Stand by Me: When You Call My Name

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naira, coba dekatkan pipimu ke buku.

Untuk apa?

Lakukan saja, dua detik dari sekarang, oke?

Kemudian Sungjae menempelkan bibirnya pada kertas bertulis itu. Ada aroma tinta yang pekat tercium, namun Sungjae belum mau melepaskan diri dari sana. Saat ini ia memahami kalau perasaannya meninggi, tumbuh menjadi kaktus berbunga. Meski indah, kaktus terlanjur diciptakan memiliki duri. Setidaknya itu definisi Sungjae pada rasa yang ia alami.

Rasa sayang pada Naira lebih dari sekadar seorang kakek kepada cucunya. Ini terlarang, tetapi bukankah Sungjae yang sekarang bukan siapa-siapa? Sungjae tidak memiliki ikatan darah dengan Naira, jadi bolehkah Sungjae egois dan mempertahankan perasaannya?

Sungjae memang tidak ingat kapan mula perasaan yang lebih melekat, namun Sungjae mengingat benar saat pertama dirinya menemukan tulisan tangan Naira. Itu terjadi sekitar tiga puluh hari lalu, setelah dirinya sempat masuk rumah sakit.

Di depan pintu yang tenang, Shin Donggeun tidak bisa duduk meski hanya sekejap seolah terkena wasir, tubuhnya terus bergerak seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian.

Baru pintu terbuka dari dalam dan menimbulkan bunyi 'ceklek' lirih, kaki gelisah Donggeun berhenti lantas berbalik untuk menghadap laki-laki jangkung itu.

"Hei, bagaimana?" Donggeun tidak bisa menahan suara terlalu lama, pasang mata fokus memerhatikan Sungjae yang kini menutup pintu ruang periksa, kemudian tersenyum ke arah Donggeun—menampilkan kesan bahwa keadaan dirinya sudah membaik.

"Asma, atau... kostokondritis?"

"Hus!" Sungjae langsung melotot. Donggeun memang berhati-hati mengajukan pertanyaan dari nadanya, namun tidak memikirkan bagaimana reaksi Sungjae kala mendengar. "Kalimat yang keluar dari mulut bisa menjadi nyata, Hyung. Kau mau aku terkena sakit semacam itu?"

"Lalu apa? Dokter bilang apa? Kau sakit apa?"

Apa-apa-apa. Sungjae menggelengkan kepala. Jika ditulis, kalimat Donggeun sungguh pemborosan. Hanya Sungjae yang berpikir demikian karena dirinya belajar di jurusan sastra.

Sebenarnya Donggeun tidak sembarang menduga, mengingat Sungjae yang amat kesakitan. Sepulang menyerap ilmu dari dosen, mereka bertemu di halaman kampus yang rencananya akan mengerjakan tugas bersama—meski sebetulnya mereka berbeda tugas. Sungjae tiba-tiba membungkuk, memegang dadanya kuat-kuat, lalu mengatakan kalau dirinya tidak bisa bernapas. Siapa pun yang ada bersama Sungjae siang itu pasti panik.

"Aku tidak mengidap penyakit apa pun, Hyung. Hah, seandainya ada balai kesehatan di kampus, kita tidak perlu ke rumah sakit." Sungjae mendongak sebentar, menatap langit-langit rumah sakit yang luas. "Aku benci ditanya ini dan itu oleh dokter. Belum lagi mengurus administrasinya, menyebalkan."

Sungjae menggerutu, mengingat benar saat dirinya mengurus proses administrasi yang memakan waktu. Sementara laki-laki bertopi yang berada di sisinya sudah berwajah datar, lalu menatap punggung Sungjae yang sekarang menjauh ke arah luar rumah sakit dengan langkah kecil.

"Ibarat ibu hamil yang tiba-tiba mau melahirkan di jalan dan diantar oleh orang yang bukan keluarganya, ibu itu ditanya-tanya dulu bukannya dapat pertolongan lebih utama. Peraturan rumah sakit yang paling mengerikan. Benar kan, Hyung? Hyung?" Sungjae yang terlalu larut dalam gerutuannya baru sadar sang kakak senior tidak ada di samping. Sungjae menoleh, sampai tubuhnya ikut berbalik—memandang Donggeun yang masih berdiri di posisinya.

"Hyung tidak mau pulang?"

Kesal, Donggeun menghampiri Sungjae—berjalan cepat lalu meninju pundak anak itu. "Apa kau tahu aku khawatir setengah mati, hah? Dan sekarang kau bersikap seolah-olah yang terjadi padamu adalah hal sepele? Kau manusia bukan, sih?!"

Sungjae kaget mendapat bentakan tiba-tiba, sesaat kemudian laki-laki itu tertawa kecil. Dengan sintingnya ia menyahut. "Aku merasa seperti punya kekasih yang begitu perhatian. Hyung, saranghae."

"MIRING PIKIRANMU!"

Kali ini Donggeun berjalan mendahului Sungjae; keluar dari gedung rumah sakit.

Pasang mata Sungjae mulai menangkap orang-orang yang memerhatikannya, aura-aura mencekam sudah dirasa. Membungkuk sedikit beberapa kali pada orang-orang sekitar, Sungjae menyusul Donggeun. Haduh, Donggeun-nya berhasil menyita perhatian.

Donggeun-nya? Uri Donggeun? Sungjae menahan tawa sampai dirasa perutnya kaku dan tergelitik.

"Hyung, tunggu! Heihh... dia sangat sensitif," gumam Yook, lalu menyejajarkan langkahnya dengan Donggeun. Dia sudah berjalan melewati parkiran lebih lambat dari yang sebelumnya seperti orang terburu-buru.

"Hyung marah?" tanya Sungjae. Bukannya tidak tahu, Sungjae hanya ingin bertanya saja. Basa-basi memang tidak penting, namun basa-basi untuk merayu itu penting—moto Yook Sungjae.

"Masa bodoh. Sudah sana, jauh-jauh dariku!"

Jelas, Sungjae bukan orang yang mudah menuruti perintah semacam itu. Sungjae merangkul pundak Shin Donggeun—dia satu-satunya teman paling akrab. Dari sekian banyak teman yang dekat dengan Sungjae, hanya bersama Shin Donggeun Sungjae merasa cocok. Maka dari itu Sungjae akan melakukan apa saja untuk membuat hubungan mereka tidak berjarak.

"Maafkan aku, hm? Aku tidak bermaksud menyepelekan sesuatu yang kau cemaskan, aku justru berterima kasih. Tapi serius aku baik-baik saja."

"Apa menurutmu aku percaya? Jangan-jangan kau menyembunyikan penyakitmu dariku?"

Ya ampun, jalan pikir Donggeun terlalu jauh. "Memang Hyung kira ini skenario film? Aku benar sehat, dokter juga bilang aku tidak sakit apa-apa. Mungkin hanya kelelahan, katanya."

"Mungkin? Dokter kok ragu memberi hasil periksa dengan kata 'mungkin'? Seharusnya aku ikut masuk ke dalam ruang periksa tadi. Ah terserahlah, terserah. Sudah, pulang sendiri sana. Aku juga akan mengerjakan tugas sendiri saja."

"Eihh, kau masih marah." Sungjae tetap bertahan merangkul pundak Donggeun. "Hyung, kalau aku menceritakan sesuatu, kau mau berhenti marah?"

"Kau baru mau terbuka tentang penyakitmu?"

Keras kepala Shin Donggeun ini. Jadi apa jika Donggeun terbentur besi tiang gedung universitas, besinya yang akan cedera dan bengkok? Sungjae mulai berpikir aneh-aneh.

"Bukan, Hyung. Tapi kurasa ini memang berhubungan dengan rasa sakitku."

Tanpa kata, Donggeun menyetujui hanya dengan langkah yang mengikuti arah jalan Sungjae; masih dalam rangkulan anak itu.

Hadapan jalan raya yang padat mobil, suara klakson bersahut-sahutan padahal tidak macet, Sungjae mengajak Donggeun duduk di halte. Menatap keramaian itu sebentar, kemudian suaranya mulai terdengar di tengah bising campuran mesin mobil, klakson, dan beberapa orang sekitar.

"Yang kau lihat bukan pertama kalinya, Hyung. Akhir-akhir ini aku memang sering merasa sulit bernapas, aku tidak yakin kapan bermula. Dadaku seperti diremas kencang dari dalam. Tapi sungguh, aku tidak punya riwayat sakit asma. Bukan cuma itu, telingaku berdengung kala malam, seolah ada yang memanggil namaku berulang dengan nada sedih. Perasaanku sakit, lalu merindukan sesuatu yang entah apa."

Donggeun mendengarkan. Hanya mendengar tanpa memotong cerita Sungjae.

"Aku mulai tidak paham pada diriku sendiri. Aku sakit tanpa alasan, merindukan sesuatu tapi tidak tahu apa yang kurindukan. Gelisah tanpa sebab, sesak dan terluka tanpa tahu apa masalahnya. Aku tidak mengerti... aku sungguh...." Sungjae memegang dadanya, rasa nyeri itu kembali terasa meski intensitasnya tidak seperti enam puluh menit lalu. Napas Sungjae juga masih normal.

"Sungjae-ya?" Donggeun nyaris terserang cemas lagi sebelum mendapat senyum Sungjae, laki-laki itu menggelengkan kepala dengan gerak bibir; tidak apa, aku tidak apa-apa.

Menarik napas, Sungjae mengembuskannya sambil tersenyum kecut. "Sepertinya benar yang kau katakan, pikiranku miring. Apa harus diluruskan? Ke mana aku harus meluruskannya?"

"Kalau begitu mari kita luruskan," kata Donggeun, wajahnya tampak serius.

"Maksudmu?"

"Aku akan bertanya beberapa hal menggunakan sudut pandang psikologi yang sedang kupelajari, kau jawab saja dan jangan memikirkan apa pun."

"Konseling gratis? Oke!" Sungjae mendadak bersemangat, dirinya sempat lupa kalau Donggeun calon psikolog.

"Apa kau melewatkan sesuatu dalam hidupmu? Atau, kau tidak bisa melupakan kenangan membekas di masa lalu, kemudian tiba-tiba kau dipaksa untuk melupakan itu, semacam...."

Sungjae berpikir sambil menyimak baik-baik kalimat Donggeun yang belum tuntas. Namun pikirannya langsung kacau kala mendengar kata lanjutan dari laki-laki ini.

"...anemia?"

"Amnesia, Hyung!" Sungjae mengoreksi spontan, merasa sebal, dan Donggeun menjetikkan jarinya tanda itu yang dimaksud. "Jawabannya, tidak. Bahkan aku bisa mengingat masa kecil dan masa remajaku dengan baik. Hyung, berhentilah menonton film setelah ini, oke? Pola pikir Hyung jadi dramatik."

"Terkadang berpikir dramatik diperlukan untuk menjadi peka," sahut Donggeun, tidak begitu peduli akan nasihat Sungjae yang terdengar sebagai ocehan dalam pendengaran. "Pertanyaan selanjutnya, apa kau pernah mencintai seorang perempuan sangat dalam?"

Sungjae lantas mengangguk tanpa berpikir panjang. Donggeun melanjutkan kalimat pertanyaannya dengan sedikit praduga.

"Mungkin itu penyebabnya, perempuan itu. Di mana dia? Kau tidak bisa lagi menemuinya atau bagaimana?"

"Ada di luar kota, bersama ayahku." Sungjae mengingat-ingat. "Aku memang tidak bisa menemuinya dua minggu terakhir, karena dia sibuk bekerja ikut ayah."

"Heh?" Donggeun mendadak linglung, pikirannya buntu, tidak dapat memproses lebih jauh lagi atas informasi-informasi yang dirinya dengar.

"Mengapa... perempuan itu, bersama ayahmu? Perempuan yang kau cintai menikah dengan ayahmu?"

Ya Tuhan. Apa setelah orang ketiga yang dapat merusak hubungan sepasang kekasih, ada juga orang ketiga merebut ayah dari sang kekasih? Donggeun semakin kuat menganggap kalau dunia sudah lebih dari kata tidak waras.

"Tentu saja. Kalau dia tidak menikah dengan ayahku, aku tidak akan lahir, 'kan?" ada ragu dalam kalimat Sungjae, karena dirinya sendiri merasa ada yang salah di sini.

"Tunggu, yang kau maksud... ibumu?" tanya Donggeun, lebih ragu dari Sungjae.

"Iya. Kau bertanya apa pernah mencintai perempuan sangat dalam. Ya pernah, itu ibuku, dan akan selalu mencintai dia. Mm, meski sebetulnya ibu lebih mencintai ayah, sih."

Goddamn! Shin jadi berharap lautan mobil yang berlalu lalang itu menjadi air laut berombak, kemudian segera menenggelamkan Sungjae. Ini terlalu jahat, namun Donggeun gereget.

"Bukan itu maksudku, Yook. Ah, kau ini. Maksudku seorang gadis! Gadis yang kau cinta."

"Oh?" Sungjae nyengir. "Tidak ada. First loveku juga ibu. Bisa dibilang belum ada seorang gadis yang kucinta."

Meski masih ada pertanyaan lain, Donggeun urung bertanya. Tidak akan berakhir cepat, pikir Donggeun. Mungkin karena mereka berada di tempat umum, keadaan terlalu ramai sehingga mereka berdua tidak benar-benar berpusat pada satu titik.

"Ya sudah kalau begitu, aku belum bisa menerjemahkan apa-apa. Tetapi kemungkinan ada seseorang yang merindukanmu."

"Ibuku?"

"Rindu seorang ibu tidak mungkin menyakiti anaknya, Yook. Mungkin penggemar gelapmu." sahut Donggeun, terkesan tak acuh meski sebetulnya amat peduli atas keadaan juniornya.

Sungjae lantas tertawa. Namun kata-kata Donggeun tidak serta-merta serenyah tawanya. Laki-laki itu memikirkan kalimat Donggeun sambil menatap buku cokelat yang membisu di atas meja belajar dalam kamar. Buku itu pemberian dari almarhum sang nenek; sudah lama, namun kover cokelatnya tidak usang. Sungjae menjaganya dengan baik meski belum pernah tergores tinta sedikit pun. Tetapi hari ini, Sungjae bertekad mengisi per lembar halaman buku itu dengan rasa-rasa dalam hati.

Sebelum dirinya dan Donggeun berpisah pulang, Donggeun mengatakan jika Sungjae merasa sakit menulis saja, karena apa yang Sungjae rasakan tidak bisa sembuh dengan cara medis. Bukan berarti Sungjae betul gila, Donggeun hanya menyarankan hal ini untuk meminimalkan rasa sakit Sungjae. Menulis bisa menyembuhkan jiwa, juga penenang perasaan.

16 November 2019.

Aku tidak terbiasa menulis tentang perasaan-perasaan di selembar kertas. Aku tidak seemosional itu meski diriku belajar tentang literatur sastra. Tetapi kata kakak senior sekaligus temanku di kampus, aku harus menuliskan isi hatiku. Hari ini aku kesakitan, amat sakit sehingga tidak bisa bernapas. Aku juga kerap merindukan seseorang. Temanku itu, Donggeun Hyung mengatakan kalau mungkin itu bukan perasaanku, melainkan perasaan rindu orang lain kepadaku.

Percaya atau tidak, aku juga sering terselak ketika makan. Menurut kepercayaan orang tua jaman dulu, itu berarti ada yang membicarakan atau menginginkan kita menemui orang itu. Tapi aku bahkan tidak tahu harus menemui siapa.

Untuk yang sedang merindukanku, tolong jangan terlalu merindu, aku bisa mati terselak meski terkesan konyol. Sekalipun orang yang kumaksud tidak bisa membaca tulisan ini, kuharap Tuhan menyampaikannya melalui mimpi.

Sungjae menutup buku itu, kemudian merenggangkan sedikit punggungnya. Benar kata Shin Donggeun, menulis adalah obat paling efektif. Buktinya setelah menulis, Sungjae merasa jauh lebih baik.

Esoknya, Sungjae duduk di bawah pohon belakang universitas. Satu-satunya hal ternikmat ketika cuaca panas menyengat memang ini, teduhnya pohon samanea saman yang memiliki dahan lebar membuat Sungjae tidak kepanasan. Bangku panjang yang melingkar di seputaran pohon seolah menambah fasilitas meneduh Sungjae dari matahari. Walau akar pohon saman mulai bermunculan—menyembul keluar dari tanah sehingga jika duduk akar besarnya terinjak kaki, itu tidak masalah selagi Sungjae sendiri nyaman.

Menunggu Shin Donggeun usai kelas, rencananya mereka akan mengerjakan tugas yang sempat tertunda kemarin. Padahal Donggeun sudah mengatakan bahwa tugasnya telah selesai, tetapi Sungjae tetap kukuh, tidak mau mengerjakan tugas sendirian. Dengan menawarkan traktir es krim, Donggeun menyetujui. Semudah itu membujuk Shin.

Daun pohon saman jatuh bagai slow motion canggih. Sungjae bisa menatap detik-detik daun berwarna hijau itu akhirnya berada di pangkuan. Diperhatikan sebentar, kemudian Sungjae mengambil daun seraya menengadahkan kepala. Pikir Sungjae, daun saman berbentuk majemuk ini masih segar, mengapa bisa jatuh? Sejalan pikirannya, kedua mata terasa panas mendadak. Air keluar begitu saja sehingga Sungjae kembali menunduk, air itu menetes seolah mata Sungjae tidak memiliki pelapis penghalang.

Mengelap pipi yang basah, air mata kian deras keluar. Dada Yook kembali menyesak bersama ribuan rasa rindu yang menggelayut, hatinya tercambuk dengan rasa sakit yang Sungjae tidak paham. Meski mata mengeluarkan air yang deras, Sungjae sama sekali tidak bisa terisak sebab otaknya tidak menginginkan tangis itu.

Kadang merindukan seseorang dapat membuatmu seperti orang gila. Namun ada yang paling gila dari rasa rindu itu sendiri; rindu yang tidak tahu untuk siapa. Melepas daun di tangan sehingga jatuh ke tanah, Sungjae segera mengambil catatan cokelat dan pena dari dalam ranselnya.

Baru siap akan menulis, dahi Sungjae berlipat dalam. Tulisan tangannya kemarin hanya berakhir pada kata 'mimpi' lalu titik, Sungjae tidak menulis apa-apa lagi. Namun kini, ada sebaris kalimat dengan tulisan kecil yang terkesan lebih rapi.

Kakek, itu kau?

"Apa... ini," guman Sungjae.

Tidak mau lebih merusak suasana hatinya, Sungjae mencoba menghilangkan pikiran-pikiran yang menghampiri. Hanya satu anggapan Sungjae: malam kemarin dirinya terbawa suasana perasaan sehingga lupa menulis kata—yang bagi Sungjae sekarang aneh. Sesekali orang-orang akan mengalami jamais vu ketika otak mereka terlalu lelah.

Membiarkan tulisan itu, Sungjae membalik lembar baru yang kosong untuk cepat menulis. Dirinya sudah tidak tahan oleh rasa sakit yang tidak terlihat lukanya.

17 November 2019.

Sekarang aku ingin mendengar lagu sedih untuk mendukung perasaanku. Lagu-lagu menyedihkan seperti putus cinta, kehilangan, atau apa pun yang mendayu akan nadanya yang lambat. Awalnya aku membenci lagu semacam itu dengan pikiran akan membuat jatuh teramat pedih ke dalam kesedihan. Tapi sekarang aku berpikir, mungkin lagu seperti itu bisa membuatku lebih baik. Hanya aku tidak tahu harus mendengar lagu yang mana lebih dulu. Aku benar-benar sesak.

"Yook!"

Yang dipanggil mendongak, mendapati Shin Donggeun menghampirinya. Duduk di sebelah Sungjae, Donggeun minum air dari botol kemasan, dan segera mengatur napas.

"Kau baru selesai? Apa dosen di kelasmu sangat menakutkan?" Sungjae bertanya, masih memegang penanya.

"Bukan menakutkan lagi. Dosenku bisa bertransformasi menjadi singa betina kalau penjelasannya tidak disimak dengan benar. Ayo cepat, jadi aku temani mengerjakan tugas, 'kan? Nanti terlalu sore, kau tidak boleh pulang larut malam."

Sungjae terkekeh. "Aku bukan anak gadis, Hyung."

"Tapi kau laki-laki yang suka bikin cemas orang," sahut Donggeun.

Sungjae hanya menanggapi dengan senyum cerahnya, kedua tangan baru akan menutup buku catatan kalau Donggeun tidak mengambil itu secara tiba-tiba.

"Uwuu... kau sudah mulai menulis perasaanmu, ya? Baguslah."

"Hyung, kau tidak boleh membaca catatan pribadi orang lain, tidak sopan. Kembalikan."

Donggeun tertawa, kemudian melihat tulisan yang berhasil menarik atensinya, belum mau mengembalikan buku ke si pemilik.

"Hitata, kenangan yang hirap." Donggeun membaca itu, lalu melihat Sungjae yang wajahnya pucat.  "Apa maksudnya?"

Sungjae segera mengambil—merebut lebih tepat—buku miliknya. Wajah pucat itu kian pasi.

"Ini bukan... aku."

"Apanya?" Donggeun tak mengerti. Dengan santai dia meminum kembali air mineralnya.

"Bukan aku yang menulis ini."

Beruntung Donggeun tidak menyemburkan air dalam mulutnya ke arah Sungjae. Dia mati-matian menahan tawa akibat candaan konyol Yook.

"Hyung, kau tidak percaya padaku bukan? Aku juga. Awalnya kupikir, aku yang menulis karena terlalu lelah. Lihat ini." Sungjae menunjuk tulisan 'Kakek, itu kau?' kemudian membaliknya. 'Hitata, Kenangan Yang Hirap'.

"Tulisannya sama, 'kan? Coba Hyung bandingkan dengan tulisan sebelumnya. Itu tulisanku. Tidak sama dari segi ukuran dan cara menulisnya."

"Lalu jika bukan kau, siapa?"

Sungjae mana tahu, pikirnya. Kalimat itu tertulis begitu saja seolah sang buku hidup.

"Apa mungkin... bukumu berhantu? Kau beli dimana, Yook?"

"Ayolah Hyung, sekali saja jangan mengatakan hal-hal seperti di film. Aku tidak beli, buku ini pemberian dari mendiang nenekku. Oh, apa aku kubur saja ya buku ini? Aku merasa ngeri."

"Kau mau menguburnya karena kau berpikir dugaan bukumu berhantu benar, 'kan? Spekulasiku memang seperti film, tapi kau percaya."

Mendapat sindiran, Sungjae tidak menanggapi lebih jauh.

"Coba kita buktikan sekali lagi. Tulislah sesuatu."

Saran dari Donggeun langsung disetujui oleh Sungjae. Ditulisnya singkat.

Siapa kau?

Belum ada goresan apa pun di kertas. Sungjae menggenggam erat-erat penanya, menunggu. Mungkin saja ini sebatas halusinasi dirinya, lalu tertular kepada Donggeun sehingga kakak seniornya juga dapat melihat tulisan di kertas.

Aku anggap kakek menanyakan namaku. Aku Naira.

Sejurus kalimat itu tertulis, Donggeun ingin pingsan rasanya. Jantung Sungjae berdebar tidak tentu arah, sensasi yang ditimbulkan seperti Sungjae sedang dalam permainan Charlie Ghost. Tidak ada dari mereka berdua yang bicara, mereka mematung—menatap kertas yang kini kian banyak timbul aksara-aksara hangeul.

Kau benar Yook Sungjae, kan? Ayahku mengatakan, kalau buku ini akan terhubung dengan kakek yang pernah hidup di masa lalu. Aku tidak percaya, tadinya. Tapi karena benar ada tulisan yang muncul, aku sudah percaya. Di sana tahun 2019? Itu lama sekali, kakek.

"Hyung, aku tidak sedang tidur, tapi mengapa aku bermimpi hal yang sangat aneh?"

Donggeun beralih ke arah Sungjae. Bukan untuk memprotes kalimat Yook, Donggeun mulai menyimpulkan sesuatu yang kelihatannya tidak wajar.

"Apa mungkin, ini ada hubungannya dengan rasa sakitmu?"

"Bagaimana... bisa?" Sungjae bersuara pelan, ia juga melihat Donggeun, perasaannya berkecamuk. Ini yang lebih menyiksa. Air mata Sungjae boleh mengering sebab rasa rindu barusan, lalu sekarang diganti dengan rasa yang bercampur; Sungjae tidak dapat mendeskripsikan mana tepatnya perasaan yang lebih menonjol.

Kakek, kau masih di sana? Aku tidak mendapati tulisanmu lagi. Kuharap kakek membalasnya, aku sudah menunggu momen ini datang.

Tanpa berlama, Sungjae menulis lagi. Donggeun sedikit terkejut karena Sungjae membalas, berpikir bahwa Sungjae benar akan mengubur buku itu tadi.

Aku bahkan baru pertama mengetahui namamu. Kau menyebutku kakek? Hei, sejak kapan aku menikah dengan nenekmu?

Ini mungkin sulit untuk kakek percaya. Sudah kukatakan, aku juga tidak percaya saat pertama. Kakek tahu? Di 181 tahun mendatang, kakek akan hidup sebagai kakekku. Ayahku yang selalu mendengar cerita kakek mengatakan, nama kakek dahulu Yook Sungjae.

Setelah kakek meninggal, aku merasa kesepian dan selalu menyebut nama Yook Sungjae meski terasa asing, berharap tulisan kakek cepat muncul dalam bukuku. Karena lama tidak ada tanda-tanda muncul tulisan, aku pikir ayah membohongiku. Ternyata ayah mengatakan kebenaran.

Kertas itu ternoda dengan banyak garis tulis yang tersusun sempurna. Buku ini betul menuliskan balasan seolah memang ada seseorang yang menulisnya dari tempat berbeda. Sungjae masih belum percaya masalahnya, ini terlalu fiktif.

Kata kakek, kakek ingin mendengar lagu mendayu yang sedih. Aku rekomendasikan lagu Hitata, judulnya Kenangan Yang Hirap. Lagunya menyentuh.

Sungjae tak kenal. Tidak pernah tahu ada nama penyanyi Hitata atau dengan judulnya yang terasa asing saat hati menyebut.

Oh iya, aku lupa. Abadku dan abad kakek berbeda, hehe. Aku berada di abad dua puluh dua. Hitata penyanyi yang sedang populer di sini. Kakek, aku senang akhirnya kita terhubung.

Tangan Yook Sungjae mendadak kaku. Benar, ini nyata, dan kenyataan lebih tidak waras dari cerita fiktif.

Kakek... kau masih di sana?

Berhenti memanggilku kakek!

Kesal. Iya, saat itu Sungjae kesal dan membenci gadis yang katanya baru merayakan ulang tahun ke-20. Namun lambat-laun kesal itu terganti oleh perasaan sukacita. Seperti alur kisah drama televisi dengan dua tokoh yang saling membenci akhirnya berujung cinta, itu mungkin juga yang Sungjae rasakan meski sedikit berbeda. Atau jika lebih tepat, kisahnya bersama Naira adalah yang paling unik. Sikap kesal Sungjae mencair layaknya es di penghujung musim dingin yang segera berganti menjadi musim panas. Kala menanggapi tulisan Naira, membalas tulisan-tulisan itu Sungjae merasa candu, juga ada fantasi tersendiri bagi Sungjae yang bercita-cita menjadi sastrawan.

Gadis itu sering menceritakan tentang bagaimana keadaan di masa depan. Sampah-sampah yang menumpuk dan belum terurai dari masa lalu berhasil membuat sebagian ikan hiu punah. Pemanasan global kian meningkat sehingga matahari seolah amat dekat dengan kepala manusia. Kemudian televisi yang bisa membaui masakan kala menonton acara masak, atau seperti sedang berada dalam air sungguhan jika menonton acara travel di kedalaman laut; tidak perlu menggunakan kacamata 4D.

Naira juga mengatakan, di abadnya tidak ada guru. Semua yang bekerja mesin. Para pelajar mengerjakan soal hanya dengan penjelasan digital. Ponsel juga sudah lebih canggih dari sekadar video call. Tapi sayang, saat Sungjae iseng meminta agar pindah berkomunikasi melalui ponsel, mereka tidak dapat terhubung; selalu terputus sebelum ada nada sambung. Jika dipikir-pikir itu wajar terjadi, jarak yang membentang antara mereka terlalu jauh.

Aku sudah melakukannya, lalu apa?

Tulisan baru memenuhi sisi kertas, perlahan Sungjae menjauhkan wajahnya dari buku yang dipegang. Aroma tinta tidak lagi tertangkap oleh indra penciuman Sungjae.

Mari kita berkencan, Naira.

•••

Sungjae tahu cintanya kepada Naira yang paling gila. Terkadang Sungjae bertanya-tanya, dari mana cintanya tumbuh, sementara kata orang, cinta tercipta dari mata turun ke hati. Lalu Sungjae tidak pernah melihat Naira, tetapi rasa itu bisa tumbuh tanpa pemberitahuan. Sungjae bahkan tidak bisa melarang perasaannya untuk tidak jatuh.

Pohon saman belakang kampus. Tanpa terduga pohon ini masih hidup di abad Naira, tetap kuat meski waktu mengikis batang-batangnya yang menua. Di masa depan, universitas tempat Sungjae menuntut ilmu bukan lagi berupa perguruan tinggi, melainkan gedung penelitian, itu yang Sungjae ketahui dari Naira.

Hanya berbekal kepercayaan bahwa akan saling merasakan kehadiran masing-masing, mereka berjanji bertemu di sini.

Aku sudah sampai, sedang menatap lurus pohon samanea saman. Apa kau juga sudah sampai?

Ya, Sungjae sudah sampai, bahkan lebih cepat. Laki-laki itu melangkah maju seolah di depannya benar ada Naira. Ia mulai membayangkan wajah gadis itu melalui imajinasinya.

Kau cantik, Naira. Sungjae menulis itu sesaat, kemudian beralih kembali—menatap kekosongan, angin malam menerpa wajah.

Candaanmu tidak lucu. Aku bahkan tidak dapat melihatmu. Posisimu dimana?

Aku tepat di hadapanmu. Naira, baca baik-baik, meski kita tidak bisa saling melihat, perasaan kita mampu mempersempit jarak, sekalipun itu abad.

Rasakan kehadiranku, dan bayangkan aku dalam pikiran bersama hatimu.

Tanpa terasa air mata membasahi kertas, membuyarkan tinta hitam.

Paragraf terakhirmu pernah kau tulis juga sebelum kita memutuskan berkencan di sini. Sungjae, kau menangis? Kertasku basah.

Jangan konyol, itu mungkin kau yang menangis. Aku laki-laki.

Memang mengapa kalau kau laki-laki? Stigma menangis di kalangan laki-laki ternyata sudah ada dari dulu ya? Padahal tidak apa jika mengaku menangis.

Tidak dapat menahan dinding yang dibangun, Sungjae terduduk di tanah, tidak peduli lagi tentang mata yang basah atau celana yang akan kotor. Cinta bisa membuatmu kuat, bisa juga menghempaskanmu ke dalam rasa tidak berdaya.

Naira, apa menurutmu kita bisa bertemu? Sepertinya aku akan terus mencintaimu seperti ini hingga aku mati, lalu lahir kembali dan menikah dengan nenekmu, baru bisa bertemu denganmu sebagai seorang kakek dan cucu.

Waktu yang memakan menit terlewat, belum ada balasan dari Naira. Sampai pada menit kedua, tulisan panjang tertulis.

Kalau begitu jangan mencintaiku sampai kau mati. Kau juga harus hidup dengan baik, Sungjae. Aku juga, tidak mungkin aku tidak akan menikah dengan orang lain meski aku tidak ingin. Kenyataan memang selalu lebih kejam dari harapan baik kita. Bagaimana kalau setelah ini kita berjanji?

Aku tidak mau berjanji macam-macam yang tidak dapat kupenuhi.

Sungjae menulis dengan perasaan gelisah, entah dari mana perasaan itu, rasanya Sungjae ketakutan akan sesuatu.

Kau pasti bisa memenuhinya. Berjanjilah, kalau besok kita berdua akan membakar buku masing-masing.

Kertas Sungjae basah. Namun kali ini bukan dari matanya, Sungjae yakin kalau di sana Naira tengah menitikan air mata. Mereka benar-benar terhubung dengan cara ajaib.

Itu ide gila, aku tidak mau. Jika aku membakarnya, berarti aku tidak bisa berkomunikasi denganmu lagi. Lalu bagaimana aku menanggung rasa sakit?

Aku mengerti. Kau pernah mengatakannya kepadaku, kalau aku merindukanmu, kau merasa sakit, kalau aku menyebut namamu, kedua telingamu akan berdengung. Jadi setelah kita sama-sama membakar buku ini, aku tidak akan menyebut namamu lagi. Aku juga akan menghindar dari rasa rindu, kau pun harus begitu, menghindar dari segala rasa tentangku.

Menghindar? Itu pengecut namanya!

Sungjae hampir ingin memberikan tanda seru yang banyak agar mewakili bahwa saat ini dirinya tidak tenang.

Menghindar dari perasaan yang memang seharusnya dihindari bukan pengecut, Sungjae. Saat kau menulis jika kau akan mencintaiku sampai mati, aku menyadari suatu hal.

Sungjae, bahwa meski kita terikat secara batin, kita amat jauh secara ruang. Kau harus hidup, aku juga. Kita harus tetap hidup, kita berhak bahagia Sungjae. Maka mari kita lakukan, ideku itu. Demi kebahagiaan kita.

Demi kebahagiaan. Sungjae tidak percaya kalau dengan ide itu mereka akan bahagia. Di mana letak kebahagiaannya, jika setelah mereka saling membakar buku, hati akan terluka?

Biarkan aku memanggilmu kakek untuk menggodamu sekali lagi, hehe. Kakek, aku sangat menyayangimu.

Sayang cucu kepada kakeknya?

Tanpa Sungjae sadari sendiri, dirinya menarik ujung bibirnya sedikit sambil berdecit.

Aku mencintai dan menyayangi kakek yang ada di masa lalu. Aku juga menyayangi kakek yang sangat setia kepada nenek di masa kini. Dari kesetiaan kakek, aku juga yakin, kakek di masa lalu tidak jauh beda. Yook Sungjae yang mencintaiku berarti memang akan bersamaku selamanya meski jarak kita tidak pernah bisa ditempuh. Karena itu, jangan membuang waktumu percuma. Kau juga ingin aku menjalani hidup dengan baik, kan? Aku akan mencoba itu. Mari berjanji.

Pena Sungjae hanya menekan kertas sehingga timbul titik yang kian menebal. Sungjae belum mau menulis apa-apa, namun pikiran dan hatinya terus mendorong.

Baik. Aku berjanji.

Sekali lagi, ini demi kebahagiaan mereka. Naira yang mengatakannya, maka Sungjae ingin percaya.

Sekarang, peluk bukumu dalam hitungan dua detik. Kau juga pernah melakukan ini kan saat ingin mencium pipiku?

Pasang mata Sungjae sedikit membesar melihat tulisan Naira. Gadis itu....

Dari mana kau tahu?

Aku bisa merasakannya. Ayo, dua detik dari sekarang.

Sungjae benar memeluk bukunya yang terbuka, pasang mata memejam tanpa peringatan. Dingin angin malam terabaikan. Hanya hari ini, mereka ingin mengalami kebersamaan lagi sebelum esok api yang menyala melahap buku sekaligus hubungan mereka menjadi abu.

Kau bertanya, apa kita bisa bertemu. Aku belum menemukan jawaban yang tepat barusan, sekarang aku punya jawabannya. Tuhan yang memiliki kehendak mempertemukan dua orang yang saling jatuh cinta, tapi mungkin kita tidak termasuk dalam hitungannya, sehingga bahkan jika kita memohon sambil bersimpuh, Tuhan akan menolak. Meski begitu, berbahagialah. Aku juga akan merasakan bahagia yang sama. Kita akan bahagia.

Kalimat Naira memenuhi pertengahan kertas yang awalnya kosong. Bukan tidak pernah, keduanya berpikir Tuhan adalah yang paling kejam, membuat mereka tenggelam dalam cinta juga kesedihan. Tetapi cara pandang Tuhan selalu berbeda dari pandangan manusia, bukan?

Hanya orang-orang yang berhasil melepas ego yang akan menerima ketentuan Penguasa Alam Semesta.

.
.
.

Selesai ~







- B T O B B L U E -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro