😍 Keluarga Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Darah itu memang lebih kental dari air.
Namun, bukankah kita tidak perlu ikatan sedarah untuk saling peduli.

❄️❄️❄️

Hari sudah menjelang sore. Tugas Ilham sudah menanti di lantai teratas. Sederet pot bunga mawar sudah menunggunya untuk kencan sore ini. Ia keluar kamar, berjalan sebentar ke ruang tamu dan berdiri di sana untuk beberapa saat.

Awalnya Ilham berharap sosok yang tengah duduk di ruang tamu itu akan menyadari keberadaannya. Sayang, selama beberapa menit Ilham berdiri, Nanang masik asyik melamun.

"Kenapa?"

Suara Ilham menyadarkan Nanang dan membuat lelaki itu langsung menoleh. "Mau minta tolong, Mas."

Ilham dengan segala kepekaan yang ia punyai sudah otomatis paham. Ia mengeluarkan selembar uang berwarna biru dan meminta Nanang untuk membeli makanan sekaligus menawarkan pada seisi kosan mungkin ada yang ingin titip sesuatu.

Nanang melongo. Belum juga berkata apa-apa, isi kepalanya seolah tertebak. Padahal kali ini bukan perihal makanan. Ia ingin bertanya perihal lowongan pekerjaan. Setelah disampaikan barulah Ilham paham ke mana arah pembicaraan mereka tertuju.

"Nanti Mas tanyain di kantor. Nih, beli makan dulu. Pakai motor Mas, tapi pulangnya sekalian mampir isikan bensin." Ilham mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah sekaligus menyerahkan kunci motor.

Terkadang Ilham merenung, penghuni kosan Bu Endang ini memiliki latar belakang berbeda, tetapi jalan hidup mereka nyaris sama. Ada saja permasalahan yang dihadapi. Di usia yang masih terbilang muda, mereka memberanikan diri untuk merantau dan jauh dari orang tua.

Seketika rasa syukur menyelimuti hatinya. Ia tidak sendiri, sebab keluarga keduanya juga tidak kalah penting. Bahkan ketika Nanang berbalik dan memunggunginya, ia sekilas melihat sosok Bayu dan Hiday yang berjalan menjauhinya.

Ah, mata ada-ada saja. Rindunya tahan dulu, ya. Sekarang sama adik-adik di sini dulu, batin Ilham setelah memastikan matanya sudah benar dan memastikan bahwa itu Nanang.

❄️❄️❄️

Pagi kali berbeda dengan kemarin. Jika kemarin disambut raungan lagu JKT 48, maka hari ini disambut kesunyian. Sebuah kesengajaan karena yang gaduh adalah grup WhatsApp untuk memeriahkan hari wisuda Wisnu, penghuni kamar kosan nomer sembilan.

Setelah membaca pesan yang menumpuk dan memastikan semua adiknya ikut andil demi suksesnya hari kelulusan Wisnu, Ilham berangkat ke tempat kerjanya.

Ilham sudah duduk di balik meja kerjanya. Dari baru sampai matanya tidak berhenti menatap layar komputer. Ada batas waktu yang harus dikejarnya supaya bisa bekerja setengah hari.

Bukan tanpa alasan, tetapi salah satu adiknya di Kosan Bu Endang akan melewati satu prosesi penting dan bersejarah dalam hidupnya. Wisnu, salah satu penghuni terlama--sama seperti dirinya--akan mengikuti prosesi wisuda.

Sesuai dengan arahan dari Naka sang kuncen, seluruh penghuni kosan akan hadir dengan dress code batik dan bertemu di gerbang belakang Catra. Mereka akan hadir setidaknya pukul 11.30 WIB. Hanya Ilham dan Iqbal yang akan datang terlambat.

"Ham, izin masuk setengah sudah di-ACC. Ntar pas sebelum makan siang lo boleh balik."

"Thank's udah bantuin, Bang."

"Hem. Gue salut sama keluarga lo di kosan. Solid banget dah. Nggak yang tua sampai yang bocil, tingkat pedulinya tuh bagus semua."

"Makasih, Bang. Mereka berharga banget buat gue."

Ilham tersenyum. Ia juga turut bangga ketika adik-adiknya dipuji oleh sesama rekan kerjanya. Sebab rekan kerjanya tahu betul bagaimana anak kosan ketika Ilham sedang dalam kondisi tidak baik sampai harus mendapat perawatan di rumah sakit.

Tidak ada yang tidak ia ketahui.Ilham sebagai penghuni tertua sekaligus masuk dalam jajaran penghuni pertama Kosan Bu Endang sedikit banyak sudah tahu latar belakang keluarga setiap penghuni kamar di sana.

Pagi tadi, sebelum Ilham berangkat kerja beberapa penghuni saling mengingatkan tentang acara untuk Wisnu. Naka si kuncen kosan bahkan bangun lebih pagi untuk mengantar Bu Endang berbelanja. Pemilik kosan itu akan masak besar hari ini.

Lain halnya dengan Nanang yang sengaja menyiapkan sepasang ondel-ondel untuk menemani Wisnu diarak sampai ke kosan. Ilham dengan ide yang alakadarnya meminta tolong pada salah satu kenalan Bu Endang untuk menyiapkan petasan renteng yang harus dinyalakan begitu rombongan sudah hampir mendekati kosan.

Ah, sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana meriahnya. Apalagi beberapa penghuni menyiapkan buket besar berisi lembaran uang berwarna merah dengan tulisan "uang mainan". Penataan yang apik membuat tulisan tersebut tidak terlihat.

"Bang, itu kerjaan hari ini sudah beres. Sudah dikirim ke emailnya Bang Jaka sama Bang Risky. Nanti semisal ada revisi, kabari."

"Sip. Makasih, Ham."

"Gue cabut dulu. Dah telat banget, nih."

Ilham sudah ancang-ancang untuk pergi, tetapi satu tangannya tertahan karena orang di sebelahnya memegang dan membuka telapak tangannya.

Sebungkus roti dengan ukuran yang lumayan besar dan sebotol air mineral mendarat di tangannya.

"Jangan lupa diisi dulu perutnya. Acara bakal panjang, jangan suka nunda untuk makan. Lambungmu bisa kambuh kapan saja."

"Makasih sudah diingetin, Bang Jaka."

"Dah, sana. Adik-adikmu dah pada nungguin."

Lagi-lagi Ilham hanya mampu tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Ia juga tidak lupa berterimakasih pada Bang Jaka yang selalu menjadi pengingat.

Meski keluarganya menjadi prioritas utama, tetapi Ilham tidak bisa abai pada keluarga keduanya. Ia tidak pernah keberatan jika harus mengeluarkan uang untuk adik-adiknya di kosan. Prinsipnya itu selama uang masih bisa dicari, pakai saja. Rezeki tidak akan pernah tertukar.

Bahkan untuk kado wisuda, Ilham sengaja memilih sendiri hadiah apa saja yang akan ia berikan untuk Wisnu. Sebuah satu set aromaterapi dengan empat varian aroma, sekotak permen cokelat, topi dengan nama Wisnu di bagian depan, sebuah buku jurnal dengan custom design, dan dua tube sun screen. Semua disiapkan dalam satu kotak dengan kertas kado bermotif batik.

Semua sudah berkumpul, bahkan memasuki sesi foto, semua antusias. Ilham yang memang datang terlambat sengaja berdiri di kejauhan. Dalam diamnya ia mengamati bagaimana tawa adik-adiknya itu bisa menghibur Wisnu. Ketidakhadiran orangtuanya memang membuat Wisnu sedih, tetapi setidaknya ada penghuni kosan yang menjadi penyelamat.

"Mas Ilham, sini!" panggil Yoyo. Bocah dengan kemeja batik yang dipadu dengan celana seragam sekolahnya.

Ilham langsung mendekat. Ia menjabat tangan Wisnu dan menyerahkan kotak yang sudah dipersiapkan. Tidak lupa ia menyapa adik-adik yang sangat kompak mengenakan batik dengan berbagai corak

"Kadonya gede, banyak isinya, nih. Boleh lihat, nggak?" tanya Reza, salah satu penghuni muda di kosan satu angkatan dengan Audio Seni yang lebih sering dipanggil Yoyo

"Nanti saja buka di kosan." Ilham menengahi dua bocah yang sudah antusias untuk membuka kado.

Kejutan rupanya tidak selesai. Wisnu yang sudah bahagia mendapat hadiah, buket uang, dan tentunya kehadiran penghuni kosan masih dibuat takjub. Lelaki yang masih mengenakan toga itu sukses terpana melihat sepasang ondel-ondel yang datang beratraksi di depan rombongannya.

Ilham mendekati Wisnu dan merangkulnya. "Kelakuan anak kosan memang ajaib. Apa ini yang terakhir? Belum. Masih ada kelanjutannya," bisik Ilham di dekat telinga Wisnu.

❄️❄️❄️

Penghuni kamar no.10
Kosan Bu Endang


Bondowoso, 14 Mei 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro