Trapped

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rigel's written by verlitaisme

Aku berjalan mondar-mandir di kamar yang pintunya dikunci dari luar oleh si perempuan iblis. Mamaku. Sementara Elara terduduk di pinggiran ranjang dengan gelisah. Sesekali terlihat jemarinya saling memuntir.

"Aku tidak akan tidur di lantai," kataku akhirnya memecah keheningan. Acara mondar-mandir terus berlangsung, sesekali mendekati pintu, mencoba menarik kenopnya yang ternyata masih juga terkunci.

Sialan!

"Jadi saya yang di lantai?" Elara mengernyitkan kening.

Aku menghentikan langkah, kemudian menatap ke arah Elara. Kasihan juga kalau dia yang harus tidur di lantai. Bagaimanapun dia sudah membantuku memecahkan masalah dengan Riana tadi.

"Kalau begitu kamu boleh tidur di ranjang," kataku datar. Senyum lebar segera terlihat di wajahnya yang sempat memberengut tadi. "Bersamaku." Kutoreh senyum yang tidak kalah lebar di wajah, dan mengikik dalam hati ketika melihat senyum Elara yang memudar.

"Maksud Bapak?" Dia bangkit dan menatap ke arahku dengan tidak senang. "Dengar ya, Pak. Saya juga tidak mau terjebak di sini. Bukan mau saya. Ini salah Bapak yang tidak bisa kasih penjelasan ke Ibu-nya Bapak! Kok jadi saya yang harus berkorban?"

Sekarang keningku yang mengernyit tidak paham. "Berkorban apa? Kamu 'kan aku izinkan tidur di ranjang. Tidak perlu kedinginan di lantai. Ada selimutnya juga, bantalnya banyak dan empuk. Kamu itu sedang aku kasih kenyamanan. Kok bilangnya berkorban?"

Elara terdiam. Sementara tanganku kembali meraih kenop, mencoba menariknya lagi, tapi sia-sia. Kugedor pintu berkali-kali, tapi entah tidak dengar atau sudah tidur, tidak ada sahutan dari Mama sama sekali. Akhirnya tendangan dan teriakan keras yang tidak jelas, mengakhiri usaha yang sia-sia.

Dengan napas yang memburu karena kesal, aku berbalik. Terkejut ketika menemukan Elara yang entah sejak kapan sudah berjarak sangat dekat denganku. Kedua tangannya terlipat di dada sementara wajahnya mendongak. Kalau saja mau, bisa saja kudorong tubuhnya ke ranjang untuk kugarap habis-habisan. Namun gairahku sedang lenyap, berganti dengan rasa kesal yang memuncak.

"Kamu yakin, bukan kamu yang kasih tahu alamat apartemen ini?" tuduhku.

Elara menggeleng dengan mata menyipit. "Tidur seranjang dengan Anda itu termasuk dalam kategori pengorbanan, Pak. Tidak tertulis dalam kontrak kalau saya harus seranjang dengan Anda."

Tidak nyambung. Aku bertanya apa, perempuan ini malah menjawab apa.

"Enggak nyambung, El!" Aku menjadi tambah kesal. Kulangkahkan kaki ke arah ranjang, menyingkap selimut dan menyusup ke baliknya. "Terserah kamu mau tidur di mana!" Kupejamkan mata, berusaha untuk tidur.

Tidak ada pergerakan sama sekali. Aku juga sudah tidak peduli perempuan keras kepala itu mau tidur di mana. Yang saat ini sedang kupikirkan adalah Mama yang salah paham dengan hubunganku dan Elara. Mau kujelaskan tapi untuk apa? Toh selama ini dia juga tidak pernah ada untukku. Untuk ... Papa ....

Tiba-tiba saja ada sakit yang menyusup ke dalam dada, sampai-sampai kedua tangan mengepal erat di balik selimut. Kenangan itu lagi. Kehilangan itu lagi. Pengkhianatan itu lagi. Lagi dan lagi. Sial, Mama!

Ingatanku mendadak buyar ketika merasakan seseorang naik ke ranjang, kubuka mata dan menoleh. Elara terlihat sedang menyusun bantal-bantal di antara kami.

"Bapak enggak boleh melewati ini!" serunya sambil meletakkan bantal terakhir. Sebenarnya aku mau tertawa. Jangankan bantal, kalau aku mau main-main lagi dengannya ... berapa pun yang dia minta bakal kupenuhi, kulewati. Jadi aku hanya mendengkus, dan kembali memejamkan mata. Menghitung mundur mulai dari angka seribu, sampai akhirnya duniaku gelap.

💕💕💕

“Cindy ... Cindyyy!! Kembali, Sayang. Aku cinta kamu! Anak kita butuh kamu! Cindy!!"

Lelaki dewasa itu bicara ... tidak. Bukan. Dia tidak bicara. Namun berteriak, memohon-mohon dalam tidurnya. Sementara si bocah lelaki terduduk di sudut ranjang, memeluk kedua lututnya sendiri dengan tubuh gemetar. Air mata bergulir jatuh di pipi. Bisa jadi usianya masih terlalu muda, tapi dia paham rasa sakit. Sakit di hati yang Papa-nya rasakan, tidak jauh beda pastinya dengan sakit yang dia rasakan karena kehilangan.

Mereka berdua terluka karena seorang perempuan yang sama. Perempuan yang mereka cintai dengan cara yang berbeda.'

💕💕💕

'Bruk!'

Sontak aku terbangun ketika merasakan tubuh menghantam lantai. Dengan gesit bangkit lalu mendengkus ketika menyadari kalau kemungkinan besar aku terguling dari ranjang, dan terjatuh ke bawah.

Kulihat Elara masih tertidur di ranjang bagiannya. Menutupi wajahnya dengan selimut. Memangnya tidak sesak napas tidur begitu?

Tanganku mengusap pinggul dan lengan yang tadi terhantam lantai. Lalu berjalan memutar untuk mencapai sisi bagian Elara. Dengan sangat perlahan kutarik turun selimut yang menutupi wajah. Melipatnya turun sampai sebatas leher.

Elara tidur dengan senyum menghias wajah. Sedang bermimpi indahkah dia? Berbanding terbalik dengan mimpiku barusan pastinya. Kuhela napas, menyampirkan rambut yang turun di wajahnya ke belakang telinga, kemudian kembali ke sisi ranjang bagianku.

Niatku adalah merapikan bantal pembatas yang sudah tercerai berai, tapi bukannya dirapikan sampai selesai, malah dengan gemas kulempar semuanya ke lantai. Setelahnya aku berbaring menatap langit-langit. Sepertinya akan sulit tertidur setelah mimpi sialan itu muncul tadi, ditambah karena pelakunya sedang berada di apartemenku. Kenapa dia harus datang? Kenapa?!

Wajahku menoleh ke arah Elara. Dia masih tidur memunggungiku. Entah apa yang merasuki, tapi punggung di balik selimut itu terlihat menggoda, seakan menawarkan kenyamanan lebih.

Maka aku turut menyusup ke dalam selimut, bergeser hingga sisi tubuh rapat di punggungnya. Bisa kurasakan tubuhnya menegang, apalagi setelah kuputuskan untuk berbaring miring sehingga seluruh tubuhku rapat dengannya. Bisa saja kusampirkan tangan untuk memeluknya dari belakang, tapi tidak kulakukan. Ini sudah lebih dari cukup.

Elara mengerang, menggerakkan tubuh dengan tidak nyaman.

"Kumohon Elara," bisikku memohon. "Sampai aku tertidur. Sebentar saja ...." Lalu tubuhnya diam, rileks secara perlahan. Kuletakkan kepala di balik gugusan rambutnya, bernapas pelan menikmati wangi yang menguar, sebelum akhirnya kembali berhasil memejamkan mata.

💕💕💕

Aku terbangun karena dering ponsel yang memekakkan telinga. Mataku membuka dengan malas, dan melihat wajah Elara yang sangat dekat denganku. Tangannya bergerak-gerak menunjukkan ponselku yang berdering-dering.

"Dari Dean, Pak Rigel," katanya.

Kukucek mata, menguap lebar membuat tubuh Elara mundur beberapa langkah. Aku terkekeh, duduk dan merebut ponsel dari tangannya.

"Ya?" Aku menyahut panggilan. "Meeting?" Keningku mengernyit karena Dean mengingatkanku masalah meeting pagi hari ini. Kulirik jam di dinding, sudah jam delapan pagi. Artinya aku terlambat!

Derap kaki Elara yang mondar-mandir juga membuat konsentrasiku terpecah. Dia masih di kamarku, artinya kami masih terkunci, 'kan?

"Rechedule saja, aku sedang terjebak!" Kututup ponsel sebelum mendengar ucapan Dean.

Dengan kesal aku bangkit dan melempar ponsel dengan sembarang.

"Kamu tidak berangkat kerja? Mana sarapanku? Pakaianku?"

Elara sontak menghentikan langkah. Matanya memelas menatapku, lalu telunjuknya bergerak menunjuk ke arah pintu.

Kakiku melangkah ke arah pintu, mencoba menarik lagi kenopnya dan masih saja terkunci.

'Brengsek! Apa maunya, sih?!'

"Mama!" pekikku. "Mama! Buka pintunya!!"

Tidak ada jawaban. Aku melirik ke arah Elara, perempuan itu terlihat berdiri dengan cemas. Sesekali melirik ke arah jam dinding.

"Saya terlambat, Pak. Aduh, Ibu Mery atasan saya itu 'kan galak." Dia memelas.

"Yang punya perusahaan ada di sini, di depan kamu. Apa yang kamu takutkan?"

Elara merengut, matanya mengerjap. Aku berdecak, menggedor pintu lagi.

"Mama! Kalau Mama tidak buka pintunya, aku enggak akan mau bicara lagi denganmu selamanya!! Mama de ...." Ucapanku tertahan ketika mendengar suara kunci di lubang pintu. Elara mundur beberapa langkah, aku juga demikian.

Tidak lama kemudian pintu terbuka. Wajah Mama terlihat berdiri di sana dengan wajah memberengut. Dia bahkan sudah terlihat cantik sepagi ini. Make up tipis sudah terpoles sempurna di wajahnya, sementara gaun midi berwarna ungu muda terlihat pas membalut tubuhnya yang masih terlihat seperti lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Seingatku.

'Mama-ku yang cantik.'

"Caramu mengancam, benar-benar--" Mama menghela napas dalam, lalu berbalik. Melangkah ke arah meja makan seraya berkata, "Sarapan sudah tersedia, Tuan dan Nyonya Devara yang terhormat."

"Dia bisa masak?" Elara bertanya berbisik.

'Ya, seingatku ... rasa masakannya luar biasa.'

Namun aku tidak menjawab apa pun, hanya menarik lengan Elara dan mendorongnya keluar kamar. "Aku mau mandi." Lalu pintu kututup lagi.

Lagi-lagi napasku terhela. Kupejamkan sesaat demi meloloskan apa yang masih mengganjal di hati. Aku bahkan masih ingat bagaimana rasa masakannya. Dulu, makanan favoritku adalah sop ayam hangat. Setelah Mama tidak lagi bersamaku, sop ayam menjadi makanan yang paling kubenci.

💕💕💕

Aku melangkah ke ruang makan dengan sudah berpakaian kerja lengkap. Namun langkahku langsung terhenti ketika mencium aroma yang menguar dengan tajam. Sop ayam. Sialan!

Jadi kubalik langkah menuju pintu keluar, meninggalkan apartemen tanpa pamit pada siapa pun.

💕💕💕

Aku sedang khusyuk dengan tren grafik saham di laptop ketika pintu ruanganku diketuk.

"Masuk!" seruku sambil mengangkat kepala dan menyandarkan tubuh.

Dean masuk, diikuti dengan sosok yang datang ke apartemenku sejak semalam tanpa diundang. Pintu menutup perlahan di belakang mereka.

"Nyonya Cindy mau bertemu, Pak," katanya sambil tersenyum lebar, yang membuatku memijat kening dengan jemari. Bukan hanya di rumah, bahkan di kantor juga? Yang benar saja!

"Mau apa lagi? Aku sudah terjebak dengan Elara di dalam kamar semalaman ...." Ucapanku melemah di ujung kalimat karena terganggu dengan tampang Dean yang terperangah di tempatnya berdiri. "Apa dia harus berada di sini?" tanyaku tajam ke arah Mama.

Mama tidak menjawab, dia mendudukkan dirinya terlebih dahulu di atas sofa dengan cara yang anggun, sebelum akhirnya menoleh ke arah Dean. "Pergilah, Dean ...," pintanya halus.

Dean mengangguk. Lalu menatapku juga dengan segan sebelum melangkah mundur.

"Dean!" panggilku sebelum dia mencapai pintu. "Tentukan juga mulai sekarang, oleh siapa kamu ingin digaji." Ini adalah ancaman dan peringatan yang entah keberapa kalinya.

Kulihat wajah Dean memucat, menatap ke arah Mama meminta pembelaan. Namun Mama hanya mengibaskan tangan, memintanya untuk segera berlalu. Dan dia menurut.

"Hari ini kerjaanmu hanya mengancam dan mengancam saja, Sayang." Mama berdecak, menatapku dengan tatapan kecewa.

"Lagian, Mama ngapain sih, ke sini?" tanyaku. "Aku enggak suka ada Mama di kantorku, apalagi di apartemen. Dari mana sih Mama bisa tahu alamat tinggalku? Dean?"

Mama terkekeh dengan caranya yang manis. Dulu, aku suka sekali dengan caranya tertawa. Matanya akan menyipit, meninggalkan garis tawa yang terlihat lucu. Namun sekarang, aku benci tawa itu.

"Kamu tidak perlu tahu," ucapnya setelah tawa mereda. "Lagi pula, bukan itu yang mau Mama bicarakan."

"Lalu?" Keningku mengernyit, curiga dengan apa yang sedang direncanakannya.

"Kita bicarakan sambil makan siang." Diliriknya jam pada pergelangan tangan. "Sudah jam dua belas."

Eh? Masa? Aku tidak sadar kalau sudah sesiang ini. Jam dua belas. Seharusnya Elara akan muncul sebentar lagi.

Benar saja, tidak lama pintuku diketuk.

"Menunggu seseorang?" tanya Mama yang sedang mencangklongkan tas di pundak.

"Masuk!" seruku menjawab ketukan. Pintu terbuka, dan Elara masuk dengan peluh di keningnya. Perempuan ini pasti lebih memilih menggunakan anak tangga dari pada lift.

"Loh, Nyonya Cindy?" Elara terlihat terkejut. Kemudian dia menatapku dengan kikuk.

"Tutup pintunya!" perintahku.

Elara menurut, dia menutup pintu dan berdiri dengan tegang.

"Kebetulan sekali, kami mau makan siang. Join?" Mama tersenyum. Dia bangkit dari duduk dan menghampiri Elara. Lalu kulihat dia berbisik, tapi tidak bisa terdengar dari tempatku duduk. Yang kulihat, wajah Elara memerah setelahnya. Menunduk sambil tertawa serba salah.

Aku bangkit juga dari tempatku duduk. Meraih jas yang tersampir dan berjalan ke arah mereka. Kutarik tangan Elara, merebutnya dari sisi Mama.

"Sepertinya Dean lupa membawakan kita makan siang, Elara. Kita makan di luar." Elara meringis ketika kurengkuh bahunya.

Senyum Mama terlihat merekah. Dia hendak menarik tangan Elara untuk digandeng, namun kucegah.

"Kita makan berdua, Elara." Kubimbing tubuhnya keluar ruangan. Mama nyaris turut melangkah ketika kulanjutkan ucapan. "Hanya berdua." Kusipitkan mata penuh peringatan ke arah Mama.

Mama mematung di tempatnya berdiri. Menatap kami yang meninggalkannya sendirian.

💕💕💕

Elara menepis tanganku ketika pintu ruangan tertutup. "Jangan rangkul-rangkul kalau di kantor," ujarnya tidak senang.

Aku menoleh, menunduk ke arahnya. "Kalau di luar kantor, boleh?"

Mata Elara mengilat marah. Aku terkekeh, berjalan mendahuluinya yang mengekor di belakang. Hampir semua kubikel sudah kosong, semua karyawan sepertinya sudah pergi untuk makan siang. Tiba-tiba saja aku tergelitik untuk bertanya mengenai bisik-bisik antara dia dan Mama tadi. Apa yang dikatakan si perempuan iblis itu sampai membuat wajah Elara bersemu.

"Tadi kalian bisik-bisik apa?" tanyaku sambil menghentikan langkah. Terdengar langkah di belakang juga terhenti. Kuputar tubuh dan melihat Elara yang menunduk.

"Mama ngomong apa?" Aku membungkuk mencoba menyejajarkan wajah. Namun wajah Elara malah menunduk semakin dalam. "Elara ...." Wajahku semakin dekat memindai.

Kulirik ke balik tubuh Elara ketika mendengar langkah dari sepatu ber-hak tinggi yang mendekat. Mama terlihat baru saja keluar dari ruanganku dan berjalan ke arah kami dengan kaca mata hitam yang tersemat.

Perlahan kuangkat kepala. Belum sampai benar-benar tegak, Mama berhenti di sebelahku. Merapatkan bibirnya di telingaku seraya berbisik, "Berapa ronde semalam? Pakai gaya apa?"

Aku segera menoleh ke arah Mama dengan mata terbelalak, senyum Mama mengembang manis. Kemudian dia berlalu begitu saja meninggalkan kami.

Kualihkan pandang ke arah Elara, menatap lekat ke wajah yang lagi-lagi bersemu merah.

"Mama nanya itu?"

Elara mengangguk, kemudian menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tawaku pecah tidak tertahan, yang dihadiahi dengan pukulan di dada dari Elara. Kuraih tangan yang memukul, dan menarik tangan yang masih menutupi wajahnya. "Nanti malam, mau gaya apa?" tanyaku menggoda.

Elara merengut, mengentak tangan mencoba melepaskan peganganku. Namun, aku malah mendorong tubuhnya ke salah satu kubikel. Mengangkat tubuh kurusnya hingga duduk di atas meja.

"Pak Rigel ...." Elara membelalakkan mata dengan panik. Di menoleh ke kiri dan ke kanan, sepertinya khawatir kalau ada yang melihat apa yang sedang kami lakukan.

Kulepas kedua tangannya, membuat tubuh itu ambruk ke belakang kalau saja kedua tangannya yang sudah bebas, tidak dengan sigap menapak ke meja.

Napasku memburu, terlebih karena belakangan ini Elara terlihat melunak. Kuangkat dagunya dengan telunjuk kanan dan meninggalkan kecupan di sana.

Sekali. Dia segera menarik mundur wajahnya. Kutatap wajahnya yang menegang. Matanya beberapa kali mengerjap. Ini menyenangkan.

Kutarik lagi dagunya, dia mencoba menarik kembali wajahnya. Namun kutahan tengkuknya dengan tangan yang lain. Kali ini kulekatkan bibirku di bibirnya. Lebih lama, lebih dalam, memagut dengan lebih kasar. Elara mencoba berontak. Namun aku lebih kuat. Jadi sekuat apa pun dia mencoba melepaskan diri, tenagaku jelas tak terkalahkan.

Hingga akhirnya tubuh itu melemah, pasrah. Dan mendesah ....

Mendesah? Elara mendesah dan aku tidak salah dengar.

Maka dengan lebih berani bibirku turun ke lehernya, meninggalkan beberapa kecupan singkat sembari menikmati aroma parfumnya yang menggoda. Kemudian naik untuk menjilat sekilas ujung telinganya sebelum berbisik, "Tidur denganku semalam lagi, Elara. Terserah berapa pun yang kamu minta. Katakan saja ...."
.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro