Heartbreak(?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telunjukku terantuk-antuk di meja. Satu tangan lain menopang dagu. Hanya menatap makanan, tanpa menyendoknya. Nafsu makan hilang sejak siang. Tepatnya saat Rigel bersikap tak normal kepadaku.

Aku tak mengerti di mana letak kesalahannya. Dan entah seberapa besar yang aku perbuat, hingga Rigel berubah menjadi tak acuh. Biasanya ... dia tak mau melewatkan makan siang denganku. Biasanya ... dia selalu bersemangat jika makan malam sudah tersedia. Biasanya ... kami akan berdebat untuk hal-hal tak penting. Tapi sekarang, dia diam. Mengabaikanku seakan kami adalah dua manusia yang tak saling kenal.

Suasana begitu hening. Rigel sama sekali tak bersuara dari dalam kamarnya. Sementara, Nyonya Cindy sudah pergi setelah beranggapan bahwa aku dan Rigel sepasang suami-istri yang perlu privasi.

Ah, suami-istri? Aku dan Rigel bahkan tak berpacaran. Tapi ... apa ini? Dadaku dari tadi berdebar menantinya. Berharap dia akan keluar dan duduk di sini. Menikmati makan malam yang sudah sangat terlambat ... bersamaku.

Ada apa denganmu, Elara?

Pandanganku teralih ketika mendengar Rigel berdeham. Senyum ini pun tak bisa kutahan. Akhirnya, wajah itu bisa kupandangi lagi.

Elara, sepertinya kamu tak waras, karena merasa senang Rigel mau makan.

Aku memperhatikan Rigel yang tengah mengambil makanan. Perasaan ini tak asing. Seperti saat aku sedang melihat Bams yang tengah menyendok masakanku. Ada letupan bahagia di dalam hati. Entah mengapa. Aku juga tak mengerti.

“Sini.”

Ragu, aku menatap Rigel saat dia menyuruh. Namun, akhirnya tetap bangkit dari duduk dan mendekat. Selanjutnya, kami berdebat karena dia memaksa untuk melakukan selfie. Sementara, aku tidak mau. Dan dia dengan seenaknya saja menarikku, hingga bokong jatuh dalam pangkuannya.

Di detik ini, aku merasa Rigel sudah kembali menjadi dirinya yang biasa. Mencari-cari masalah denganku. Dan seperti biasa, aku juga tak mau kalah. Tapi ... tiba-tiba dia memagut bibirku. Membuatku terkejut dan refleks menutup mata. Lalu, terdengar suara blitz bersamaan dengan cahaya menyilaukan yang menerpa wajah. Seketika kudorong dadanya dan berlari ke kamar.

Tubuhku bersandar pada pintu setelah menutupnya. Memegangi dada yang berdebar kencang, seraya memejamkan mata. Napasku memburu disertai wajah memanas.

Kenapa Rigel selalu berlaku seenaknya saja? Tapi, kenapa aku seakan mulai luluh atas dirinya? Ada apa ini? Kenapa perasaanku jadi tak menentu?

Banyak sekali pertanyaan di kepala yang meminta diberi jawaban.

Tanpa aku kehendaki, wajah Rigel tiba-tiba saja hadir dalam benak. Begitu jelas dengan tatapan elangnya. Sontak mata terbuka. Aku menggeleng, mencoba mengusir bayangan itu.

Aku merebahkan diri di ranjang. Menatap langit-langit kamar. Pikiran berkelana entah ke mana, sedangkan detakan jantung tak juga mereda.

Perlahan, jemariku bergerak untuk menyentuh bibir yang tadi Rigel pagut. Seharusnya aku marah. Namun, kenapa malah jadi tersenyum?

🌺🌺🌺

Aku sudah rapi dengan pakaian kerja. Menanti Rigel di meja, untuk menikmati sarapan yang kusediakan.

“Pak!” Aku memanggil ketika dia hendak membuka pintu apartemen.

Dia menoleh, seperti enggan untuk bertatapan. Bahkan setelah ciuman semalam, dia masih tak ingin bicara?

“Sarapan dulu,” kataku.

Ekspresi itu begitu datar. Padahal, sedari tadi aku sudah tersenyum. Tidak bisakah dia membalas sedikit saja?

Rigel akhirnya berjalan ke arahku. Menatap sekilas, lalu menarik kursi. Tangannya langsung bergerak untuk meraih garpu serta pisau. Memotong cheese sandwich yang kubuat dan mengunyahnya perlahan.

Aku menyantap sosis sembari menatap Rigel. Sesekali dia melirikku. Tapi dia cepat-cepat mengalihkan pandangan saat mata kami beradu. Yang terdengar sejak tadi hanya dentingan di piring. Tidak ada suaraku ataupun Rigel. Suasana begitu canggung. Dan aku tak tahu apa penyebab pastinya.

“Aku pergi,” katanya, setelah meneguk jus jeruk.

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain tersenyum. Untuk berucap, lidah pun kelu. Dia lantas bangkit dan mengambil langkah cepat untuk keluar dari apartemen. Punggung itu menghilang dari pandangan. Wajah dengan rahang kokoh itu tak tampak lagi. Dan mata elang yang tak lagi menatapku.

Napasku terhela pelan. Ada nyeri yang menelusup ke hati karena sikap dinginnya. Terasa ada yang kurang setelah dua kali fajar menyapa, tapi Rigel tetap diam. Tidakkah dia mengerti bahwa aku kesal dengan sikapnya itu?

Kuremas pinggiran rok, sebelum akhirnya memutuskan untuk merapikan meja. Namun, laki-laki yang tadi mengenakan kemeja berwarna burgundy, tak juga pergi dari otak. Laki-laki itu terus berlarian di pikiran, meski tanganku tengah sibuk mencuci piring.

Kenapa kamu terus menggangguku, Rigel?

Ini menyebalkan!

🌺🌺🌺

Kubikel sepi, karena sudah jam makan siang. Tersisa aku yang hendak menuju ruangan Rigel. Tapi, tiba-tiba langkahku bimbang. Kemarin dia tak mau makan bersamaku, lalu bagaimana dengan hari ini?

Akhirnya, aku memutuskan untuk ke toilet lebih dulu. Mematut diri di cermin, memperbaiki tatanan rambut dan pakaian.

Kuraih ponsel dari tas. Mengira Rigel akan mencari karena sudah waktunya kami makan. Namun, dia tetap tak menghubungi. Benda pipihku kesepian sejak kemarin. Ah ....

Sekali lagi memastikan blouse charcoal yang kupakai sudah rapi, aku lalu melangkah. Memutuskan untuk tetap ke ruangan Rigel.

Hatiku dipenuhi rasa penasaran. Sefatal apa salahku, hingga dia mogok bicara? Ck!

Sampai di depan ruangan, aku mengetuk pintu. Membayangkan Rigel akan bersikap seperti kemarin. Namun, ketika dia mempersilakan masuk dari dalam, senyumku terbit.

“Siang, Pak,” sapaku ramah.

Dia hanya menatap sebentar, kemudian kembali fokus pada laptop. Rasanya kesal diabaikan seperti ini. Seharusnya sekalian saja usir aku dari hidupnya.

Ugh, Rigel! Kamu menyebalkan!

Aku duduk dengan perasaan dongkol. Bibir sedikit manyun dan sepertinya nafsu makanku akan hilang lagi. Memang siapa yang bisa makan dalam situasi kaku bak kanebo kering begini? Sementara Rigel, terlihat  masih asyik dengan pekerjaannya.

Jadi, dia membiarkanku masuk hanya untuk dijadikan patung?

Menunggu sekitar sepuluh menit, dia tak juga menghampiri. Maka, aku bangkit dengan tangan terkepal kuat. Menatapnya sembari mendengkus.

“Saya makan di kantin saja kalau begitu, Pak.”

Aku sudah membalik tubuh. Memangnya mau sampai kapan kelaparan di sini? Karena Rigel tak juga mempersilakanku untuk makan. Yang ada nanti dia akan mengomel jika aku mendahuluinya.

“Makan di sini.”

Langkahku terhenti saat mendengarnya bicara dan entah untuk alasan apa, aku mengulum senyum.

Kembali membalik tubuh. Mata kami saling merajut tanpa kata. Aku terdiam karena merasa ada sesuatu yang tengah memenuhi hati. Bukan, aku bukan merasakan sakit. Tapi merasa senang karena saat ini bisa duduk bersisian lagi dengan Rigel. Bisa melakukan aktivitas yang sudah kami kerjakan bersama beberapa waktu ke belakang.

“Nanti aku akan pulang terlambat. Tidak usah memasak untukku.”

Wajahku terangkat dari makanan di meja. Memandanginya yang sibuk mengunyah. Lalu aku kembali makan saat dia tak juga membalas tatapanku.

“Bapak mau ke mana?” tanyaku pelan tanpa menatapnya.

“Bukan urusanmu.”

Sendok di tangan kugenggam kuat. Wajah terasa panas. Cepat-cepat aku habiskan makanan dan pamit dari ruangannya.

Aku menuruni anak tangga dengan tangan terkepal. Bukan urusanku katanya? Iya, benar. Tapi kenapa aku merasa tidak terima? Biar bagaimana pun, kami tinggal di bawah atap yang sama. Setidaknya bukan masalah jika memberitahu alasannya terlambat pulang.

Tunggu. Sejak kapan aku peduli pada Rigel? Ckck! Ini bukan sepertimu, Elara Calista.

Tepat saat aku duduk di kursi kerja, ponsel berdenting. Dengan malas aku mengambilnya dari tas.

Nathan. Lagi-lagi Nathan. Bisakah sesekali orang lain saja yang mengirimkan pesan? Rasanya hanya dia yang rajin meramaikan ponselku.

El, pulang kerja dinner bareng, yuk! Aku traktir.

Dinner? Terdengar bagus. Lagipula, Rigel akan pulang terlambat. Tidak masalah jika aku tak langsung kembali ke apartemen. Perihal keridaksukaan Rigel pada Nathan, masa bodoh sajalah. Biar itu jadi urusan mereka.

Maka dengan semangat aku mengetik balasan untuknya.

Boleh, Nath. Di mana?

Cepat, Nathan membalas. Mengirimkan sebuah alamat house steak yang kutahu baru buka sejak dua bulan lalu. Tapi, sudah ramai dikunjungi karena katanya makanan di sana lezat dan pelayanan ramah. Letaknya juga hanya lima belas menit dari kantor dan jika ke apartemen, dua puluh menit. Sebuah keberuntungan datang padaku, jelas saja tak boleh disia-siakan.

Jarum jam bergerak cepat. Tak terasa senja sudah datang. Aku mendesah saat menyadari, bahwa Rigel masih bersikap dingin padaku. Seharian dia tak mengirimkan pesan. Benar-benar tidak punya perasaan!

🌺🌺🌺

Alunan lagu She Will Be Loved dari Maroon 5 menemani makan malamku dengan Nathan. Entah mengapa, aura laki-laki yang sedang memakai kaus putih polos di depanku serasa berbeda. Dia di sini, tapi pikirannya seakan melayang entah ke mana. Nathan beberapa kali tak fokus menjawab atau menanggapi perkataanku.

Wajah yang biasanya semringah, pesonanya memudar hari ini. Tampak jelas ada yang tengah di pikirkan. Karena, mata yang biasa memandangiku penuh keceriaan juga tak terlihat.

Pandangan kami bertemu sejak tadi. Dia juga tersenyum. Tapi, ini bukan Nathan yang biasa kutemui. Nathan kali ini tak banyak bicara. Helaan napasnya beberapa kali terdengar berat. Mungkinkah ada sesuatu yang meredupkan semangatnya?

“Nath ....” Nathan menarik bibirnya ketika aku memanggil. Membersihkan mulut dengan napkin sebelum menyahutiku. “Kamu ada masalah?” tanyaku, setelah potongan daging terakhir tertelan.

Dia mengusap-usap wajah sebentar. Lalu menyandarkan tubuh di kursi. Ditatapnya aku dengan bibir yang sedikit tertarik. Nathan menggeleng, tapi embusan napasnya barusan menandakan bahwa dia tak baik-baik saja.

“El, kamu punya pacar?”

Refleks saja aku tertawa mendengar pertanyaan Nathan. Kemudian ikut-ikutan menyandar serta menyilangkan kaki di bawah meja. Satu tanganku memegangi perut, sedangkan satunya lagi menutup mulut. Mencoba menghentikan tawa.

“Malah ketawa,” kata Nathan dengan dahi berkerut. Matanya menyipit, seakan tak suka dengan reaksiku barusan.

“Oke, oke, aku berhenti ketawa. Jadi, Nathan, aku itu enggak punya pacar. Lagian tumben kamu nanyain.”

Tubuhnya kali ini tegak. Kedua tangannya berada di meja dengan jemari saling bertautan. Wajah itu tertunduk sebentar dan kembali menatapku.

“Kalau cowok yang lagi dekatin kamu, ada?” tanyanya lagi.

Sejenak aku berpikir. Tidak ada laki-laki istimewa di sisiku. Rendi? Ah, dia hanya sekadar iseng saja. Mengirimkan pesan saja tak pernah. Jadi, dia tak termasuk dalam hitungan.

Aku melipat kedua tangan di perut, lantas menggeleng. “Enggak ada, Nath.”

“Rigel?”

“Kenapa sama dia?” tanyaku balik.

“Hubunganmu sama Rigel, El.”

“Cuma atasan dan bawahan, Nath. Aku udah bilang ke kamu, 'kan?”

Dan entah mengapa, wajah Nathan menegang. Sementara, tangannya terkepal. Dia tersenyum, tapi aku mengartikan sebagai kesinisan. Lantas dia menggumam, “Atasan dan bawahan.”

Otakku bekerja. Sepertinya membahas Rigel itu tak baik. Jadi, aku mengalihkan pembicaraan ke pernikahan Vivian saja.

Lama-lama akhirnya Nathan bersikap normal. Kami melucu, kami tertawa, sampai tak terasa dua jam terlewati di sini.

Thank you buat traktirannya, Nath.”

Next time mau lagi kalau aku ajak, ya? Anggap sebagai ucapan terima kasih kamu.”

Aku mengangguk. Menerima permintaannya.

Baru saja hendak berdiri, tapi Nathan lebih dulu menghampiri kursiku. Tangannya terulur bersamaan senyum yang terkembang indah. Dan aku membalas sebagai ucapan terima kasih untuk makan malam kali ini.

Kami bertatapan sebentar dengan tangan yang masih berpegangan. Dan saat aku membalik tubuh, hendak melangkah, aku terpaku. Jantungku mendadak bertalu-talu melihat siapa yang tengah menatap tajam ke arahku dan Nathan. Aku kaku. Otak tak bisa bekerja sementara.

Tersadar sesuatu, aku menyentak tangan Nathan yang mana membuat matanya membulat.

“Pak Rigel ....” Kusebut namanya, tapi laki-laki berkemeja burgundy itu malah melangkah keluar dari restoran.

“Biarin aja Rigel pergi, El,” kata Nathan santai.

Namun, aku tak mengindahkannya. Aku berlari, meninggalkan Nathan sendiri dan berniat menyusul Rigel. Mata memandang nanar ke setiap mobil yang berjejer. Nahas. Laki-laki itu tak kutemui di sini.

Dengan cepat aku berlari ke sepeda motor. Mengendarainya dengan laju kencang. Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana cara agar cepat sampai di apartemen dan bertemu dengan Rigel. Kepalaku tak berniat membayangkan reaksi Nathan atas tindakanku tadi. Bahkan, juga tak berniat memikirkan alasan mengapa aku bisa sekalang kabut seperti sekarang.

Kemacetan di mana-mana! Sungguh membuatku ingin mengumpat. Karena waktu yang semestinya dua puluh menit, harus tertempuh selama lebih dari setengah jam.

Tergesa-gesa aku menaiki lift setelah sampai di lobi apartemen. Wajah tegang Rigel kembali terbayang. Tatapan tajamnya. Dadanya yang naik-turun. Dan sikap dinginnya.

Kupegangi dada sambil mengatur napas agar lebih teratur. Namun, dalam hati mengutuk, kenapa tumben sekali lift ini terasa lambat?

Lift akhirnya berdenting, serta terbuka. Dengan segala keresahan yang ada, aku berlari agar sesegera mungkin mencapai unit Rigel. Tak peduli akan keringat yang membanjiri dahi. Juga tak peduli pada kaki yang mulai lelah.

Semakin berdebar dadaku saat menekan angka-angka. Rasanya sesak saat kenop pintu kubuka pelan. Entah Rigel akan bersikap bagaimana kali ini. Tapi seharusnya dia belum sampai dan aku akan membuat sesuatu untuk mengembalikan mood-nya.

Pintu terbuka, hingga sofa di ruang tamu tampak. Tapi ... hatiku bagai tertikam belati saat mendapati seorang perempuan ber-dress mini tengah duduk di pangkuan Rigel. Sementara, Rigel menenggelamkan wajah di dada perempuannya. Dan tangannya melingkar di pinggang ramping itu.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro