When It Rains: Harta dari Tuhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seo Eunkwang membenci ibunya.

Ketika hujan yang turun memberi ribuan aroma kenangan, memutar layaknya video tanpa jeda, dan getir yang terasa mengikat ketat sampai susah hanya untuk menarik napas.

Eunkwang membenci ibunya.

Tatkala baju-baju yang terjemur harus terguyur hujan, lalu Eunkwang membantu ibu penuh ketulusan. Kala peluh membasahi kening ibu akibat terik matahari menyengat kulit. Fakta mengatakan kalau membereskan pekerjaan rumah tidak seringan yang terlihat, maka Eunkwang bersama pasang tangan mungilnya memijat kedua bahu pegal ibu, tersenyum lebar membuat lelah ibu sirna.

Eunkwang masih membenci ibunya.

Bayangan mendobrak paksa peti yang tertutup rapat, menjelajah waktu, memutar fragmen puluhan tahun silam; Eunkwang demam, dan ibu kena marah ayah akibat membiarkan putra tunggalnya bermain di bawah hujan terlalu lama. Usai menerima kata-kata amarah dari ayah, ibu memberi penjelasan dari sudut berbeda, bahwa selagi Eunkwang masih anak-anak, dia membutuhkan pengalaman bermain, menikmati masa kecil sebagaimana mestinya. Tangan hangat ibu yang kemudian merawat Eunkwang dengan penuh kasih.

Dulu, saat usia Eunkwang masih belasan tahun, dirinya sering mengamati orang-orang kala hujan turun. Menurut pengamatan Eunkwang, ada dua golongan orang; pertama, orang yang kerap menyusun kenangan, memuaskan diri merenung bersama suara air yang menderas. Kedua, orang yang membenci, boleh jadi sebab aktivitas terhalang, kehujanan, atau kepingan memori buruk yang tidak ingin mereka ingat.

Seo Eunkwang bukan termasuk ke dalam dua golongan itu waktu remaja. Eunkwang tidak pernah menyimpan kenangan di balik hujan, atau membenci air dari langit, sekalipun tempat tinggal bersama kedua orang tuanya dahulu kebocoran. Tiap kali hujan, Eunkwang senang berada di bawahnya tanpa payung, menikmati suara riak air yang terinjak oleh sepasang kaki, tidak peduli kalau celana panjang sekolahnya basah. Saat orang-orang berlari menghindar dari hujan, Eunkwang justru berjalan pelan.

Tapi itu kisah masa lalu.

Sekarang Eunkwang membenci hujan seperti dia membenci ibu. Eunkwang tidak suka hujan yang seenaknya jatuh, deras, menimbulkan udara dingin, apalagi jika guntur mengiringi.

Lantas tidak disangka, siang ini kembali hujan, rebas airnya menghantam jendela kaca tanpa ampun. Entah mengapa, beberapa hari belakangan langit amat melankolis, terus-menerus menceritakan kesedihan melalui air hujan, sampai relung berharap segera berganti musim. Eunkwang ingin menjauh dari yang namanya hujan.

"Eunkwang Hyung, ada telepon untukmu."

Sorot mata tenang saat menatap hujan, berbanding jauh dari perasaannya yang menghitam. Laki-laki berambut cokelat itu tidak sadar bahwa telepon kedai beberapa kali berdering, bahkan sudah berbunyi sejak dirinya melamun sampai langit meneteskan air kepiluan.

Menoleh sesaat kepada laki-laki lain yang baru saja memberi informasi, Eunkwang segera berbalik, membawa tubuh mendekat ke sumber tujuan.

"Dari rumah sakit." Berbisik. Rekan kerjanya mengatakan kalimat itu berbisik, namun gendang telinga Eunkwang terasa berdengung.

Mengambil alih gagang telepon, Eunkwang tidak menggunakan sapa untuk pelanggan jika memesan kopi di Natas. Langsung ke inti: 'Ya?' tanpa ada aksen akrab.

"Saya sendiri." Eunkwang menyahut cepat saat suara yang jelas sekali perempuan bertanya memastikan, bahwa tidak salah berbicara pada orang yang dimaksud.

Mendengarkan seksama per kata yang terlontar, sejalan itu jantung Eunkwang seolah akan jatuh. Bayangan sang ibu yang pertama kali Eunkwang lihat kala nama 'Sangeum' tersebut. Orang itu mengatakan, istrinya, Kim Sangeum akan melahirkan, menolak jalur operasi kendati banyak terjadi pendarahan. Sangeum membutuhkan kehadiran Eunkwang di rumah sakit, secepatnya.

"Kami sudah mencoba menelepon ke nomor ponsel yang Nyonya Kim berikan, namun tidak ada sahutan, jadi—"

"Rumah sakitnya." Eunkwang sudah tahu inti dari apa yang hendak orang ini katakan. Sekarang dalam putaran benaknya hanya Kim Sangeum, menepis berulang kali bahwa ibu kerap hadir menyela, mendominasi lebih kuat dari bayangan sang istri.

"Katakan, di mana rumah sakitnya," lanjut Eunkwang, memperjelas.

Gagang telepon tertutup rapat—sedikit menimbulkan suara—sesudah Eunkwang mengetahui apa yang ingin didengar, menyimpan alamat dan nama rumah sakit keberadaan Sangeum dengan baik dalam ingatan.

Eunkwang memegang siku meja kala pening menyergap secara mendadak. Semua yang tertangkap dalam pandangan berputar, Eunkwang hanya mampu melihat warna dari bangku dan lantai tanpa wujud yang jelas.

"Hyung, gwaenchana? Hei, kau baik-baik saja?"

Telinganya masih berfungsi dengan baik, Eunkwang mendengar pertanyaan bernada cemas itu. Namun dirinya tidak berniat menjawab, perasaannya kacau sampai fisik turut berulah. Eunkwang tidak baik-baik saja, terlebih hujan terdengar kian kencang menjatuhkan diri, membuat kepedihan menyiksa.

Memejamkan mata erat-erat sebentar, kelopaknya kembali membuka. Tidak percuma, pandangan Eunkwang berangsur menjelas.

"Sungjae-ya, bisa aku pinjam motormu?"

---

Bukan hujan lokal.

Sepanjang jalan basah, kabut tipis menyamarkan pandangan Eunkwang dari lampu-lampu kendaraan lain. Keadaan menggelap, pengendara sengaja menyalakan lampu senja untuk memberi kode. Langit suram layaknya hendak menuju malam, menipu waktu. Hujan tidak lelah membasahi celemek hitam berlogo Natas yang masih melekat di tubuh Eunkwang; dia memilih menolak jas hujan dari Sungjae. Padahal laki-laki bunglon itu sudah mengeluarkan benda ajaib penghalang basah dari bagasi motor, Eunkwang justru melesat begitu saja berkendara, bahkan lupa melepas atribut kerjanya.

Fokus Eunkwang mengenderai motor terbagi, begitu lagi-lagi sang ibu mengembangkan senyum terbayang. Ibu yang pernah menolongnya memakai celana sewaktu pertama masuk sekolah taman kanak-kanak, membantunya bicara lancar, dan mengajari cara makan dengan baik.

Tetap, Eunkwang membenci ibunya.

Kemudian rasa itu goyah, sesaat Eunkwang sampai di ruang persalinan. Melihat bagaimana Sangeum berusaha mengejan, mengeluarkan kepala anak pertama mereka, rasanya kedua pipi Eunkwang ditampar keras dalam satu waktu.

Garis wajah penuh keringat milik Sangeum buram, lambat laun terganti oleh wajah lembut ibu. Untuk kesekian kalinya, ibu hadir. Memori Eunkwang menekan kuat-kuat kejadian beberapa saat sebelum sampai, ketika dirinya hampir menabrak kendaraan lain, tubuh nyaris jatuh di atas aspal basah hujan. Seakan memori itu sedang mempermainkan Eunkwang, memilih memutar kejadian masa lalu tiada henti, kenangan tentang sorot mata teduh ibu menatapnya, atau ibu yang tidak pernah absen membuat susu setiap pagi.

Cengkeraman di punggung tangan terasa perih, Eunkwang ingin menangis. Memang bukan sakit akibat kuku-kuku Sangeum menancap permukaan kulit dan melukai, hanya energi Eunkwang seolah habis. Perasaannya yang meraung terus diselimuti gelisah, luka kuku bukan apa-apa dibanding luka yang menggores batin.

Erangan Sangeum bersama suara jatuhnya hujan di luar bercampur padu, riuh, juga menimbulkan sendu tak terkira, seolah suara dokter yang membantu persalinan, benda-benda medis terbentur satu sama lain oleh tangan suster di ruangan redam.

Kembali, memori Eunkwang menggali lubang masa lalu.

Di usia remaja, Eunkwang bukan anak nakal. Dirinya selalu menuruti semua kemauan ibu, menjadi anak penurut sudah terpatri dalam diri Seo Eunkwang. Pernah siang itu, guru pembimbing konseling memasuki ruang kelas Eunkwang secara tiba-tiba, beliau bertanya kepada semua murid tentang kesan kedua orang tua, beliau juga menanyakan, jika mereka harus memilih antara ayah atau ibu, mana yang akan dipilih.

Eunkwang membuat sebagian teman-teman sekolahnya iri ketika tidak bisa memilih antara kedua orang tuanya, sementara sebagian anak-anak hanya memilih salah satu. Kata Eunkwang; kalau ayah bersama ibu tidak ada, aku juga takkan ada. Kalau ayah tidak bekerja, aku tidak bisa sekolah, dan kalau ibu tidak mencuci, aku tidak akan pakai seragam bersih. Jawaban sederhana itu mengundang senyum puas dari guru yang berdiri di depan papan tulis.

Lalu keberhargaan yang Eunkwang anggap untuk kedua orang tuanya seakan surut, kala hati sudah mengenal cinta. Cinta yang Eunkwang rasa lebih besar dari cintanya kepada ayah dan ibu.

Kim Sangeum bukan terlahir dari keluarga berada—sama seperti Eunkwang, Sangeum sederhana, dengan senyum selembut kapas, dan tangisnya sesakit tertikam. Eunkwang sudah mengenalnya sejak menduduki bangku JHS. Awal pertemuan bersama Sangeum dari rasa penasaran akan berita 'Sangeum pencuri' yang menyebar sampai kelas kakak senior tingkat akhir. Sangeum sering membuat masalah, mengambil uang teman sekelas, penghapus, dan pena.

Demikian, Eunkwang tetap menyukai gadis itu, masa bodoh tentang bagaimana buruk nama Sangeum di sekolah. Eunkwang sendiri tidak tahu cara kerja perasaannya, dia selalu menemani Sangeum duduk di kantin atau perpustakaan, belajar bersama, mengabaikan kalau teman-teman lain mengolok Eunkwang yang menjalin pertemanan dengan pencuri.

Perpisahan terjadi sesudah Eunkwang lulus, dirinya tidak pernah berpikir benar-benar akan berpisah dari Sangeum, toh Eunkwang masih bisa mengunjungi sekolah lamanya. Hanya perkiraan anak belasan tahun itu salah, Eunkwang tidak lagi mendapati kabar sekaligus kehadiran Sangeum di sekolah.

Sampai kemudian, tepat usia delapan belas tahun, Tuhan mengizinkan Eunkwang melihat pahatan wajah Sangeum kembali, masih sama seperti empat tahun silam. Kurus tubuhnya, sorot mata sedihnya, masih sama.

Rasa suka saat JHS kepada Sangeum mungkin tidak mengubah apa-apa dalam diri Eunkwang, dia masih menjadi anak baik bagi kedua orang tuanya. Namun saat suka yang dulu bersemi, tumbuh menjadi cinta nan candu, Eunkwang berubah sikap kepada ibu, menjadi anak pembangkang, tidak mendengar nasihat terucap.

Enam tahun berjalan usai pertemuan itu, Eunkwang tidak pernah membiarkan Sangeum pergi jauh, harus selalu dalam lingkaran radarnya. Dari sana, timbul keinginan menikahi Sangeum, mengikatnya secara utuh. Kim Sangeum terlalu rapuh untuk hidup sendiri dalam dunia yang keras. Tuhan memang memberikan nyawa kepada Sangeum, memberikan kesan manis pada wajahnya, lahir dari orang tua lengkap, juga kesehatan fisik yang baik. Tapi Tuhan lupa menitipkan Sangeum kehidupan layak. Seiring berjalan waktu, Tuhan mengambil kedua orang tua gadis itu secara tragis. Hutang yang menumpuk, membuat kedua orang tua Sangeum dibunuh oleh renternir.

Melihat sosok pembunuh yang masih bisa menikmati hidup, tidak menerima hukuman apa-apa setelah merenggut nyawa dua orang, Sangeum berpikir lebih baik menyusul ayah bersama ibunya. Menceburkan diri ke sungai pilihan Sangeum kala itu, sebelum niatnya terpatahkan oleh seseorang. Seo Eunkwang yang membuat Sangeum mengubur dalam-dalam kata menyerah dalam hidup, menghentikan napas tanpa persetujuan lebih dulu dari Tuhan memang bukan pilihan tepat.

Hari lamaran, ibu menolak memberi restu pada Eunkwang untuk menikahi gadis dari keluarga buruk, terlebih pendidikan Sangeum hanya sebatas JHS, itu pun tidak sampai lulus. Jalan pikir ibu dan Eunkwang mulai bertolak belakang. Bagi Eunkwang, tidak peduli buruknya keluarga Sangeum, atau sampai tingkat mana Sangeum menempuh pendidikan, paling terpenting Eunkwang menghargai Sangeum, menghormatinya sebagai perempuan.

Hanya, Eunkwang lupa, ibunya juga harus dihormati.

"Eunkwang Oppa...."

Wajah Sangeum kembali terbentuk, menggeser bayangan ibu. Tidak tahu sudah berapa lama waktu melalui detik dan menit, istrinya masih berusaha, sesekali memanggil Eunkwang sebagai obat penguatan.

Sama seperti yang pernah Eunkwang ajarkan, menyerah hanya membuat seseorang kehilangan segalanya, maka Sangeum tidak mau menyerah meski napas mulai berat. Apa pun yang terjadi, sang anak harus lahir dengan selamat, agar Sangeum bisa mengajari banyak hal, tentang bagaimana terang matahari, dingin salju, dan gelap malam. Atau jika Sangeum harus pergi lebih cepat, lalu tidak sempat memberi pelajaran, itu tidak masalah. Setidaknya masih ada Eunkwang, dia laki-laki kuat yang Sangeum percaya mampu mengajarkan berbagai warna milik dunia kepada anaknya.

"Ini hidupku, Bu. Aku berhak menentukan pilihan, berhak menentukan siapa pendamping hidupku."

Lutut Eunkwang lemas, bayangan demi bayangan yang tergambar belum mau berhenti. Kini, raut ibu datang memancarkan kecewa nan kentara.

"Pendidikannya rendah."

Seo Eunkwang cukup mengenal, ibu tidak pernah berbicara keras apalagi membentak, bahkan titik saat marah. Tapi kalimat itu telah mengandung sesuatu yang membuat Eunkwang tidak bisa mengendalikan diri.

"Terus kenapa?!"

Terlampau jauh. Eunkwang tidak pernah bernada keras pada ibu, baru itu, dan mungkin akan ada sentakan keras lainnya. Ketika seorang anak sudah berani membentak orang tua, emosi yang akan meluap di masa selanjutnya tidak bisa terkendali lagi.

"Aku tidak pernah peduli tentang pendidikan akhir Sangeum, aku juga tidak peduli lagi kalau Ibu tidak merestuiku. Ada, atau pun tidaknya restu Ibu, aku tetap pada pilihanku."

Tepat memasuki musim semi, hujan turun menyapa bumi setelah sebelumnya hanya angin kencang. Eunkwang menikahi Sangeum, kalimatnya pada ibu tidak main-main.

"Oppa, kau tidak boleh terlalu membenci ibu," kata Sangeum, di malam pertama dirinya resmi menjadi istri Seo Eunkwang, melepas status lajang.

"Aku tidak ingin membahas ibu." Eunkwang mengambil posisi di samping sang istri, duduk di atas ranjang pengantin mereka. Sebelah tangannya membuka kancing jas.

"Apa kau pernah memikirkan bagaimana sakitnya seorang ibu melahirkan?" Sangeum membantu Eunkwang membuka jas putihnya. "Aku sendiri pernah. Meski ibuku sering bertengkar bersama ayah, suka bermain judi dan berhutang tanpa peduli padaku, aku tidak pernah membenci ibu. Menurutku, seburuk apa pun seorang ibu, dia tetap yang melahirkan kita, 'kan? Yang berjuang agar kita bisa hidup, menampilkan senyum di tengah rasa sakit saat mengetahui kita sudah bisa bernapas mandiri."

Saat itu, Eunkwang tetap tidak peduli pada kalimat Sangeum yang justru terngiang sekarang. Setelah dua tahun pernikahanya, Eunkwang tidak tahu kalau kata demi kata itu ternyata terekam sempurna oleh memori jangka panjang.

Eunkwang memang tidak merasakan bagaimana sakitnya mengeluarkan kepala seorang anak dari rahim, Eunkwang hanya tahu tangannya yang perih. Namun melihat Sangeum sudah cukup membuatnya paham, bahwa ketika seorang ibu melahirkan, maka nyawa adalah taruhan. Sesakit apa pun tulang-tulang yang patah, tidak akan lebih sakit kala mengerahkan seluruh tenaga hanya demi tubuh kecil itu bebas, tidak lagi merasa sempit dalam lingkaran perut.

Dan Eunkwang, sudah banyak menyakiti wanita hebat yang telah melahirkannya.

Saat usia kandungan Sangeum menginjak tujuh bulan, Sangeum pernah mengatakan, bahwa dirinya akan melahirkan secara normal bagaimana pun situasinya, dan Eunkwang harus melihat. Mungkin ini yang dimaksud Kim Sangeum, perempuan itu ingin Eunkwang mengubah persepsi terhadap sang ibu.

Sangeum semakin mengeratkan tangan di jemari Eunkwang, teriakan kerasnya menjadi awal suara lain, tangisan nyaring malaikat kecil menyentuh dinding-dinding ruang persalinan. Setetes air mata meluruh juga, Eunkwang tidak bisa menahannya lebih lama, apalagi memandang bayi tanpa dosa bermandi darah dalam gendongan dokter, rasa haru itu menyerang dada.

Dokter mengembus napas pelan menyalurkan kelegaan luar biasa, kemudian tersenyum selurus pandangan—mengarah Eunkwang, seolah turut bahagia, mengucapkan 'selamat' dari sirat mata. Eunkwang benar-benar telah menjadi seorang ayah, dimulai hari ini, hari penuh deras hujan.

Genggaman erat itu mengendur lalu jatuh, membuat Eunkwang mengalihkan seluruh perhatiannya kepada Sangeum, panas yang terasa di kulit tangan sudah hampa.

"Aku mengantuk, Oppa." Sangeum berbicara pelan, seiring dahinya yang mendapat kecupan singkat dari sang suami.

"Terima kasih, sayang. Terima kasih telah berjuang," bisik Eunkwang, hampir membasahi telinga Sangeum dengan air mata yang tumpah.

Sangeum menggeleng singkat, entah untuk apa Eunkwang tak mengerti. Eunkwang hanya paham kalimat terakhir Sangeum sebelum menghadapi kegelapan alam tidur.

"Temui ibu, katakan apa yang ingin Oppa katakan."

Kim Sangeum tetap perempuan mungil Eunkwang yang dulu, walau kini tubuhnya tidak sekecil masa remaja. Ia masih Sangeum yang sama; memahami alur pikir Seo Eunkwang.

---

Di bawah rinai hujan yang belum berhenti, Eunkwang menyeka daun dari batu nisan hitam bertuliskan 'Mina', gundukan tanah yang berposisi di samping makam sang ayah, makam yang telah satu tahun ini tidak dikunjungi. Rumput-rumput hijau tertata rapi, tidak meninggi. Eunkwang selalu meminta seseorang merawat makam kedua orang tuanya walau tidak bisa selalu berkunjung.

Eunkwang pernah menemukan satu garis narasi dari buku fiksi, bahwa ketika kedua orang tua sudah tiada, baru akan terasa sia-sia kala meminta maaf. Bukan kelegaan yang terdapat, justru hambar memenuhi diri. Benar. Eunkwang sedang merasakannya saat ini. Mungkin iya, tidak ada kata terlambat untuk memohon maaf, hanya saja, manusia memiliki batas waktu hidup masing-masing.

Andaikan Eunkwang bisa lebih cepat sadar, dirinya akan bersimpuh di bawah kaki ibu. Namun kata 'andai' hanya untuk menghibur hati, memberikan harapan fantasi. Mina kelelahan hingga jatuh sakit dan berakhir tiada. Ibu berkali lipat bekerja keras usai Eunkwang menikahi Sangeum. Lalu tanpa terduga, ayah menyusul ibu satu bulan kemudian, stres membuat jantungnya tidak dapat bertahan menerima beban. Eunkwang tidak bisa mengendalikan apa yang sudah terjadi, dia juga tidak dapat membujuk waktu untuk berbaik rasa mengembalikan sang ibu dalam jangka tersingkat sekalipun. Tidak ada yang bisa Eunkwang lakukan lagi untuk ibu.

Meringis, Eunkwang sudah membiarkan air mata lolos. Air hujan mampu menyamarkan tangisan Eunkwang, tapi hujan tidak cukup mampu menenggelamkan luka yang tertanam dalam hati, menghapusnya bahkan tidak mudah.

"Ibu...." Eunkwang ingin bicara banyak secara serentak, namun lebih dulu tercekat oleh isak yang tidak bisa tertahan. "Ibu menyayangiku sampai akhir, tapi aku apa? Aku justru menyakiti ibu, membenci sampai akhir napas ibu. Kupikir, satu-satunya kebahagiaan adalah ketika aku bisa menentukan pilihanku sendiri. Tapi ternyata ada yang lebih membahagiakan dari itu, aku bahagia ketika mendengar suara ibu, melihat senyum ibu."

Eunkwang memejam beberapa saat, merasakan lebih dalam lagi dinginnya air yang menerpa wajah. "Ibu juga yang memberiku kebahagiaan untuk pertama kalinya. Ketika aku lahir, aku menangis karena bahagia, 'kan? Aku bahagia telah lahir, bahagia ketika cahaya asing masuk ke retina. Ibu yang melakukan banyak hal pertama kali dalam hidupku. Tapi... lagi, aku mengecewakan ibu, aku memang anak tidak tahu diri. Maafkan aku, meski terlambat, tolong maafkan aku, ibu...."

Cairan mata itu jatuh tidak terhitung, tidak pula terasa kehangatannya akibat kembali terguyur oleh air yang kian lebat menghujani Eunkwang.

"Cucu ibu baru lahir hari ini, jika ibu sudi, bisakah ibu melihatnya?" Eunkwang berusaha sekuat mungkin mengembangkan senyum di tengah kekosongan. "Cucu ibu laki-laki, mewarisi hidung milikku, tapi kuharap dia tidak mewarisi tingkah laku burukku. Aku tidak ingin dia seperti ayahnya yang kurang ajar."

Menunduk dalam-dalam, Eunkwang benar berjanji, akan mendidik jagoan kecilnya untuk senantiasa menghormati kedua orang tua, meski kelak sudah mengenal warna cinta yang terkadang terlalu menghanyutkan.

Karena cinta orang tua adalah yang paling abadi, tidak pernah kandas atau terhempas. Tidak pernah ada kata mengkhianati.

Mantan ibu, mantan ayah, atau mantan anak, tidak pernah ada dalam sejarah. Sejatinya orang tua merupakan harta dari Tuhan. Harta yang tidak pernah bisa tertukar oleh kemewahan apa pun di dunia.

Seperti kedua orang tua Seo Eunkwang.

.
.
.

Selesai ~

Author note: Ciee yang kangen, ciee. Iya, bukan kangen sama daku, kangen sama abang Eunkwang, hueee 😭😭

Kangen anak-anak rusuh Bitubi juga.

Kangen kamu juga. Um, kamu yang baca cerita ini #eak

Aku back again gaess, otw putar lagu WOW-nya Bitubi. 'BTOB back again', jadi 'Author back again, author memang SWAG'. Ngahahaha.

Maaf kalau ceritanya ngebosenin, panjang pula, hikseuu. Mana di kotaku hujan mulu kan ya, kayaknya pas gitu buat galau-galauan. Sekali lagi maapkan dakuu. Sampai jumpa lagi di bagian berikutnya, ya!

Sehat-sehat terus Melody-nya Bitubi.

Yejiapsahhh 💙





- B T O B B L U E -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro