PITU LAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nippon masuk ke Jawa tanpa masalah. Kelihatannya para pribumi menantikan kedatangan mereka beratus tahun. Kuakui sikap londo yang memperlakukan pribumi seperti kotoran membangkitkan perasaan benci, terutama karena londo suka memaksa sekaligus menyiksa.

Tak mungkin terlupa cerita bakul-bakul jamu mengenai buyut mereka yang mati saat membangun De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan. Jalan raya sepanjang 1000 kilometer itu dibangun dari keringat, darah, dan air mata rakyat Jawa dan Pasundan. Daendels, si iblis yang dibenci pribumi mendapatkan sebutan Raden Mas Galak, Raden Guntur, dan Marsekal Besi karena hatinya sekeras baja. Ia tak punya rasa peri kemanusiaan setetes pun, bahkan tega membunuh penguasa pribumi yang gagal menyerahkan tenaga kerja untuk membangun jalan. Menurut cerita, penguasa yang menentang Daendels dihukum mati. Mayatnya digantung di kanan dan kiri jalan sebagai gertakan pada penguasa pribumi lain yang masih hidup agar patuh.

Tak cuma pembangunan jalan yang menyiksa rakyat Jawa. Kebijakan cultuurstelsel dari kompeni mewajibkan leluhurku menanam kopi, teh, tebu, dan nila. Rakyat Jawa dipaksa menanami seperlima sawahnya dengan tanaman yang laku dijual di pasar dunia. Kebijakan yang menimbulkan penderitaan tiada tara. Jelata pribumi tak berkesempatan mengurus tanaman pokoknya. Hasil bumi yang subur dipaksa untuk dijual murah pada kompeni, demi menutupi utang Nederland yang menggunung. Menurut cerita bakul jamu, badan rakyat Jawa kala itu menjadi sekurus padi kering. Bencana kelaparan merajalela padahal hasil panen melimpah ruah. Keringat, darah, dan air mata Jawa sudah diperas tiada bersisa oleh kompeni.

Selain cerita soal pemerasan, kudengar dari Dokter Peters yang pernah melancong ke Batavia, ada pengumuman 'Verboden voor honden en Inlander' yang berarti 'Terlarang bagi anjing dan pribumi'. Kaum pribumi disamakan dengan anjing, kalimat paling menghina yang pernah kudengar. Pengumuman itu terpampang di trem, lapangan bola, gedung bioskop, dan kolam renang di Batavia. Kaum pribumi tak diperkenankan berada di sana, berbaur dengan para londo. Hanya para bangsawan lah yang boleh bergaul bahkan satu sekolah dengan bangsa Eropa.

Aku maklum dengan perih menyayat hati yang dirasakan kaumku, paham pada pandangan bahwa londo adalah setan bengis dari neraka jika mendengar kenangan buruk mereka. Tak heran bila kini Nippon yang mengalahkan Londo dielu-elukan, dianggap pahlawan pembebas. Tentara Nippon dengan jumawa memasuki kota. Bocah-bocah tanpa baju berdiri menyandar pada simbok mereka di depan toko sandang-pangan, menyaksikan pawai militer. Ternyata benar ramalan Jayabaya di masa lampau. Namun bedanya, ramalan Jayabaya itu menyebutkan bangsa cebol akan menjajah. Nippon, justru berikrar akan membuat kami sejahtera, sentosa dan jaya. Apakah ini siasat? Senyum ramah mengiringi lambaian tangan mereka di atas mobil. Kurasakan betapa berbedanya sikap mereka yang sudi beramah tamah dengan pribumi. Berbeda jauh dengan londo yang hanya memandang sebelah mata pada kami.

"Masuk, Sum." Nada Johann terdengar tak suka ketika aku tersenyum memandangi keriuhan di muka tokonya yang disesaki manusia ketika menyambut saudara tua: NIPPON.

Aku menoleh ke arah suara londoku. Ia telah berdiri di belakang dengan tangan masuk ke saku celana. Alis tebalnya menyatu membentuk garis amarah. Perlahan aku mundur, meninggalkan sukaria yang melingkupi saudara-saudaraku.

***

Sore ini di bulan Maret, kawan-kawan Johann yang kukenal datang ke rumah. Lima orang pria bermata coklat atau hijau dan berbadan tegap singgah di ruang tamu. Londoku mengutusku menjamu tetamu sementara dirinya sendiri berbincang dengan mereka.

Kuhidangkan kroket beserta teh ke meja tamu. Sengaja kuperlambat gerakan agar bisa menangkap sebanyak mungkin berita penting. Masuknya Nippon ke Jawa adalah perkara paling hangat yang diperbincangkan. Para londo yang biasanya bersikap segarang banteng luka kini selemah anak kambing yang akan dipotong di rumah jagal. Semuanya berduka seolah akan kehilangan nyawa di tiang gantungan.

"Ter Poorten telah menandatangani penyerahan kepada Nippon," kata Willem duduk setengah membungkuk. Ia ketakutan. Duka mendalam terdengar jelas dalam suaranya. Seluruh londo terancam.

"Ah, tapi bukan Gubernur Jenderal yang menandatangani penyerahan itu." Johann masih berusaha menghibur teman-temannya. Sebenarnya ia menghibur dirinya sendiri. "Artinya penyerahan itu tidak resmi."

"Nippon doodt de NIROM radio-announcer." Hans, salah satu kawan Johann dari Buitenzorg menggeleng mendengar ucapan Johann. Empat orang londo lain yang duduk mengelilingi meja tamu, termasuk Johann dan Willem, menatapnya.

"Kenapa?" Jacobus, kawan Johann yang lain bertanya dengan terperanjat.

"Nippon menghukum mati penyiar radio NIROM. Alasannya karena penyiarnya tetap mengudara seminggu setelah pemerintah Nederland menyerah pada Nippon. Bukan cuma itu, para penyiar naas tadi mengumandangkan lagu kebangsaan Nederland." Hans melambaikan tangan mempraktikkan ketika Nippon menembaki penyiar radio. Pertunjukan keberanian yang mesti ditebus dengan nyawa. "Kalau Nederland tidak sungguh menyerah, para Cebol sipit keparat itu tak akan berani bertindak demikian. Pastilah tentara Sri Ratu akan bertindak."

"Kau yakin mereka ditembak, bukan dipenggal? Kudengar Nippon sangat suka memenggal." Seolah belum cukup seram, Willem mempertegas kekejaman Nippon.

Sunyi. Aku terperanjat mendengar berita betapa mudahnya Nippon menghilangkan hidup manusia hanya karena masalah ini. Tanpa teguran, tanpa pengadilan atau hukuman kurungan. Langsung penghabisan nyawa. Apa bedanya Nippon dengan Daendels?

"Sumarah." Johann menatapku, kelihatan tak suka akan kehadiranku yang berlama-lama. Apalagi mata Hans mulai menyusuri lekukan tubuhku. Tatapan londoku semakin kelihatan membara karena ulah kawannya. Johann memberikan isyarat dengan kepalanya agar aku masuk. Biarpun masih ingin mendengar percakapan para londo, aku menurut, segera mundur ke belakang, ke dapur.

Di dapur aku mampu leluasa berpikir. Apakah takdirku sebagai babu dan gundik Johann akan berakhir sampai di sini? Apakah Johann akan menjualku juga seperti banyak gundik lain yang dibuang meneer-nya? Apakah ia akan meninggalkanku? Mungkin saja majikanku nanti lebih kejam daripada setan. Mestikah aku kabur? Kepalaku pening dengan pikiran-pikiran tak tentu.

***

Semenjak kedatangan teman-temannya ke rumah ditambah lagi keresahannya soal anak, sikap Johann semakin tak terkendali. Bukan berarti ia menjadi binatang jalang buas yang menghajarku. Bukan begitu. Jika pada saat Nederland berkuasa di Hindia Belanda Johann minum rhum hanya saat udara dingin, kini hampir setiap waktu dia menelannya. Tak jarang hingga mabuk sekali lalu meracau. Seringkali ia menyebut nama ratunya atau mengucap bahasa-bahasa moyangnya yang bahkan aku tak paham.

Setiap malam kini aku merawat londoku. Menampung atau membersihkan muntahnya yang berceceran di lantai pualam. Londoku, nampak begitu menderita dengan kemenangan Nippon. Ratu Wilhelmina yang diagungkannya kini hanya sebatas lukisan. Bukan tak mungkin Nippon akan menyuruh menghapus segala aroma Nederland di Semarang.

Aku kelelahan karena pergolakan ini. Kabar-kabar mengerikan simpang siur hampir setiap hari. Pembantaian demi pembantaian, penaklukkan demi penaklukkan, tersiar silih berganti. Perutku mual dan kepalaku pening. Sepertinya seluruh dunia ikut bergejolak. Begitu bangun, aku sudah muntah-muntah.

"Sum." Johann mengetuk pintu kamar mandi tempatku muntah-muntah. Ia tak perlu melihat hal menjijikkan. Tubuhku sangat lemas. "Buka, Sum," perintahnya.

Dengan sisa tenaga, kusiram sisa-sisa muntahanku sampai bersih lalu keluar dari kamar mandi. Johann memegangi bahuku agar tak jatuh.

"Kau pucat sekali. Biar kupanggil Theo ke sini," ucap Johann lembut. Kelembutannya semakin membuatku sedih. Bagaimana jika Nippon membuat kami harus berpisah?

"Tak perlu, Meneer. Berangkatlah." Jika tidur sejenak pasti tubuhku akan lebih segar.

"Kau yakin?" Johann masih terlihat cemas, genggaman tangannya semakin erat di pundakku. Aku mengangguk agar ia tak lagi risau.

"Baiklah. Istirahat yang cukup, Sum," Johann mengecup pipiku sebelum pergi bersama Bhanu Aji dan Ki Giras.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro