NEM BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada malam harinya, Johann mencumbuku. Aku tidak tahu apa yang mengganggunya hingga ia bersemangat. Bukan, Johann marah lalu menumpahkan perasaannya padaku. Mungkin karena kekalahan Nederland, mungkin juga karena hal lain.

"Ah, Meneer!" aku berseru meremas seprai dalam posisi bersujud membelakangi Johann.

Johann memaju mundurkan pinggulku. Irama hentakan kewanitaanku yang dihunjam miliknya menjadi irama yang mengundang berahi.

"Aaarrggh!" geram Johann mempercepat dan memperdalam hunjamannya. Terengah bagai harimau terluka.

Johann menggeram, mencabut miliknya dari dalamku. Bagai sebuah boneka, ia membalik tubuhku, kembali menghajarku. Teriakan panjang darinya menandai ia telah selesai.

Johann lebih beringas malam ini. Aku bergolek di ranjang, belum membersihkan diri. Johann pun berbaring di sampingku. Kami menatap plafon rumah. Dada telanjang Johann naik-turun teratur. Aku kesulitan memejamkan mata. Padahal biasanya, setelah Johann menuntaskan hasratnya atas tubuhku, aku akan tidur.

Hatiku resah, mengadakan percakapan dengan diri sendiri. Aku mengajukan pertanyaan seperti, kapankah hari itu tiba? Hari ketika aku patut menyandang nama Koenraad. Di manakah Johann akan menikahiku? Apakah di gereja berkubah gendut di Semarang? Ataukah ia sungguh akan membawaku ke negaranya, bertemu orang tuanya? Bagaimana tanggapan orang tuanya ketika mengetahui Johann menikah dengan wanita dari negeri jajahan? Apakah aku akan mengenakan gaun pengantin seperti para Noni? Ataukah Johann akan membelikanku jarik sutra baru? Apakah keluarga Johann akan datang?

Johann pernah bercerita soal keluarganya di Maastricht. Hanya dua kali. Ayahnya memiliki pabrik roti. Ibu, seorang kakak perempuan, seorang kakak laki-laki dan Johann sendiri membantu di sana. Johann masih memiliki seorang orang adik laki-laki yang sakit-sakitan. Pamannya, seorang pedagang kopi di Semarang mengirimkan surat ketika Johann berusia sebelas tahun agar membantunya di Semarang. Ia pikir, Johann bisa meringankan beban keluarga jika mengirimkan sedikit upahnya ke Belanda. Lima tahun sebelum Johann bertemu denganku, pamannya mati tanpa anak atau istri, mewariskan toko kopi yang sekarang Johann kelola.

Aku tak tahu apakah Johann masih mengirimkan surat pada keluarganya di Nederland atau tidak. Kami dekat tetapi jauh pada saat bersamaan. Banyak misteri tak terpecahkan karena kami sama-sama tak mau merusak gelembung kebahagiaan. Kami sama-sama hampir tak pernah membuka mulut soal masa lalu. Ada bagian dari diriku yang tak mau membuka masa-masa ketika aku di desa. Bukan karena membencinya, tetapi aku suka kehidupan serba mudah seperti sekarang. Aku hanya ingin menyambut masa depan, dan masa depanku bernama Johann Koenraad.

Johann terlelap. Aku hanya sanggup memandanginya. Ia sangat tampan sampai aku heran kenapa Johann tidak menikah dengan perempuan sebangsanya saja. Penerimaannya atas kemandulanku menyentuh hatiku. Johann telah menatapkan pilihannya. Aku merapatkan jarak. Mencoba memejamkan mata di sampingnya.

"Nee (Tidak)." Igauan Johan membuatku menoleh. Suaranya terdengar sedih.

"Meneer." Kugoyangkan tangannya pelan. Tak kusangka ia telah tertidur sementara aku gelisah tak karuan.

"Nee," racaunya lagi. Keningnya bertaut seperti menahan kesakitan luar biasa.

Semua kepedihan akibat kekalahan pasukan Sri Ratu telah menghancurkan jiwa Johann. Ia menampik kenyataan bahwa ratunya tak sehebat yang ia kira.

Kugoyangkan ia lebih keras. Ia meracau. Aku tak tahan melihat keadaannya. Kupijati tangan dan kakinya sampai ia membuka mata.

"Ada apa, Meneer?" tanyaku menekan keresahan. Saat ini, aku harus kuat karena batin pria yang kucintai sedang rapuh.

"Nee."

Terus kupijati tangannya agar ia tenang, lalu kakinya, berulang kali sampai ia mampu menjawab selain Nee.

"Sumarah." Johann langsung memelukku begitu mampu menguasai diri. "Jangan takut, aku akan melindungimu dari bedebah-bedebah itu."

"Tidurlah lagi, Meneer, itu hanya bunga tidur," hiburku.

"Temani aku, Sum," Johann memohon.

Johann tak bercerita soal mimpi buruknya. Tetapi, ia menolak tidur lagi. Mungkin mimpinya terlalu mengerikan untuk dibagi.

***

Semalaman aku terjaga, terjaga dengan mata terpejam karena menemani Johann. Sedapat mungkin, kami menghindari menyebut Nippon. Akibat kurang tidur, hari ini aku amat mengantuk. Sehabis mengantarkan masakanku untuk Londoku, aku bersiap belajar agama. Tak lupa memanggang speculaas untuk Pendeta Van Imhoff.

Jam 4 sore setelah speculaas-ku matang, kuambil Alkitab milik Johann. Katanya ia akan membelikanku yang baru. Aku menghidangkan speculaas beserta teh hangat di cangkir porselen bergambar bunga biru. Sebentar lagi Pendeta Van Imhoff akan datang.

Langkah kaki terdengar memasuki teras. Bukan langkah renta Pendeta Van Imhoff, namun sepatu Londoku yang berderap di sana. Terlambatkah pendeta? Tak mengapa, aku rindu Johann. Rasanya hatiku sudah menjadi taman bunga berhias kuncup bunga karena janjinya menikahiku. Ketika mengetahui bahwa aku tak bisa punya anak, kuncup-kuncup itu layu. Tetapi, jika kami menikah, kuncup-kuncup itu akan mekar lagi.

"Meneer," sapaku dengan perasaan dipenuhi bunga api mercon. Kusambut ia yang baru saja pulang. Kali ini wajahnya tak sedap dipandang.

Sebagai seorang perempuan, aku mampu merasakan suasana hatinya. Semendung langit sore tanpa awan. Ia duduk tanpa suara di sofa. Bahkan menyapaku pun enggan. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin membuat nuansa muram semakin nyata.

Mata cokelat madunya jatuh pada buku tebal yang kupegang. "Sum, tidak perlu kau siapkan segala Alkitab itu."

Aroma kayu manis dan kapulaga dari speculaas mengawan di ruang tamu. Keharumannya meliuk-liuk menjelma menjadi kabut kelabu di hatiku.
Jelas aku terkejut. Apakah bau kopi di tokonya telah mengubah pikirannya? Apakah ada babu yang menarik hatinya? Atau jangan-jangan seorang noni telah membuatnya mabuk kepayang? Tidak, Johann. Jangan berikan kabar buruk. Kau tahu, aku sudah bersusah payah memupuk dan menyirami kuncup-kuncup bunga dalam hatiku.

"Ampun, Meneer, apakah saya berbuat salah?" Kurasakan dadaku sesak menanti kabar menyakitkan apa pun.

Johann menghela napas, menatapku putus asa. Lalu dagunya yang dihiasi janggut bergerak. "Pendeta Van Imhoff dan keluarganya mengungsi."

Aku mematung di tempatku berdiri. Mengungsi? Kenapa? Kalimat yang terlintas dalam pikiran tak berhembus bersama napasku.

"Nederland kalah. Jawa sudah jatuh ke tangan Nippon. Gubernur Jenderal sudah menyerah." Kata-kata Johann bergaung di telingaku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro