Threat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rigel's PoV written by verlitaisme

Konsentrasi makanku terganggu ketika ponsel Elara berdering. Kulihat dia meletakkan sendok dan meraih ponsel dari dalam tasnya. Mataku menyipit ketika Elara menatap ponselnya terlalu lama, dengan pandangan ragu dia menatapku sekilas.

Sial! Dia membuatku penasaran! Kalau yang meneleponnya bukan siapa-siapa, seharusnya dia tidak perlu setegang itu.

Atau jangan-jangan ....

"Hai, Nath."

'Brengsek! Makhluk itu lagi!'

"Kabar aku baik. Kerjaan juga enggak ada masalah. Ah, itu. Next time kita rencanain lunch bareng, ya."

Tanpa sadar genggaman di sendok mengeras. Rahangku juga sama kerasnya.

'Ini benar-benar keterlaluan, Elara ....'

"Oh, kamu datang juga, ya. Aku? Datang, dong. Kan jadi pengiring pengantin." Elara melirikku sekilas.

Dengan kesal kuletakkan sendok ke kotak makan. Selera makanku sudah benar-benar hilang.

"Okelah. See you, Nath."

See you? See you? Siapa yang memberi izin untuk mereka bertemu?  Kucengkeram tangannya dengan pandangan menuduh.

"Pak?" Elara terlihat terkejut.

"Nathan dan kamu akan pergi ke mana?" tanyaku penuh penekanan. Jangan emosi. Aku terlalu lelah untuk selalu marah dengan alasan yang sama. Nathan ... selalu Nathan.

"Mau ke pernikahan teman saya, Pak, namanya Vivian."

"Kapan?"

"Akhir bulan depan, Pak."

"Aku ikut," jawabku seraya melepaskan tangannya. Kuambil kembali kotak makan di meja, mulai melahapnya kembali dengan perasaan bergemuruh.

Aku harus ikut. Wajib ikut. Sudah berkali-kali kukatakan batasanku dengan Nathan. Dan berkali-kali juga dilanggar.

"Maksudnya, Pak?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah Elara yang terlihat kebingungan. Memangnya perkataanku barusan tidak jelas? Butuh penegasan lagi?

"Aku akan pergi ke pernikahan temanmu, bersama kamu. Kita pergi berdua. Masih belum mengerti juga?"

Matanya mengerjap, seakan tidak percaya dengan apa yang didengar.

"Karena Nathan pergi ke sana jadi Bapak tidak rela saya bertemu dia, 'kan?" Elara menebak.

Aku diam saja, melanjutkan makan yang tertunda dengan khusuk. Alasan terbesarku untuk ikut memang karena Nathan ada di sana. Namun sesungguhnya, selama dia masih berada di dalam kekuasaanku, terikat kontrak lima ratus juta denganku, aku tidak perlu mengutarakan alasan apa pun untuk semua hal. Termasuk ikut dengannya. Ke mana pun!

Kulirik Elara sekilas. Dia terlihat makan dengan kecepatan lebih dari sebelumnya. Dan ketika akhirnya aku membersihkan mulut dengan tisu, diletakkannya kotak makan di meja.

"Sudah habis makanannya, Pak. Terima kasih. Saya pamit dulu."

Elara meraih tasnya dan beranjak pergi. Kutatap punggungnya yang nyaris mencapai pintu.

"Aku akan tetap pergi bersamamu," aku berdeham menyisihkan sisa-sisa makanan di tenggorokan, "walaupun Nathan tidak datang."

Langkah Elara sontak terhenti.

Aku sudah memutuskan. Meski Nathan tidak datang sekali pun di acara pernikahan itu, aku akan tetap menemaninya. Kenapa? Karena aku yang berkuasa atas dirinya. Setidaknya, sampai kontrak kami berakhir nanti.

💕💕💕💕💕

Aku menatap Elara yang berdiri dengan kedua tangan terangkat melebar. Seorang perempuan muda terlihat sedang melingkarkan meteran ke bagian dadanya, lalu turun ke pinggangnya, kemudian bokongnya.

'Dadanya ... pinggangnya ... lalu bokongnya.'

Aku meringis, mengulum senyum. Namun kemudian kutepis karena pada akhir cerita, bukan dia yang terlihat. Sial!

"Silakan diminum, Pak." Aku tersentak, melihat seorang perempuan setengah tua yang sedang meletakkan cangkir teh di meja kotak di sebelah sofa yang kududuki. Perempuan itu mengangguk tersenyum, sambil menunjuk cangkir dengan ibu jari. Kukerutkan kening, lalu mengangguk seperlunya, kemudian dia pergi.

"Nanti saya bikin model sabrina saja ya, di bagian dadanya. Kalau dibayangan saya, ini bakalan manis banget kalau Mbak yang pakai."

Aku kembali menoleh ke arah Elara. Perempuan muda yang tadi sedang mengukurnya, sekarang terlihat sedang sibuk dengan kertas dan pensil. Elara duduk di depannya, menyimak entah apa yang dicoret-coret si perempuan di atas kertas.

"Dadanya jangan terlalu rendah." Elara terlihat menunjuk ke arah kertas.

"Ya, jangan terlalu rendah. Dadanya enggak semontok itu." Aku menimpali dengan asal. Elara serta merta melirik ke arahku dengan kesal. Kuangkat kedua alis menantang, mengambil cangkir dan menyesapnya pelan.

Elara mendengkus, lalu kembali beralih ke arah si perempuan. "Jangan dengarkan dia," katanya.

Aku terkekeh pelan. Padahal aku tidak salah berucap, dadanya memang tidak sebusung itu, 'kan? Pas. Cukup. Kayaknya begitu, sih. Belum sempat sentuh soalnya. Lagi, aku mengikik dalam hati.

"Pacarnya ya, Mbak?"

Kudengar perempuan itu bertanya setengah berbisik, yang dijawab Elara dengan, "Bukan!"

"Oh ... suaminya ...."

"Bukan!" Kali ini aku yang menyahut. Bersamaan mereka menatap ke arahku. Elara dengan pandangan berkilat marah, dan si perempuan penjahit dengan wajah penuh tanda tanya. "Saya bos-nya," lanjutku sambil meletakkan cangkir ke atas meja.

Kulihat wajah Elara memerah. Entah karena marah atau malu. Cepat-cepat dialihkannya lagi pandangan ke atas kertas, sementara si penjahit terlihat menganga.

"Kenapa nganga begitu?" tanyaku tidak senang. "Aku memang bos-nya, kamu tidak salah dengar."

"Mbak, bisa kita cepat selesaikan masalah desainnya?" Elara berkata bergetar.

Aku mendengkus. Drama.

💕💕💕💕💕

Aku melirik Elara yang sejak tadi bungkam di kursi penumpang di sebelahku. Pandangannya dilempar jauh ke luar jendela. Dia sama sekali tidak berbicara sejak kami keluar dari rumah jahit tadi.

"Seharusnya tadi Bapak tidak usah ikut dengan saya. Ini hari minggu, seharusnya Bapak istirahat saja di rumah." Elara berkata pelan tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.

Aku mengetuk-ngetuk kemudi, lalu mengerem ketika lampu lalu lintas beranjak merah.

"Di perjanjian tidak disebutkan masalah hari libur. Sebenarnya bisa saja aku tidak mengizinkanmu pergi keluar rumah. Tapi karena suntuk di apartemen, kuputuskan untuk ikut. Sekalian memastikan kamu enggak kabur atau berbuat macam-macam."

Kulirik Elara. Dia terlihat sedang memejamkan mata sementara kedua telapak tangannya terkepal erat di pangkuan.

"Ada yang salah?" tanyaku asal. Melihat kepalannya yang semakin erat, aku yakin kalau kesalnya sedang bertambah. Rasanya tawaku mau pecah, tapi kutahan. Elara terlihat lucu dan menggemaskan bila sedang marah begini.

Eh, maaf ... tadi aku bilang apa? Menggemaskan? 'Gila lo, El!' Kumaki diri sendiri.

"Dari awal tidak ada yang benar di antara kita, Pak. Jadi semua pasti salah."

Aku terhenyak mendengar ucapan Elara.

"Seharusnya sejak awal saya tidak menceburkan diri ke neraka yang saya buat sendiri. Cara yang salah meski untuk sebuah nyawa, memang seharusnya tidak dibenarkan. Iya, kan?"

Kulihat matanya membuka, lalu menoleh ke arahku. Diam-diam kutahan napas, mata itu menatapku tanpa emosi. Bukan pandangan yang biasa kulihat dari seorang Elara.

"Bapak benar. Bapak adalah bos saya. Bapak berkuasa atas saya. Bapak bebas mengatakan pada siapa saja kalau Bapak adalah bos saya, meski seharusnya ...."

Ucapan selanjutnya tidak tersengar karena klakson dari mobil-mobil di belakang mengalihkan perhatianku. Kulihat lampu hijau sudah menyala.

"Kita lanjutkan nanti, Elara," kataku sambil menekan gas. Mobilku kembali melaju, membelah jalanan Jakarta sore ini. Hening itu datang lagi. Elara yang diam dan aku yang mencoba mencerna tiap katanya barusan.

'Aku bosnya, apa yang salah?'

💕💕💕💕💕

Aku keluar dari lift, Elara mengekoriku dari belakang. Sama seperti tadi, aksi diam seribu bahasanya masih berlanjut. Beberapa langkah mencapai pintu unit apartemen, langkahku langsung terhenti.

Seorang perempuan dengan pakaian ketat dan rambut cokelat panjang yang ikal, tampak berdiri di depan pintu unit apartemen.

Kukerutkan kening, mencoba memindai perempuan yang terlihat familiar. Namun ingatanku gagal untuk mengingat.

"Apa kamu pernah memberitahukan lokasi apartemenku ke orang lain, Elara?" tanyaku pada Elara yang berdiri di sebelahku. Aku khawarir kalau perempuan itu adalah perempuan yang lagi-lagi dikirim oleh Mama.

"Tidak, Pak." Elara terdengar yakin. "Bapak bilang, tidak boleh ada siapa pun yang tahu, 'kan?"

Aku menoleh ke arahnya yang terlihat sedang mengerutkan kening. Bisa jadi dia juga sedang berusaha mengingat.

"Yang tahu apartemen ini ya cuma Bapak dan saya--" Elara tiba-tiba membelalakkan mata. Dia seperti seorang anak kecil yang baru saja teringat akan mainan kesayangannya. "Ada satu lagi, Pak!" serunya berbisik sambil menahan senyum. Dia memandangku iba.

"Siapa?" desakku, karena aku tidak bisa mengingat siapa pun. Lagi pula, pandangan apa itu? Apa yang perlu diibakan?

"Arrgghh ....!" Elara memejamkan mata sembari mengerang. "Elaraaaa ...!"

Aku membatu. Sialan! Sialan! Sialan! Perempuan ini sedang mengulang kejadian memalukan tempo harikah? Aku sudah berusaha melupakan tapi si kurus ini malah dengan sengaja mengingat kejadian itu lagi.

Elara membuka mata, lalu tersenyum lebar. Aku menahan gemertak gigi di balik mulut. Malu dan marah sekaligus.

"Ingat 'kan, Pak?" tanyanya sumringah. Kubelalakkan mata penuh peringatan. Elara mencibir, kemudian kembali menatap si perempuan yang saat ini terlihat sedang mondar-mandir dengan gelisah.

Apa benar dia perempuan yang sama dengan waktu itu? Kalau pun iya, kenapa dia harus datang lagi?

"Kenapa dia datang lagi ya, Pak?"

Aku tidak menjawab, turut melempar pandangan ke perempuan berbaju ketat lagi. 'Pertanyaan kita sama, Elara.'

"Apa dia hamil?"

Kalau saja Elara bukan seorang perempuan, rasanya bogeman mentah sudah meluncur ke kepalanya sejak tadi. Sayang, aku terlalu malu kalau harus jadi lelaki yang ditahan karena melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Jadi, Elara ... kamu beruntung.

Aku mendengkus. Melirik ke arah Elara yang ternyata juga sedang melirik ke arahku dengan geli.

"Pak Rigel Devara?"

Lirikanku cepat beralih. Perempuan yang tadi mondar-mandir terlihat sudah berdiri tegak di sana dan menatap ke arah kami.

Kuhela napas. Bakal ada drama lagi, sepertinya.

💕💕💕💕💕

Aku bahkan tidak mempersilakannya duduk. Perempuan yang mengaku bernama Riana itu, hanya kuizinkan berdiri di ruang duduk. Sementara aku? Duduk.

Elara tidak bersama kami, dia mundur ke arah dapur. Tapi kujamin seratus persen, si kurus itu pasti berusaha mencuri dengar.

"Pekerjaan saya sedang sepi, Pak." Riana berucap. Dia berdiri dengan tidak tegak, cenderung meliuk-liuk mencoba menggoda.

Aku tidak tertarik. Tolonglah ... tidak perlu meliuk sok seksi begitu.

"Saya model, Pak. Kalau Bapak pernah melihat iklan pakaian dalam merk Soreks, saya adalah bintangnya!"

Dia sangat bersemangat, padahal aku tidak pernah mendengar merek Soreks. Pasti murah.

"Saya terlihat seksi mengenakan sayap putih yang besar ...." Dia merentangkan kedua tangannya lebar, dikepak-kepak seakan itu adalah sepasang sayap.

Dia pikir merek itu setara dengan Victoria Secret's yang terkenal itu? Model mereka juga dipakaikan sayap? Plagiat!

"Cukup! Kamu tidak seseksi itu!" Kukibaskan tangan, sehingga Riana menghentikan aksi kepak-kepaknya dengan segera.

Di kejauhan kudengar tawa tertahan. Si kurus itu lagi-lagi menertawaiku. Brengsek!

"Riana butuh bantuan Bapak, Pak ...." Dia melangkah mendekat, kemudian berlutut di depanku dengan wajah memelas. Aku bergidik karena mendengarnya mengubah panggilan dari 'saya' menjadi sebut nama.

Kemudian dengan gerakan manja, diletakkannya dagu di pangkuanku. "Kasih Riana kerjaan ya, Pak. Rahasia kita kemarin ... bakal Riana simpan rapat-rapat."

Refleks aku bangkit berdiri, membuat dagunya lepas dan tubuhnya terjengkal dengan tidak anggun.

'Dia mengancamku? Dia berani mengancamku?! Brengsek!'

Riana bangkit berdiri dengan wajah tertekuk. Dia menatapku tajam dan tidak senang, pandangan yang sama kuhujam ke arahnya.

"Anda tidak bisa mengancamku, Nona!" geramku.

Riana tidak menjawab, dia mengambil ponsel dari tas yang sejak tadi tercangklong di bahunya. Kemudian jarinya sibuk di atas layar. Tidak lama kemudian, ponsel itu telah menempel di telinga kanannya.

"Hai Pak Oka, apa kabar?" Dia terdengar menyapa. Keningku mengernyit, menatap curiga. Akhir-akhir ini aku selalu curiga dengan panggilan telepon. Sejak Elara berbincang dengan Nathan di telepon di hadapanku, aku selalu curiga dengan apa yang orang bicarakan di telepon.

Riana tersenyum lebar, dia mengedipkan sebelah matanya dengan menjijikkan ke arahku.

"Anda baik-baik saja, Pak?" Aku menoleh dan melihat Elara sudah berdiri di sebelahku, sementara matanya menatap lekat ke arah Riana.

"Ini Riana, Pak Oka." Riana benar-benar terdengar centil.

Namun, centilnya Riana tidak menarik untukku. Pertanyaan Elara yang menanyakan keadaanku, jauh lebih menarik. Dia perhatian juga. Tumben.

"Bapak masih kerja sebagai wartawan gosip di Star Media, 'kan?"

Mau tidak mau aku menoleh lagi ke arah Riana. Perempuan ini benar-benar kurang ajar. Jadi, dia menelepon wartawan gosip?

Riana mengerlingkan salah satu matanya lagi kemudian berbalik memunggungiku.

"Iya, Pak," dia kembali melanjutkan, "kenal dengan pengusaha muda sukses Rigel Devara? Aku punya berita ...."

"Brengsek!" makiku sambil merebut ponsel dari tangannya dan melemparnya ke arah dinding dengan kuat. Ponsel itu luruh, bagian-bagiannya terlepas berantakkan.

Napasku memburu. Model tidak laku ini mengancamku? Kulirik Elara, dia terlihat bergeming di tempatnya berdiri. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.

Riana berbalik, dia menatapku dengan senyum yang sok manis.

"Kamu butuh berapa?!" Aku benar-benar marah dan kesal.

Senyumnya melebar. Dengan gerakan manja yang dibuat slow motion, diselipkannya rambut ke belakang telinga.

"Lima ratus juta ...," diliriknya ponsel yang berkeping di lantai, "diluar sebelas juta, harga ponsel saya. Deal?" Lalu salah satu matanya kembali mengerling manja.

'Sialan!'

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro