelaki tersebut. Dengan sebelah tangannya yang tidak memegangi potongan cokelat, Natasya mengeluarkan saputangan yang selama ini ia simpan di dalam tas kainnya.

"Ini untukmu," kata Natasya pelan sambil memberikan saputangan dengan sulaman kupu-kupu di salah satu sudutnya kepada sang lelaki.

Sang lelaki menatap saputangan yang Natasya berikan dengan dahi berkerut bingung sebelum mengalihkan pandangannya kepada wajah Natasya. Ditatap sedemikian rupa membuat Natasya semakin gugup.

"Saputangan? Ini sungguh untukku?" tanya laki-laki itu, tak percaya.

"Hm, ya. Seperti itu. Saputangan untukmu karena telah menolongku saat hampir jatuh dari kuda," tutur Natasya. "Aku harap kau mau menerimanya.

"Saputangan ini sungguh indah, Pearly," puji sang lelaki, "tapi apa kau sungguh memberikan saputangan ini untukku?"

Natasya mengangguk tanpa ragu. "Ya, tentu saja. Aku sengaja menyulam saputangan ini untuk kuberikan kepadamu. Tentu saja sebagai ucapan terima kasihku."

Meski sedikit tidak enak hati, lelaki itu akhirnya menerima saputangan pemberian Natasya. Mengamati sulaman yang begitu rapi dan indah di sudut saputangan.

"Hm, aku menyulamnya sendiri. Aku harap kau menyukainya."

Mata sang lelaki berbinar senang. Menerbitkan senyum di wajahnya yang tidak bisa ditutupi begitu saja.

"Aku menyukai saputangan ini, Pearly. Sungguh. Terima kasih atas saputangannya."

Natasya mengangguk malu-malu. Mengulum senyumnya agar tidak terlalu kentara bahwa ia begitu senang.

***

Siapa tuh laki-laki yang nerima saputangan dari Natasya aka Pearly? Antonio? Atau Nicholas? Atau malah orang lain?

Penasaran? Makanya ikutin terus update terbari Bring Me Back!

Untuk baca Bring Me Back lebih cepat, kalian bisa baca di akun Karyakarsa-ku dengan Username @windazizty.

Atau kunjungi link berikut: https://karyakarsa.com/WindaZizty/bring-me-back-part-17-20

xoxo

Winda Zizty

21 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro