KALIH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Manuke wong Londo, gede ('burungnya' orang Belanda besar)." Begitulah aku mendengar tawa cekikikan pedagang kembang dan sirih membicarakan milik orang Belanda.

Perawakan Johann tinggi besar. Pribumi nampak begitu kecil kalau berdekatan dengannya. Saat pertama kali melihatnya kala usiaku tiga belas tahun, rasanya aku mau pingsan ketakutan. Tak punya tenaga untuk melarikan diri. Bayangkan gadis desa kurus tak tahu apa-apa melayani lelaki kulit putih berbadan tegap dengan kejantanan yang besar.

Entah bagaimana rasa milik pribumi, yang jelas pertama kali Johann mengambil keperawananku, sakit teramat sangat menderaku. Akan tetapi, aku tidak mengeluh. Sebagai wanita Jawa, aku dididik untuk tunduk, melayani tuanku yang tak pernah memperistriku. Di luar sana, banyak londo bersikap kejam pada gundiknya.

"Berpakaianlah," kata Johann.

Kupunguti kebaya dan kain jarikku. Mengenakannya. Begitu pun Johann.

"Kemari, Sum," Johann melambaikan sisir. Kemudian ia menyisiri rambutku yang terurai liar akibat pekerjaan tangannya. Aku menyanggul lagi helaian sepekat malam yang berantakan.

"Aku lapar," kata Johann dalam bahasa Belanda. Segera aku membuka wadah beling. Aroma sedap pala dan cengkeh memenuhi ruangan.

Aku tak berani bicara selagi Johann menyantap masakanku dengan lahapnya.

"Ini sangat sedap, Sumarah." Johann memberikan pujian yang membuatku mengulum senyum. Aku mengetahui seleranya. Kentang seukuran bola tenis dipotong empat agar Johann mudah memasukannya ke dalam mulut. Caranya menikmati buah tanganku sangat sedap dipandang. Gerakannya begitu teratur.

Selain anggun, Londoku juga sangat teliti mengerjakan angka-angka. Itu berkat didikan Hoogere Burgerschool te Semarang. Johann bersekolah, sedangkan aku tidak. Karena kemurahan hatinya yang mengajariku membaca, menulis, serta sedikit ilmu tentang angka-angka, aku bisa menjadikannya bekal. Aku tahu bahwa satu kilogram kopi sama dengan dua pon kopi. Aku tahu dua tambah dua sama dengan empat. Johann mengajariku sedikit soal mengukur panjang atau luas bangunan. Aku bisa membaca papan penunjuk stasiun. Akupun bisa menulis namaku, Sumarah dalam huruf Latin. Bahkan, aku paham sekelumit sejarah Jawa, Nederland, dan kisah negara-negara asing. Semuanya berkat Johann. Dia Londo yang tak pernah menembak manusia. Hanya menembak burung yang kebetulan melintasi halaman rumah kami. Lalu ia akan memberikan hasil tembakannya padaku untuk dimasak.

"Kemarilah," pinta Johann.

Kuhampiri tempatnya duduk, lalu duduk di kursi rotan kosong. Johann menatapku hingga membikin wajahku terasa akan meletus karena jengah. Kurasakan jemarinya menelusuri tulang pipiku, lalu beranjak ke dagu.

Disodorkannya wadah beling berisi potongan lidah sapi dan beberapa potong kentang. Kelihatan sangat membangkitkan selera.

"Makanlah," ucap Johann. "Aku tak mau kau sakit."

Hanya simbok di desa yang mengatakan hal semacam itu. Sejak simbok mati, bapak tak pernah mengatakan hal yang menghangatkan sanubari. Pikirannya hanya berkisar bagaimana agar ada laki-laki kaya yang mau membawaku serta. Seolah aku adalah beban hidupnya.

Setiap hari setelah simbok mati, kerjaku adalah membersihkan rumah, mencuci pakaian di kali, memasak, dan mengantarkan bekal bagi bapakku di sawah. Bukan sawah bapak. Itu adalah sawah milik bendoro di kota. Begitu saja hingga seorang jongos mengantarkan barang-barang berharga pada bapak. Dengan senang hati, bapak menerima pinangan Johann.

Kutusuk potongan bistik lidah dengan garpu perak, lalu mencicipinya. Masakanku memang sedap, seperti pujian Johann.

"Kau tahu, sejak aku melihatmu di sungai dua tahun lalu, aku sudah merasa kau adalah yang terbaik." Johann mengamatiku yang sedang mengunyah pelan.

Dua tahun sejak Johann membawaku ke rumah yang besarnya sepuluh kali gubukku di desa, aku belum pernah membuatnya marah. Ia tidak pernah menghardik apalagi melayangkan tamparan padaku.

"Aku akan segera membawamu ke gereja untuk dibaptis." Bibirnya tersenyum secerah matahari pagi.

Mataku membalas tatapannya. Benarkah? Apakah ini semacam pertanda bahwa dia akan segera menjadikanku Mevrouw-nya?

"Gereja, Meneer?" ulangku takut-takut. Apakah gereja yang dimaksud adalah gereja dengan pilar putih yang menyangga bangunan pualam itu? Yang kubahnya kelihatan gendut serupa kuda bunting? Yang digunakan oleh para Londo untuk menyanyikan lagu-lagu indah? Gereja yang itu?

"Kenapa? Kau tak suka?" Tanya Johann ketika melihatku tak bersuara.

Aku tak suka? Apakah aku masih punya hak untuk menyukai atau membenci? Aku terdiam beribu bahasa. Sungguh bingung dengan kata-katanya.

"Atau kau mau kuajak serta ke Nederland?" Pertanyaan Johann membuatku menggigit bibir gelisah. "Kita naik kapal ke Rotterdam," katanya.

Seketika aku berhenti menusuk lidah sapi berlumur boter di wadah beling. Aku menatap matanya dengan ragu. Dia berhak marah atau menghajarku karena begitu lancangnya telah menatap. Kutunggu sedetik, dua detik, tiga detik. Tak ada apapun. Bibirnya terangkat ke atas membentuk senyuman.

Johann mendongakkan daguku lalu memberikan ciumannya yang paling memabukkan. Aku tergagap, kutahan napas dan kupejamkan mataku. Bukankah ini yang kuinginkan? Namun mengapa aku menjadi takut?

***

Sejauh ini gimana ceritanya?

Vote dan komen yang banyak biar penulisnya semangat.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro