Hurt

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rigel written by verlitaisme

Mengayun langkah hendak menuju kamar, ekor mataku malah menangkap sosok Elara di balkon. Perempuan itu terlihat melempar pandangannya jauh ke deretan gedung-gedung pencakar langit yang berkerlap-kerlip di malam hari, lalu sesekali sibuk dengan ponselnya.

Urung menuju kamar, kakiku berbelok untuk menyambanginya. Sampai di ambang jendela balkon yang layaknya pintu lebar, aku berhenti, mengamati Elara yang kali ini saking sibuknya dengan ponsel tidak menyadari kehadiranku. Kutunggu barang sejenak, tapi dia masih saja sibuk, entah dengan siapa.

“HP-mu sibuk sekali dari tadi. Chat dengan siapa?”

Elara menoleh. Matanya menatapku datar.

Dengan siapa?

Aku melangkah mendekatinya, lalu tanpa peringatan menarik ponsel dari tangannya.

“Eh, Pak! Balikin!” protesnya yang tidak kuabaikan. Serasa ada yang meremas jantung ketika melihat nama yang tertera pada layar.

Nathan. Berengsek!

Dengan napas memburu karena amarah, kutatap dia tajam. Elara terlihat mengerut. Tubuhnya menegang, tahu ada yang salah.

“Sial, Elara!" makiku. "Kamu janjian dengan Nathan untuk pergi ke pernikahan Vivian?!” Kuraih tangannya, mencengkeramnya kuat. Elara mencoba berontak, tapi tenagaku sudah pasti lebih besar.

“Bukankah aku sudah bilang akan menemanimu ke sana?! Dan kenapa masih menerima tawaran Nathan?!”

Mengapa selalu Nathan dan Nathan? Selalu saja Nathan!

“Pak, lepas!” Elara terlihat panik, terus berusaha melepaskan diri.

Percuma Elara! Singa yang mulai luluh malam ini, sudah kamu bangkitkan lagi taringnya.

Tubuh kurus itu mau tidak mau menurut ketika aku menariknya masuk. Nyaris terseret-seret karena aku benar-benar menyeretnya tanpa dia bisa melawan.

“Pak!” Suara Elara terdengar semakin panik ketika mengetahui bahwa aku menyeret tubuhnya ke dalam kamar. Dia coba menyentak tanganku lagi, tapi tentu saja itu percuma.

Setelah mengunci pintu dan melempar ponsel secara sembarang, kudorong tubuh itu ke atas ranjang.

Berapa kali kamu harus dihukum agar paham dengan batasanmu, Elara?

Napasku memburu ketika menindih tubuhnya yang terlihat menegang. Matanya membelalak sementara tangannya memukul dada, membuatku meraih pergelangan tangan itu dan menahan keduanya dengan kuat, sejajar dengan wajah yang terlihat cemas.

“Bapak mau apa?!” Elara mengerjap beberapa kali dengan wajah mengiba.

“Kenapa kamu sangat suka memancing emosiku, El?” tanyaku dalam, sambil menyatukan kedua tangan di atas kepalanya. Merangkum keduanya dengan satu tangan, dan mendaratkat sebuah kecupan di lehernya.

Padahal aku sudah mulai berdamai dengan perempuan ini, berkali-kali coba aku menekankan dalam pikiran, kalau perempuan ini bisa dipercaya. Bodoh kamu, Rigel! Tidak ada seorang perempuan pun yang bisa dipercaya. Tidak ada!

Tanganku yang bebas mulai menelusup ke balik bajunya, bermain-main dengan kulit perutnya yang terasa halus di jemari.

“Pak ....” Suara Elara terdengar memelas, membuatku tersenyum sinis. Untuk apa dia terdengar memelas sementara deru napasnya sungguh terasa di telinga? Dia terengah padahal aku baru bermain-main di satu titik.

Munafik!

Tanganku bergerak naik, bermain-main di antara kedua dadanya, sementara kecupanku mulai melumat bibirnya yang merekah terbuka.

Napasnya benar-benar memburu. Aku rasa dia mulai menikmati setiap hukuman yang dilayangkan padanya. Kuangkat kepala, dan mendapati bahwa dia sedang menutup mata. Kedua ujungnya berkedut, sementara wajahnya memerah.

Aku jadi ragu, apakah perempuan ini menikmati atau sedang menahan tangis? Tapi aku tidak peduli lagi. Seluruh tubuhku sudah berdenyut meminta pertanggungjawaban atas kelakuannya yang tidak bisa ditolelir.

Jadi, kecupanku kembali turun di lehernya, lalu naik dan bermain-main di telinga. Sementara tanganku yang bermain-main sejak tadi, lolos melewati kerah bajunya dan menekan  tengkuknya naik. Membuat dadanya membusung, membuat gairahku menjadi-jadi.

"P-Pak ...." Suaranya yang bergetar membuat konsentrasiku teralih. Terlebih ketika pipiku terasa basah. Dia menangis? Si keras kepala ini menangis?

Kuhela napas nyaris tidak kentara. Menarik tangan dari tubuhnya. Kukecup telinganya sembari berbisik, "Cucu untuk Mama-ku. Mau gaya apa malam ini, Elara?"

Kuangkat kepala, dan melihat bagaimana bibirnya bergetar saling menekan kuat. Aku sadar, dia akan sekuat mungkin untuk menahan tangisan atau erangan agar tidak lolos dari mulutnya.

Kubanting tubuh ke sisi tubuhnya. Menarik semua bagian tubuh yang sempat melekat tadi. Berbaring bersisian dengan mata menatap langit-langit dengan nanar.

"Tidur di sini malam ini, Elara. Aku perlu memastikan bahwa tidak ada lagi Nathan malam ini," kataku datar sambil beranjak untuk duduk.

Mataku menyapu setiap sudut ranjang. Menemukan Elara yang masih terpejam dengan ujung mata berkedut, dan ponselnya yang kulempar sembarang tadi.

Kuraih ponsel itu dan menyadari bahwa pesan dari Nathan masih terpampang di sana. Pesannya menumpuk, pertanyaan-pertanyaan karena cemas Elara tidak lagi menjawab.

Gemas. Tanganku mengetik dengan cepat. Dan mengirim balasan yang seharusnya membungkam tangan-tangan di seberang sana dengan seketika.

Ini aku, Rigel Devara. Elara sedang bersamaku, jangan ganggu dia lagi.

Lalu, kepalaku menoleh ke arah Elara. Dia sudah membuka matanya dan menatapku takut-takut.

"Apa aku perlu memberikan cap di sekujur tubuhmu, Elara? Cap yang menyatakan kalau kamu adalah milik Rigel Devara?"

Dia diam saja, melempar pandangan ke langit-langit. Sama sepertiku tadi. Nanar.

Kuhela napas dan bangkit. Tiba-tiba merasa gerah. Berdiri di hadapannya, kubuka dengan asal kaus yang melekat. Melempar tepat di kasur sebelah wajahnya, membuat mata Elara berkedip terkejut, lalu melenggang ke kamar mandi. Menutup pintu dan membiarkan air pancuran membasahi tubuh yang masih terbalut celana di bagian bawahnya.

Seharusnya, hati ini tidak boleh kubiarkan luluh. Tidak boleh gampang percaya.

Rigel Devara, ini tidak seperti kamu!

Kuangkat wajah, membiarkan air yang mengucur, menimpa wajah yang hatinya sedang kesakitan saat ini.

💕💕💕

Seperti biasa, aku keluar kamar setelah berpakaian rapi. Elara sendiri terlihat sudah menantiku di meja makan. Dia juga sudah terlihat sempurna dengan pakaian kerjanya.

Tanpa basa-basi, aku duduk di hadapannya dan mulai mengunyah nasi goreng yang disediakan. Aku nyaris tidak melihat ke arahnya sama sekali. Ketika sarapan sudah selesai, aku hanya bangkit. Melangkah keluar apartemen tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.

Entah apa yang salah dengan hati. Yang pasti rasa sakitnya terasa berlebihan saat ini. Sosok Nathan, terlalu berbekas di hati. Manusia masa lalu yang membuat hatiku dan Papa meringis. Bertemu kembali di masa kuliah sebagai seorang rival yang tidak habisnya menjegal. Lalu sekarang?

Sial, Elara! Tidak bisakah kamu mengerti aku sekali saja?

💕💕💕

"Mengapa pergerakan saham kita, sedikit melesu di pembukaan pagi ini, Dean?" Aku bertanya pada pemuda yang terlihat sibuk dengan iPad-nya di hadapanku. "Apakah ada issue buruk yang berkembang di luaran, yang aku tidak tahu?" Mataku kembali melihat ke arah grafik di layar laptop yang menunjukkan tanda minus.

"Tidak ada, Pak." Dean terdengar yakin. "Issue Bapak dengan model itu sudah berhasil saya dan Nyonya Cindy amankan."

Aku mengangkat kepala, issue dengan model? Si model Soreks bersayap itu? Mataku menyipit, sementara Dean terlihat serba salah.

Masalahnya, bagaimana dia tahu sementara aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun mengenai hal memalukan itu.

"Sulit untuk menyembunyikan apa pun dari kalian, ya? Memangnya suami Ibuku sekaya apa? Sekuat apa dia di negerinya?" gerutuku.

Dean tersenyum kikuk. "Dia juga warga negara Indonesia, Pak. Jangan lupa ...."

"Ck!" Aku berdecak dengan tidak senang. Dean langsung membungkam mulutnya, disematnya iPad di ketiak ketika melihatku bangkit.

"Mau ke mana, Pak?" tanyanya sambil turut bangkit.

"Makan siang. Sudah jam dua belas." Kulirik jam di tangan, lalu melangkah melewatinya.

"Lalu bagaimana dengan box lunch yang sudah saya siapkan?" tanyanya di balik punggung.

Aku hanya mengibaskan tangan tak acuh, menarik kenop pintu dan menemukan Elara yang terkejut. Sepertinya dia hendak mengetuk pintu ketika pintu kutarik membuka.

"Pak ...," katanya pelan.

Aku menatapnya sesaat, lalu menengok ke arah Dean. "Berikan padanya. Dia butuh makan siang. Bagianku, buatmu saja." Setelahnya, aku melangkah melewati Elara begitu saja. Membiarkan gadis itu bergeming di tempatnya berdiri.

Hatiku masih berdenyut menahan nyeri sisa semalam. Bahkan menatapnya saja membuatku terluka. Aku sedang butuh ditenangkan. Sedang butuh untuk sendiri. Elara membuatku kecewa, selalu membuatku kecewa dan kecewa.

💕💕💕

Kujepit sashimi yang tersaji dengan sumpit, menjejalkan sepotong ke mulut sebelum menyesap sop miso langsung dari mangkuknya. Makan siangku agak berbeda hari ini. Sendirian di sebuah private room di sebuah restoran Jepang. Tanpa Elara dan dengan hati yang berdenyut.

Seharusnya sashimi terasa menyenangkan karena merupakan salah satu makanan favoritku. Tapi hari ini terasa hambar di lidah. Otakku benar-benar tidak bisa lepas dari saling balas pesan antara Elara dan Nathan semalam.

Maka setelah menyentak sumpit dengan kesal ke atas meja, kuambil ponsel dan melalukan sebuah panggilan.

"Tidak bisakah kamu meminta dia untuk tidak berputar-putar di sekitarku dan Elara?"

Lalu aku mendengar suara mencicit di seberang sana.

"Pastikan saja sebelum aku benar-benar naik darah dan meminta seseorang membunuhnya. Paham?!" Sambungan kuputus tanpa menunggu jawaban.

Kuusap wajah menggunakan telapak tangan dengan kasar. Lalu bangkit dan memutuskan pulang, enggan kembali ke kantor.

💕💕💕

Aku berbaring lebih cepat malam ini. Elara bahkan belum kembali dari kantor saat aku masuk ke kamar tadi. Baguslah, aku juga sedang enggan bertatap wajah dengannya.

Ponsel di atas nakas berdenting, membuatku meraihnya dengan segera. Sebuah pesan tertera di sana. Pengirimnya: Elara.

Pak, makan malam sudah siap.

Hanya kubaca, tanpa kubalas. Kuletakkan ponsel di sisi tubuh, memejamkan mata, tanpa menghiraukan lagi denting yang kesekian kalinya.

Tidak lama pintu kamar diketuk. Mataku terlalu rapat untuk terbuka, malas karena tahu siapa yang mengetuk.

Ayolah Elara, mengapa kamu masih berkeliaran sementara aku sedang tidak menginginkanmu?

Kulekatkan sisi bantal ke telinga, berharap ketukannya tidak lagi terdengat.

Namun, ponselku berdenting ....
Ahh ... kali ini berdering. Dengan malas kuraih, dan melihat nomor tidak dikenal terpampang di sana. Suara ketukan di pintu juga sudah tidak terdengar.

Keningku mengerut, bangkit dan duduk sambil terus menatap ponsel di tangan. Penasaran, kugeser juga layar dan melekatkan ponsel ke telinga.

"Rigel ...." Siapa?

Aku terdiam, mencoba menerka siapa yang menelepon karena suara yang tidak terdengar familiar.

"Kenapa gue enggak boleh berada di dekat Elara? Takut? Merasa tersaingi?" katanya lagi.

Nathan.

Napasku terhela. Nyaris membanting ponsel namun urung.

"Perempuan iblis itu yang ngasih tau nomor gue? Ck!" Aku berdecak dan bangkit dari duduk. Berjalan pelan ke arah pintu.

"Mau bunuh gue? Memang apa hubungan lo dengan Elara sebenarnya?" Nathan bertanya menantang.

Aku tidak menjawab, tanganku yang bebas menarik kenop pintu. Elara terlihat di sana, dia langsung mendongak ketika menyadari pintu dibuka. Mata kami bertemu, saling mengait dalam diam.

"Hubungan kami?" Aku mendengkus. Elara menatapku dengan tatapan aneh. "Atasan ... dan bawahan?" Kuangkat salah satu alis ke arah Elara, membuat kening perempuan itu mengernyit, lalu merengut. Dia membalik tubuh hendak beranjak menjauh, tapi kuraih pundaknya.

"Kamu tidak berhak mengaturku, Rigel." Nathan terdengar kesal.

"Aku tidak mengaturmu, tapi mengaturnya." Seperti biasa, kuputus panggilan secara sepihak lalu menelisik wajah Elara lebih lekat.

"Ada apa?" tanyaku.

Elara terlihat salah tingkah. Namun kemudian berkata lirih, "Uhm ... makan malam sudah siap, Pak."

Kulepas pundaknya, lalu berbalik untuk kembali masuk ke dalam kamar. "Aku tidak lapar," ucapku sembari menutup pintu.

Tubuhku bersandar pada pintu, dan mengutuk perut yang tetiba berbunyi mengerucuk.

Brengsek. Apa tidak bisa menunggu sampai Elara tertidur dulu?

Akhirnya sepanjang malam aku tidak bisa jatuh tidur. Hanya bolak-balik di atas ranjag dengan perut kelaparan. Belum lagi otakku yang tidak mau berhenti bekerja. Fokus pada Nathan yang lancang meneleponku, dan berani-beraninya menanyakan hubunganku dengan Elara.

Dengan perasaan kesal aku bangkit lagi, lalu menyeret kaki untuk ke luar dari kamar. Beranjak ke ruang makan dan terkejut ketika menemukan Elara duduk di salah satu kursi makan, sembari menopang dagu dengan salah satu tangan.

Langkahku melambat, mengamati sosok yang terlihat sedang mengamati makanan yang tersedia di atas meja. Melihat dua piring yang masih bersih di sana, kupastikan kalau dia juga belum menyentuh makan malam.

'Apa dia tidak makan karena aku menolak untuk makan?'

Ada yang menari-nari kegirangan di dalam hati, entah mengapa, tapi ada kesenangan yang menguar. Maka aku berdeham, membuatnya mengangkat kepala dan menoleh.

"Pak Rigel?" Dia tersenyum. "Mau makan?" tanyanya bersemangat.

Aku diam saja, duduk di kursi kosong di hadapannya. Menyendok makananku ke dalam piring. Sambil sesekali melirik ke arah Elara yang terlihat mengamati setiap gerakanku.

Tiba-tiba pikiran liarku merajai benak. Kuambil ponsel yang kukantongi dari kamar tadi, lalu memanggil Elara.

"Sini."

Elara menatapku ragu. Namun akhirnya dia bangkit dari duduknya dan mendekat.

"Selfie."

Keningnya berkerut.

"Sini." Kutarik tubuhnya mendekat hingga jatuh di pangkuan.

"Pak!" Dia menjerit terkejut.

"Lihat ke arah kamera!" suruhku.

"Enggak mau!" Dia menoleh ke arahku, memalingkan wajah dari ponsel yang sudah kubidik ke arah kami.

Ahh ... perempuan ini susah sekali di ajak kerja sama.

"Ck!" Aku berdecak. Elara menatapku dengan kesal. Dia coba bangkit tapi kutahan.

"Selfie!"

"Buat apa sih?" Dia coba berontak.

Bikin kesal. Maka dengan kekesalan dan amarah yang masih tersisa sejak kemarin, kupagut bibirnya. Dia berontak tapi tidak bisa berbuat banyak. Kutekan tombol pada ponsel, membuat kilat blitz benderang.

Elara mendorong dadaku, lalu bangkit dan berlari ke kamarnya. Bisa jadi dia menangis, tapi apa peduliku?

Masa bodo! Yang penting aku sudah mendapatkan foto yang bagus. Senyum tergaris di bibir, ketika melihat hasil foto yang terlihat sempurna. Sangat tepat dengan Elara yang menutup mata dan aku yang mengecup bibir.

Lalu dengan cepat tanganku bergerak di atas ponsel, menari-nari dengan lincah dan bersemangat.

'Siapa tahu lo masih penasaran dengan hubungan kami.'

Lalu kukirim pesan itu, bersama fotoku dan Elara sebagai lampirannya.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro