15. Dansa Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 15 Dansa Bersama

"Dia benar-benar menidurimu?" Bastian kembali memecah keheningan di antara mereka. Aleta seolah sengaja merapatkan mulut, tak ingin memberikan jawaban. Yang ia tahu akan membuatnya hancur.

Bastian mendongakkan wajah Aleta, yang langsung gadis itu tepis. "Tak ada yang salah dengan itu, Bastian. Kami sudah menikah."

"Dia bukan orang yang akan tertarik dengan …"

"Gadis cacat sepertiku?"

Bastian berkedip. Suaranya berubah lembut, tanpa tekanan seperti sebelumnya. "Aku tak bermaksud mengatakan seperti itu, Aleta."

Aleta tetap menampilkan raut dinginnya meski sorot Bastian mengatakan yang sejujurnya.

Bastian mengangguk. Meredam kecemburuan yang semakin sulit dikendalikan ketika bayangan liar itu muncul di benaknya. Tentang bagaimana Leon meniduri gadisnya.

Matanya sempat menyipit, ketika sekilas menangkap kissmark yang tak berhasil disembunyikan di antara helaian rambut Aleta yang diurai.

Suara langkah yang semakin mendekat menyela di antara pandangan keduanya yang masih saling terkunci. Bastian melangkah melewati Aleta. Berpapasan dengan Monica yang membawa dua gaun pesta dengan warna yang lebih lembut.

Aleta kembali bernapas, matanya terpejam sesaat demi meredam patah hati yang masih mencuat di hatinya.

*** 

Saat Monica dan Aleta kembali ke ballroom, suara alunan musik mengalun lembut menyambut keduanya. Juga pencahayaan ruangan yang sengaja diredupkan. Menyisakan lantai dansa sebagai sorotan semua para tamu undangan.

"Entah di mana papamu," sesal Monica. Berusaha mencari sang suami di antara kerumunan. "Ah, itu Jendra. Kita ke sana." Monica menemukan sang putra yang berdiri di samping meja dengan air mancur coklat. Di belakang pemuda itu beberapa pasangan pria dan wanita dengan tubuh saling merapat berayun ke kanan, kiri, depan dan belakang mengikuti alunan musik. Sementara Jendra sibuk menyiram marsmallow ke bawah guyuran coklat sebelum melahap penuh kenikmatan.

"Di mana papamu?" Meski bertanya, Monica masih tetap mengedarkan pandangan. Mencari sang suami.

Jendra menggeleng. "Aku hanya melihat Leon. Sedang sibuk menolak tawaran para wanita itu untuk berdansa," ucapnya menunjuk ke arah seberang lantai dansa.

Aleta mengikuti arah yang ditunjuk sang adik, tetapi pandangannya teralih pada pasangan yang berdiri di tengah lantai. Berputar dengan anggun dan begitu mesra. Pasangan yang menjadi pusat perhatian semua orang. Bastian dan Berlian.

Lengan Bastian melingkari pinggang Berlian sementara kedua lengan wanita itu melingkari leher Bastian. Keduanya saling tatap. Dan betapa ironisnya pemandangan tersebut. Dengan perasaan Bastian yang pria itu akui masih dikuasai olehnya. Keduanya tampak sempurna sebagai pasangan. 

Aleta menundukkan pandangannya. Tersenyum pahit dalam hati pada kisah cinta mereka yang tak pernah ada meski patahan itu terasa kuat dan nyata di dalam dadanya.

"Bisa berikan tanganmu?" Sebuah telapak tangan terulur tepat di depan Aleta. 

Aleta tercengang, menatap Leon yang berdiri sedikit membungkuk ke arahnya. Matanya berkedip beberapa kali. Tak mempercayai yang sedang coba pria lakukan.

Apakah Leon menawarkannya sebuah dansa? Dengan kedua kakinya yang bahkan tak bisa berdiri tanpa sanggahan.

Apakah pria itu sudah gila? Atau memang sengaja mengejeknya?

Leon menggoyang tangannya, menunggu balasan uluran tangan Aleta yang masih bergeming. Bahkan mengepalkan kedua tangan di pangkuan. Menolak tawarannya.

"Berikan tanganmu," pintah Leon sekali lagi.

Aleta menggeleng. Ia jelas tak ingin menjadi tontonan dengan kursi rodanya di lantai dansa. Merasakan tatapan-tatapan mulai mengarah pada mereka berdua.

"Apa yang kau lakukan, Leon?" Monica yang menyadari kegelisahan Aleta segera menarik kursi roda sang putri menjauh. "Berhenti mempermalukan Aleta," desisnya mendekatkan wajah ke arah sang menantu. Matanya melirik gusar ke arah kepala para tamu undangan di sekitar mereka yang terjulur penuh rasa ingin tahu. 

Senyun Leon melengkung lebih tinggi. "Apakah mengajak istri sendiri berdansa adalah hal yang memalukan?"

"Kau tahu Aleta bahkan tak bisa berdiri."

"Maka biarkan saya yang akan menjadi kaki untuknya."

Monica tercengang. Menatap Leon dengan bola mata yang melebar. Mencoba menelaah pernyataan sang menantu baru saja.

Sekali lagi Leon tersenyum. Tubuhnya lebih membungkuk untuk meraih kedua tangan Aleta yang kemudian dilingkarkan di lehernya. Lalu lebih membungkuk lagi untuk memegang pinggang sang istri.

Tak perlu mengerahkan banyak kekuatan untuk mengangkat tubuh mungil Aleta dari kursi roda. 

Aleta yang masih berusaha menelaah ketercengangannya, hanya diam membisu dengan apa yang dilakukan Leon. Membawanya tubuhnya di antara pasangan lain yang berdansa.

"Pijakkan kakimu di atas kakiku," bisik Leon.

"Tidak bisa."

"Lakukan."

"Tidak bisa, Leon," geleng Aleta. "Turunkan aku."

"Coba saja."

"Aku selalu mencobanya."

Leon menggunakan kakinya untuk membawa kaki Aleta berpijak di atas kakinya sendiri. Setelah memastikan keduanya berada di tempat yang tepat, ia sedikit memundurkan wajahnya. "Jangan setegang ini, Aleta. Kau akan menambah bebanku."

Wajah Aleta memerah oleh rasa malu. Menurunkan pandangannya ke arah dada Leon, menatap kancing jas pria itu yang berwarna hitam dan berbentuk bulat.

Leon terkekeh geli dengan rona yang menghiasa pipi Aleta. Ingin sekali membuat rona itu semakin memerah, tetapi dengan alasan yang lain. Yang akan mereka lakukan setelah pulang dari pesta ini, tentu saja. "Aku memegangmu dan kau berpegangan padaku. Apakah itu tidak cukup membuatmu percaya padaku? Setidaknya, aku tak mungkin menjatuhkan istriku di hadapan umum seperti ini."

Aleta pun menghela napas pelan dan mulai merilekskan tubuhnya. Wajahnya perlahan terangkat, menatap keintensan di kedua manik biru tersebut dan membiarkan pria itu melakukan apa pun yang disuka. Bergerak perlahan ke sisi kanan dan kiri, mengayun pelan ke belakang dan depan. Seperti gerakan yang sudah ia hafal ketika berdansa dengan papanya.

"Dia menolak tawaran semua wanita-wanita cantik karena menunggu Aleta. Istrinya," gumam Jendra.

Monica mengalihkan pandangannya dari Leon dan Aleta yang sekarang menjadi pusat perhatian. Mendapatkan decak kagum lebih banyam, terutama dari para wanita akan keromantisan Leon.

Untuk sesaat, sikap pria itu memang berhasil menyentuh hatinya. Setidaknya apa yang dikatakan sang putri tidak sepenuhnya salah. Bahwa Leon memperlakukan Aleta dengan baik. Namun, ia masih belum sepenuhnya meletakkan kepercayaannya pada Leon. Sekarang mereka berada di hadapan umum. Tentu saja Leon tak akan mencoreng wajah sendiri dengan memperlakukan buruk Aleta.

"Dia melakukannya karena tak ingin kalah dari Bastian," delik Monica. Mematahkan pemikiran sang putra.

Pandangan Jendra berpindah ke tengah lantai dansa. Bastian dan Berlian tampak begitu kesal dengan perhatian semua orang yang teralih dari mereka berdua, dan bahkan setelah melemparkan tatapan menusuknya pada Leon, Bastian lekas meninggalkan lantai dansa.

Di sisi lain, Maida melemparkan tatapan tegasnya pada Anna, yang menahan kegeraman di sisinya. "Tetap di tempatmu atau cari seseorang yang lain tanpa mengganggu Leon dan Aleta, Anna."

Tentu saja pilihan kedua lebih memuakkan. Yang memaksa Anna tetap di tempat. Meneguk habis sisa anggur di gelasnya.

*** 

Aleta tak tahu berapa lama keduanya bergerak ke sana kemari sesuai irama yang dipimpin oleh Leon. Sisi wajahnya bersandar pada dada bidang pria itu. Tak tahan dengan tatapan pria itu yang tak lepas dari wajahnya, sekaligus tengkuknya yang lelah karena harus terdongak dengan posisi tubuh mereka yang saling merapat. Pun untuk menyembunyikan dengupan jantungnya yang semakin kencang.

Ia tak pernah berada dalam posisi yang intim seperti ini dengan pria mana pun. Meski ia dan Leon pernah melakukan sesuatu yang lebih intim ketika mereka di atas ranjang, tetap saja kedekatan semacam ini membuat sesuatu di hatinya seperti tersengat. Yang rasanya belum siap Aleta rasakan di tengah remahan patah hatinya yang belum terbereskan. Pun begitu, ia tak mampu menyangkal kenyamanan yang sentuhan lembut di hatinya untuk dansa yang ditawarkan Leon.

“Kau lelah?” Pertanyaan Leon memecah lamunan Aleta yang masih dibingungkan oleh perasaannya sendiri. Gadis itu pun tak melewatkan kesempatan untuk mengangguk.

Leon berhenti mengayunkan tubuh mereka, sedikit membungkuk untuk mengangkat tubuh Aleta ke dalam gendongannya dan berjalan ke arah kursi roda sang istri diletakkan.

Tatapan datar Monica menyambutnya, tetapi ada kebekuan yang mulai mencair di sana. Sementara Nirel, pria paruh baya tersebut menampilkan senyum seperti yang selalu ditunjukkan padanya. Dan kali ini ada kelegaan yang tercetak jelas di sana.

“Sepertinya kami harus pulang lebih cepat,” ucap Leon, berpamit pada kedua mertuanya. 

“Kami akan mengantar Aleta ke bawah.” Monica lekas menyela. Jam memang sudah menunjukkan pukul 11 malam lebih. Dan biasanya Aleta memang selalu pulang lebih awal karena pesta yang membosankan ini. Sementara dirinya masih harus menemani sang suami menyapa lebih banyak orang hingga pulang tengah malam. Jendra bahkan sudah pulang lebih dulu.

“Kau tak ingin menyapa kedua kakakmu lebih dulu?” tanya Nirel, menatap ke arah Yoanna dan Maida di samping panggung. Bersama pasangan masing-masing.

“Mereka sudah melihatku,” jawab Monica sambil lalu. Dan memang tak perlu berbasa-basi dengan kedua kakaknya. Selain pembicaraan mereka yang tak akan pernah nyambung.

Leon tak menolak. Monica mengambil alih pegangan di kursi roda Aleta dan mendorong melewati kerumunan menuju pintu utama.

Keempatnya berhenti sejenak di depan pintu lift. Ketika pintu bergeser terbuka, satu-satunya penghuni yang ada di dalamnya menghambur keluar. Jatuh ke pelukan Leon.

Aleta memucat mengenali wanita itu lagi-lagi adalah Anna. Yang mencoba bermesraan dengan Leon. Ia bisa memaklumi sikap wanita itu ketika ada di kamar hotel atau di kediaman Leon. Tetapi saat ini, papa dan mama tirinya ada di sini. Betapa nekatnya wanita itu mencoba mencium Leon di depan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro