Damn!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rigel's

"Duduk!" Aku setengah mendorong lepas lengan yang sedari tadi kucengkeram karena emosi. Elara, perempuan itu jatuh tepat di sofa. Matanya menatapku marah dan bingung.

Aku menarik dasi hingga menggantung sedikit longgar di leher. Mencoba membuka kancing teratas kemeja, tapi kesulitan karena dasi yang mengganggu. Kesalku bertambah-tambah. Kutarik dasi hingga lepas, melemparnya sembarang dengan sekuat tenaga.

"Sial, Elara!" pekikku tidak tahan lagi menahan desakan panas di dada.

Perempuan itu tidak mengatakan apa pun, hanya menatapku keheranan dengan wajah memberengut. Serta merta kuraih dagunya, memaksa untuk menatap lebih dekat.

"Aku tidak suka kamu dekat-dekat Nathan. Jangan Nathan!" Lalu kulepas kasar dagunya. Berdiri dengan napas memburu sembari membuka tiga kancing teratas kemeja.

Lalu hening. Hening yang cukup lama. Sampai akhirnya kuhela napas keras, mencoba melepas emosi yang sedari tadi memuncak.

"Saya tidak tahu apa masalah Bapak dengan Nathan."

Aku menoleh ke arah sofa. Elara sudah bangkit dari duduknya. Matanya menatapku tajam. Seperti biasa, menantang.

"Tapi dia teman saya. Dia yang merawat Bams saat adik--"

"Mati juga, 'kan? Adik kamu mati juga, 'kan? Lupa, kamu?!" Aku mengingatkan.

Elara bungkam, bibir bawahnya digigit kuat-kuat. Matanya mulai berkaca.

Wajahku mengeras, tidak terima dengan gesturnya yang berubah emosional. Memangnya aku salah apa? Yang kukatakan tidak ada yang salah. Bams memang mati, dan Nathan dokternya. Artinya, Bams mati di tangan Nathan.

Salahku di mana?

"Terserah ...." Elara mendesah nyaris tidak terdengar. Kepalanya jatuh menunduk, kulihat jemarinya bertaut resah.

Aku diam saja. Melangkah ke arah meja kerja dan menemukan kotak makan siang di atasnya, yang mungkin diletakkan Dean saat aku keluar tadi.

Urung untuk duduk, kuraih kotak di meja. Berjalan ke arah Elara yang masih menunduk di depan sofa. Tanganku yang memegang kotak makan mengulur, tepat ke hadapan wajah yang kutahu enggan menatapku sekarang.

"Makan!" suruhku, sambil menggerak-gerakkan kotak makanan.

Butuh beberapa saat sampai Elara menengadahkan kepala, menatapku. Aku tersentak ketika melihat matanya yang basah, serta wajah yang memerah.

"Pak ...," katanya lirih, "masalah Bams ...."

"Maaf," potongku cepat sebelum dia mengucap kalimat lanjutan.

Elara menggigit bibirnya lagi. Kebiasaan! Dengan cepat kuraih salah satu tangannya, meletakkan kotak makan ke telapak tangan yang gemetar, kemudian berbalik memunggungi.

"Keluar! Dan makan!"

Ada yang menyentak-nyentak dalam dada ketika mendengar langkah-langkah itu menjauh. Ketika pintu akhirnya menutup pelan, kujatuhkan diri ke sofa, bersandar lelah di punggungnya. Kupejam mata dan menghela napas panjang untuk menenangkan diri.

Jangan Nathan, setidaknya jangan si brengsek itu!

Mataku membuka, dan menangkap kotak makan di atas meja. Lalu tawaku pecah. Itu lucu, ketika Elara bahkan menolak kotak makanku.

Ah!

*

Ruang tamu apartemen terasa kosong. Sore tadi ketika mood-ku tidak juga kembali, kuputuskan untuk pulang lebih cepat. Tapi sampai di apartemen, ternyata suasana hati tidak juga membaik. Ditambah Elara yang tak kunjung pulang.

Duduk di sofa sambil menopang salah satu kaki, kulirik pintu yang tidak juga bergerak membuka. Kalau-kalau ada tanda si kurus pulang, nyatanya tetap saja bergeming.

Aku mendengkus ketika menyadari waktu sudah menunjukkan jam delapan malam. Bisa jadi Elara sedang bersama Nathan, dan itu membuatku merasa marah. Ini jam delapan! Seharusnya makan malamku sudah tersaji sejak tadi, kalau saja si cengeng yang murahan itu tidak terlambat pulang.

Kuamati ponsel yang sejak tadi berada di genggaman, tidak ada tanda-tanda atau pesan sama sekali. Jemariku mulai bergerak tidak sabaran di atas layar, mengetik pesan secepat yang kubisa.

'Kamu di mana!' Sengaja kuberi tanda seru bukan tanda tanya, agar dia tahu bahwa aku sedang kesal.

Beberapa saat dan tidak ada jawaban.

'Elara!!' Ketikku lagi, menambah dua tanda seru di belakang.

Tidak dijawab lagi.

Dengan emosi aku bangkit dari duduk, mondar mandir dengan tangan yang sesekali menarik-narik rambut. Melirik ponsel, melirik jam tangan, lalu ke pintu. Terus begitu, bergantian dengan hati tak menentu.

Tidak dengan Nathan, tidak boleh dengan si brengsek sialan itu!

Sudah jam delapan lewat lima belas menit yang rasanya seperti ribuan tahun. Karena emosi tanganku melayang, nyaris melempar ponsel ....

"Pak Rigel?"

Namun tangan tertahan di udara. Melirik ke arah pintu, menemukan Elara yang menatapku dengan kedua alis yang terangkat naik.

Membeku. Seakan waktu berhenti berputar. Aku membayangkan bagaimana rupaku saat ini di mata Elara. Pakaian kerja warna biru langit yang terbuka tiga kancing atasnya, rambut berantakkan dengan salah satu tangan yang mengambang di udara. Sudah pasti saat ini aku terlihat aneh.

Damn! Bakal ada bahan gorengan baru untuk dia menertawaiku.

Dengan sigap dan sok tak acuh, kutarik tangan turun, menyelipkannya ke saku celana. Berdeham, mencoba menyembunyikan perasaan kikuk serta malu.

"Jam berapa sekarang?" tanyaku sembari menyipitkan mata ke arahnya penuh selidik.

"Lembur, Pak," jawabnya singkat.

"Sama Nathan?"

Elara mengernyitkan kening. Lalu menggeleng. Aku mencibir, tapi hatiku terasa lega. Semoga dia tidak bohong.

"Siapkan makanan!" suruhku, bersamaan dengan lilit lapar yang mendadak muncul di perut.

"Ini." Elara mengangkat bungkusan di tangannya. "Ayam geprek sambal hijau, khusus buat Bapak."

Aku mendelik, kudukku meremang. Apa dia bermaksud mengerjaiku lagi? Sambal? Otomatis aku bergidik.

"Mau bikin aku sakit perut lagi kamu?"

"Sambalnya dipisah. Aman, kok!" Lalu dia melenggang begitu saja, melewatiku menuju meja makan.

*

Sambalnya benar dipisah, dia juga duduk berseberangan denganku. Makan bersama tanpa banyak cakap. Kepalanya menunduk, sepertinya enggan untuk bertatapan.

"Kamu belum makan?" tanyaku basa-basi.

"Lembur, enggak sempat."

Aku mengangguk, lalu diam lagi. Sesekali mencuri pandang. Elara terlalu diam hari ini.

"Sibuk di kantor?

Dia menghela napas, meletakkan sendok kemudian menatapku.

"Apa pekerjaan saya sekarang juga menjadi urusan Bapak?"

Aku terhenyak. Lalu turut menyampirkan sendok. Menatapnya dengan kening berkerut dengan tidak senang.

"Tadi masalah saya berteman dengan Nathan, lalu sekarang masalah pekerjaan." Elara terlihat kesal, dadanya naik turun terlihat memburu.

"Lalu masalah Bams ...."

Aku langsung berdiri dari kursi. Selera makanku hilang sama sekali. Ini benar-benar topik yang membuatku mual. Aku benci Nathan, dan masalah Bams ... aku sudah minta maaf. Kurang?

Aku berjalan melewatinya, menuju kamar dengan perasaan dongkol. Sampai di ujung ruang, langkahku berhenti. Masih ada rasa kesal yang menggantung. Tidak terima, aku berbalik dan menatapnya dengan tajam.

Tubuh itu duduk membelakangiku, tapi bisa terlihat tangannya yang mengepal di meja. Elara harus tahu diri. Selama tiga bulan ke depan akulah penguasanya. Dia tidak bisa pulang pergi seenaknya, tidak boleh berkawan semaunya.

"Mulai besok, siapkan juga pakaianku. Kemeja, stelan yang kupakai, juga dasi. Jangan sampai tidak!"

Kulihat tangannya mengepal semakin erat.

"Jam tujuh malam. Apa pun yang terjadi, makan malam sudah harus tersedia. Aku tidak akan mentolelir keterlambatan seperti ini lagi!"

Elara bangkit dari duduk, dia berbalik. Menatapku dengan kesal yang sangat.

"Besok. Kita makan siang bersama!" Kuputar lagi tubuh untuk meneruskan langkah menuju kamar. Aku akan memastikan bagaimana pun caranya agar dia dan Nathan tidak pernah bertemu lagi.

"Tidak bisa, Pak Rigel yang terhormat. Anda tidak bisa mengatur saya seperti itu!"

Kupejamkan mata, menahan bibir yang hendak berucap kasar. Tanganku bergerak meraih dompet di saku celana, mengambil selembar kertas di dalamnya. Kontrak yang selalu kubawa. Kemudian aku kembali berbalik untuk menantangnya.

Kubuka kertas, dan kuangkat dengan tangan kanan seraya tersenyum menghina.

"Kalau saja kamu lupa isi kontrak kita Elara," kataku lagi, "baca dan resapi sekali lagi." Kulempar kertas itu ke arahnya. Tentu saja jarak yang terlalu jauh membuat kertas itu melayang sesaat di udara dan kemudian jatuh ke lantai.

Kubalik lagi tubuh, memasukkan kedua tangan ke saku celana. Dengan santai berjalan ke kamar.

"Besok! Pakaianku ... jangan lupa!" seruku ketika langkah mencapai kamar. Kemudian kututup pintu dengan sedikit keras, bersandar di baliknya dengan napas memburu.

Elara terdengar menjerit di luar sana. Kesal? Rasakan saja!

Pembangkang. Dasar perempuan!

*
Aku keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah dan tubuh yang hanya terlilit bath robe. Tadinya mau melangkah menuju walking closet di sudut kamar untuk berpakaian, tapi mendadak urung.

Teringat semalam, pekerjaan baru yang kuperintahkan pada Elara. Seharusnya pakaianku sudah siap di atas ranjang, tapi ini ... kosong.

Kulangkahkan kaki menuju pintu, menariknya hingga terbuka dan berseru, "Elara!"

Hening.

"Elara!"

Masih tidak ada jawaban. Heran. Mengapa perempuan ini selalu saja sulit ditemui pada saat dibutuhkan?

"Elaraaa!!" Kali ini suaraku benar-benar tinggi.

Tidak lama kudengar langkah terburu-buru dari arah belakang. Lalu tubuh itu muncul hanya berbalut handuk. Bagian tubuh yang terbuka dan rambutnya yang tergerai, benar-benar basah. Sementara itu mulutnya membuka terengah. Terlihat sekali kalau dia terburu-buru.

Untuk sepersekian detik aku membeku. Memandang tubuh mungil yang bertelanjang kaki di hadapanku. Menikmati jengkal demi jengkal yang terpampang di depan mata.

Elara tiba-tiba merapatkan kedua tangan di tubuhnya dengan sedikit membungkuk. Sepertinya sadar jika aku sedang memperhatikan tiap inci bagian tubuhnya, berusaha menutupi tapi percuma.

"Ada apa, Pak?" tanyanya yang terdengar samar di telinga.

Bukannya menjawab, aku malah membayangkan bagaimana jika handuk itu terlepas dan jatuh saja ke lantai. Atau bagaimana jika kutawarkan bantuan untuk mengeringkan tubuh dan rambutnya. Elara memang tidak seseksi model-model yang sering kali menggoda, tapi dia tidak jelek. Pengalamanku dengannya juga tidak buruk.

"Pak?"

Mataku mengerjap, kuatur napas yang sempat memburu karena pikiran yang melantur.

"Pakaianku," kataku dengan sok tenang. Melempar pandangan ke dalam kamar, sesekali mencuri pandang ke Elara.

Kudengar helaan napasnya kesal. "Saya pikir Bapak hampir mati. Teriak seperti orang kesetanan."

Lalu kudengar langkahnya. Bukan mendekat, tapi menjauh. Serta merta aku menoleh.

"Elara! Pakaianku!" Heran, mengapa dia selalu saja membantah. Tidak langsung mengerjakan apa yang kuminta.

Elara menghentikan langkah, lalu menoleh. "Saya harus berbilas dulu, Pak. Lalu berpakaian."

Sekali lagi kutatap Elara. Dia memang benar-benar basah.

"Aku sudah terlambat. Pakaianku dulu, baru berbilas!" titahku, lalu masuk ke kamar. Berdiri sejenak di ambang pintu. Menajamkan telinga demi memastikan ke arah mana langkah kakinya akan melangkah.

Senyumku menyungging, karena langkah-langkah kaki yang terdengar mendekat. Meski kudengar gerutuan kesal karena kakinya yang basah terasa licin di lantai.

"Permisi," katanya ketika mencapai ambang pintu karena aku menghalangi langkahnya masuk ke kamar.

Aku bisa mencium aroma wangi dari sabunnya, juga percikan basah yang menetes di ujung kaki. Elara begitu dekat, aku bisa merasakannya. Senyumku melebar, pikiran iseng mendadak menggoda. Dengan sengaja aku berbalik secara mendadak. Membuat perempuan itu terkejut, kehilangan keseimbangan karena basah di kakinya.

Elara terhuyung, tangannya menggapai-gapai. Seperti seorang pahlawan kesiangan yang berusaha menolong, kutopang tubuhnya dengan salah satu tangan, sementara tangan lainnya menarik lepas handuk yang melekat.

Elara menjerit, sementara mataku berbinar takjub.

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro