Stand by Me: The World in Paintings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Detik berlalu cepat, menit terlewat bagai udara tak kasat mata, dan Hyunsik tetap bertahan menatap lukisan hamparan bunga matahari; masih berada di atas steger. Penyangga kayu itu menjadi saksi bahwa kanvas yang sudah penuh dengan dominasi warna kuning dan oranye ini tidak diangkat, apalagi diganti kanvas baru, tidak sama sekali dari beberapa hari ini.

Hyunsik baru berkedip kala perih menyeruak. Bola matanya kemudian bergerak-tertuju pada rumah kecil di sudut, juga lampu yang agak memaksa terlukis di sana. Gambaran itu memang tidak lagi sempurna seperti pertama, seharusnya tidak ada gambar lain selain bunga matahari dan surya yang akan tenggelam, Hyunsik hanya menepati janji. Sekarang dirinya sudah ada di sini, sudah bebas, hanya entah mengapa suasana hatinya selalu menjadi tidak baik setelah bertemu dengan gadis itu.

Gadis dalam lukisan.

Selesai menghadiri acara musik akhir tahun empat belas hari lalu, Hyunsik memilih tinggal dalam flat dibanding harus pulang ke apartemen pemberian dari CEO agensinya. Apartemen itu luas, tapi terlalu kosong bagi Lim Hyunsik yang menghuni sendirian. Di lamunannya sebelum tidur, sorak meriah penonton sesekali terngiang. Jujur saja, Hyunsik menyukai suara-suara itu; suara mereka bagai rangkaian nada pengiring, hanya belakangan ini Hyunsik berniat untuk berhenti dari dunia musik. Pikir Lim, ia tidak terlalu berbakat seperti apa yang selama ini penggemarnya duga.

Kepercayaan diri Hyunsik melemah di tengah daun yang sedang mengangkat tinggi-tinggi namanya ke atas langit. Memikirkan bagaimana reaksi CEO jika Hyunsik berhenti terbayang hingga membuatnya pulas. Tidak berapa lama, ia terusik oleh sinar yang menajam, menantang Hyunsik untuk segera membuka mata. Hyunsik tidak ingat kalau di musim dingin mentari lebih garang dari musim panas.

Kepalanya terasa ringan, bahkan tidak dapat berpikir lebih jauh tentang mentari atau refleksi seseorang yang tiba-tiba, membuat jantung terasa digebuk sehingga Hyunsik dengan mudah beranjak duduk dari baring. Pasang matanya menatap horor wajah yang menampilkan senyum canggung di hadapan.

"Hai," sapanya, mengangkat sebelah tangan. Gadis itu tidak tahu cara menyapa dengan baik.

Hyunsik bergerak mundur, mendadak semua terasa asing. Tidak, tidak. Sejak Hyunsik membuka mata, keadaan, atmosfer, tempat, tidak seperti yang biasa Hyunsik lihat jika bangun tidur.

"Kau kelihatan bingung. Apa memang bingung?"

Barangkali Hyunsik terlalu stres, hari-hari Hyunsik dipenuhi oleh berbagai macam tekanan sehingga berhalusinasi yang 'iya-iya' begini; ada seorang gadis asing di tempat yang asing juga. Bisa jadi sehabis ini ada adegan panas. Hyunsik mencekam kedua sisi kepala, alur pemikirannya tidak masuk akal!

"Kepalamu sakit? Mengapa memegang kepalamu kuat sekali?"

Bahkan hanya sekali lihat gadis itu tahu Hyunsik terlalu erat memegang kepalanya. Hyunsik hanya ingin berpikir jernih. Gadis itu terus berbicara kepada Hyunsik yang membuat pening, jangan lupakan juga mendekat. Gadis bergaun putih itu merangkak bak balita belajar jalan. Wajahnya terus-menerus dicondongkan ke arah Hyunsik.

"Berhenti, berhenti. Diam di situ!" Hyunsik tidak bisa bergerak lagi. Rasanya seperti buntu meski Hyunsik masih bisa merasakan angin berembus melintasi punggungnya.

Sesuai perintah, dia diam, duduk melipat kaki ke belakang dan memerhatikan Lim Hyunsik. Napas laki-laki itu terlalu cepat, detik berikutnya tidak menentu.

"Dimana... aku?"

"Dekat bunga matahari?" gadis itu ragu atas jawabannya sendiri. Tapi jika dilihat memang benar, mereka berada di tengah hamparan bunga yang tengah menghadap tegas ke arah mentari.

"Maksudku, ini bukan kamar flatku. Aku ingat betul kalau tidur di kamar, lalu...." Hyunsik tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Tidak mungkin Hyunsik tidur sambil berjalan, kan?

"Aku juga tidak paham mengapa kau bisa di sini, cahaya-cahaya berpendar persegi yang membawamu."

Baik, Hyunsik akan gila sebentar lagi.

"Mungkin ini juga bagian dari doaku. Aku bisa bertemu denganmu secara langsung." Tidak lagi diam, gadis itu kembali bergerak sangat dekat dengan Hyunsik. Sedekaaaat yang dia bisa. "Aku punya permintaan. Bisakah kau membuatkan rumah untukku?"

"Rum, rumah?!" Hyunsik kaget. Masalahnya, Lim saja tinggal di flat meski ada apartemen. Bukan ingin sombong, uang yang Hyunsik hasilkan sudah cukup untuk membeli satu unit rumah, hanya sengaja tidak dirinya pergunakan. Lalu sekarang ada gadis asing....

Membuatkan rumah?

Tunggu.

Membuat? Hyunsik mencoba menggunakan pikirannya lagi.

"Bangunan yang memiliki atap, juga tidak berlubang. Siang hari aku selalu kepanasan. Ah, bisakah kau juga membuatkan lampu? Saat hari menggelap, itu benar-benar gelap. Aku takut."

"Sebentar, aku tidak paham. Kau memintaku membuat rumah, dan... lampu?!"

Sungguh, Hyunsik baru menggunakan akal sehatnya. Gadis itu bukan ingin dibelikan rumah melainkan meminta Hyunsik 'membuatkan' rumah. Hyunsik bukan arsitek, ia bahkan tidak bisa membuat lampu. Konyol. Hyunsik tidak hentinya gaduh dalam hati.

"Kupikir karena kau pencipta, makanya kau bisa membuatkanku rumah. Tidak bisakah? Tapi aku percaya kau bisa...." gadis itu berharap banyak, jika sekali ada kata 'tidak' dari Hyunsik pasti dirinya akan kecewa berat.

Pikiran Hyunsik kian kalang kabut. Tidak ada perasaan spesifik, seluruhnya abstrak.

"Kau menganggap aku Tuhan?"

Dalam pandangan gadis itu, Lim Hyunsik adalah orang yang tidak punya sambungan lancar jika diajak bicara. "Aku tidak menyebutmu Tuhan. Aku bilang, kau pencipta."

Rasanya Hyunsik ingin tertawa keras-keras. Keadaan sudah tidak terkontrol bagi Hyunsik. Dirinya tidak henti memikirkan tentang rumah sakit jiwa.

"Aku tahu kau yang menciptakan kami." Gadis itu kembali bicara. "Bunga, matahari, dan aku."

Tanpa berniat, pasang mata Hyunsik berpindah ke arah sekitar yang tidak disadari. Bukan. Hyunsik tahu dirinya ada di tengah banyak bunga, Lim hanya baru sadar kalau bunga-bunga dan mentari yang akan tenggelam itu persis seperti lukisan buatannya. Tepat salju turun melintasi jendela kamar, Hyunsik justru melukis pemandangan bunga matahari; berbanding terbalik dengan apa yang dirinya lihat di balik jendela-salju-salju turun tidak menarik atensinya.

"Tapi kau tidak menciptakan rumah," lanjut gadis itu.

"Aku juga tidak menciptakan dirimu." Hyunsik ingat benar, dirinya hanya menggambar hamparan bunga dan mentari, tidak seorang gadis.

"Tiap tempat yang tercipta, pasti setidaknya ada satu orang yang tinggal. Kau yang telah menciptakanku melalui imajinasimu. Jadi bisakah kau menciptakan rumah untukku tinggal?"

Hyunsik memejamkan mata rapat-rapat, semua gelap. Berharap setelah membuka mata dirinya kembali berada di flat. Namun ketika mata Hyunsik kembali terbuka, gadis itu lagi yang terlihat. Kesal, Hyunsik berdiri. Tanpa diduga gadis itu juga ikut beranjak, tingginya hanya sebatas pundak Hyunsik.

"Aku ingin pulang." Hyunsik mencari-kanan kiri, tidak terdapat pintu atau apa pun yang berpotensi untuk keluar dari sini. "Bagaimana... bagaimana caranya aku kembali?"

Gadis itu memerhatikan gerak Hyunsik yang tidak tenang, sebentar ke arah kanan, sebentar ke sisi berikutnya.

"Lim Hyunsik!"

Menegang, laki-laki yang sempat membelakangi berbalik-menatap si gadis. Satu lagi yang tidak masuk akal, bagaimana bisa gadis itu mengetahui namanya?

"Percuma kau mencari jalan keluar. Tidak akan ada. Sudah kubilang, saat kau tiba di sini, kau diantar oleh beberapa cahaya."

Tidak dapat berkata, Hyunsik jatuh terduduk. Keringat membasahi kemeja abu-abunya. Seakan tidak punya harapan akan bisa kembali, Hyunsik siap mati saja detik ini.

Gadis bergaun putih segera merapat ke arah Hyunsik dan duduk di hadapannya. "Kau ingin pulang, 'kan? Maka maukah kau berjanji?"

"Setelah itu aku bisa kembali?"

Hyunsik bahkan tidak sadar kedua tangannya digenggam oleh gadis ini.

"Iya. Tapi janji dulu, setelah kembali kau akan membuatkanku rumah, hm?"

Tidak berpikir panjang, Hyunsik menyetujui dan gadis itu mengaitkan secara paksa anak jarinya ke jari kelingking Hyunsik. "Baik, kau sudah berjanji. Kau harus menepatinya!"

Tidak ada yang berubah.

Hyunsik belum kembali ke kamarnya.

Matahari kian tenggelam, dan gadis itu beringsut ke sisi Hyunsik; ketakutan.

"Kau membohongiku, ya?" Samar, Hyunsik masih bisa melihat wajah gadis itu, napasnya dapat Hyunsik rasa menerpa tepi leher. "Katamu aku bisa kembali jika berjanji."

Mata mereka bertemu saat gelap semakin memudarkan pandangan.

"Um, itu, agar kau mau berjanji saja. Hehe...." dia terkekeh kaku, lalu melanjutkan sebelum Hyunsik bicara. "Mungkin kau bisa kembali saat ada cahaya itu lagi."

Ya, sejak awal memang ini tidak masuk akal. Jadi Hyunsik akan mengikuti ke mana alur cerita yang Tuhan rancang untuknya, hanya percaya bahwa ia akan kembali.

"Aduh." Gadis itu meringis, tubuhnya ikut terbaring saat Hyunsik menjatuhkan diri terlentang.

"Siapa suruh tanganmu melingkar kuat di lenganku, hah?"

Meski sudah mendengar kalimat itu, si gadis tetap mendekap lengan Hyunsik, tidak ada niat untuk melepas.

Beberapa saat tidak ada yang bicara. Di sini sunyi, Hyunsik berpikir gadis ini pasti benar takut. Lukisan bunga matahari selesai dua hari lalu, jadi apakah selama dua hari dia ketakutan? Hyunsik memikirkan itu sebelum suara si gadis kembali terdengar.

"Hyunsik...."

"Aku tidak paham dari mana kau tahu namaku, tapi tolong jangan menyebut namaku sembarang." Hyunsik bernada ketus, lalu dekapan gadis itu kian erat.

"Sadis, lalu bagaimana aku memanggilmu jika aku tidak boleh menyebut namamu?" Dia menggerutu, tapi Hyunsik tidak berniat menjawab. Terserah, pikirnya. "Aku ingin meminta lagi. Selain rumah, bisakah kau memberi nama untukku?"

"Kau tidak memiliki nama?"

Kali ini Hyunsik menanggapi. Matanya menatap langit malam yang kosong, tidak ada penghias seperti bulan atau bintang. Benar-benar sepi.

"Begitulah. Saat ada seseorang yang memanggil namamu, apa yang kau rasakan? Aku juga ingin merasakannya."

Hyunsik termangu sebentar.

"Shim... Gwanshim?"

Gadis itu mendongak-berniat melihat wajah Hyunsik meski hasilnya tidak terlihat jelas.

"Gwanshim, namamu."

"Wahh! Jadi sekarang aku resmi punya nama?!"

Tanpa disadari Hyunsik menarik sedikit ujung bibirnya mendapati suara ceria gadis itu. Gadis yang ia beri nama Gwanshim, terasa pas dengan wajah ovalnya yang mirip kelopak bunga matahari.

"Gwanshim! Gwanshim! Gwanshim!" Gadis itu menyerukan namanya bagai orang-orang yang akan demo sembako. "Terima kasih! Jadi, apa kau juga bisa menyanyikan lagu untukku?"

"Maksudmu?"

Gwanshim menyengir. Memang banyak sekali kemauannya, hanya sekali ini saja sebelum Hyunsik menghilang yang entah kapan, dirinya ingin mendengar suara laki-laki itu, lagi.

"Di dalam sini, aku mendengar semua suara dari ruanganmu. Sepertinya lukisan ini terhubung ke dunia nyata. Aku bisa mendengar orang memanggilmu, kau yang bernyanyi...."

"Termasuk aku yang memutuskan berhenti bernyanyi, apa kau mendengarnya?"

"Ye? A-ku tidak... mendengar soal itu." Lalu Gwanshim menekuk seluruh wajah, kalimatnya barusan belum tuntas.

"Karena aku berkata dalam hati." Kemudian Hyunsik tertawa. Jenakanya benar-benar tidak lucu.

"Terus... kenapa? Kenapa kau mau berhenti bernyanyi? Padahal suaramu bagus," kata Gwanshim, perlahan membiasakan kembali ekspresinya.

"Bagiku tidak. Aku punya banyak kekuarangan dalam suaraku." Hyunsik mengembuskan napas, ia tidak dapat menghindar dari rasa pesimis. Rendahnya kepercayaan diri sering membuat Hyunsik berpikir ingin berhenti.

"Kalau begitu kelebihanmu akan menutupi kekurangan yang kau anggap itu." Kalimat Gwanshim membuat Hyunsik tertegun. "Jika orang-orang yang pernah melihatmu bernyanyi, kau pasti terlihat begitu bersinar di mata mereka. Aku saja yang hanya mendengar suaramu merasa kau punya warna yang terang. Ketika pelantun menyanyi dengan hati, maka sampai juga ke hati pendengar. Kurasa itu kelebihanmu, kau bernyanyi dengan sepenuh hati. Yang menjadi kekurangan hanya kau tidak percaya kepada dirimu sendiri, padahal tidak ada masalah dengan suaramu."

Gwanshim memelintir ujung lengan kemeja Hyunsik, tidak ada maksud apa-apa, tangannya iseng saja. Hyunsik juga tidak ada suaranya. "Menurutku... kenapa tidak ubah cara pandangmu terhadap diri sendiri? Ketika dirimu mengubah cara pandang, kau akan menemukan sesuatu yang belum pernah kau temukan dalam dirimu. Sesuatu yang... istimewa? Bisa meningkatkan kepercayaan diri juga."

Hyunsik masih menatap langit, tersenyum sedikit. "Kau gadis aneh."

Berbanding terbalik dengan perasaan nyaman dekat Gwanshim, Hyunsik hanya bisa mengatakan kalimat semacam itu. Jika lagu yang Lim Hyunsik buat terdapat kalimat-kalimat romantis menyentuh, atau sakit yang teramat, Hyunsik tidak bisa mengatakan kata-kata dengan baik, suka terbalik dengan maksudnya. Itu mengapa terkadang lebih mudah menulis, dibanding berkata.

"Mungkin karena aku diciptakan dari pikiranmu. Pikiranmu juga kan aneh. Sudah dianugerahi suara bagus, malah mau berhenti bernyanyi, mubazir tahu!"

Senyum kecil itu pada akhirnya kian melebar, Hyunsik tidak bisa menahannya. Sementara Gwanshim tetap tidak mendapatkan yang dirinya mau; suara Hyunsik yang bernyanyi.

Beberapa jam-mungkin, Hyunsik tidak tahu pasti berapa lama waktu yang berlalu bersama gadis itu, sekarang terlalu tidak biasa jika tidak mendengar suaranya.

"Shim, kau tidur?"

"Tidak." Langsung dapat jawaban, kemudian Hyunsik bergerak sedikit-hanya ingin melonggarkan dekapan gadis itu, lengannya terasa kesemutan.

"Tetap begini, kumohon. Aku takut, serius." Gwanshim merengek, tangannya kuat-kuat bertahan mendekap lengan Hyunsik.

Semakin lama Hyunsik bersama Gwanshim, ia jadi lebih tahu kepribadian Shim. Kepribadian yang sebetulnya Hyunsik harapkan ada dalam dirinya; memperkatakan apa yang ingin dikatakan, menegaskan pendapat tanpa takut, menunjukkan perasaan yang memang dirasakan, dan ceria. Hyunsik menyukai kehangatan dari keceriaan gadis ini, Hyunsik suka kejujuran Gwanshim.

"Penakut. Lalu kalau aku tidak ada, bagaimana kau menghadapi rasa takutmu?"

"Makanya aku memintamu membuatkanku rumah. Aku akan tinggal dalam rumah. Sebelum ini aku selalu bersembunyi di banyaknya bunga matahari. Andaikan aku bisa ikut denganmu."

Wajah Hyunsik berpaling ke sisi-tepat ke arah Gwanshim sehingga sinar mata mereka bertemu. Batin keduanya bergejolak bising.

"Yah... kenapa cahaya itu tidak membawaku sekalian ke tempatmu jika akhirnya mereka membawamu kembali. Jadi aku tidak sendirian...." Gwanshim menurunkan kedua bola mata, bermaksud tidak menatap mata Hyunsik.

"Dan kau tidak akan dapat rumah."

Gwanshim memaksakan tawa, berhenti memilin kemeja laki-laki di sisinya. "Tapi aku akan tinggal bersamamu."

"Jadi asistenku, ya?"

"Tidak apa. Yang penting kau memberiku tempat tinggal. Atau mungkin juga makanan, barangkali aku akan merasa lapar jika di dunia nyata."

Dari baring terlentang, Hyunsik berposisi menyamping hingga kedua tangan Gwanshim terlepas. Kenapa tidak dari tadi saja, pikir Hyunsik.

"Kau tahu tentang semuanya, makan, rumah, kau juga pandai bicara. Tapi kau sendiri belum pernah makan? Jangan-jangan kau belum sekali pun melihat rumah secara nyata?"

Gwanshim terdiam sesaat, bukan untuk berpikir, hanya ingin menetralkan perasaan ganjil yang serasa mengalir deras dalam dirinya.

"Memang... belum. Tapi aku tercipta dengan banyak pengetahuan. Entah dari mana, tapi aku tahu rumah untuk tinggal, dan makan untuk menghilangkan lapar. Sayang sekali aku belum pernah merasakan lapar."

"Kalau begitu jika kau mampir ke duniaku, akan kuajak kau makan, bagaimana?"

"Kau bercanda, 'kan? Mana mungkin bisa aku ke sana...."

"Dalam mimpimu." Lalu Hyunsik tertawa, puas sekali menjahili gadis ini. Sudah lama Hyunsik tidak tertawa lepas, bebannya seolah menguap hilang, lalu tawanya turut lenyap ketika mata tiba-tiba terbuka, padahal Hyunsik ingat bahwa dirinya tidak terpejam.

Gwanshim hilang dari pandangannya.

Saat-saat dimana Hyunsik kembali, dirinya berpikir semua yang dialami hanya sebatas mimpi. Namun itu terlalu nyata, sehingga Hyunsik segera menambahkan gambar rumah dan lampu jalan dalam lukisannya. Perkataan-perkataan gadis itu juga terlalu memengaruhi Lim Hyunsik sampai dirinya mengambil satu keputusan besar dalam hidup; urung berhenti dari dunia musik. Gwanshim mampu membuat diri Hyunsik terpacu untuk lebih percaya pada diri sendiri, bahwa ia memang pantas berdiri di panggung. Tetap berkarya dan mengalahkan rasa pesimis yang seringkali datang.

Dunia ini masih berlaku tentang antonim. Ada pengaruh positif, maka ada pula negatifnya. Dampak negatif dari pertemuan itu memberi ruang kosong dalam hati, membuat Hyunsik berulang kali memejamkan mata meski tidak mengantuk-berharap dirinya bisa masuk kembali ke dalam lukisan, bertemu Gwanshim dan mendengar suaranya lagi. Tetapi dirinya tetap berada di dunia nyata.

Lama-kelamaan Hyunsik mulai merindukan gadis itu, kadang sesak menyerang dadanya. Dalam kesempatan lain Hyunsik merasa ingin menangis, seperti sekarang. Jadi apakah Gwanshim sedang menangis? Apa dia terjatuh lalu terluka? Hyunsik tidak bisa mendengar suara Gwanshim, tapi Hyunsik yakin suaranya terdengar oleh gadis itu.

"Bagaimana keadaanmu di sana?" Hyunsik berbisik, lalu air mata menetes sekaligus dari kedua pelupuk.

"Di sini dingin, Shim. Semakin dingin... apa matahari di sana masih sama? Kau tidak lagi kepanasan, 'kan? Berlindunglah di rumah, Gwanshim. Jangan sakit, jangan sampai...."

Mustahil rasanya jika menunggu Shim yang datang ke dunia Hyunsik. Dirinya juga tidak tahu harus dengan cara apa untuk menemui Gwanshim kembali. Hyunsik seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti datang. Faktanya pertemuan singkat itu amat membekas.

"Ya! Hyunsik-ssi kau masih bernapas? Hei, kau tidak mati membeku di dalam, 'kan? Setidaknya jawab aku!"

Pintu itu semakin keras tergedor dari luar. Hyunsik memejamkan kedua mata sesaat, menghapus jejak-jejak air yang berhasil membasah di pipi, lalu berbalik untuk membuka pintu, atau tidak Jung Ilhoon akan merusak pintu flat jika Hyunsik tidak segera membukanya.

"ASTAGA!" Ilhoon cepat-cepat memeluk erat-erat Hyunsik kemudian melepasnya, memeluk lagi, dan melepasnya kembali hanya untuk melihat wajah Hyunsik. Ini terlalu berlebihan.

"Aku kira kau mati."

"Mulutmu itu bisa tidak, jangan bicara sembarangan?"

Ilhoon tertawa kecil seraya melepas pelukannya dari Hyunsik. "Kau sedang apa sih di dalam? Hibernasi? Aku kira kau sudah rapi, ternyata ya ampun... cepat siap-siap, kau sudah terlambat setengah jam."

Hyunsik bahkan tidak memiliki kesempatan menjawab pertanyaan managernya. Mungkin ini risiko memiliki manager yang lebih muda; Jung Ilhoon cenderung tidak bisa menjaga sikap tetap tenang.

"Kenapa diam? Heihh ppalli...."

"Iyaaa Manager Jung tersayang. Mau tunggu di luar apa di dalam?" tanya Hyunsik saat dirinya hendak kembali masuk.

"Di mobil. Jangan lama lagi, atau aku akan kembali menggedor pintumu." Ilhoon berbalik. Baru berjalan dua langkah, Ilhoon berpikir mengapa pertanyaannya tidak Hyunsik jawab barusan. Ah, sudahlah.

Hyunsik kembali ke dalam; bersiap sekaligus mengambil gitar yang akan menemani dirinya berdiri di atas panggung. Sekali lagi, Hyunsik menatap lukisan itu.

"Shim-ah, aku akan segera pulang."

•••

Ketika diriku berdiri
Peluk aku dengan senyuman yang baik
Di akhir perjalanan panjang ke waktu yang lama
Ketika kita bertemu satu sama lain
Kita berdua akan menjadi satu

Aku bisa melihatmu di sana, akhirnya
Momen impian datang
Aku minta maaf jika terlambat
Aku akan memberimu banyak cinta
Terimalah cintaku.

Selalu, Hyunsik tidak pernah setengah-setengah saat bernyanyi. Hyunsik selalu total bersama melodi dan suaranya yang khas. Rendez Vous-judul lagu yang Hyunsik nyanyikan itu mampu menyita perhatian ratusan penonton. Panggung yang berada di ruang terbuka menjadikan kembang api yang meletus di atas langit malam terlihat jelas, lalu pandangan Hyunsik menangkap satu-satunya orang yang tidak bergerak riuh dari banyaknya penonton, tidak mengikutinya bernyanyi atau sekadar meneriakkan namanya.

Sesekali lampu sorot membuat wajah itu kian jelas. Lagu hampir selesai, Hyunsik menyanyikan lirik terakhirnya.

Di akhir perjalanan panjang ke waktu yang lama
Ketika kita bertemu satu sama lain
Kita berdua akan menjadi satu.

Suara tepuk tangan hampir mengalahkan suara petasan. Bahkan menyamarkan gumaman Hyunsik.

"Ini waktunya...."

"Hai. Aku-akan-ke-sana." Menunjuk belakang panggung.

Hyunsik tersenyum lebar menangkap gerak bibir itu. Pertemuan sebelumnya bersama Shim memang betul terjadi. Buktinya gadis itu berada di sini sekarang.

Tangan kanan Gwanshim yang melambai membuat Hyunsik semakin yakin kalau dirinya tidak sedang membayangkan gadis itu karena saking merindu. Rambutnya yang tergerai masih sama seperti pertama kali mereka bersemuka, gaun putih yang dikenakannya juga.

Gadis itu benar-benar nyata.

.
.
.

Selesai ~

Author note:

Uhuuu... yang bagian Bang Im done yaa. Khusus untuk Bang Im, lagu di mulmednya Dear Love, sekalian promosi, hahaha. Pas nulis juga dengerinnya lagu itu-sekadar informasi. (Padahal nggak ada yang tanya). Oke, sampai jumpa di sepuluh hari kemudian!

//Authooorrr-nimmm bagianku awas lho ya kayak hyung-hyung. Aku nggak mau.// Ini Sungjae dari kemarin gerutu mulu. Memangnya maunya gimana sih? Memang cerita yang hyungmu kenapa? //TERAGIS. Pokoknya kalau bagianku harus yang happy-happy. Kalau nggak, aku nggak mau muncul!// elahh, iya deh terserah Njae aja. //Makanya cepetan bikin yang akuuu!//

Astagaa, anak itu. Udah ya, author mau bawa pulang si Yook dulu, udah rewel banget soalnya. Pay pay!




- B T O B B L U E -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro