Mistaken

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rigel's

Ruangan itu gelap. Dingin. Hanya ada sebuah lilin kecil di tengah ruang yang cahayanya terlihat percuma. Namun dalam bias seadanya, terlihat wajah seorang wanita muda, sedang bergincu di hadapan kaca yang dia genggam, matanya basah sementara mulutnya bergerak-gerak tidak jelas. Bersolek? Di tempat segelap ini?

Setelah selesai memoles bibir, dilemparnya cermin hingga membentur dinding. Lalu ... prang! Pecah.

Sebuah tangis pecah. Bukan, bukan tangisnya. Tapi tangis dari seorang bocah yang sejak tadi berlutut berhadapan dengannya. Bisa jadi bocah itu terkejut, atau ketakutan karena suara pecah yang memekak telinga.

Perempuan itu bangkit, lalu melenggang pergi tanpa pamit. Meninggalkan si bocah yang histeris karena ditinggal.

"Mama! Mama! Aku ikut! Mama!"

Tidak ada sahutan. Bahkan sampai cahaya lilin tidak mampu lagi menangkap sosok si perempuan dalam bayang. Sampai dengan cahayanya redup lalu mati. Sampai suara tangis lirih itu hilang ditelan kegelapan.

***

Seperti ada yang menyentakku bangun. Debar di dada sungguh memburu hingga rasanya sesak. Kuusap kening yang ternyata basah. Seperti baru saja berkejar-kejaran dengan sesuatu yang menakutkan, tubuhku lemas dan sedikit gemetar.

Kucondongkan tubuh hingga dada menyentuh meja kerja, menundukkan kepala hingga keningku menyentuh meja yang sama.

Mimpi buruk lagi. Selalu saja mimpi buruk yang sama. Kuhela napas berkali-kali untuk menghalau perasaan tidak menyenangkan yang terlalu nyata. Mengangkat kepala untuk kemudian melirik jam berwarna keemasan di atas meja. Sudah jam dua belas lewat lima menit. Jam makan siang.

Aku akan baik-baik saja. Rigel Devara, kamu akan baik-baik saja.

Kutatap sekeliling ruangan yang kosong. Lalu terpaku pada pintu yang menutup. Seingatku, aku sudah mengatakan pada Elara sejak kemarin bahwa kami akan makan siang bersama. Tapi mengapa si kurus itu belum datang ke ruanganku?

Mimpi buruk ditambah perempuan pembangkang yang selalu membuatku naik darah. Suasana hatiku benar-benar berantakkan.

Dengan gusar kuambil ponsel yang teronggok di meja, mengetik pesan dengan cepat untuk Elara.

El, ke ruanganku sekarang! Makan bersama denganku!

Kutatap pesan yang terkirim. Centang dua berwarna biru. Pesan dibaca. Kunanti beberapa saat sebelum akhirnya berteriak kesal, bertepatan dengan suara pintu yang diketuk.

Mungkin itu Elara yang mengetuk pintu. Bisa jadi dia tidak membalas karena bermaksud langsung saja menemuiku.

"Masuk!" perintahku sambil bangkit dari duduk.

Pintu perlahan membuka. Dan sialnya, bukan Elara yang masuk. Dean--asisten pribadiku--masuk, membawa kotak makan siangku. Rasanya mau memekik kesal, kecewa karena bukan Elara yang datang.

Lelaki yang usianya lebih muda dariku itu sedikit menundukkan kepala memberi hormat, sebelum melangkah mendekat.

Kuamati dia yang hari ini mengenakan kemeja dengan warna hijau yang sama denganku. Bisa jadi, merk-nya juga sama. Aku mendengkus ketika dia meletakkan kotak makan di meja.

"Jam makan siang, Pak. Silakan ...."

Bukannya menyahut, aku malah menarik lengan bajunya seraya berkata, "Gajimu sebesar apa sampai bisa mengenakan kemeja yang sama denganku? Heh?"

Dean tersentak. Dia menatap kemejaku, lalu kemejanya. Sebelum akhirnya mundur beberapa langkah setelah kulepas lengan bajunya dengan kesal.

"Ma-maaf, Pak Rigel ...."

Aku berdecih.

"Mama membayarmu sangat mahal untuk memata-mataiku, ya?" sindirku. Aku tahu persis, bahwa Dean mendua hati dengan Mamaku, Nyonya Cindy Aletta yang terhormat. Mendua hati demi memata-mataiku. Andai saja aku tidak membutuhkan otak jenius dan loyalitasnnya yang keterlaluan pada perusahaan dan keluarga kami, sudah lama dia kupecat.

"Ma-maaf, Pak." Dean terdengar serba salah. "Saya berjanji tidak akan mengenakan kemeja ini lagi." Kepalanya menunduk dalam.

Aku mencibir, melirik ponsel. Belum ada jawaban dari Elara. Sialan sekali!

Dengan cepat jemariku bergerak lagi di atas layar, mengetik dengan debar dada yang keterlaluan karena dongkol.

Di mana! Aku menunggumu!

Setelahnya kutatap Dean sembari menghela napas. Hukuman apa yang pantas untuk penghianat yang juga mencoba menduplikat caraku bergaya? Menimbang, kemudian menepis segala kemungkinan.

Kulirik kotak makan di meja. Hanya satu. Aku butuh dua jika Elara akan bergabung makan bersama.

"Dean!" seruku akhirnya. Dean mengangkat kepala menatapku. "Tambahkan satu kotak makan lagi. Lalu mulai besok, siapkan dua kotak makan siang. Paham?"

Dean mengerutkan kening. "Dua?"

"Jangan banyak tanya!" Kuambil jas yang tersampir di punggung kursi, lalu mengenakannya dengan cepat. Elara tidak mau datang? Maka aku yang akan menjemputnya.

Aku berjalan melewati Dean, dan menghentikan langkah di ambang pintu untuk kemudian berbalik. Ada pesan yang hendak kutitipkan pada Mama.

"Katakan pada Nyonya Cindy Aletta yang terhormat, tidak perlu sok peduli dengan menjodoh-jodohkanku dengan perempuan pilihannya. Seleranya ... buruk!" Kuulas senyum sinis di bibir, menyambut Dean yang menganga demi mendengar pesanku.

Berbalik, aku melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

Di mana perempuan pembangkang itu?

***

"Kamu tahu di mana Elara?" Aku menghentikan langkah seseorang yang baru saja keluar dari ruangan customer service. Divisi di mana Elara bergabung.

"Pak Rigel?" Perempuan itu menatapku dengan wajah merona, sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.

Heran. Kenapa wajahnya harus merona begitu? Karena aku bos-nya?

"Elara. Di mana?" Aku mengulang pertanyaan.

"Ini kan jam makan siang, Pak. Elara seharusnya ada di kantin." Lalu dia tesenyum lagi. Kali ini gigi-giginya nampak jelas.

Aku mengangguk. Sebenarnya sedikit merasa aneh dengan respon si perempuan. Namun segera kuayun kaki menuju kantin, meninggalkan dia yang pipinya masih merona. Aneh!

*
Aku tidak tahu kalau kantin seramai ini. Sejujurnya, ini pertama kali kujejakkan kaki di sini. Terlalu malas untuk berbasa-basi, maka aku selalu meminta Dean membawakan makan siang ke ruangan.

Aku melangkah tanpa ragu, untuk sesaat bising melenyap, berganti dengan bisik-bisik yang sama ributnya. Ck! Betah sekali Elara makan di tempat seramai ini.

Mataku menyapu seluruh ruang, mencari sosok kurus yang menjadi sarapanku tadi pagi. Akhirnya, di kejauhan aku melihatnya duduk di salah satu meja, berdampingan dengan seorang perempuan berkacamata.

Lebar-lebar aku melangkah ke arahnya. Namun langkah terhenti ketika kulihat seorang lelaki berdiri di sampingnya dengan nampan di tangan. Kupicingkan mata demi melihat lebih jelas. Tidak lama si lelaki duduk di sisinya. Entah bercakap apa, tapi Elara tersenyum dengan sumringah.

Mendadak saja panas merajai kepalaku sampai ke ubun-ubun. Aku menunggunya di ruangan sekian lama, sementara dia mengabaikanku demi makan dengan teman-temannya? Sialan!

“Elara!” Aku berseru. Elara nampak terkejut, sendok dan garpu terlepas dari genggaman hingga berdenting keras di atas piring.

Aku melanjutkan langkah sembari menatapnya marah. Kuabaikan bisik-bisik yang tidak terdengar seperti bisik-bisik. Entah apa yang mereka gunjingkan karena aku yang menjejakkan kaki di area kantin? Masa bodo!

“Siang, Pak.” Kuabaikan sapaan dari lelaki dan perempuan yang mendampingi Elara. Mataku fokus pada sosok yang duduknya mulai terlihat tidak nyaman.

“El, ikut denganku!” Tadinya mau kutarik paksa, tapi lelaki yang duduk di sebelah Elara, menghalangi gerakanku.

“Tapi saya lagi makan, Pak.” Bantahan dan alasan. Selalu saja, Elara!

“Makan di ruanganku.”

“Pak, saya makan di sini saja.”

Bibirnya merekah aneh, membuatku menyipitkan mata dengan tidak senang.

“Ke ruanganku, El!” Kesabaranku nyaris habis. Bukannya bergerak, Elara malah berbisik-bisik dengan perempuan berkacamata, membuat kesabaranku benar-benar habis.

“Kamu, minggir!” perintahku pada si lelaki yang menghalagi gerakku.

Kulihat Elara membeku, sementara si lelaki memandangnya sejenak. Sebelum akhirnya bangkit dan memberiku ruang.

Dengan cepat kutarik tangan Elara, memaksanya untuk bangkit.

“Pak!” Dia menyentak tanganku. Matanya menjelajah sekeliling dengan ngeri. Kuikuti pandangannya, dan menyadari kalau begitu banyak pasang mata yang sedang menatap ke arah kami penuh tanda tanya.

“El, menurutlah!” perintahku, mencicit penuh peringatan tepat di telinganya.

Elara menghela napas. Bisa kupastikan dia juga tidak ingin drama ini jadi berjilid-jilid. Matanya kemudian bergerak ke arah tas di meja. Kulepas tangannya agar dia bisa mengambil tas itu. Setelahnya kuraih lagi, menariknya agar mau berjalan bersamaku.

Namun baru beberapa langkah, sebuah suara lantang membuat langkahku berhenti.

“Bapak ada apa-apa sama Elara?”

Kuhela napas lelah. Pertanyaan apa itu? Kulirik Elara, wajahnya terlihat pasi. Dengan malas aku berbalik, dan menemukan lelaki yang tadi duduk di sebelah Elara, menatapku penuh tanda tanya.

“Kalau iya, ada masalah?” tanyaku santai sambil menarik kedua ujung bibir naik. Lelaki itu mematung, sementara mulut Elara tampak menganga tidak percaya.

Dengan tenang, aku berbalik, menarik kembali tangan Elara. Kami melangkah, melewati puluhan bahkan ratusan mata yang memandang bingung ke arah kami. Sementara perempuan kurus yang tangannya sedang kugenggam ini, memgikuti langkah lebarku terseok-seok.

Peduli apa mereka semua dengan siapa yang kugenggam tangannya? Nyatanya ... hati ini selalu menolak untuk berlabuh.

Perempuan ... sama saja!

**

Aku mendorong pintu ruang kerja bersamaan dengan Dean yang baru saja keluar dari sana. Bisa kulihat matanya menatapku kebingungan. Terlebih dengan Elara yang mengikuti dengan tangan yang masih kugenggam. Seharusnya Dean bersyukur, dia punya hal baru yang bisa dilaporkannya kepada Nyonya Cindy Aletta yang terhormat.

Pintu berdebum menutup di belakang kami. Dengan tidak sabar, Elara menyentak tanganku hingga genggaman terlepas.

Kuhentikan langkah, berbalik untu menatap dia yang menatapku dengan kilat marah.

"Kamu tahu kesalahanmu, Elara?" tanyaku tajam dengan tangan terlipat di dada.

Elara tidak menjawab. Hanya saja dadanya terlihat turun naik karena amarah yang sepertinya menggebu-gebu. Matanya menatapku dengan kilat yang sama denganku.

"Tidak menyiapkan pakaianku, dan sekarang lalai makan siang bersamaku. Heran. Mengapa kamu tidak bisa menurut sekali saja?" Aku benar-benar kesal.

Elara masih menantangku. "Saya meminta kebebasan!" serunya.

Aku mencibir. Tawaku nyaris lepas. "Bagaimana dengan lima ratus jutanya, Elara?"

"Akan kuganti!"

"Semua? Bagaimana?" Dia bercanda.

"Kucicil!"

Aku benar-benar tertawa sekarang.

"Perawanmu bahkan tidak sampai seharga lima ratus juta, Bodoh!" Tawaku berhenti, menarik lengannya sehingga tubuh itu mendekat.

Elara terlihat sok tangguh seperti biasa. Matanya tidak berkedip menatapku. "Seharusnya lunas dengan perawanku, Pak Rigel. Mahkotaku lebih tinggi dari lima ratus juta. Anda yang berutang!"

Aku terpana. Dia mulai lagi. Dengan kasar kuraih dagunya, mengangkatnya sehingga wajah itu mendongak lebih tinggi.

"Kamu terluka? Harga dirimu terluka?" tanyaku penuh penekanan sembari mendekatkan wajah.

Elara terlihat menahan napas. Matanya mengerjap ketika wajahku semakin dekat dan mulai mengendus pucuk kepalanya. Bermain-main dengan napasku di pipi dan telinganya. Ketika kutarik wajah, kulihat mata itu mengatup erat, berkedut-kedut entah karena takut atau menahan diri agar tidak meledak.

Sejenak aku teringat bagaimana kami menghabiskan pagi ini. Dia yang marah, meronta, dan mencaci maki. Lalu kulit lembut dan basah kepunyaannya yang menggoda. Aku ingat bagaimana bibir dan lidahku menyapu setiap jengkalnya. Wanginya. Rasa putus asanya.

Aku ikut, Ma!

Selenting bayangan berkelebat di benak. Membuatku otomatis menutup mata karena terkejut. Serta merta tanganku yang mengangkat dagunya, berubah menjadi cengkeraman.

"Argh!" Desis kesakitan Elara membuatku kembali membuka mata. Dia masih memejam dengan ringisan yang tertinggal di sudut bibir dan mata.

"Apa setelah ini akan ada kekerasan juga, Pak?" tanyanya pelan dengan gentar.

Aku mengamati wajahnya. Memindai jengkal demi jengkal.

"Apa yang utama dalam hidup, Elara?" tanyaku.

"Kesetiaan, ketulusan." Dia menjawab bahkan tanpa berpikir. "Cinta," tambahnya.

Seakan ada yang meremas jantungku. Sudah lama aku tidak merasakan semua yang diucapkannya. Kesetiaan, ketulusan ... cinta.

Yang benar saja? Aku sudah mengubur tiga hal itu sejak lama. Jika ternyata aku mendengarnya lagi dari mulut Elara sekarang ini .... Ah! Aku butuh diyakinkan.

Wajahku maju, rapat pada wajahnya. Mengecup sekilas dagu yang memerah karena kucengkeram, sebelum menarik tanganku dari sana. Kemudian aku berbalik menatap kaca transparan besar di belakang meja. Aku bisa melihat jam di gedung seberang. Detiknya yang berputar perlahan.

Satu ...
Dua ...
Tiga ....

Waktu sudah banyak berlalu, Rigel. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kenangan menyakitkan?

"Makan, lalu pergilah. Tidak perlu menyiapkan makan malam. Hari ini aku tidak akan pulang, terserah denganmu," ujarku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.

***

Musik yang mengentak-entak membuat pening di kepalaku semakin menjad-jadi. Di genggamanku, sloki vodka--yang entah sudah keberapa--bergerak-gerak tidak stabil.

"Hei!" Aku memanggil si bartender yang terlihat sedang mencampur-campur minuman di hadapanku. Wajahnya terlihat lucu, berlekuk-lekuk tidak karuan. Matanya terlihat besar dan wajah bagian bawahnya terlihat mengecil. Tapi ketika kugelengkan kepala, wajah aneh itu jadi terlihat normal.

"Hei!" teriakku karena tidak digubris.

"Ya, Pak Rigel? Vodka lagi?" tanyanya setengah berteriak sambil membawa sebuah botol ke gelas kecilku.

Aku menggeleng, menarik sloki menjauh. "Masih penuh, Tolol!" sergahku.

Bisa kulihat pantulan tidak senang di wajahnya. Membuatku merogoh saku untuk mengambil dompet dan melempar lembaran seratus ribuan ke arahnya. Wajah itu masih mengerut, jadi kulemparkan sekali lagi, lalu sekali lagi hingga wajahnya merekah.

"Sekarang kecilkan musiknya!" perintahku karena musiknya masih juga membuat telingaku berdengung. Tanganku yang memegang sloki bergerak naik, mencoba merapatkan minuman sialan itu di bibirku. Tapi seseorang menahan tanganku.

"Anda sudah cukup mabuk, Pak Rigel. Biar aku antar pulang." Perempuan. Dari suaranya aku tahu dia perempuan. Aku menoleh, dan menemukan sosok Elara di sana menatapku dengan cemas. Dia berpakaian terbuka dan seksi. Potongan baju depannya turun sampai-sampai aku bisa melihat belahan dadanya. Aku mengamati lagi, mengerutkan kening, dan tersenyum ketika melihat gaun merah menyala itu hanya menutup tepat bawah bokongnya.

"You're such a sexy girl, Elara ...." Dan tanganku bergerak, meremas bokong itu dengan takjub.

Lalu semua berdengung. Aku hilang kendali dan ambruk di dadanya.

***

Aku bisa mendengar erangan nikmat di bawah tubuhku. Mendesah, lalu mengerang. Berpacu, mencoba mengimbangi setiap kecupan dan gerakanku yang membabi buta. Kepalaku sakit, tapi hasratku benar-benar butuh dipuaskan.

Kukecupi dengan rakus wajah yang terlihat kenikmatan. Turun ke lehernya, lalu ke dadanya. Dia terengah, Elara terengah. Tanganku bergerak meraih bokongnya, meremasnya. Sementara lidahku bermain liar di atas dua gundukan yang menyenangkan.

Aku kesetanan. Kami kesetanan. Aku tidak pernah tahu kalau Elara bisa mengimbangiku seperti ini.

Dia begitu liar ketika memaksaku untuk berbaring, duduk dengan tubuh polosnya di atas kotak-kotak perutku. Lalu seakan berganti peran. Diciuminya wajahku, turun ke leher, ke dada, ke perutku.

"Elaraaa ...," desahku meracau. Kepalaku berdenyut masih larut dalam mabukku. Rasanya nikmat. Elara ... nikmat.

Serasa ada yang mendesak, membuat napasku lebih terpacu. Kutarik rambutnya karena desakan yang semakin terasa nikmat. Dan ketika kurasa aku akan benar-benar tumpah ... aku berteriak lantang memanggil namanya demi menuntut pelepasan.

"Arghh! Elaraaaa!"

"Ya, Pak?!"

Kudengar sahutan dan suara pintu yang dibuka dengan tergesa.

Otomatis mataku membuka dengan segera, menangkap bayangan Elara yang kelewat jelas berdiri di ambang pintu. Mulutnya mengaga, matanya berkedip-kedip tidak percaya. Peningku mendadak lenyap. Berganti dengan kepanikan yang mendadak.

Elara di sana? Lalu yang bersamaku?

Aku mengangkat kepala, merunduk dan menemukan perempuan tak dikenal, yang mulutnya basah sedang merintih-rintih kenikmatan.

Sialan!

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro