Stalker

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dada berdebar hebat ketika Rigel memagut bibirku secara liar. Sekuat tenaga memberontak, tapi tetap kalah dengan tenaganya. Sampai akhirnya aku menyerah. Aku pasrah pada sentuhannya, hingga desahan lolos dari mulut. Dan aku paham, itu malah membuat Rigel semakin berani.

Bibirnya beralih untuk mengecup leherku. Aku masih mendesah dengan mata terpejam. Lalu merasakan gairah meninggi saat Rigel menjilati ujung telinga. Demi apa pun, aku terbuai dalam permainannya. Sudah tak peduli bagaimana penilaian Rigel. Yang jelas, hanya ingin menikmatinya berdua di detik ini. Mengabaikan semua hal yang mungkin akan menimbulkan masalah. Kewarasanku hilang. Tapi ... itu sebelum Rigel mengucapkan sesuatu yang membuatku seakan jatuh dari ketinggian setelah dia mengajak terbang.

“Tidur denganku semalam lagi, Elara. Terserah berapa pun yang kamu minta. Katakan saja ....”

Satu tangannya meremas pelan pahaku yang terbalut rok. Tapi gairahku sudah padam, mati dengan membawa kekecewaan. Jadi, apa pun yang dia lakukan sekarang, tetap saja tak akan ada desahan yang Rigel dengar lagi. Yang tersisa hanya hati dengan kondisi retak, lagi.

Mataku terbuka, sedangkan satu sudut bibir tertarik ke atas. Rigel sedikit menarik wajah, hingga kami bisa bertatapan. Dengan berani aku mengalungkan kedua tangan di lehernya. Sontak saja Rigel tersenyum.

“Sepertinya Bapak terlalu menikmati tubuh saya, sampai ingin mengulanginya lagi,” ucapku dengan satu mata berkedip manja.

Aku ingin menamparnya, memukulnya, dan mencaci. Namun, aku sadar, itu hanya membuang tenaga. Maka, aku memutuskan untuk menanggapi tawarannya dengan cara berbeda.

Kembali Rigel memajukan wajah. Mengecup pelan leherku. Lalu berbisik, “Kamu juga menikmatinya, Elara. Baru saja kamu mendesah karena aku.”

Aku mendesah? Benar, tadi aku melakukannya. Aku lupa diri dan menjadi bodoh hanya karena ciuman Rigel. Aku menikmatinya? Itu juga benar. Karena awalnya, aku tak berpikir akan merasakan sakit secepat ini.

Ternyata, berapa kali pun aku ingin mempercayainya, maka kecewa itu akan tetap ada.

Poor Elara.

“Bapak bersedia membayar saya berapa saja?”

“Katakan saja, El,” bisiknya. Kemudian, menggigit sebentar daun telingaku.

“Saya bersedia tidur dengan Bapak semalam lagi. Tapi sebagai bayarannya, seluruh saham dan properti Bapak harus dibalik nama atas Elara Calista. Apakah Anda setuju, Pak Rigel?”

Waktu seakan berhenti selama beberapa detik. Hanya ada hening di antara kami. Rigel mematung, hanya saja tangannya tak lagi menyentuh tengkuk serta pahaku. Dua detik kemudian, dia menarik wajah dan dengan kasar dia melepaskan tanganku dari lehernya.

Di kedua manik cokelat itu, aku bisa melihat kilat kemarahan. Dan dalam helaan napas kasarnya, aku tahu harga dirinya sedang terluka. Tapi, itu jelas tak sebanding dengan luka di hatiku.

“Kamu ingin memerasku, hah?!” tanyanya dengan mata menyipit.

Tawa sinisku terdengar. Kudorong tubuhnya, lalu turun dari meja. Berdiri berhadapan dengan senyum yang sengaja aku sunggingkan untuknya.

“Tidak, Pak Rigel. Bukankah Anda yang memberikan penawaran tadi?” Telunjukku bermain-main di dadanya. Bergerak tanpa aturan. Sengaja membuatnya semakin kesal.

Rigel memegang jemariku, menyentak kasar. Mau tak mau aku kembali tertawa. Karena ekspresi marahnya sangat lucu.

“Tapi, itu terlalu mahal untuk kamu yang tidak perawan lagi, El,” sindirnya, lalu menyeringai.

Tidak perawan. Aku tahu itu dan otak juga masih mengingat dengan jelas siapa yang sudah merenggutnya.

“Ah, haruskah saya mengingatkan Bapak siapa yang sudah membeli keperawanan saya?” Kulihat dada Rigel naik-turun dan bibirnya terkatup rapat. “Oh, ya, jika Bapak tidak bersedia membayar saya dengan harga tinggi, saya bisa mencari laki-laki lain. Misalnya ... Nathan.”

Mata Rigel membulat. Kulihat tangannya terkepal kuat. Dan dengan tanpa rasa peduli, aku melenggang. Kembali meneruskan langkah menuju kantin.

“Sial, Elara!” pekik Rigel, yang aku balas hanya dengan tawa kecil. Tanpa menghentikan langkah.

Aku tidak pernah bisa memahami Rigel. Dia terlalu sering membuatku tak nyaman. Jika dia memang hanya ingin tubuhku saat itu, kenapa harus menahan untuk tetap tinggal selama tiga bulan? Mengapa dia tidak melepaskanku? Aku ingin bebas. Karena setiap berada di sisinya, hanya ada perih.

Di depannya aku selalu menyembunyikan kesedihan. Memasang topeng penuh keberanian, supaya Rigel atau siapa pun tak bisa melihat bahwa hatiku sesungguhnya rapuh. Tapi, karena aku terlihat tegar, bukan berarti dia bebas menindas setiap saat.

Rigel, jika ada kesempatan untuk kembali ke belakang, maka aku akan mengubah hari di mana aku melamar ke kantormu. Sehingga, kita tak pernah  bertemu dan tak pernah terikat kontrak laknat itu.

Mengembuskan napas berat, aku terus berjalan. Dari belakang, terdengar derap langkah seperti mengikuti. Mungkin karyawan yang juga ingin pergi ke kantin. Aku sangat enggan untuk menoleh dan juga tak ada rasa penasaran untuk mencari tahu siapa orang itu.

Aku membuka pintu kantin. Suasana riuh seperti biasa. Terlihat Lita duduk di sudut ruang. Tangannya melambai, lalu kubalas dengan lambaian juga. Baru saja aku berjalan untuk mengambil piring, para karyawan mengucapkan kalimat yang mencengangkan.

“Selamat siang, Pak Rigel.”

Tanpa menunggu lagi, aku menoleh ke belakang. Kaget setengah mati rasanya saat menemukan Rigel berdiri hanya berjarak sekitar empat jengkal saja dariku. Jadi, dia yang sejak tadi mengikutiku?

Mencoba menghilangkan rasa kekagetan, aku mengabaikan Rigel yang tengah menatap tajam. Lalu, kembali meneruskan niat untuk makan. Namun, sekali lagi jantungku berpacu. Tak menyangka, Rigel ... juga ikut mengambil makanan.

🌺🌺🌺

Lirikan tajam serta bisik-bisik terus tertuju ke arah mejaku. Bagaimana tidak? Rigel sedang makan di sini. Ya Tuhan. Tidak bisakah sekali saja laki-laki ini mempermudah hidupku?

Gosip akibat kejadian beberapa hari lalu di kantin saja belum reda. Sekarang ditambah kejadian baru. Rigel benar-benar menyebalkan.

Dengan malas aku menyuap makanan. Sesekali menatap laki-laki batu yang duduk di depanku. Sementara, Lita yang sudah selesai makan, terus saja tersenyum lebar.

“Gila, El! Pak Rigel ganteng banget,” bisiknya sambil menarik-narik tepian rokku.

“Pepetin, gih.” Aku menjawab asal.

“Mana mau dia sama gue. Seleranya kan lo, El.”

Makananku langsung tersangkut di kerongkongan. Mata melebar dan tangan sibuk meraih gelas secepat mungkin. Rigel hanya memandangku datar, seraya berdecak. Bahkan dia menggeleng saat aku membersihkan mulut dengan tisu.

“Lo ngawur. Mana mungkin dia selera sama gue.” Lagi, aku berbisik pada Lita yang duduk di sebelah kananku.

“Kalian ini bisik-bisik apa dari tadi? Apa susahnya bicara dengan volume normal?” Rigel tiba-tiba menyela.

Bibirku mengerucut. Sebal! Aku tahu dia hanya kepo. Dia ingin tahu apa yang kami bicarakan.

“Pak, saya duluan, ya.”

Nafsu makanku hilang saat Lita berpamitan. Dan dia menepuk pelan pundak ini dengan mata berkedip manja. Rigel hanya tersenyum sekilas. Dan akhirnya perempuan tadi benar-benar pergi.

Aku sungguh tak percaya. Lagi-lagi keadaan membuatku terjebak bersama Rigel. Duduk berdua dan makan siang bersamanya adalah hal yang tak pernah kuharapkan.

“Kenapa Bapak ngikutin saya?”

Akhirnya aku bersuara. Barangkali Rigel akan tersinggung dan memutuskan untuk pergi dari sini. Aku sudah muak mendengar bisik-bisik itu.

“Aku atasanmu dan aku bebas mau melakukan apa.” Lalu diletakkannya sendok dan garpu yang dia pakai tadi. “Apa ada masalah, El?”

Masih juga tak sadar bahwa dirinya adalah sumber masalah dalam hidupku. Gayanya yang sok cool sungguh menyebalkan. Dia tidak setampan itu, tapi tetap juga bersikap selaiknya laki-laki penuh kesempurnaan.

“Baiklah, saya sudah selesai dan harus kembali bekerja, Pak.”

Matanya menyipit saat aku sudah bangkit dengan piring kosong di tangan. Aku berjuang keras untuk menghabiskan makanan, karena ingin cepat-cepat pergi dari sini. Memindai sekeliling, ternyata kantin masih cukup ramai. Sudahlah, pura-pura cuek saja.

“Keluar bersamaku, El.”

Apakah dia sekarang sudah beralih profesi? Masa' ke mana-mana harus mengikutiku?

Saya sudah besar, Pak. Tidak perlu menemani saya.”

Setelahnya, aku berjalan untuk meletakkan piring kotor. Dan lagi-lagi Rigel ikut.

Oh, ayolah, Rigel. Kamu tampak seperti anak kecil yang tak tahu arah jalan pulang jika seperti ini. Bisakah kamu berhenti mengikutiku?

Berniat mendahului pergi. Namun, tanganku dia pegang.

Jantung, tolonglah jangan berdetak tak beraturan begini. Ini hanya sentuhan biasa dari Rigel. Ckckck!

Pak, ini di kantin. Banyak yang lihat kita.”

Kepalaku bergerak ke mana-mana untuk memperhatikan reaksi orang-orang. Dan mereka semua terpaku menatapku dan Rigel. Ada yang tersenyum, ada juga yang merenggut. Ah! Semua karena Rigel.

Rigel memajukan wajah. Refleks aku mundur, tapi dia meraih pinggangku.

“Kalau mau, aku bahkan bisa menciummu di sini, El.”

Dan dia langsung menarik tanganku untuk keluar dari kantin. Sementara, debar di dada lagi-lagi memburu.

🌺🌺🌺

Dulu, aku selalu bersemangat untuk pulang. Melihat Bams yang tersenyum bahagia saat menyambutku datang. Kami akan makan bersama diiringi lelucon riang darinya. Lalu, dia akan memelukku saat melihat ekspresi kelelahan di wajah ini.

Di bawah temaram cahaya bintang, kami dulu sering menceritakan impian. Berandai-andai jika Bams sepenuhnya pulih, maka dia akan fokus bersekolah. Giat belajar, hingga nanti mudah mencari pekerjaan jika sudah lulus.

Rasanya rindu. Jiwa ini begitu hampa tanpa Bams. Sementara, air mata yang menetes tak cukup kuat untuk meredam rasa yang tengah menggebu. Ada kepingan yang hilang dalam diriku. Bentuk hati ini tak lengkap dan ditambah lagi dengan keadaan yang retak.

Aku ingin pulang ke suatu tempat di mana ada seseorang yang tengah menungguku. Aku ingin pulang ke suatu tempat di mana seseorang akan menyambut hangat. Dan aku ingin pulang ke suatu tempat, selain apartemen Rigel.

Hanya bisa mendesah untuk menahan segala rasa yang tak tahu harus ditumpahkan ke mana.

Setelah menekan beberapa angka, pintu apartemen terbuka. Baru masuk, tapi aroma lezat langsung meliuk ke hidung. Mungkin Nyonya Cindy yang masak. Tapi saat ini, aku enggan untuk memanjakan lidah. Aku lelah dan ingin segera tidur.

“Dari mana saja jam delapan baru pulang?”

Pertanyaan seseorang membuat tanganku terhenti untuk memutar kenop pintu. Pandangan seketika teralih pada Rigel yang berdiri di sebelahku. Wangi segar menguar dari tubuhnya. Wajah itu pun tampak segar dengan rambut yang disisir rapi.

“Ban motor saya kempes. Saya harus dorong jauh sendirian untuk cari bengkel. Saya belum makan, belum mandi, dan saya mau tidur. Ada pertanyaan lain lagi, Pak Rigel?”

Dia mengembuskan napas kasar. Tangannya yang tadi bersedekap, sekarang sudah turun.

Abai. Aku memilih memalingkan wajah. Tapi tak lama kemudian, Rigel menarik paksa tas yang kugenggam. Diletakkan begitu saja di lantai. Aku mendengkus, sembari berkacak pinggang.

“Pak, saya lelah. Tolong jangan cari masalah.”

“Temani aku makan.” Seperti biasa, dia memerintah seenaknya saja.

“Bapak makan sendiri saja. Saya tidak lapar.”

“Tapi kamu harus mandi dulu. Busuk!”

“Saya mau tidur.”

“El!”

Lalu tanpa aba-aba, dia menyeretku untuk melewati dapur, menuju kamar mandi. Tak ketinggalan, dia mendorongku masuk begitu saja.

“Mandi sendiri atau aku yang mandikan?”

“Mandi sendiri!”

Lalu kututup pintu dengan kasar. Masih bisa kudengar tawa Rigel, meksipun kecil.

Tertawa saja terus, tertawa!

Air mengalir di tubuh. Merasakan kesegaran setelah lelah yang mengikat seharian ini. Baiklah, kali ini ucapan Rigel benar. Mungkin jika aku tadi langsung tidur, nyamuk pun akan pingsan mencium bau badanku.

Hanya saja, sekarang bagaimana aku keluar dari sini? Tidak ada handuk, tidak ada baju bersih. Mana mungkin aku keluar tanpa pakaian.

“Buka pintunya. Aku membawakan handuk.”

Rigel ... berbaik hati untuk membawakanku handuk? Rasanya hari ini terlalu penuh kejutan. Dan tanpa pikir panjang, aku mematikan shower. Lalu sedikit membuka pintu agar bisa mengulurkan tangan.

Benar, Rigel memberiku sebuah handuk dan bath robe. Bahkan dia tak mengintip meski ada celah untuk melakukannya. Tanpa sadar, aku tersenyum.

“Cepat pakai. Aku menunggumu di meja makan.”

Ah, seandainya dia selalu seperti ini. Selalu berbuat baik dan menjaga perasanku.

Aku menggeleng cepat. Membuyarkan khayalan gila yang tak akan pernah jadi nyata. Terlalu mustahil jika mengharapkan Rigel Devara berubah permanen menjadi sosok yang menyenangkan.

🌺🌺🌺

Lelah dan kantuk tiba-tiba hilang saat badan segar dan perut terisi. Yang aku lakukan sekarang, memandangi gedung-gedung pencakar langit dari balkon apartemen Rigel. Angin berembus sedang. Cukup baik untuk menemani kesendirianku di bawah pucat cahaya bulan.

Ponsel yang ada di genggaman berbunyi. Dengan gerakan cepat, aku membuka sebuah aplikasi yang tertera sebuah pesan untukku. Nathan.

‘El, apa kabar?’

Laki-laki ini mengapa begitu perhatian?

‘Baik, Nath. Kamu gimana?’

Dan obrolan kami terus berlanjut. Membahas hariku yang melelahkan, juga pekerjaan Nathan yang selalu mendebarkan saat menangani kasus parah.

El, nanti aku jemput kamu pas ke  nikahannya Vivian, ya? Kita pergi bareng.’

Berpikir sejenak, tidak ada salahnya juga pergi bersama Nathan.

Oke, Nath.’

“HP-mu sibuk sekali dari tadi. Chat dengan siapa?”

Aku menoleh dengan malas dan menatapnya datar. Dia berjalan mendekat dan langsung merebut ponselku. Jemarinya bergerak cepat di layar benda pipih itu.

“Eh, Pak! Balikin!”

Tatapan Rigel seketika menjadi tajam. Aku selalu bergidik jika dia dalam mood seperti ini.

“Sial, Elara! Kamu janjian dengan Nathan untuk pergi ke pernikahan Vivian?!”

Rigel menggenggam kuat tanganku. Aku merasa kesakitan dan mencoba melepas. Tapi gagal.

“Bukankah aku sudah bilang akan menemanimu ke sana?! Dan kenapa masih menerima tawaran Nathan?!”

“Pak, lepas!”

Aku terus berusaha untuk melepaskan diri. Namun, kekuatan Rigel tak terkalahkan. Yang ada sekarang dia menarikku masuk. Tergesa-gesa langkahnya. Dia terlihat sangat marah.

“Pak!”

Sekali lagi aku menyentak saat menyadari tempat yang kami tuju sekarang adalah ... kamar Rigel.

Kenapa ke sini? Dan kenapa pintunya Rigel kunci?

Dia mendorong tubuhku hingga terjatuh di ranjang. Dengan gerakan cepat, kini Rigel sudah menindih sebagian tubuhku. Aku kesusahan menelan ludah. Jantung tak tahu diri ini juga lagi-lagi berdetak tanpa kendali.

Rigel mendekatkan wajah, hingga embusan napasnya terasa. Kupukul dadanya, tapi dia malah mengangkat kedua tanganku hingga sejajar dengan kepala. Dia menekan kuat, sampai-sampai aku tak bisa menggerakkan tangan lagi.

“Bapak mau apa?!”

“Kenapa kamu sangat suka memancing emosiku, El?”

Sebuah kecupan di leher mendarat tanpa bisa aku cegah. Tapi yang membuatku saat ini membelalak kaget adalah, tangan Rigel yang mulai menyusup di balik bajuku.

“Pak ....” Ini membuatku menderita. Ingin menikmati, tapi logika menolak.

Dia tersenyum sinis dan tangannya bergerak pelan untuk mengusap perutku.

Rigel brengsek!

TBC

Next verlitaisme

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro