When It Rains: Dalam 60 Detik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemandangan tetesan hujan

Dahulu kau bilang betapa sangat kau menyukainya

Ketika angin berembus, aromanya begitu kau suka

Suasana dingin di luar tidak ada apa-apanya, dibanding atmosfer antara dua orang yang tengah berhadapan. Aura suram seolah tertampak, tiada kesan akrab atau bercengkerama hangat.

Kemudian aku mengatakan, bahwa aku juga menyukai hujan

Aku tidak bersungguh-sungguh, tapi aku mengatakannya

Karena kau berada dalam hatiku

Lalu apa?

Lee Changsub hampir kehilangan kontrol diri. Sudah cukup alunan lagu yang menguar dari audio kedai mendominasi mereka. Natas telah berada di jam tutup, semestinya tidak ada lagi lantunan lagu. Terlebih lagu yang membuat perih hati. Ini pasti kerjaan orang belakang.

Changsub menarik napas, matanya melirik arah meja kasir sekilas; rekan kerjanya berada di sana. Praduga Changub tidak salah, jelas sekali.

"Alasannya?" Lee Changsub membuka suara.

Seperti hujan yang turun tiba-tiba

Kumohon muncul di hadapanku

Seperti sebuah kebohongan dan kebetulan

Kembalilah kepadaku

Changsub tidak pernah menginginkan kisah cintanya seperti alur lagu yang tengah terdengar. Memiliki sejarah yang tidak baik bersama sang kekasih, lalu saat hujan atau malam teringat perempuan di hadapannya yang telah berstatus 'mantan'. Keterkaitan hujan dan kesedihan, orang-orang biasa menganggapnya demikian, tapi bagi Changsub hujan adalah salah satu keindahan yang tercipta. Intinya, Lee Changsub tidak ingin mengubah persepsinya terhadap hujan hanya karena kenangan menyakitkan.

Pertanyaan Changsub masih tergantung di udara, belum ada pemecah berupa jawaban. Gadis berkuncir belakang itu hanya memandang meja berbahan kayu.

Sesaat lagu sudah mencapai intonasi akhir, suara hujan sekarang membawa suasana sendu yang mengelilingi keduanya.

"Yein-ah...." Mengusap wajah—yang ternyata berminyak—menggunakan kedua tangan, selanjutnya tangan Changsub meraih jemari sang kekasih yang terletak di meja. Sayangnya, justru ditepis oleh pemilik jemari.

Telapak tangan Lee Changsub lengket!

Yein berpindah pandang, menatap Changsub. "Kau masih bertanya alasannya?"

"Jelas saja, kau menghilang hampir dua minggu, aku tidak bisa menghubungimu, bahkan menemuimu sekalipun. Lalu sekarang, kau datang-datang...." Tercekat, Changsub tidak tahu apa yang terjadi, rasanya dari dalam ada suatu gelombang yang menghantam keras. "Kau datang menemuiku, untuk mengakhiri hubungan kita? Bukankah wajar aku menanyakan alasanmu?"

"Kalau begitu pikir sendiri." Yein sudah beranjak dari duduk secepat rasa sakit timbul dalam hati, dan Changsub pun tak kalah cepat menghalangi Jung Yein—berdiri di hadapannya.

"Bagaimana aku bisa menemukan jawaban jika aku hanya memikirkannya sendiri?"

Sementara dua rekan kerja yang masih berposisi di balik meja kasir, diam-diam beringsut mundur. Mereka kira di awal, pertemuan Lee Changsub dan kekasihnya akan berwarna merah jambu, seperti kisah romantik kebanyakan setelah beberapa hari tidak bertemu. Namun perkiraan itu salah, dan sebaiknya mereka tidak ikut campur.

"Kau... jangan bilang kau punya laki-laki lain?"

Yein mendecih, "Sesempit itukah pemikiranmu?"

Termangu, Changsub merasa kosong kala Yein beranjak pergi.

"Yein-ah!" Seolah ada tamparan, Changsub tersentak—berhasil menariknya kembali ke dunia nyata. Dia menyusul Yein keluar dari kedai.

Melihat Yein yang berjalan menembus hujan, Changsub juga tidak terpikir untuk mengambil payung lebih dulu.

"Ini hujan, kau gila?!" Changsub menarik siku tangan Yein, memutar tubuh gadis itu guna dapat berhadapan dengannya.

"Kau yang gila! Aku membencimu!"

Baik, adegan hujan-hujanan begini Changsub sering melihatnya dalam drama pagi ketika sang ibu memasak sambil memasang wajah haru, tapi Changsub tidak pernah suka. Lalu hari ini, dirinya malah menjadi lakon utama yang hujan-hujanan, ditambah dialog miris bernada keras.

Memang benar, jangan terlalu tidak suka, karena bisa menjelma karma, kemudian akan terjadi dalam hidupmu. Seperti siklus cinta-benci, dan sebaliknya.

"Kita belum selesai bicara, Yein."

"Tapi aku sudah selesai bicara. Aku hanya ingin menyampaikan keinginanku."

Changsub yang bertahan memegang siku tangan Yein, sekarang berpindah ke lengan. "Tanpa memikirkan pendapatku? Kau sudah mengutarakan keinginan, jadi tidak adil jika kau tidak menjawab pertanyaanku. Apa alasannya? Mengapa mendadak ingin mengakhiri hubungan?"

Terima kasih pada keseriusan mimik Changsub yang sebetulnya tidak cocok. Yein tidak merasa terintimidasi sama sekali, bahkan oleh kalimat yang meluncur dari mulut Changsub barusan. Hatinya justru tercubit hingga memar.

Yein membuat tangan Changsub terhempas keras, dibiarkan menggantung lemah. Perempuan terguyur hujan itu telah meneteskan air mata sejak tadi, tapi tidak terlihat sebab tersamarkan hujan. Seperti itu juga, Changsub tidak pernah melihat bagaimana Jung Yein menahan segala rasa.

"Kenapa kau tidak pacari Umji saja?"

Kening Changsub mengerut. "Maksudmu?"

Gumpalan sesak membesar dalam dada Yein. "Pacari saja perempuan yang sering kau banggakan itu!"

Kembali, Jung Yein memilih meninggalkan Changsub. Ia tidak ingin lebih jauh memperdengarkan suara bergetarnya.

Changsub tidak mengejar kali ini, dia hanya menatap punggung Yein. Saat kata Umji tersebut, Changsub sama sekali tak paham. Apa... kaitannya Umji dengan hubungan mereka yang berada dalam ambang kehancuran?

Yein juga, dirinya tidak pernah paham dari mana asal mula bisa jatuh cinta kepada sosok seperti Lee Changsub. Laki-laki yang gemar memuji perempuan lain, laki-laki yang lebih senang membahas betapa memesonanya perempuan yang menari diiringi sorakan kekaguman orang-orang.

Sungguh demi bumi terbagi dua, Jung Yein merasa dongkol!

---

"Acaranya sudah mulai, yeay!"

"Eh, mereka tampil pertama, Kak!"

Changsub tidak antusias seperti biasa, dirinya hanya menatap televisi hampa. Kalimat-kalimat Lee Jungeun seperti tidak pernah terdengar.

Sosok Umji tampil beserta senyum manis menghias, keceriaan yang bersinar tidak bisa terbantah. Semua indah di mata Changsub. Namun, tidak untuk sekarang. Umji terlalu biasa yang terlihat, keceriaannya tidak menular kepada Changsub, kecantikannya tidak lagi membuat Changsub takjub sambil memikirkan; betapa bahagianya Tuhan kala menciptakan Umji dan menurunkannya menjadi penghuni bumi.

"Oppa!" Jungeun mengguncang tubuh Changsub. Ia heran melihat sikap sang kakak, tapi Changsub di sini yang lebih heran; mengapa suara adiknya lebih keras dari suara para perempuan yang sedang bernyanyi dalam acara live itu.

"Ada apa, Oppa? Biasanya kau ikut menari. Mengapa sekarang diam saja?" Si adik memang selalu mudah mengutarakan protes, tidak suka atau lainnya.

Arah mata Changsub masih lekat memandang layar televisi, kendati barusan ada badai mengguncang tubuhnya, dan petir menyambar telinga.

"Oppa...."

"Jungeun-ah," tukas Changsub, kemudian menoleh arah sang adik. Tatapannya serius, walau berhasil mengundang tawa Jungeun—dalam hati, tenang saja. Jungeun masih punya perasaan untuk tidak membuat kakaknya tersinggung.

Sudah pernah dibilang, Changsub tidak cocok jika berwajah seperti itu. Meski tidak bisa dipungkiri, akan tidak wajar kalau Lee Changsub tidak memiliki keseriusan. Dia manusia, bisa memperlihatkan berbagai macam emosi, bukan hanya gembira.

"Menurutmu, mengapa Yein memintaku memacari Umji?"

"Hah?" Bingung, Jungeun hampir bernada tinggi. Kedua matanya yang mirip mata Changsub mempertanyakan lebih banyak, Changsub pasti paham. Ayolah, Jungeun tidak bisa asal berpendapat.

"Kau tahu, 'kan? Belakangan ini aku mencari Yein yang menghilang tanpa kabar. Lalu kemarin malam, mendadak Yein menemuiku di tempat kerja. Kukira akan dapat penjelasan mengapa dia menghilang, tapi justru... Yein ingin putus, dan mengatakan pacari Umji saja. Dia berhutang banyak penjelasan kepadaku."

"Astaga!" Jungeun tidak bisa tahan lagi. Kehebohan yang dimilikinya juga, sama persis seperti yang Changsub punya. Replika yang amat sempurna.

"Yein eonni cemburu padamu, Oppa. Kau sih, selalu membicarakan Umji di hadapannya."

Jangan dipikir Lee Jungeun asal bicara, pendapatnya ini takkan meleset. Pernah, sekali waktu Changsub membawa Yein ke rumah, lalu Changsub menyetel lagu dari grup idolanya.

Masalahnya, bukan karena lagu apa yang terputar, tapi Changsub yang lebih condong membicarakan tentang cantiknya Umji—salah satu anggota dari kumpulan perempuan yang berjumlah enam itu.

"Benarkah... begitu?" Changsub sedikit ragu, padahal Yein terlihat baik-baik saja saat dirinya membicarakan Umji.

Jungeun mengangguk kuat-kuat, sekaligus untuk meyakinkan sang kakak.

"Kalau memang demikian, semestinya Yein bicara padaku, mengapa jalan keluarnya harus putus...." Rasanya ada kekecewaan yang tertanam sejak kemarin, tapi itu tidak tumbuh subur seperti cintanya kepada Yein.

"Karena sulit, Oppa. Yein eonni mungkin saja takut jika kecemburuannya akan menghentikanmu dari kesukaan yang menjadi sumber rasa senangmu. Bisa pula, Yein eonni berpikir kalau cemburunya akan terkesan mengatur apa yang kau suka. Oppa, seperti kau yang biasa menyusun takaran ketika membuat kopi, gemar kepada seseorang juga ada porsinya. Mungkin juga kau sudah keterlaluan. Ingat-ingat, apa Oppa pernah mengabaikan Yein eonni dan memilih membicarakan Umji?"

Ah, tepat!

Changsub meringis, dan Jungeun tidak perlu jawaban pasti, sebab raut Changsub sudah menjelaskan semua.

"Sebetulnya, kau mencintai Yein eonni atau Umji?"

"Ehei, mana bisa aku memilih," sahut Changsub. Adiknya ini mempertanyakan hal yang membuat Changsub dilema.

"Ish pilih saja. Dokter cinta akan memberi jalan keluar."

Changsub menjitak kepala Jungeun, sehingga gadis yang baru menamatkan sekolah tingkat senior itu menatap sinis. Rasanya Changsub habis dicabik-cabik hanya karena tatapan itu.

"Jung Yein, tentu saja, aku mencintainya. Cuma, aku juga mencintai Umji."

"Labil," ejek Jungeun. "Dokter cinta menyatakan diagnosis, bahwa perasaanmu kepada Umji bukan cinta."

"Tapi aku senang tiap kali melihatnya, tersenyum, tertawa, dan betah berlama menonton Umji. Jadi—"

"Bukan!" Jungeun menghela napas sebelum menjelaskan. Aduh, menjadi dokter cinta saja sulit, apalagi menjadi dokter sungguhan, ya?

"Itu kagum, Oppa. Ini contoh saja, aku menyukai boygroup, mencintai seluruh anggotanya, tapi cintaku sama Oppa tidak terkalahkan. Nah, cinta itu punya tempatnya masing-masing. Cinta kagum, cinta keluarga, cinta kekasih. Kemudian, baru ada kata ketulusan. Oppa menganggumi Umji dengan tulus, mencintai keluarga dengan tulus, dan Yein eonni tulus juga."

"Kupikir, kagum dan cinta itu hanya beda tipis." Changsub mengemukakan opini.

"Beda tipis, tapi dampaknya berbeda. Kagum belum tentu cinta, dan cinta tidak perlu memiliki kekaguman. Hiss, Oppa harus membedakan dong." Jungeun akan membuka konseling hati sebentar lagi, lihat saja. Untuk orang patah hati, bingung soal percintaan, Jungeun akan menjadi ahli cinta.

Oke, itu tujuan hidup Lee Jungeun sementara.

"Jelaskan kepada Yein eonni, Oppa. Jelaskan kalau kau benar mencintainya. Jangan lepaskan Yein eonni. Aku tidak mau punya kakak ipar yang lain nanti."

Changsub tersenyum, kemudian menepuk-nepuk puncak kepala adiknya, lalu menarik kepala itu ke dalam ketiak sambil berteriak heboh, "Uhhh adikku memang pandai, aku menyayangimu Dongsaeng!"

"OPPA KAU AKAN MATI. LEPASKAN. ASEM TAHUU!"

---

Toko Bunga Jung masih sepi pengunjung, ini juga menjadi alasan si pemilik toko masih duduk anggun di depan ponsel, pandangannya serius.

Sesaat kemudian, Yein melempar benda tipis itu ke arah meja di hadapan. Media sosialnya penuh oleh euforia comeback girlgroup yang disayang kekasihnya. Semakin merasa sebal saja Jung Yein.

Namun, mengapa juga Yein ingin tahu tentang mereka, sampai mengikuti akun satu per satu anggotanya, halaman yang juga menganggumi mereka, pun agensi tempat mereka bernaung? Ya Tuhan, sepertinya sebagian kewarasan Yein telah lenyap.

Menatap arah luar dari balik jendela kaca, memori lama menghantam pikiran. Bagaimana Changsub yang lebih memilih menonton acara yang dihadiri anggota girlgroup kesayangan dibanding mengobrol bersamanya, atau lebih banyak photoshoot Umji di galeri ponsel Changsub daripada foto kebersamaannya.

Yein tidak pernah melarang Changsub untuk menyukai pesohor mana pun, aktris atau idol. Dirinya mungkin tidak merasakan apa yang Changsub rasa ketika menyukai sosok pesohor, tapi Yein mencoba memahami. Hanya saja, lama-kelamaan Yein jenuh oleh sikap Changsub yang terkesan mengabaikan segala hal tentang hubungan mereka. Yein menganggap serius hubungan yang berjalin, jadi ketika Changsub seperti tidak ada keseriusan, lambat laun Yein mundur.

"Mengapa aku harus jatuh hati pada orang seperti dia." Pertanyaan serupa kembali tersuara, bukan pertama kalinya memang. Jung Yein tidak pernah menyangka, bahwa hatinya jatuh kepada laki-laki itu.

Jika orang tidak mengenalnya, sudah pasti mengira urat malu Changsub putus; sedang tertawa ya tertawa saja. Tidak pernah menjaga image, atau menyadari di tempat mana dia berada. Sikap apa adanya Lee Changsub yang membuat Yein luluh.

Apa adanya. Yah, Changsub memang demikian, Yein tahu benar.

Lagipula, siapa yang bisa menebak hati jatuh kepada siapa, bukan? Ini seperti dirimu yang tidak pernah bisa memilih lahir dari sosok ibu yang bagaimana.

Meski mungkin ada banyak pilihan di luar sana, tetap saja hati tidak pernah dapat menipu.

---

Changsub melirik jam dinding kesekian kali. Dirinya sudah tidak sabar menunggu waktu pulang bekerja. Toko Bunga Jung tutup pukul setengah delapan, setidaknya Changsub tidak boleh terlambat.

"Kapan Eunkwang hyung masuk lagi?" Lim Hyunsik menaruh nampan di meja, bertanya kepada rekan kerja di hadapan.

"Mungkin sampai istrinya keluar dari rumah sakit? Molla. Ey, aku ingin menjenguk Nuna Kim. Rindu Eunkwang hyung juga." Sungjae menyahut sambil mencurahkan isi hati. Acara membereskan kursi yang habis diduduki pelanggan terhenti sejenak.

"Bilang saja kau ingin melihat bayinya." Hyunsik tahu betul, Sungjae seringkali gemas melihat bayi, apalagi baru lahir, ia suka. Bayi baru lahir yang belum punya dosa terlihat murni.

Sungjae mengangguk-angguk membenarkan. Hyunsik hyungnya memang pengertian. Itu pujian, bukan bualan. Asal tahu saja.

"Changsub Hyung, pulang bekerja kita jenguk istri Eunkwang hyung, ya." Hyunsik mengajak.

Sosok yang ditanya menggaruk alis sebentar. "Aku... tidak bisa. Kalian saja, ya? Aku titip salam."

"Salam kok dititip." Sungjae berkelakar. "Kau akan ditendang habis ini."

Hyunsik tertawa pelan menanggapi jenaka Sungjae, dan Changsub kembali menggaruk alis, tanda kalau dia dalam keadaan antara bingung, pun tidak enak sudah menolak ajakan Hyunsik. Terlebih, ajakannya ini untuk menjenguk istri sang atasan. 'Nuna Kim' yang disebut Sungjae tadi sangat dekat dengan mereka.

"Aku berjanji akan menjenguk. Eunkwang hyung pasti mengerti. Hari ini aku hendak menemui Jung Yein, pertemuan yang akan menentukan hidup dan matiku, menentukan masa depan...."

"Drama."

"Picisan."

Changsub tidak menyangka jika kedua rekannya bisa setega itu. Padahal, di Natas menerapkan hubungan kekeluargaan antar rekan, berbicara formal hanya dalam keadaan ada pelanggan.

Lantas sekarang? Hyunsik pergi usai mengatakan dirinya 'picisan'. Sungjae juga begitu, beranjak ke dapur saat Changsub belum menuntaskan semua kalimat.

---

Perkiraan Changsub bahwa Toko Bunga Jung buka, adalah kebenaran. Selama Yein menghilang, toko bunga itu tutup. Karena Yein menemuinya selumbari lalu, Changsub jadi meyakini bahwa toko bunga milik Yein kembali buka.

"Jung Yein!" Changsub menampilkan senyum lebar usai memasuki toko. Gadis itu masih sibuk menata bunga, belum ada tanda-tanda akan pulang.

"Tokonya mau tutup. Lain kali datang lagi." Yein keluar dari balik meja modular yang penuh karangan bunga.

"Jadi, kau membolehkanku datang lagi, seperti kau membolehkanku memasuki hatimu lagi, 'kan?"

Yein mengambil gunting, dan Changsub menelan ludah. Tidak tahu mengapa, suasana menjadi dingin. Di luar memang gerimis, tapi ini dingin yang berbeda bagi Changsub—bahkan berbeda dinginnya saat mereka berdua tidak saling berbicara ketika berada di Natas, hari itu.

"Karena kupikir Tuan akan membeli bunga, mengapa harus melarang pelanggan berkunjung, benar? Datang lagi saja, asal Tuan membeli bunga."

Ya ampun, bahasa Yein....

"Yein-ah, apa kau masih ingat pertemuan pertama kita?"

Gadis itu mengabaikan Changsub. Biarlah dia bicara sampai puas, Yein hanya akan menggunting batang bunga sesuai niatnya barusan.

"Kita bertemu di sini, saat hari ibu. Kau membantuku memilih bunga untuk ibuku. Yein—"

"Masa lalu tidak seharusnya diingat." Yein bernada ketus, bermaksud mengusir secara halus. Lalu perasaan sakit melalak dalam hati Changsub.

Belum menyerah, Lee Changsub mendekat arah Yein yang membelakanginya, melingkarkan tangan di pinggang perempuan itu kemudian. Sementara Jung Yein mematung, tangan yang sedang sibuk menggunting terhenti bersama jutaan perasaan nelangsa.

Andai Changsub tahu, keinginan terbesar Yein saat bertemu lagi setelah hari-hari tanpa sosok dia adalah meneriakkan kata rindu. Namun, itu tidak terlaksana akibat niat melepas yang sudah tertumpuk.

"Enam puluh detik, Yein-ah...." Changsub berbisik halus. "Seandainya kau hanya memiliki waktu singkat itu untuk terakhir kalinya kita bertemu, apa yang akan kau katakan kepadaku?"

Siang itu, lonceng Toko Bunga Jung berbunyi. Matahari menyorot arah gadis ramah yang menyambut laki-laki beransel.

"Selamat datang di Toko Bunga Jung. Bunga apa yang Anda cari, Tuan?"

Changsub akui, awalnya dia masuk ke toko untuk melihat bunga-bunga yang tak kalah cantik dari bunga yang terpajang di luar. Namun, ternyata Changsub bukan hanya terpesona oleh bunga cantik, Changsub juga menemukan Yein sebagai magnet yang kuat. Ketika mata mereka bertemu, sinar matahari nan terik menjadi saksi terpautnya hati.

Selepas hari itu, Changsub lebih sering ke Toko Bunga Jung, membeli bunga untuk ibunya meski bukan hari ibu.

Dari sana, Changsub meyakini; dirinya telah jatuh cinta. Memang tidak langsung sejak pertama kali, hanya perasaan awal menguat pada pemilik toko, Jung Yein.

Demikian, jika sekarang hubungan mereka benar-benar berakhir, Changsub tidak yakin akan melihat keindahan warna bunga lagi seperti biasa. Dirinya takut akan menghindar dari yang namanya bunga, atau keindahan.

"Aku tahu kesalahanku sekarang, Yein. Kau menyuruhku memacari Umji, 'kan? Apa kau tahu, bahwa itu mustahil? Meski aku menyukainya, belum tentu aku bisa mencintainya seperti aku mencintaimu, belum tentu juga Umji menerimaku seperti kau menerima segala kekuranganku.

"Perasaanku kepada Umji hanya bentuk kekaguman yang akan kalah dari keinginanku untuk menjadikanmu pendamping di masa mendatang. Apa ini cukup menjadi penjelasan?" Changsub berbicara cepat, masih bertahan memeluk Yein. Bahkan lebih erat dari sebelumnya, menimbulkan desir tidak biasa dalam tubuh gadis itu.

"Dimulai dari sekarang, enam puluh detik. Aku memberi waktu untukmu. Barangkali kata-katamu waktu itu berubah. Jika dalam enam puluh detik kau tetap ingin putus, aku menerima. Tapi jika kau berubah pikiran, katakan kau mencintaiku."

Yein melepas guntingnya di samping pot bunga hias, kedua tangannya menggenggam tangan Changsub, lalu melepasnya perlahan.

Kekecewaan mencuat, kedua mata Changsub memerah bersama ketakutan yang memenuhi perasaan. Yein memutar tubuh, menatap Changsub tegas walau kaca yang melapisi pandangan membuat buram.

Kala mulut Yein terbuka untuk bersuara, Changsub sempat berharap waktu terhenti sebentar, setidaknya berikan Changsub waktu untuk bernapas. Enam puluh detik yang terasa seperti kedipan mata, kenyataan tidak begitu.

"Seandainya aku hanya memiliki waktu singkat itu...." Yein mendekat selangkah mengarah laki-laki yang terlihat kacau raut wajahnya.

"Aku mencintaimu, Lee Changsub."

Tidak pernah Changsub duga, bahwa efek dari pelukan Yein adalah kaku, pengaruh kalimat singkat Yein adalah jantung yang rasanya hampir terbelah. Kekecewaan terganti menjadi rasa tak terhingga.

Yein tidak sadar telah membuat air matanya menitik, ia hanya tahu bahwa pelanginya menghilang kala harus tidak bersama laki-laki dalam dekapan. Kemudian sekarang, pelangi seakan timbul menghias di langit malam.

"Aku juga, mencintaimu, Yein-ah. Sangat. Aku berjanji, tidak akan terlalu membahas Umji ketika kita sedang bersama." Changsub membalas pelukan Yein, rasa itu kembali; kehangatan.

"Jangan berjanji, lakukan saja. Aku ingin kita memulainya dengan lebih baik."

Changsub mengangguk, sengaja memejamkan mata untuk merayakan shelter miliknya yang kembali.

"Omong-omong... maksudmu memulainya dengan lebih baik, adalah menerima lamaranku, 'kan? Tadi aku sekalian melamar lho."

Astaga, Lee Changsub! Apa seperti itu caramu....

"Tidak ada romantisnya sama sekali." Jung Yein mengkritik, tapi tidak berharap Changsub bertindak romantis. Dengan kehadiran Changsub bersama tingkah tidak terduga nan konyolnya saja sudah berhasil mencapai taraf 'romantis' yang belum tentu dimiliki pasangan lain.

"Lalu bagaimana biar romantis? Aku lupa belum membeli cincin. Kalau begitu, cium saja eothae?"

"Ya! Lee Changsub!" Yein sampai berusaha membawa diri menjauh. Laki-laki itu barusan melepas pelukan mendadak, lalu menarik wajah Yein mendekat pada bibirnya. Bukan apa-apa, bibir Changsub mirip angsa yang hendak menyosor lawannya. Agresif pula.

"Yein-ah, mau ke mana? Hei, jadi lamaranku diterima, yaa!"

Tanda seru. Berarti Changsub tidak bertanya, melainkan menegaskan kalau lamarannya benar diterima Jung Yein.

.
.
.

Selesai ~

- B T O B B L U E -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro