Distracted

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah kenapa tadi Rigel tiba-tiba mencengkeram daguku. Tapi akhirnya kembali menjadi sentuhan biasa saat aku mengerang kesakitan.

Dia diam. Matanya menjelajahi wajahku dengan serius. Lalu sebuah pertanyaan lolos darinya.

"Apa yang utama dalam hidup, Elara?"

"Kesetiaan, ketulusan." Aku menjawab bahkan tanpa berpikir. "Cinta," tambahku.

Rigel mematung. Tatapannya berubah menjadi lemah. Kali ini dia berbeda. Dia terlihat tidak setangguh biasanya. Aura kesombongannya menguap sejenak.

Kudengar Rigel mengembuskan napas pelan. Lalu wajahnya maju dan mengecup daguku lembut. Seakan itu adalah tanda permintaan maaf. Tubuhnya kemudian berbalik, memandang ke luar dinding kaca yang menampakkan gedung seberang dengan jamnya yang besar.

Rasanya dia tengah memikirkan sesuatu. Pikirannya mungkin sedang menerawang entah ke mana. Mungkinkah ada hubungannya dengan tiga hal yang kusebutkan tadi? Hingga sikap Rigel tiba-tiba berubah.

Dan aku semakin yakin, bahwa ada hal yang Rigel rasakan atau bahkan pendam saat dia berkata, "Makan, lalu pergilah. Tidak perlu menyiapkan makan malam ini. Aku tidak akan pulang hari ini, terserah denganmu."

Itu bukan Rigel yang selalu memerintahku belakangan ini. Mendengarnya bicara begitu, aku seakan menemukan sisi lain dari Rigel. Ternyata ... dia tidak selamanya bersikap pengatur.

Rigel Devara. Entah kenapa sedari siang aku terus saja memikirkannya. Aku merasa ada yang salah dengan dia hari ini.

Aku mendesah pelan, lalu kembali menatap Vivian yang kini sedang duduk di seberangku. Sepulang kerja, kami memang janjian untuk bertemu di kafe. Dan perempuan berambut seleher di depanku sedang mengoceh tentang persiapan pernikahannya. Tentang kebayanya, cincin, high heels, make-up, serta tak ketinggalan dengan rasa gugupnya.

Bibirku tertarik ke belakang. Sesaat menghayal karena kata-kata Vivian.

Menikah. Akankah aku mengalami itu? Menjadi nyonya di rumah laki-laki yang meminangku. Lalu berlarian demi mengejar makhluk mungil yang tengah menolak untuk dimandikan.

Ah, Elara. Itu hanya mimpimu. Kekasih saja tak punya, lalu mau menikah dengan siapa?

"Oh, iya, hari Minggu ini lo ikut gue ke tukang jahit, ya. Bikin kebaya sama dress. Kan lo nanti bakal jadi pengiring gue." Vivian berkata dengan wajah semringah.

"Okelah." Kuangkat cangkir, kemudian menyesap cappucino hangat. "Ah, lo udah mau nikah, ya. Tapi gue masih gini-gini aja. Padahal umur udah seperempat abad," jawabku, lalu meletakkan lagi cangkir tadi ke meja.

Vivian tertawa.

"Emang omongan gue lucu?" tanyaku kesal.

"Makanya, lo cari pacar. Abis itu nikah!" Lagi, Vivian tertawa. "Nathan cakep, lho, El," katanya dengan senyum terkulum.

Refleks aku mendelik. Kenapa nama laki-laki itu disebut oleh Vivian?

"Hubungannya sama Nathan apaan, Vivian?"

"Gue bisa lihat kalau dia suka sama lo."

"Buktinya apa?"

"Dari hal yang paling kecil aja, deh. Dia kalau ngomong sama lo pasti pakai 'aku-kamu', 'kan? Tapi kalau sama yang lain, 'lo-gue'. Itu bukti kalau dia nganggep lo itu beda sama yang lain." Aku terdiam, mengabaikannya yang sedang cekikikan.

Otakku mencerna perkataan Vivian barusan. Benar, Nathan tak pernah memanggilku seperti dengan teman-temannya yang lain. Tapi selama kami berteman, aku tak pernah berpikir kritis tentang hal itu. Kukira tak ada maksud, tapi bagaimana kalau memang tak seperti yang ada di kepalaku?

Nathan menyukaiku, mungkinkah?

🌺🌺🌺

Menghabiskan waktu bersama Vivian rasanya seperti menang undian lotre. Bagaimana tidak? Aku beberapa hari kemarin terus saja berada dalam tekanan Rigel, membuatku kesal setengah mati! Tapi si sombong itu kali ini menyenangkan hatiku, karena sama sekali tak menggangu dengan chat-nya yang penuh perintah. Berita baiknya, dia bilang tidak akan pulang malam ini. Well, aku akan tidur nyenyak nanti.

Tiba di depan pintu apartemen, aku menekan password. Lalu segera masuk. Ruang tamu gelap, tapi kudengar suara-suara aneh dari kamar Rigel.

Desahan dan erangan? Aku pasti salah dengar. Tapi memang ada suara dari kamar itu.

Dahiku mengernyit. Rasa was-was melanda. Bagaimana kalau itu maling? Bagaimana kalau itu orang yang akan bertindak tak senonoh padaku?

Aku menggeleng berulang kali. Tadi itu pikiran yang konyol. Hanya aku dan Rigel yang tahu password apartemen ini. Dan key card yang Rigel bawa pasti tak akan diberikan pada orang lain. Jadi, itu siapa yang di kamar Rigel?

Dadaku berdebar. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan mengendap-endap.

"Arghh! Elaraaaa!" Rigel berteriak memanggil namaku!

Langsung saja aku berlari dan membuka pintu kamarnya sambil menjawab.

"Ya, Pak?!"

Tapi pemandangan yang aku dapati sungguh di luar bayangan. Mulutku terbuka, bahkan harus mengerjap cepat untuk memastikan ini memang nyata. Rigel sedang bersama perempuan lain dan aku malah datang ke sini? Ya Tuhan!

Rigel tampak terkejut, dia segera turun dari ranjang dengan keadaan full naked. Sementara perempuan yang tadi ada di bawahnya terlihat kebingungan. Tunggu, tunggu, apa yang aku lakukan? Aku masih di sini ... melihat Rigel tanpa sehelai benang! Argh!

"Aduh, Pak, maaf ganggu. Saya pergi dulu!"

Tanpa pikir panjang, aku segera menutup pintu kamar Rigel dan menuju kamar sendiri.

Aku meletakkan tas di nakas, kemudian menenggelamkan wajah di bantal. Mata terpejam, lalu adegan tadi kembali terbayang. Ah, Rigel menodai mataku! Tapi kenapa dadaku berdebar kencang begini? Pasti hanya karena malu sudah mengganggu kemesraan mereka.

Elara bodoh! Kenapa harus menerobos kamar Rigel begitu saja? Tapi ... aku memang tak salah ingat. Rigel mengerang dan menyebut namaku. Dia bercinta dengan perempuan lain dan masih mengingatku?

Ugh! Mana mungkin begitu.

Terdengar pintu berdebum di luar. Kuangkat wajah dan memandang pintu kamar sendiri yang tertutup. Mereka sudah selesai? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya?

Hening. Aku menghela napas panjang. Sepertinya Rigel sudah tidur. Baiklah, aku akan mandi dulu, baru menjelajah dunia kapuk.

Kuambil handuk serta gaun malam. Memutar kenop pintu dan hendak berjalan ke kamar mandi. Tapi melihat Rigel yang duduk bersandar di sofa dan memandang tepat ke arahku, membuatku jadi bingung harus bagaimana. Dia kali ini sudah berpakaian sempurna. Perut kotak-kotaknya tertutup. Sesuatu yang di bawah pusarnya juga sudah tidak terlihat.

Tunggu ... pikiranmu mulai liar, El!

Aku berdebar, lagi! Apa dia akan memarahiku karena tadi menonton live show-nya? Itu tidak sepenuhnya salahku. Dia yang lebih dulu menyebut nama Elara.

"Kamu mau mandi, El?" tanyanya setelah ada jeda di antara kami.

Aku masih berdiri di depan pintu. Merasa kikuk untuk berjalan atau membalas pertanyaannya. Tapi dia tak boleh tahu canggung dan gugup yang tengah aku rasakan.

"Iya, Pak. Bapak belum mau tidur?"

"Belum ngantuk." Dia menjawab, lalu memijit pelipisnya. "Sudah makan?"

"Sudah, Pak."

Kembali hening.

Sumpah, aku benar-benar merasa bingung! Tak tahu bagaimana agar suasana tidak kaku seperti ini lagi. Rigel pun tampak biasa-biasa saja, seakan dia tidak mempertontonkan sesuatu yang menjijikkan padaku tadi.

"Pacar Bapak tidak menginap di sini?"

Elaraaa! Pertanyaan bodoh apa yang baru saja kamu lontarkan? Ckck!

Kugigit bibir bawah kuat-kuat saat tatapan Rigel semakin tajam. Gaun tidur dan handuk di tangan, kuremas kuat. Sebentar lagi si sombong ini pasti akan murka.

"Aku tidak punya pacar," jawabnya datar. Kemudian mengalihkan pandangan ke TV yang menyala.

Benar, dia mana mungkin punya pacar. Yang ada, perempuan-perempuan itu hanya dijadikan koleksi dan silih berganti dinikmati.

Aku melanjutkan langkah. Hati terasa kesal saat kembali mengingat Rigel yang mencumbu perempuan sesukanya seperti tadi. Tapi, kenapa juga aku harus kesal? Bukankah yang terpenting dia tidak melakukan itu padaku?

🌺🌺🌺

"Selamat siang. Dengan Elara Calista dari Devara Developer. Ada yang bisa saya bantu?" Aku menjawab panggilan dari telepon kantor yang berbunyi.

"...."

"Tentu saja bisa, Pak. Lahan yang tersisa di rumah Bapak masih bisa jika dibangun kolam renang. Untuk prosesnya, tentu saja lebih mudah dan cepat dibandingkan saat Bapak membeli rumah pada kami."

"...."

Aku mulai menjawab bagaimana proses saat pembangunan kolam sudah dimulai. Berapa lama waktu yang diperlukan. Desain yang seperti apa dan pertanyaan lainnya.

"..."

"Baik, kami menunggu kabar selanjutnya dari Anda, Pak.

"...."

"Terima kasih sudah menghubungi Devara Developer. Saya Elara Calista, senang bisa membantu Anda. Selamat siang."

Gagang telepon aku kembalikan ke tempat semula. Menghela napas sejenak sebelum berdiri. Ternyata tinggal aku seorang di sini. Semua sudah pergi ke kantin sepertinya.

Aku merapikan tas sambil berpikir tentang pagi ini yang terasa berbeda. Rigel tak banyak bicara. Sekali saja dia memanggilku untuk menyiapkan pakaiannya. Tidak ada marah-marah. Tidak ada nada tinggi. Apakah dia sedang sakit?

Ponselku berbunyi, segera kuperiksa.

'Jangan lupa makan siang di ruanganku.'

Ah, dia. Kali ini tak ada tanda seru di pesannya.

Kutimbang-timbang, memang tak akan bisa menolak dirinya. Lagipula, jika aku sering membuatnya marah, pekerjaanku bisa terancam. Setidaknya, keberadaanku di sini harus aman sampai masa kontrak dengan Rigel habis.

'Saya ingat itu, Pak Rigel.'

Bergegas aku berjalan setelah membalas pesannya.

Aku hendak menaiki lift,tapi merasa enggan saat melihat sekitar enam karyawan perempuan sedang berdiri untuk menunggu lift terbuka. Cukup, aku tidak mau lagi bertemu dengan mereka. Karena tadi pagi mereka menyerbuku dengan banyak pertanyaan.

"Lo ada hubungan sama Pak Rigel?"
"Udah berapa lama kalian jalan?"
"Kemarin lo makan siang bareng dia di ruangannya?"

Benar-benar kepo!

Aku berdecak. Lantas mengambil langkah ke sebelah kiri. Naik tangga saja lebih baik, ketimbang dijejali pertanyaan tak penting begitu. Ruangan Rigel juga hanya dua lantai dari sini. Bukan masalah.

Sampai di depan ruangan Rigel, kuketuk pintu sembari memanggil namanya.

"Masuk!"

Perlahan kubuka dan menjejakkan kaki di dalam ruangan Rigel. Dia masih ada di balik meja. Sedang fokus pada laptop-nya. Hanya sekilas saja dia menatapku.

"Duduk." Kali ini perintahnya datar, tanpa suara tinggi. "Kenapa baru datang?" tanyanya tanpa melihatku.

"Itu, Pak, tadi saya agak lama karena naik tangga." Aku menjawab setelah duduk di sofa.

"Kenapa naik tangga?"

Dahiku mengerut. Sejak kapan Rigel memiliki rasa ingin tahu atas yang aku alami?

"Malas ketemu anak-anak lain di lift, Pak. Malas ditanyain tentang hubungan kita. Malas dengar gosip," jawabku dengan wajah tertunduk.

Terdengar derap langkah mendekat. Tiba-tiba saja jantungku berdetak lebih cepat. Pelan kuangkat wajah dan ternyata Rigel tengah menatapku. Dia duduk dengan jarak kira-kira lima jengkal dariku. Ekspresinya biasa saja.

Entah apa yang ada di otakku, tapi saat melihatnya, kejadian semalam kembali terbayang. Kekar tubuhnya. Otot di lengannya. Roti sobek di perutnya. Dan .... Tapi khayalan itu rusak ketika wajah perempuan yang bersamanya ikut terlintas di benak. Perempuan itu mendesah karena Rigel. Aku tak suka mengingat itu.

Argh! Pikiranku kacau! Aku mengalihkan pandangan dari Rigel, serta menggeleng berulang kali.

"Makan." Tangannya yang memegang sebuah kotak terulur padaku. "Lain kali, laporkan saja padaku jika ada yang bergosip tentang kamu. "

Kuambil kotak itu dengan perasaan dongkol. Kalau saja dia kemarin tidak berulah di kantin, pasti tak akan begini.

Kami akhirnya makan. Tidak ada percakapan di sela-sela kegiatan yang tengah berlangsung ini, hingga ponselku berdering. Kuletakkan sendok dan segera mengeluarkan benda pipih itu dari tas. Nathan.

Ada rasa was-was menjawab panggilan, karena Rigel sedang menyipitkan matanya ke arahku. Tatapan tajam yang serupa pertanyaan, 'Siapa yang menelepon, hingga tak langsung kamu angkat?'

Tapi aku punya hak untuk berteman dengan siapa saja. Jadi, kutekan tanda hijau di layar. Lalu menempelkan ponsel di telinga kanan.

"Hai, Nath. Kabar aku baik. Kerjaan juga enggak ada masalah. Ah, itu. Next time kita rencanain lunch bareng, ya."

Sekilas kulirik Rigel yang sedang menggenggam kuat sendok. Itu jelas, karena buku-buku tangannya sampai kelihatan. Rahangnya mengeras dengan ekspresi wajah lebih serius dibanding tadi.

Dia marah?

"...."

"Oh, kamu datang juga, ya. Aku? Datang, dong. Kan jadi pengiring pengantin."

"...."

"Okelah. See you, Nath."

Panggilan terputus. Baru saja meletakkan ponsel, Rigel memegang tanganku.

"Pak?"

"Nathan dan kamu akan pergi ke mana?" tanyanya penuh penekanan.

Dari nada serta ekspresinya, aku bisa merasakan bahwa dia sedang menekan amarah. Sepertinya dia mulai belajar untuk tidak meledak-ledak saat emosi.

"Mau ke pernikahan teman saya, Pak, namanya Vivian."

"Kapan?"

Rigel Devara benar-benar berubah menjadi orang yang ingin tahu sekarang.

"Akhir bulan depan, Pak."

"Aku ikut," jawabnya seraya melepaskan tanganku. Lalu kembali melanjutkan makan.

'Aku ikut.' Tidak mungkin maksudnya seperti yang aku pikirkan.

"Maksudnya, Pak?"

Pandangannya beralih padaku. Kutatap dia dengan penuh rasa penasaran.

"Aku akan pergi ke pernikahan temanmu, bersama kamu. Kita pergi berdua. Masih belum mengerti juga?"

Aku mengerjap-ngerjap cepat. Aku barusan tidak salah dengar, 'kan? Dia mau pergi bersamaku. Menemaniku.

"Karena Nathan pergi ke sana jadi Bapak tidak rela saya bertemu dia, 'kan?" tuduhku.

Rigel diam. Tangannya kembali sibuk memasukkan makanan ke mulut Hatiku dibuat kesal lagi. Sesukanya saja mengatakan ingin begini dan begitu.

Cepat-cepat aku menghabiskan makanan. Aku ingin keluar dari ruangan Rigel sekilat mungkin.

"Sudah habis makanannya, Pak. Terima kasih. Saya pamit dulu."

Dia yang sedang membersihkan mulut dengan tisu, tetap juga tak memberi jawaban. Well, aku akan pergi saja.

Aku meraih tas, serta bangkit. Kaki hampir mencapai pintu, tapi tiba-tiba suara Rigel menghentikanku.

"Aku akan tetap pergi bersamamu, walaupun Nathan tidak datang."

TBC

Next verlitaisme

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro