☺️ Masih tentang Keluarga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang membuatmu bahagia?
Senyuman dari orang-orang terdekat.
Binar mata cerah dari mereka yang tersayang.

❄️❄️❄️

Sesuai dengan yang disampaikan pada Wisnu, apa yang disiapkan penghuni kosan memang luar biasa. Baru saja iring-iringan terlihat, suara petasan sudah terdengar. Persis seperti permintaan Ilham.

Dua renteng petasan dipasang di depan gerbang kosan. Hal ini dilakukan sudah dengan izin dari Ketua RT dan RW. Ilham tampak puas melihat kekompakan adik-adiknya itu. Ia juga tidak merasa rugi untuk menjadikan hari ini spesial untuk Wisnu.

"Mas, ini nggak berlebihan?" tanya Wisnu sambil menggandeng tangan Ilham setelah memarkir motornya.

Ilham menatap mata Wisnu. Ia menepuk pundak lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi dengan toga yang disampirkan di tangannya. "Sudah, nikmati saja. Ini semua dari kami, keluarga kosan."

Penyambutan di kampus dan sebelum masuk rumah rupanya belum seberapa. Bu Endang langsung mengarahkan penghuni kosan untuk masuk ke rumahnya. Meja panjang dengan berbagai macam hidangan sudah tersaji dengan rapi.

Wisnu yang menjadi tokoh utama hari ini hanya mampu memandang takjub. Tidak hentinya ia mengucapkan kata terima kasih. Mungkin orang tuanya memang tidak ditakdirkan untuk hadir karena Tuhan ingin memperlihatkan bahwa ia tidak sendiri.

Sayur asem Jakarta dengan isian kacang panjang, daun melinjo, kacang tanah, jagung, dan labu menjadi primadona. Dilengkapi dengan ikan asin jambal roti yang ditumis dengan cabai dan tomat hijau, tidak lupa dengan tempe dan tahu bacem.

"Wah, ayam kecap!" seru Naka.

"Wah, ada mi goreng!" suara lain memenuhi ruangan.

Hampir semua sajian yang ada di meja adalah kesukaan penghuni kosan. Bu Endang sebagai pemilik kosan memang sering berbagi makanan. Beliau juga paham dengan selera anak kosnya.

Buah-buahan yang sudah dipotong, lengkap dengan es degan sebagai penghilang dahaga yang paling ampuh setelah berpanas-panasan ria.

"Loh, ini ada yang nggak ikut pulang, ya? Uci ke mana?" tanya Ilham.

"Dek Uci masih ada keperluan, Mas. Tadi minta antar sampai salon situ," ujar Naka sambil mengangkat tangannya dan menunjuk arah salon yang dimaksud.

"Yoyo sama Ejak?" Ilham melebarkan pandangan dan mencari keberadaan duo bocil yang biasanya paling heboh. "Ah, iya. Mereka balik lagi ke sekolah," ucapnya sambil menepuk jidat.

Lelaki dengan baju batik berwarna gelap itu beranjak dan menemui Bu Endang yang merapikan piring dan sendok. Ia menggandeng si pemilik kosan dan membawanya ke arah dapur.

"Bu, apa uangnya cukup? Kalau kurang nanti bilang, ya?"

"Ham, anak-anak yang lain patungan buat ini, terus kamu tambah lagi. Itu malah lebih, loh. Apa uangmu nggak dikirim ke kampung?"

"Sudah, Bu. Itu dari gaji saya waktu terjemah naskah bahasa asing."

Bu Endang menyambar dompet dari atas kulkas, ia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Ini lebihnya. Ibu ambil untuk masakannya saja. Untuk buah dan es biar Ibu saja."

Ilham menggeleng dan mendorong tangan Bu Endang. "Buat Bu Endang saja. Mungkin adik-adik ada keperluan ndak terduga, Bu."

"Ham, i-ini kebanya...." Bu Endang berhenti karena dering ponsel Ilham menyita perhatian lelaki di hadapannya.

"Maaf, Bu. Permisi sebentar."

Setelah beberapa saat, Ilham kembali menemui Bu Endang. Ia menyampaikan bahwa beberapa penghuni kosan sedang ada keperluan lain. Ilham meminta beliau untuk menyisakan beberapa untuk mereka yang belum bisa bergabung saat itu.

"Kamu mau ke mana, Ham? Nggak makan dulu?"

"Balik ke kantor, Bu. Mendadak ada panggilan."

"Tunggu sebentar, ya?"

Bu Endang dengan sigap mengeluarkan wadah Tupperware berupa rantang susun tiga. Ilham langsung meneguk ludah. Bukan perkara makanan, tetapi ia membayangkan bagaimana jika wadah tersebut hilang atau tertinggal nanti.

Lelaki dengan rambut lurus itu menghampiri Bu Endang, "Pakai wadah kertas nasi itu saja, Bu," ujarnya sambil menunjuk ke arah kertas berwarna cokelat.

"Kuahnya?"

"Pakai kantong plastik, Bu."

"Ribet. Nih, sudah. Nanti kembalikan rantangnya."

Mau tidak mau Ilham menerimanya. Meski dalam hati ia ingin memberontak dan menolak. Sebab, bukan sekali dua kali beberapa rekan kerjanya harus kembali lagi ke kantor karena wadah bekal Tupperware tertinggal.

Oleh karena itu, Ilham mencetuskan satu loker khusus dengan nama "Loker Penyelamat". Isinya adalah barang-barang yang tertinggal di kantor, penghuni paling sering adalah wadah bekal makanan sejuta umat itu.

Ilham melewati ruang tengah tempat anak kosan menikmati masakan Bu Endang. Ia berjalan dengan sedikit tergesa karena sepertinya panggilan yang ditujukan padanya itu sangat penting.

"Mas Ilham mau ke mana?"

"Kantor, Ka."

"Katanya sudah ambil cuti masuk setengah?" Wisnu bertanya dari ujung meja karena ia sedang mengisi gelasnya dengan es degan.

"Darurat!"

"Jangan lupa makan, Mas," teriak Wisnu sebelum Ilham benar-benar tidak terlihat dan dibalas dengan ibu jari kanan yang terangkat.

Meski jalanan sedikit padat, tetapi Ilham masih bisa melaluinya dengan baik. Ia sampai di kantor sekitar tiga puluh menit setelah panggilan terakhir ia terima. Salah seorang rekan kerja pada bagian teller menelepon dan meminta bantuanya secara langsung.

Ilham berjalan dengan sangat terburu-buru. Dari berjalan, ia mulai berlari kecil. Sampai di ruangannya ia langsung disambut dengan wajah terkejut dari Bang Jaka dan Bang Risky.

"Kok lo balik lagi, Ham?" tanya Bang Jaka.

"Si Andre nelpon, Bang."

"Susah emang tuh anak dibilangin. Udah dibilangin lo cuti, masih aja."

Wajah Bang Jaka tidak bisa dikatakan tenang. Kerutan di antara alisnya menjadi penanda bahwa ia sedang kesal. Lain lagi dengan Bang Risky yang langsung beranjak dan hendak keluar ruangan.

"Bang Risky mau ke mana?"

"Mau kasih tahu tuh bocah!"

Ilham langsung berlari mendekati Bang Risky dan menariknya masuk lagi ke dalam ruangan. "Nggak usah, ini gue yang mau, Bang."

"Ham, seisi kantor paham kalau lo hampir nggak pernah ambil cuti. Harusnya dia juga ngerti. Lagian pas dia ke sini juga sudah disampein kalau lo lagi cuti."

Bang Risky hanya menurut pada arahan Ilham. Ia diminta duduk dan diam di tempat untuk beberapa saat untuk menormalkan deru napas yang menggebu karena terpengaruhi emosi.

Dua lelaki yang sama-sama saling kenal sejak awal Ilham bekerja itu terdiam. Keduanya seperti terkena ajian pengasih yang menuruti semua perintah Ilham. Padahal lelaki seperempat abad itu hanya tersenyum dan menepuk bahu dua abangnya itu.

"Bang Jaka sama Bang Risky di sini, nikmati ini, terus jangan lupa wadahnya simpan di loker kalau dah habis."

"Kali ini si Andre mau minta tolong apa?" tanya Bang Risky sambil mulai membuka Tupperware susun tiga yang dibawa oleh Ilham.

"Server di depan trouble, Bang."

"Kita nggak kurangan teknisi kalau lo lupa."

"Itu sudah dua yang gabung, Bang, tapi masih belum ketahuan penyakitnya."

"Terus?"

"Ya, bantuin, Bang."

Beralih Bang Jaka yang mendekat dan merangkul bahu Ilham. "Di sana sudah dua teknisi, lo makan dulu. Roti yang tadi sudah dimakan?" Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan oleh Ilham.

Bang Jaka menarik napas sambil menahan diri supaya tidak kelepasan dan marah pada Ilham. Bukannya apa-apa, sebab dari sebelum izin siang tadi, sampai datang kembali, sikap Ilham masih sama.

Lelaki berkemeja batik itu beberapa kali kedapatan memegangi perutnya. Entah itu disadari atau tidak oleh si pemilik tubuh. Namun, kepekaan Bang Jaka yang memang di atas rata-rata menangkap tingkah laku Ilham.

"Duduk!"

Ilham hendak berpaling dan meninggalkan dua lelaki seniornya itu.

"Ini perintah, Arkana Ilham!" Suara menggelegar dari Bang Jaka membuat Ilham perlahan kembali ke tempat duduknya

Jika si duo Abang luluh dengan senyuman, maka Ilham akan takluk ketika salah seorang dari mereka memanggil nama lengkapnya. Sebab itu adalah kemarahan yang tertahan dan Ilham tidak berani membantah.

❄️❄️❄️

Penghuni kamar no.10
Kosan Bu Endang


Bondowoso, 21 Mei 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro