Enam Belas: Mengulik Informasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah rencana telah tersusun dengan matang di benak Natasya. Karenanya keesokan hari, setelah sesi sarapan pagi selesai, Natasya mengikuti semua hal yang Zadeline lakukan. Mengekori setiap langkah kaki Zadeline di rumah itu yang berujung di ruang santai di mana sang adik memutuskan untuk menyulam.

Dahi Zadeline berkerut bingung karena menyadari gerak-gerik Natasya yang mencurigakan. Sejujurnya, Zadeline memang senang jika menghabiskan waktu Bersama Natasya, tetapi jika seperti ini yang ada malah perempuan itu menjadi curiga.

"Kau yakin ingin ikut menyulam?" tanya Zadeline sedikit sangsi.

Natasya mengendikkan bahu tak acuh. Memilih mengabaikan Zadeline dan mengambil satu keranjang berukuran sedang yang berisikan peralatan menyulam. Lengkap dengan beberapa gulungan benang dengan warna yang berbeda.

Jika Zadeline memilih untuk menyulam di dekat jendela yang mengarah ke lorong. Sebaliknya, Natasya memilih untuk menyulam di sisi yang lain. Di samping jendela yang menyajikan pemandangan pekarangan kediaman mereka.

Dibantu para pelayannya, Natasya mengatur posisi menyulam. Meja kecil lain untuk meletakkan keranjang benang, kini digeser mendekat ke sisi tubuh Natasya agar perempuan itu tidak kesulitan untuk meraihnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pelayan yang bertugas untuk melayani Zadeline.

Setelah selesai menjalankan tugasnya, para pelayan perempuan itu mundur teratur ke arah pintu. Menutup pintu dengan gerakan pelan hingga tidak ada sedikit suara pun yang mengganggu saat kedua daun pintu itu kini berdiri bersisian.

Zadeline sudah terlihat larut dalam kegiatan menyulamnya. Dari pinggir mata, Natasya melirik Zadeline yang begitu serius. Sepertinya, Zadeline memang menyukai kegiatan menyulam seperti ini.

Tidak adanya percakapan di antara mereka membuat Natasya menghela napas pelan. Padahal sebelumnya, Natasya kira Zadeline akan kembali cerewet dan membuka mulut untuk berbagi informasi yang ia butuhkan tanpa perempuan itu sadari.

Namun setelah memulai kegiatan menyulamnya, Zadeline malah menutup mulut rapat-rapat. Seolah memang ia telah diciptakan ke dunia ini sebagai perempuan yang begitu mencintai kegiatan menyulam.

Karena hal itulah, Natasya pun berusaha untuk ikut fokus memulai sulamannya. Namun belum lima menit menyulam, entah kenapa Natasya sudah merasa tidak nyaman. Entah kenapa kegiatan menyulam yang Natasya kira akan menyenangkan malah berubah menjadi sesuatu yang membosankan. Tubuh Natasya secara otomatis menolak untuk berdiam diri seperti ini dan hanya melakukan kegiatan menyulam.

Tanpa menyelesaikan sulaman yang telah ia mulai, Natasya menjauhkan meja kecil di dekat tubuhnya. Kembali melirik Zadeline yang sama sekali tidak kehilangan fokusnya meski gerakan Natasya cukup mampu membuat siapa saja terganggu.

"Apa kau sebegitu sukanya dengan menyulam?" celetuk Natasya tiba-tiba. Cukup penasaran dengan Zadeline yang ternyata bisa menutup mulutnya dalam waktu yang lumayan lama.

Zadeline melirik Natasya melalui ekor mata. Lalu kembali fokus dengan sulaman di depan matanya. Natasya lagi-lagi mendesah, tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan agar tidak mati karena kebosanan.

"Kau tahu, aku hanya pandai menyulam," ucap Zadeline pelan.

Natasya mengalihkan pandangannya ke arah Zadeline. Di saat yang sama, ternyata Zadeline juga tengah menatap Natasya. Kedua mata mereka pun bersirobok dan Natasya dapat melihat sorot iri di mata Zadeline yang ditujukan untuknya.

"Aku sebenarnya ingin sepertimu, Pearly. Kau terlalu pintar dalam segala hal. Karena itulah ayah kita begitu menjagamu, ketimbang aku, anaknya yang paling muda."

Natasya bergeming di tempatnya. Menatap lurus Zadeline yang kini sepenuhnya menghentikan kegiatan menyulam. Natasya memasang telinganya dengan sangat baik agar tidak melewatkan satu kata pun yang terucap dari bibir Zadeline.

"Apa maksudmu? Kau iri denganku?" tanya Natasya. Benar-benar berusaha keras untuk mengulik informasi dari Zadeline.

Zadeline mengangguk dan tersenyum tipis.

"Ya, aku iri. Ah, tidak, mungkin bisa dikatakan aku kagum denganmu, Pearly. Kau terlalu sempurna diciptakan Tuhan sebagai seorang perempuan. Bahkan kemampuanmu berkuda saja lebih baik dari Xanerza," ucap Zadeline sambil terkekeh pelan.

"Benarkah? Apa kau sungguh-sungguh saat mengatakan bahwa kemampuan berkudaku lebih baik dari Xanerza?" tanya Natasya, tidak percaya.

Zadeline mengangguk tanpa ragu. Di dalam benaknya, Natasya bertanya demikian karena terlalu senang mendengar bahwa ia lebih baik dari Xanerza dalam berkuda. Tidak ada satu pun rasa curiga yang Zadeline tujukan untuk Natasya.

"Ya, tentu saja. Sudah aku bilang, kan, kau itu terlalu sempurna dilahirkan sebagai perempuan. Seharusnya kau lahir sebagai laki-laki saja. Aku rasa, itu akan jauh lebih baik."

Lagi, Natasya terdiam. Jika sebelumnya Zadeline mengakui bahwa ia iri dan kagum dengan sosok Pearly. Namun sekarang, justru Natasya yang merasakan hal demikian terhadap Pearly. Natasya benar-benar iri dengan semua keterampilan yang dimiliki Pearly, seperti yang Zadeline ucapkan.

Bisa Natasya bayangkan, betapa tangguhnya Pearly dalam menjalani hidupnya. Perempuan itu hidup dengan keanggunan yang menutupi semua keteguhan dan kekuatan yang ia miliki. Natasya sadar, ia dan Pearly bagaikan langit dan bumi.

Jika Pearly adalah representasi dari sosok perempuan yang tangguh dan tak kenal takut, maka Natasya tak ubahnya manusia yang hanya menjalani hidup sesuai dengan apa yang ada di depan mata. Selama ini Natasya hidup dengan tidak banyak menuntut dan puas dengan apa yang ia miliki. Tidak terlalu tertarik untuk mengetahui lebih banyak hal mengenai dunia di luar sana.

Bertambah satu hal lagi yang membuat Natasya bertanya-tanya, kenapa harus dirinya yang kini berada di dalam raga Pearly. Padahal jelas-jelas dari segi kepribadian saja, Natasya tertinggal jauh di belakang Pearly.

Kegundahan di hati Natasya rupanya tertangkap oleh mata Zadeline. Perempuan itu lantas melempar Natasya dengan satu gulungan tipis dari sisa benang sulam. Tentu saja tindakan Zadeline itu membuat Natasya mengerjap kaget.

Lamunan Natasya seketika buyar oleh gangguan kecil yang diberikan Zadeline kepadanya. Melihat respons Natasya yang berjengit kaget, Zadeline pun melepaskan tawanya. Tentu saja tawa tersebut berderai dengan sangat sopan. Bukan jenis tawa yang lepas, tetapi Natasya bisa merasakan betapa puasnya Zadeline tertawa saat ini.

"Kau mengagetkanku saja," sahut Natasya, pura-pura menggerutu. Karena itu, Natasya pun mengambil sejumput benang sisa dari dalam keranjang dan melemparkannya ke arah Zadeline sebagai balasan.

Zadeline dengan sigap menggeser tubuhnya untuk menghindari lemparan benang Natasya. Alhasil, gumpalan benang tersebut jatuh ke atas ubin, alih-alih mengenai tubuh Zadeline.

"Wah, ternyata dalam hal ini aku bisa lebih unggul darimu, Pearly." Zadeline terkekeh pelan sebelum kembali meneruskan sulamannya yang sempat terabaikan.

Natasya hanya tersenyum tipis menanggapi gurauan Zadeline. Ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengganggu Zadeline lebih jauh. Sebagai gantinya, Natasya mengamati Zadeline yang kembali larut ke dalam sesi menyulamnya. Benar-benar terlihat begitu menghayati dan menikmati setiap detik yang berlarian di dekatnya.

Melihat Zadeline yang begitu asyik menyulam, Natasya pun memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Meski merasa bahwa menyulam bukanlah sesuatu yang bisa membunuh rasa bosannya, tetapi Natasya tidak tahu harus melakukan apa saat ini.

Karena itulah, meski setengah hati, Natasya kembali melanjutkan sulamannya. Turut hanyut dalam setiap tusukan benang yang kini perlahan-lahan mulai membentuk sebuah kelopak bunga.

Dalam hati, Natasya memuji keterampilan menyulamnya yang cukup baik. Seperti yang Zadeline ucapkan, ternyata Pearly memang perempuan yang cukup baik dalam mengerjakan segala hal. Terbukti dari hasil sulaman Natasya yang cukup indah meski belum melewati setengah dari prosesnya.

Meski jiwa di dalam raga Pearly adalah milik Natasya. Namun rupanya tubuh Pearly sama sekali tidak melupakan seperti apa cara untuk menyulam dan bergerak dengan intuisi yang sudah ada. Natasya hanya mengikuti gerakan jemarinya yang menuntun perempuan itu dalam menyelesaikan sulaman.

Entah sudah berapa lama waktu yang dihabiskan Natasya dan Zadeline untuk menyulam. Natasya baru merasa bahwa ia lapar setelah mencium aroma kue yang asapnya masih mengepul. Baru saja seorang pelayan masuk ke dalam ruangan tersebut sambil membawa baki yang berisikan sepiring kue hangat beserta satu teko berukuran sedang. Natasya tebak, isi teko tersebut adalah teh.

Melirik Zadeline yang sama sekali tidak terinterupsi, Natasya pun menghentikan kegiatan menyulamnya. Mengambil sepotong kue untuk mengganjal perutnya yang sudah keroncongan. Tekstur kue yang padat mampu membuat Natasya menutupi rasa lapar yang sebelumnya tidak ia sadari.

Setelah menghabiskan satu potong kue yang begitu hangat di perutnya, Natasya pun menyesap teh yang sudah dituangkan pelayan ke dalam cawan yang tersedia. Sebelum menyesap tehnya, Natasya lebih dulu menghidu aroma yang menguar. Begitu menenangkan hingga otot-otot Natasya yang tegang, dalam sekejap saja kini mulai mengendur.

Natasya benar-benar menikmati perannya sebagai perempuan keturunan bangsawan. Dimanjakan seperti ini membuat Natasya senang bukan kepalang. Kapan lagi Natasya bisa merasakan dilayani sedemikian rupa, jika bukan di dunia antah berantah ini.

Selagi menyesap tehnya, sebuah senyum terkembang lebar dari bibir Natasya.

***

Jadi, Pearly itu emang berbeda banget karakternya sama Natasya. Natasya kan tipe cewek-cewek kalem gitu. Nah, Pearly ini tipe cewek yang nggak tinggal diam. Dia selalu penasaran sama semua hal dan nggak takut nyoba hal baru.

Kalian lebih suka Natasya atau Pearly nih?

xoxo

Winda Zizty
20 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro