Jealous(?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa kali mengubah posisi tidur, tapi tetap saja merasa kurang nyaman. Mataku sedari tadi tidak juga terpejam sempurna. Pikiran melayang pada Rigel. Dia yang sakit perut karena aku.

Akhirnya aku duduk dan bersandar di bahu ranjang. Menekuk kedua kaki, lalu menumpukan dagu di lutut. Sementara itu, tangan memeluk betis.

Ada rasa bersalah yang menghampiri. Sebelumnya tidak mengira bahwa cabai yang sangat banyak itu akan memberi pengaruh parah begini untuk Rigel. Hatiku seperti tersentil saat melihatnya berjalan terhuyung-huyung menuju toilet. Yang aku pikirkan adalah bagaimana keadaannya membaik, sehingga aku segera turun untuk mencari obat.

Sebenarnya tadi aku ingin kembali ke rumah Rigel untuk mengambil motor, lalu pulang ke tempat sendiri. Hanya saja ... Rigel mencegah. Membuatku sejenak terpaku karena dia memegang pergelangan tangan ini. Sentuhannya berbeda dibanding malam laknat yang pernah kami lalui. Dan aku tak mengerti mengapa bisa seperti itu.

Stay ...,” ucapnya parau. “Aku sakit ....”

Kalimat itu kembali terngiang. Terlihat sorot matanya yang lemah.

Tadinya berpikir dia sungguh membutuhkanku, tapi ternyata hanya ingin aku di sini karena status pembantu. Rasa kasihan itu pudar, berganti dengan kesal, sebab dia meminta agar aku tinggal sampai kontrak kami selesai!

Oh, Lord! Ini sama saja dengan neraka. Bayangkan, sebelum dan setelah pulang kerja aku akan melihat wajahnya terus.

Aku memandang sekeliling kamar. Furniture mewah di sini, sekarang bisa aku nikmati. Tapi ... apa gunanya jika hati merasa terkekang? Seindah dan sebanyak apa pun harta yang ada, akan sia-sia jika jiwa tak merasakan kedamaian.

Mataku menangkap tas belanja hitam dengan nama brand berwarna gold di nakas. Isinya sebuah dress krem selutut yang aku beli di mall gedung sebelah dengan menggunakan uang Rigel. Rasanya cukup adil membuat si pelit itu mengeluarkan lembar rupiah demi pembantu. Siapa suruh tak mengizinkan aku pulang.

🌺🌺🌺

Pukul 13.45 dan sekarang aku sudah berada di apartemen Rigel. Baru memencet bel sekali, pintu sudah terbuka. Wajah datar tanpa senyuman itu menyambut. Dia bersedekap dan menatapku tanpa berpaling.

“Ke mana saja jam segini baru kembali?” tanyanya dengan mata menyipit.

“Bukan urusanmu, Pak Rigel.”

Masih terasa kesal karena tadi pagi. Aku, Elara, sudah berbaik hati merawatnya sejak semalam. Dan itukah balasannya untukku? Tidak, aku tidak minta dia memberikan hadiah atau pujian. Tapi setidaknya, bisakah dia bersikap baik? Aku juga manusia! Sejak awal, dia selalu mengerjaiku. Apakah kami memang musuh di kehidupan sebelumnya?

Gara-gara lima ratus juta, dia bersikap semena-mena. Tidak sedikit pun Rigel berpikir bagaimana perasaanku. Dia memintaku membereskan pakaian menjijikkannya. Aku merasa muak!

Tanpa menunggu jawabannya, aku masuk dan meletakkan tas berisi pakaian di kamar. Saat membalik badan, ternyata Rigel menyandar di kusen pintu. Menatapku dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan.

“Aku lapar. Buatkan aku makanan.”

Mengembuskan napas perlahan, aku kemudian berjalan. Saat sudah berdiri begitu dekat dengan Rigel, aku menyentuh dadanya dan mendorong dia. Alisnya hampir menyatu setelah tubuh kami berjauhan. Bukan aku berniat bersentuhan, tapi dia saja yang tak memberi jalan.

Melangkah tanpa bersalah, aku lantas mulai bekerja di dapur. Rigel duduk di meja makan dan terus memperhatikanku. Tapi sekali lagi, aku tak peduli.

Perhatianku hanya pada masakan yang menunggu matang di wajan, hingga tak menyadari Rigel berdiri di dekatku. Sejenak pandangan kami beradu, tapi aku buru-buru memalingkan wajah.

“Lain kali, jangan menggodaku dengan penampilan seperti ini.” Dia berucap diiringi jari yang bergerak pelan dari atas ke bawah di lengan terbukaku.

Sontak aku mendelik dan menyingkirkan tangannya. Kemudian menuangkan makanan di piring, serta membawanya ke meja makan. Sempat kudengar dia tertawa kecil.

Dasar mesum!

Semua sudah siap di meja. Aku berdiri di samping kursi dan memandang Rigel yang masih berdiri di dekat kompor. Dia tersenyum kecil, lalu melangkah perlahan, ke arahku.

“Duduk. Ikut makan denganku. Bisa jadi kamu memberi racun kali ini dan aku tidak mau mati sendirian,” bisiknya. Lantas dia menarik kursi dan menggerakkan kepala, memberi kode dengan tatapan ke arah piring.

Mengerti maksudnya, aku mengisi piring Rigel dengan nasi, dua potong ayam kecap, beserta sayuran. Dan aku pun ikut makan, tepat di sisinya.

Suasana hening. Hanya terdengar denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Sampai pada akhirnya laki-laki tanpa hati itu bersuara.

“Sejak kapan kamu bisu?” sindirnya diiringi satu sudut bibir tertarik ke atas.

Sejak kapan aku bisu? Sejak pagi tadi. Sejak dia tanpa perasaan memperlakukanku begitu rendah.

Mengabaikan pertanyaannya, aku meneguk air. Tangan lalu memunguti piring kotor milikku dan Rigel. Merapikan meja, meski dia tetap duduk di kursinya dengan gelas bening dalam genggaman.

Aku baru saja selesai mencuci semua perabotan. Terdengar derap langkah mendekat dari arah belakang. Enggan berbalik, aku berniat membiarkan Rigel pergi lebih dulu. Tapi tiba-tiba aku merasakan sesuatu di pinggang. Rigel! What the hell!

Kamu lebih banyak diam hari ini, El. Tidak ingin mengucapkan sesuatu padaku?”

Dia berbisik, tapi bukan ucapannya yang membuatku kesal, melainkan remasan lembut kedua tangan Rigel di pinggangku. Dia mencoba menggodaku? Well, kurasa dia perlu membersihkan diri agar kepalanya tak banyak isi pasir.

Masih kubiarkan dia menyentuh pinggang dan lenganku. Sementara tangan menggapai panci yang berada di sisi wash basin. Kuiisi dengan air, hingga penuh.

“Sepertinya kamu bersedia menghabiskan satu malam lagi denganku, El.” Sekali lagi dia berbisik. Bibirku tertarik mendengar ucapannya.

“Menghabiskan malam dengan Bapak? Baik,” jawabku sembari membalik tubuh dan panci berada di tangan. “Tapi Bapak harus mandi dulu.”

Rigel tersenyum lebar, menyangka aku sudah luluh. Tapi rasa bangga dalam dirinya seketika luntur saat aku berpura-pura hampir jatuh, hingga air di panci menyiram tubuhnya.

Shit!” umpatnya. Mata Rigel mendelik, rahang mengeras, dan tentu saja, tangan yang mengepal.

Dia memandang tubuhnya yang basah kuyup. Silih berganti mengarahkan mata padaku yang tengah menyeringai.

“Kamu gila, hah?!” Suaranya tinggi. Jelas saja dia marah.

“Maaf, saya tidak sengaja, Pak. Tapi ... bisa jadi saya memang gila. Jadi, Pak Rigel harap jaga jarak dengan saya. Bahaya.”

Kata terakhir kuucapkan pelan. Terlihat Rigel semakin kesal. Dadanya naik-turun. Dia lalu meninggalkanku dan terdengar pintu ditutup kasar.

Dari pagi aku berusaha diam. Aku tak ingin membalas ucapan atau perilaku Rigel. Tapi saat tak melawan, kenapa dia masih saja menindas? Beginikah cara orang kaya memperlakukan yang lebih rendah?

Napasku terhela pelan. Menyadari sudah menambah pekerjaan rumah. Air berceceran dari dapur sampai ke kamar laki-laki batu itu. Dress-ku juga agak basah terkena cipratan. Ah, sudahlah. Setidaknya dia mendapat sedikit balasan untuk sikap buruknya.

🌺🌺🌺

Pagi datang, masih tanpa ada yang istimewa. Sejak kemarin aku dan Rigel juga tak bicara. Biarlah. Aku jadi tidak harus mengelus dada saat mendengar ucapannya yang sering menusuk hati.

Aku sedang mematut diri di cermin. Memoles sedikit riasan di wajah dan memastikan rok hitam selutut serta kemeja baby pink ini telah rapi. Done. Aku tersenyum simpul, kemudian melangkah keluar. Hendak langsung menuju pintu apartemen, tapi suara Rigel dari meja makan menghentikan.

Breakfast?”

Dari tempatku berdiri, aku bisa melihatnya tengah menikmati kopi yang aku buat tadi. Dia juga sudah siap pergi bekerja. Lihatlah, wajahnya tampak segar, ditambah kemeja biru langit serta dasi dengan warna dasar navy bermotif polkadot putih. Dia ... mengapa bisa begitu menawan hari ini?

Aku menggeleng berkali-kali. Hei, sadarlah, Elara!

Kakiku menuju meja makan. Melirik jam di pergelangan tangan kiri sekilas. Masih ada waktu. Sepertinya masih bisa menikmati pancake atau buah.

“Lumayan.” Dia berkata setelah mengunyah pancake yang kubuat.

Hanya lumayan, tidak ada terima kasih.

Aku meletakkan tas di kursi sebelah Rigel. Lalu mengambil susu dari kulkas dan menghangatkannya di microwave.

Masih tidak mau bicara, El?”

Mengabaikan apa yang baru saja dia tanyakan, aku menarik kursi, dan mengambil dua pancake. Menyiramnya dengan madu, lalu mulai menikmati tanpa bicara pada Rigel.

Dia mengembuskan napas kasar. Detik kemudian dia menyentak pisau dan garpu di tangannya, hingga suara gaduh tercipta.

Sembari meneguk susu, aku menatap Rigel. Duduknya tegap dengan tangan bersedekap. Mata beriris cokelat itu menatapku lekat, sedangkan wajahnya sangat jelas menampakkan rasa kesal.

Catat, bukan aku yang memulai semua ini. Aku punya hak mau bicara atau tidak.

Sudah selesai sarapan, aku bangkit dan Rigel juga melakukan hal yang sama. Akhirnya kami keluar apartemen beriringan, tetap tanpa suara dariku. Dan kami terpisah di basement.

Dia dengan sombong menyeringai ke arahku saat membuka pintu mobil, sedangkan aku hendak menuju motor. Heh, dia pikir aku iri? Mana mungkin!

🌺🌺🌺

Waktu terasa cepat hari ini, sampai tidak sadar ternyata sudah jam makan siang. Aku terlalu sibuk mengurusi keluhan customer dan mencarikan solusi agar semua merasa nyaman.

Aku berdiri dan merenggangkan tubuh. Lumayan lelah.

“El, makan, yuk!” ajak salah satu temanku. Namanya Lita.

“Lo duluan aja, deh. Gue ntar nyusul ke kantin.”

Dia mengangguk, lantas berjalan, dan hilang dari pandanganku.

Kuraih ponsel dari tas, hendak membalas pesan Vivian yang tidak sempat kujawab tadi. Tapi panggilan masuk mengalihkan perhatianku. Nathan.

“Hai, Nath. Iya, aku baru mau makan.”

“....”

Lunch bareng di kafe dekat kantorku? Bolehlah. Aku jalan ke sana sekarang. Bye.”

Bergegas aku meraih tas. Berjalan dan menyapa ramah semua orang yang aku temui saat di lobi. Kecuali saat berhadapan dengan Rigel. Dia berdiri di resepsionis dan melihatku sinis. Aku hanya sedikit merunduk, memberi hormat. Lalu melangkah begitu saja.

Kafe yang aku tuju letaknya di seberang gedung ini. Jadi tak perlu membawa motor. Aku menengok kanan-kiri, lalu merentangkan tangan agar laju kendaraan melambat saat aku menyeberang.

Memasuki kafe, lagu Perfect dari Ed Sheeean menyambut. Ruangan ini cukup ramai. Aku memindai sekeliling. Mencari sosok laki-laki berwajah manis itu.

“El!”

Pandanganku teralih ke sudut ruang sebelah kiri. Nathan, dia duduk di sisi dinding kaca. Ditemani segelas minuman hijau. Jus alpukat, mungkin.

Tanganku melambai, dilanjutkan langkah yang tertuju padanya.

“Kamu cepat banget sampai di sini,” kataku setelah duduk.

Nathan tersenyum. Sebuah senyuman yang terlihat sangat indah.

“Aku udah nungguin kamu di sini saat nelpon tadi, El.”

Aku mengangguk. Tak lama, waiter datang membawakan menu.

“Kamu baik-baik aja?” Nathan bertanya setelah waiter pergi.

“Aku? Aku baik-baik aja, Nath. Emang kenapa?”

“Kamu emang keliatannya enggak apa-apa. Aku lega.”

Senyum tercipta di bibirku dan Nathan. Pandanganku teralih ke luar dinding. Baru sadar, ternyata dari sini aku bisa melihat kantor sendiri.

“Aku baru sadar kamu kerja di Devara Developer. Maksudku, aku baru ingat itu kantor Rigel.”

Rigel dan Nathan. Tampaknya mereka memang saling mengenal.

“Kamu kenal sama dia?”

“Kami teman kuliah dulu, El.”

Merasa tak penting menjawab lebih, aku hanya mengangguk.

“Dan kamu ada hubungan apa sama Rigel, El?”

Dahiku seketika berkerut. Laki-laki berkemeja maroon di depanku tampak serius. Kenapa dia menanyakan hal ini?

“Hanya bos dan karyawan, Nath. No more.”

Bos yang baik hati mengantarmu ke rumah sakit.”

Kuhela napas kasar. Nathan sepertinya menemukan kepingan puzzle yang ada di antara aku dan Rigel. Tapi untuk apa dia mencari tahu semua ini?

“Kamu pergi ke mana hari itu sama Rigel?”

Deg!

Jangan katakan bahwa Nathan melihatku bermalam di rumah Rigel.

“Nggak pergi ke mana-mana, Nath. Kamu kok kepo, sih.”

Berpura-pura biasa saja, aku tertawa kecil. Tapi Nathan tetap saja menampakkan keseriusan. Dadaku berdebar. Tidak siap jika ada orang yang mengetahui betapa nistanya aku hanya demi uang.

Nathan bangkit, lalu duduk di kursi sebelah kiriku yang kosong.

“Kamu di mana waktu aku telpon Bams lagi sekarat?”

Tenggorokanku rasanya kering. Benarkah dia sudah tahu?

“Di rumah, Nath, tidur.”

Wajah Nathan mendekat, lalu dia berkata pelan, “Tapi kenapa pagi itu pakaianmu masih sama kayak hari saat kita ketemu sebelumnya? Kamu pucat dan berantakan, El. Kamu bisa cerita ke aku.”

Sial! Nathan kenapa begitu memperhatikanku?

Jantungku berdetak lebih cepat. Gugup menjalari hati. Tidak, aku tak ingin Nathan tahu apa yang sudah aku lalui bersama Rigel.

“Kamu ngasih aku kabar buruk, gimana aku bisa berdandan rapi, Nath? Ngaco deh kamu.”

Dia tampak berpikir, lalu memijat pelipisnya.

“Mungkin aku yang terlalu banyak mikir,” katanya diiringi tawa kecil.

Huft!

Lega, ekspresi Nathan mulai normal. Kami mengobrol sambil menunggu makanan datang. Tapi ... seseorang tiba-tiba saja menggenggam pergelangan tanganku. Refleks aku menyentak dan menoleh. Rigel!

“Lo ngapain di sini?” Suara Nathan terdengar tidak bersahabat.

“Balik ke kantor!” perintah Rigel. Lalu kembali menggenggam tanganku dan memaksa agar aku berdiri.

“Saya mau makan, kenapa Bapak melarang?”

“Makan denganku dan jangan pernah makan bersama laki-laki ini!” Rigel memandang Nathan nanar. Sementara laki-laki yang tangannya terkepal di meja itu juga tampak kesal.

Kasar, dia mendorong kursi dan mendekati Rigel. Suasananya benar-benar tegang!

“Lo nggak bisa ngatur Elara kayak gini, Rigel!”

“Gue bisa. Lo mau apa, hah?” jawab Rigel angkuh.

“Lo cemburu Elara sama gue?”

Rigel lalu menarikku. Nathan berusaha mencegah, tapi laki-laki batu ini tak juga melepaskan tangannya dariku. Akhirnya kami berdua benar-benar keluar dari kafe, sedangkan Nathan kini mematung di ambang pintu masuk. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan melihat kejadian barusan. Mungkin ini akan menambah penilaiannya bahwa aku dan Rigel memiliki suatu hubungan.

“Anda sudah kehilangan kewarasan, Pak Rigel!”

“Diam, El!”

Kenapa, kenapa dia tampak emosi? Bahkan terus memegang tanganku saat sudah berada di lobi kantor.

Ada apa dengannya?

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro