Gray

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rigel's PoV written by verlitaisme

"Jadi pastikan, siapkan unit terbaik dengan view terbaik untukku, Pak Rigel." Lelaki berusia lewat setengah abad yang duduk di hadapanku mengekeh.

"Pastikan juga Anda menambah lembar saham di bisnis saya, Pak Angga," balasku sambil tersenyum hormat.

Yang kusebut Pak Angga ini, mengangguk-angguk. Calon investor baru untuk bisnis property-ku. Tidak berapa lama, seorang pelayan masuk ke dalam private room yang sengaja kusewa. Membawakan dua steak yang terlihat masih mengepul, dalam wadah berwarna hitam.

"Silakan, Pak Angga." Aku mempersilakan ketika semua menu sudah tersedia di meja dan si pelayan sudah keluar ruangan.

Makan malam kali ini agak berbeda. Tidak di rumah, dan tanpa Elara. Bisa jadi saat ini aku sedang berbincang hangat dan serius mengenai bisnis dan investasi bersama Angga, tapi sebenarnya pikiranku berada bersama Elara. Khawatir jika dia memaksa untuk tidak makan, karena berpikir aku enggan untuk makan, seperti kemarin malam.

Makan malam ini terasa sangat panjang. Syukurnya, aku berhasil memaksa Angga untuk menggelontorkan angka yang tidak sedikit, jadi tidak sia-sia aku mentraktirnya dengan menu termahal.

"Terima kasih untuk makan malamnya, Pak Rigel." Angga mengulurkan tangan setelah aku membukakan pintu private room, begitu diskusi dan makan malam kami selesai.

"My pleasure, Pak," jawabku, menyambut uluran tangannya.

Tidak lama kami berjalan beriringan menuju pintu keluar, sembari kembali berbincang mengenai property dan insvestasi. Hingga pada satu titik, ekor mataku menangkap sesuatu hal yang membuat hatiku meradang.

Langkahku terhenti, menatap sepasang manusia yang duduk sambil bercengkerama akrab di salah satu meja. Degup jantungku bekerja lebih cepat, tertoreh luka lebih dalam.

"Pak Rigel?"

Suara Angga menyadarkanku, menoleh ke arahnya kupasang senyum seprofesional mungkin.

"Maaf Pak Angga, saya tidak bisa mengantar Anda ke depan. Sepertinya kartu kredit saya tertinggal pada buku bill," ujarku memberi alasan.

Untungnya Angga mengerti, dia melenggang keluar tanpa menantiku. Dan ketika aku kembali berpaling ke arah pasangan yang paling kubenci saat ini, kulihat si lelaki sedang berdiri di sisi si perempuan. Dia mengulurkan tangan dan disambut dengan senyum manis si perempuan yang menyahut tangannya.

Berengsek!

Tiba-tiba perempuan itu menoleh, membuat mata kami bersirobok beberapa saat.

"Pak Rigel ...." Perempuan itu, Elara, menyebut namaku dengan terkejut. Sementara si lelaki laknat, Nathan,  yang berdiri di sebelahnya, tersenyum sinis penuh kemenangan ke arahku.

Sialan!

Maka dengan perasaan meletup-letup, kubalik tubuh dan berjalan keluar dengan tergesa. Dengan gemetar kuraih ponsel di saku jas, mencari sebuah nama di dalam sana tanpa menghentikan langkah.

"Kamu di mana?" tanyaku tanpa basa-basi ketika seseorang menyahut di seberang sana. "Aku jemput!" kataku lagi, sembari memutus panggilan.

Elara ... Elara ....

💕💕💕

Entah apa yang salah dengan hati. Yang pasti aku merasa terluka, meski aku tidak yakin apa perlu untuk merasa terluka.

Aku dan Elara, hubungan kami hanya sebatas selembar kontrak konyol lima ratus juta. Hanya sekadar atasan dan bawahan. Tidak tertulis masalah hati, main perasaan. Namun nyatanya, kehadiran Nathan yang berkali-kali di sekitarnya, membuat hatiku sering kali berdenyut dan melakukan hal bodoh.

Seperti saat ini, ketika Angel dengan pakaian seksi kebanggaannya, berdiri di hadapanku sambil bersedekap dan menghela napas berkali-kali.

"Jadi aku harus apa?" tanyanya untuk kesekian kali, seakan apa yang kujelaskan di sepanjang jalan ke apartemen setelah menjemputnya tadi, tidak diindahkan.

Aku turut menghela napas. "Kalau kamu enggak mau bantu, ya sudah. Pulang, gih!" usirku sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan.

"Ih!" Angel terlihat kesal. "Egoisnya enggak ilang-ilang!" Dia berjalan ke arahku, dan duduk bersisian denganku di atas sofa.

"Habis ... pertanyaanmu sejak tadi tidak ada habisnya," gerutuku. "Memang penjelasanku sepanjang jalan sulit dimengerti?"

Angel tertawa. Tubuh rampingnya dirapatkan padaku. Kebiasaan! Dari zaman kuliah, dia selalu saja suka nempel-nempel. Tidak, bukan karena dia ada rasa. Tapi lebih karena dia merasa kami sebegitu akrabnya.

"Di motor, Gel. Enggak kedengaran." Dia mencibir, aku lagi-lagi mendengkus.

Tadi, ketika aku menjemput Angel di apartemennya, kami memang berganti kendaraan. Jalanan super macet, dan perempuan ini menyarankan agar kami mengendarai motor besar miliknya, supaya bisa melewati jalan-jalan tikus yang lebih lengang. Untungnya, aku ikuti sarannya. Kalau tidak, bisa jadi kami masih terjebak di kemacetan Jakarta.

"Masalah hati, heh?" tebaknya.

"Bukan!"

Angel terkekeh lagi. "Baiklah, Rigel Devara yang terhormat," ditariknya tubuh, "lalu siapa dia yang membuatmu seperti ini, kalau bukan masalahnya di hati?"

"Pembantu." Aku menoleh ke arah Angel. Dia mengerutkan kening bingung. "Dan tidak ada pertanyaan lagi, kecuali kamu pergi sekarang dari apartemen." Aku memperingatkan, setelah melihatnya hendak membuka mulut untuk berbicara.

Mulut yang tadinya hendak terbuka itu, balik mengerucut. Lalu dengan cepat, sudah berpindah tepat di pangkuanku. Kubiarkan saja.

"Begini?" tanyanya sambil mengalungkan kedua tangannya di leherku.

"Bagaimana kalau mengangkang saja?" godaku.

Dasar Angel sedikit nyentrik. Dia benar-benar mengubah posisi duduk di pangkuan. Menghadapku, dia mengangkang di atas ke dua paha sehingga bagian bawah dress mininya tertarik naik.

"Begini?" tanyanya lagi sambil tersenyum jail. Aku menghela napas melihat kelakuannya. "Apa aku perlu mendesah? Mengerang?"

"Enggak!"

Lalu dia nyengir. "Padahal biar maksimal."

"Enggak perlu," sahutku lagi, bersamaan dengan suara-suara tombol pada pintu.

Elara pulang.

Dengan sigap Angel menarik kepalaku hingga rapat ke dadanya yang membusung. Kuraih pinggangnya, mengalungkan salah satu tangan di sana.

"Aku mau lihat, seperti apa penampakan pembantu yang bisa membuat hatimu terluka," bisiknya.

"Diam!" perintahku dengan nada tertahan di antara belahan dadanya.

Tidak lama terdengar pintu di dorong. Lalu hening.

"Cantik," bisik Angel. "Arghhh!"

Sialan Angel! Sudah kubilang tidak usah mengerang!

Lalu kudengar langkah berderap-derap, dan pintu yang terbanting sebagai sentuhan akhir.

Angel menarik kepalaku mundur, lalu bangkit dari pahaku. Menunduk, dia memaksaku menengadah untuk menatapnya.

"Pembantumu, berlari ke kamarnya dengan berderai air mata," katanya.

Aku terdiam. Seharusnya aku merasa lega bisa membalas perlakuan Elara, tapi nyatanya hatiku malah semakin berdenyut.

Entah apa yang salah dengan hati. Namun mengetahui bagaimana Elara terluka, lukaku malah semakin bertambah nyeri.

Perlahan aku bangkit berdiri. Menatap pintu kamar Elara yang tertutup rapat, sebelum mengalih pandang ke arah Angel.

"Ayo, kuantar kamu pulang." Aku berbalik, meninggalkan Angel di belakang. Tidak lama langkahnya terdengar mengikuti.

💕💕💕

Lampu lalu lintas beranjak hijau, ketika aku menekan pedal gas, dan kembali terjebak dengan kemacetan beberapa meter di depan. Angel sudah aman sampai di apartemennya, dan mobil kesayanganku sudah kembali dalam genggaman.

Perjalanan ini terasa lambat. Bukan, bukan karena jalanan super macet yang sudah menjadi kebiasaan. Namun karena hatiku yang terasa berat untuk pulang.

'Cih! Rigel! Kamu seperti seorang banci sekarang!'

Aku meringis, malu dengan diri sendiri. Kulempar pandangan jauh ke depan, mendongak dan menemukan Jakarta yang seharusnya terlihat menakjubkan di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit yang bercahaya indah, lampu kendaraan yang membanjir di jalan. Indah. Tapi ruang hatiku sedang tersiksa, jadi pemandangan itu terlihat serba abu-abu.

Lebih dari setengah masa hidupku berlalu dengan nuansa serba abu-abu. Tidak hitam, tidak putih. Ber-ibu, tapi terasa piatu. Ber-ayah, tapi sepanjang hari dirinya hanya bekerja, mengurung diri setelahnya sambil menangisi diri, sampai mati.

Lalu aku. Yang berpikir sudah tidak punya rasa, tidak punya hati. Namun belakangan ini, terasa ada yang mengiris di balik sana. Entah. Aku tidak yakin. Aku tidak paham.

Kembali kulempar pandangan pada jalan di depan. Mencoba mengabaikan apa yang sesak di dada.

Tidak apa, Rigel. Suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Tentang arti sakit di dalam hati, yang kamu rasakan saat ini.

💕💕💕

Aku menekan tombol-tombol pada pintu apartemen, melangkah masuk dan berjalan ke arah dapur. Langkah sempat terhenti di depan kamar Elara, melihat ke sela bawah pintu yang masih menampakkan terang di dalam sana. Kemudian langkahku kembali terayun, membuka kulkas dan mengambil sekaleng bir dari dalam sana.

Bersandar pada meja marmer yang menjadi kesatuan dengan kitchen set, kutarik penutup kaleng dan meneguk perlahan bir. Rasa dingin dan rasa pekat langsung bercampur di tenggorokan. Tidak puas karena merasa dingin yang mendominasi terlalu sedikit, kuteguk sisanya sampai habis sekaligus. Pandanganku, tidak putus pada cahaya di bawah pintu kamar si perempuan kurus.

Pembantumu, berlari ke kamarnya sambil berderai air mata.

Tanpa sadar, kaleng di tangan sudah teremas sampai tak berbentuk. Kesal. Kulempar sembarang sampai berdentang kencang saat membentur lantai. Dengan napas memburu kulangkahkan kaki menuju kamar Elara. Mengetuk pintu kamar itu berkali-kali seperti kesetanan.

"Elara! Elara!!" pekikku tidak sadar.

Tidak lama kudengar kunci memutar di balik pintu. Kutarik tangan dari daunnya, dan membiarkan pintu itu ditarik membuka dari dalam.

Elara berdiri di sana dengan wajah menunduk. Rambutnya terlihat kusut. Namun, aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Ya, Pak," desisnya seakan berbisik.

Kuhela napas keras-keras sebelum berkata, "Lihat aku."

Si keras kepala, seperti biasa tidak pernah patuh. Dia tetap menunduk.

"Lihat aku E-la-ra ...." Kueja namanya dengan gemas. "Lihat aku!" Akhirnya kuangkat dagunya dengan telapak tangan, dan terperangah.

Wajah itu terlihat berantakan. Matanya memejam memang, tapi bisa kulihat sisa basah di ujung kelopak. Lagi, hatiku berdenyut. Ingin sekali mengecup mata-mata yang basah itu dan mengatakan, "Semua baik-baik saja Elara." Namun tidak kulakukan. Aku tidak yakin dengan semua ini. Aku tidak pernah merasakan nyeri, ketika melihat seseorang merasa perih. Aku ... seperti bukan aku!

"Apa hubungan kita, Elara?" tanyaku berbisik.

Elara membuka kelopak matanya perlahan. Lalu sebuah bulir jatuh begitu saja, mengalir ke pipinya, ke dagunya, dan membasahi telapak tanganku yang masih menyangga wajahnya.

"Atasan ... dan ... bawahan," bisiknya. Terdengar seperti sayatan yang menggores telingaku.

Kutarik tangan dari wajahnya. "Karena itu tidak perlu menangis karena aku," ujarku gusar. "Aku pun, tidak akan pernah menangis karena kamu." Kukepalkan tangan di sisi tubuh, berbalik, dan berjalan dengan ringan ke kamarku. Meninggalkan Elara tanpa berani menatapnya lagi.

Abu-abu. Sampai saat ini, hidupku, hatiku, masih seperti dulu. Tidak hitam. Tidak putih. Hancur. Tidak punya rasa.

Benarkah?

💕💕💕

Seperti biasa, sepagi ini setelah berpakaian rapi, aku beranjak ke meja makan. Kulihat omelet dan segelas kopi sudah tertata rapi di atas meja. Namun, di mana Elara?

Langkahku semakin mendekat, sebelum akhirnya menemukan selembar kertas di atas meja, dijepit oleh piring berisi omelet.

Tergesa kuambil kertas itu, dan membaca pesan yang tertulis.

'Maaf, saya berangkat lebih dulu. Nanti siang salah seorang teman dari divisi ada yang ulang tahun. Maaf. Tidak bisa makan bersama.'

Kuhela napas, meremas kertas, dan melemparnya kembali ke atas meja. Duduk di salah satu kursi dan mulai menyantap sarapan. Rasanya aneh, tidak ada Elara di meja yang sama saat sarapan. Tanpa sengaja mataku menangkap kalender yang menggantung di dinding. Sudah dua bulan sejak kontrak konyol yang kupikir menjeratnya, tapi ternyata juga menyiksaku, ditandatangani. Sebentar lagi, siksaan ini akan segera berakhir.

'Bertahan, Rigel!'

💕💕💕

Kususuri koridor menuju lobi. Tergesa karena harus segera menghadiri meeting dadakan. Angga, investor baru-ku, tiba-tiba memanggil karena urung menanam saham lebih. Jadi aku harus datang. Mungkin merayunya dengan makan siang, atau dengan perempuan-perempuan cantik, yang biasa disodorkan rekan-rekan bisnisnya yang lain. Yang katanya, saat ini sedang merayu si tua itu untuk mengalihkan semua sahamnya di Devara Developer, ke bursa mereka.

Sialan!

Dean bergerak dengan langkah yang sama tergesanya dengan langkahku. Kupikir, dia harus sama cemasnya denganku. Dari hitung-hitungan yang sudah dia create, setidaknya Angga harus menggelontorkan dana sebesar lima milyar lagi agar hotel yang sedang kami bangun di Sepang, bisa berdiri kokoh.

"Kamu sudah tahu di mana dia akan makan siang?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan ke arah Dean.

Dean menatap layar iPad-nya, lalu menyebut sebuah restoran mewah pada hotel di bilangan selatan Jakarta. Dia juga menyebutkan bahwa jalan sangat macet dan kemungkinan besar kami baru bisa tiba di sana dalam waktu satu jam lebih.

Aku mendesah kesal. Padahal waktu kami tidak banyak.

"Helikopter?"

Dean menghentikan langkah ketika aku menyebut alternatif kendaraan. Langkahku juga berhenti pelan.

Tidak. Bukan karena Dean menghentikan langkah, maka langkahku terhenti. Namun karena aku menangkap sosok mungil di antara kerumunan karyawan-karyawan perempuan dari divisi customer service. Mereka tertawa. Dia tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tawa dan senyum yang membayang di wajah tirusnya menular padaku.

Tanpa sadar, garis-garis bibirku terangkat naik. Membingkai senyum yang tidak mampu kutorehkan sejak kemarin. Ada rasa lega, melihat bagaimana dia terlihat baik-baik saja.

Elara tersenyum. Dan aku? Bahagia?

Damn!
Damn!
Damn!

Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Dari kejauhan kami saling menatap. Jengah. Kutarik senyumku turun, bersamaan dengan dia yang memalingkan wajah dan kembali bergurau dengan kawanannya.

Ah, Elara.

"Helikopter, sudah tersedia di helipad, Pak." Ucapan Dean menyentakku sadar. Kubalik tubuh, kembali menuju lift, untuk menuju puncak dari gedung.

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro