TIGO

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ki Giras membungkuk hormat saat aku keluar dari toko. Ia tengah bersantai sembari memberi minum kuda cokelat milik Johann. Usai makan siang, aku pamit. Menumpangi sepeda aku melewati gedung sekolah khusus anak Belanda. Senang melihat kulit putih mereka menjadi kemerahan ditimpa cahaya matahari.

Aku berdiri di bawah pohon asem nan rindang, mengamati ibu anak-anak Londo itu menjemput. Kapan aku memilikinya? Apakah aku mandul? Anak pembawa sial seperti kata Bapak bertahun-tahun lalu?

Johann tak pernah mempermasalahkan aku punya anak atau tidak. Selama kebersamaan kami, ia tak bertanya kapan aku hamil. Tetapi aku ingin punya anak. Nantinya anak kami disebut indo. Anak-anak indo mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk sekolah, memiliki pekerjaan di belakang meja, bukannya pekerjaan kasar seperti pribumi.

"Mama, Mama!" Seorang anak laki-laki Londo mendatangi ibunya, lantas memeluknya. Sang ibu yang berambut pirang menggendong anak itu, menciumnya. Mereka masuk ke dalam mobil putih. Anak itu bukan anak orang sembarangan. Di Semarang, kebanyakan orang berjalan kaki. Hanya orang berkecukupan seperti Johann yang mampu membeli sepeda.

Andaikan aku punya anak dengan Johann, aku akan mengantar-jemputnya setiap hari. Entah kapan itu terjadi. Yang jelas, jika aku punya anak, aku berkesempatan dibawa serta ke Nederland, sama seperti beberapa temanku yang dijadikan pelayan oleh tentara Nederland lalu diboyong ke negeri itu setelah masa bertugasnya habis. Aku ingin meninggalkan Jawa, tanah yang hanya mengingatkan pada derita.

***

Malam ini sebagaimana malam-malam sebelumnya, Johann telungkup di ranjang berkelambu.

"Kawanku di Aceh merindukan kopi Jawa. Menurutnya lebih enak dan tak membuat sakit perut," katanya. "Tapi aku sendiri suka rasa kopi Gayo. Kau ingat Willem?"

Aku membalurkan minyak kelapa ke punggungnya yang putih kemerahan. Kupijat bagian pinggulnya. Ia sering merasa pegal karena meneliti angka yang berbaris bagaikan semut hitam.

"Injih, Meneer."

"Adiknya, Claudette tergila-gila pada kopi Gayo. Malah, bibinya ia kirimkan kopi yang dibeli di toko kita. Katanya sedap sekali."

Syukurlah bisnis Johann lancar. Kalau keuangannya semakin baik, tahun depan kami mampu membeli mobil.

"Aku ingin mengekspor kopi dari Gayo ke Nederland. Bagaimana menurutmu, Sum?" Tanya Johann dengan suara terkantuk-kantuk, menikmati pijatanku di sekujur tubuhnya.

Tahu apa aku soal kopi? Bagiku rasa kopi semuanya sama. Baunya pun serupa, menggugah selera. Berbahaya kalau kau minum malam-malam. Salah-salah tak bisa tidur.

"Ya, Meneer. Kopi Gayo baik dikirim ke Nederland," jawabku meski tak tahu apa-apa soal kopi.

Johann membalik tubuh, telentang, wajahnya menghadap padaku. Ia meraih tanganku yang licin berlumur minyak, mengecupnya. Dadaku serasa berbunga-bunga. Aku suka dengan matanya yang bersorot bahagia. Ia tersenyum lembut, kelihatan puas dengan dirinya.

"Kalau penjualan kopiku meningkat, kubelikan kau kalung emas bersusun empat," kata Johann.

Aku tersenyum lagi. Seharian ini Johann membuatku rajin menyunggingkan senyum.

"Biar semua kaummu semakin iri. Bahkan wanita kaumku pun akan iri. Aku tak suka kau disebut gundik," ucap Johann.

Semua menyebutku gundik bukan karena aku tak berkalung. Namun karena aku tak pernah dinikahi secara resmi olehnya. Tak peduli Johann membelikanku kalung bersusun sepuluh atau konde berlian, semuanya tak akan berubah. Aku tetaplah seorang gundik yang dipandang rendah semua mata.

"Kau tahu, Sum. Aku paling senang berada di dekatmu begini. Merasakan tanganmu," Johan bangkit, duduk di ranjang, mendekapku. "Dan masakanmu."

Jangkrik mengerik di luar jendela. Udara malam basah setelah hujan sore tadi. Dinginnya menghampiri kamar kami.

"Bolehkah saya tutup jendelanya, Meneer?" tanyaku, meminta izinya dan ia mengangguk. Mungkin karena merasa kedinginan.

Aku berdiri, melangkah dengan kaki telanjang ke sisi jendela. Kututup bagian dalamnya namun tetap membiarkan bagian luarnya membuka. Aku tahu malam ini akan terasa panas bagiku. Johann selalu memintaku melayani selayaknya istri sampai aku bermandi keringat. Setiap malam selalu berlangsung panas. Kecuali jika ia pergi ke Sumatera, memeriksa kopi-kopi terbaik yang hendak dikirimkan ke Jawa.

Setelah jendela tertutup, aku kembali lagi ke ranjang. Menunggunya melakukan apa yang ia inginkan padaku. Sejenak kami saling bertatapan, namun sibuk dengan pikiran masing-masing hingga dia beranjak dari tidurnya, menuju ke lemari pakaian.

Aku menunggu sembari berkhayal, jika kami menikah, memiliki anak, hanya malaikat yang menandinginya. Wajah campuran pribumi dan kompeni lebih cantik daripada Londo murni yang kulitnya berbintik-bintik. Lebih tampan daripada pribumi yang kulitnya segelap kopi Gayo.

Johann mengambil sesuatu dari lemari. Selembar pakaian perempuan yang entah kapan dia beli. Kamar kami diterangi lampu minyak. Hingga aku bisa melihat renda-rendanya yang bertumpuk sangat banyak pada pakaian itu.

"Aku ingin kau mengenakannya." Johann menyerahkan pakaian tidur ala noni Londo padaku.

Kubelai pakaian itu. Aku harus mengganti kainku dengan baju tidur ini. Aku mengangguk sambil mengambil benda yang disodorkan padaku, lalu beranjak hendak mengganti pakaian.

"Tunggu." Tangan Johann menahan. Kini ia berdiri bertelanjang dada di hadapanku. Tangannya terulur meraih simpul kain batik yang membungkus tubuhku. Perlahan, seolah takut membikinku luka ia membukanya, hingga aku berdiri tanpa terlindung selembar kain pun.

Aku menunduk, menunggu.

"Tadi siang Robert berkunjung. Ia bercerita tentang istrinya yang baru melahirkan," ucap Johann menyapukan bibirnya, lembut ke kulitku. Ia berjalan ke belakang punggungku.

Bulu kudukku meremang, ketika secara tiba-tiba tangan besar Johann meremas bokongku. Jantungku berdebar tak karuan. Aku memejamkan mata, membiarkan tangannya memainkan puting payudara kananku, memilinnya. Ia meraba perutku, turun ke kewanitaanku, memasukkannya ke sana. Jari-jarinya menggeliat pada titik-titik yang membuat lututku lemas seperti benang dicelupkan ke air.

"Aku serius soal ucapanku tadi siang. Dan, aku ingin punya anak darimu," bisikJohann parau.

Pertama kalinya dalam tahun-tahun kebersamaan kami Johann mengatakan ingin punya anak dariku. Ia tak menunggu jawabanku, menggendongku kembali ke ranjang.

Tubuh kekar Johann berada di atasku. Otot-ototnya terlihat kuat. Terkadang aku khawatir kalau ia meremukkanku.

Mata cokelat madu Johann berkilat-kilat dalam temaram lampu minyak. Hidung mancungnya menyentuh hidungku kala mengecup wajahku. Napasnya yang panas menerpa wajahku.

"Aku mencintaimu, Sum," bisik Johann.

Aku memekik tertahan ketika jemarinya membentuk kait, memasuki diriku sekali lagi, dan dengan lihai mempermainkannya. Tubuhku melengkung, tanganku mencari sesuatu untuk menyalurkan denyut-denyut di bawah sana. Kuraih kepala Johann, menenggelamkan tanganku dalam rambut pirangnya.

"Oh." Eranganku tak tertahan saat Johann menambah kecepatan jarinya.

Johann merambat turun. Bibirnya mendaratkan kecupan-kecupan. Ia menggigit kecil payudaraku. Aku belingsatan antara perih dan birahi. Darahku serasa mendidih, menggelegak ketika Johan melebarkan kakiku agar ia leluasa menikmati kemaluanku yang telah basah dengan lidahnya.

"Meneer, saya mohon...," rintihku tak tahan lagi.

Keringat membasahi kami. Aku menggelinjang resah. Namun Johann berhenti. Kali ini meloloskan celana piamanya, memijat-mijat miliknya. Urat-urat di sana semakin nampak nyata ketika miliknya membesar dan teracung.

"Aku datang, Cantik," ujar Johann, mengarahkan miliknya ke liangku.

Johann menggeram ketika melakukan penyatuan. Ia mengangkat pahaku, menumpukan pada bahunya. Johann tak bermain halus kali ini. Tubuh besarnya menyentak-nyentak kuat, menghunjamkan miliknya dalam-dalam.

"Kau selalu nikmat, Sum," geram Johann, memejamkan mata.

Gelenyar lembut perlahan menjadi gelombang besar yang melanda.

"Meneer."

Peluhku bercucuran.

"Aarrggh!" Johann menggeram, mempercepat gerakan.

Rasa itu semakin memuncak. Aku menggelepar, mencengkeram lengannya. Kami berteriak bersamaan dalam ledakan kepuasan.

***

Glosarium

Boter: Mentega.

Hoogere Burgerschool te Semarang: Pendidikan menengah umum pada zaman penjajahan Belanda di Semarang untuk orang Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Masa studinya berlangsung dalam lima tahun.

Rotterdam: Pelabuhan dan kota di Belanda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro