Kita di bawah hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Aku rasa, buku berjudul 'cara mengatur emosi menjadi hal positive' yang kemarin aku tuntaskan dengan sungguh-sungguh, bahkan aku kembali catat setiap point point pentingnya, sama sekali tidak berpengaruh padaku. Rentetan kalimat tata cara pengaturan nafas serta cara mendistract pikiran, ketika emosi ku kembali datang itu semua hilang begitu saja lenyap seakan tidak pernah menempel pada otaku : seakan aku tidak pernah tau, tidak pernah mau tau.

Ego menjadi pemenang ketika puncak emosiku sudah meluap keluar dari jiwaku, kepulan tanganku dengan erat melaju kencang melesat menuju meja kayu jati perpustakaan, membenturnya keras—sangat keras—hingga sesaat perasaan menyesal datang sekelebat.

bunyi dentuman sedikit menggema di pojok perpustakaan fakultas ekonomi yang masih sepi pengunjung ini. aku terdiam sebentar, menoleh ke sekeliling barang kali aku di hampiri oleh penjaga, di tegur, aku akan langsung meminta maaf. Namun detik detik selanjutnya masih sengang, hanya ada suara tik tik tik tik dari jam dinding yang jauh di atasku.

ku hela nafas lega. namun emosiku kembali hadir meluap luap ketika aku harus menatap layar laptopku yang mendadak menfrezee ketika ke 458 kalinya aku membuka aplikasi edit vidio bersamaan dengan naskah essai aspek hukum dalam bisnis—dan mendadak crusor laptopku berhenti, seperti sedang merajuk atau sedang pingsan karena tidak sanggup.

segala macam makian sudah aku tumpahkan dalam hati, berbagai jenisnya berupaya mengalirkan emosi marahku perlahan. lebih baik dialirkan dengan perlahan dari pada aku membedah langsung krangkeng emosiku, membiarkanya meledak bak larva yang meletup letup dari lubang kawah.

nyaris saja kepulan tanganku tadi mengarah pada layar laptop, hendak menonjoknya hingga bolong atau apapun itu yang membuatnya sakit, hatiku sakit maka laptopku juga harus sakit (padahal ia hanya benda mati). Egoku menutup akal sehatku secara sempurna.

dalam beberapa detik, kini keadaan makin buruk, layar laptopku mati menghitam. padahal aku belum meninjunya atau membantingnya secara paling kencang ke arah lantai. rentetan kesialan mulai datang, emosiku tak tertampung lagi seakan menghancurkan laptop tidak akan membuatku puas, mungkin mengamuk menghancurkan kota ini akan membuatku lega.

file essai yang aku tulis belum aku pindahkan ke gawai, deadlinenya malam ini, pukul tujuh, 3 jam lagi. aku sudah menulisnya setengah dari tugasnya yang terdapat 12 lembar, serta satu model desain dari tugas management oprac yang menjadi sumber laptop bodohku harus pingsan karena lemah tidak cukup untuk menjalankanya.

Aku ini sudah paham aku mudah tersulut emosi oleh tekhnologi, dimataku mereka seperti orang bodoh yang sialnya aku sangat butuhkan. love-hate relationship mungkin bisa di sebut. paling dongkol jika mereka melakukan kesalahan, tidak ada cara untuk balas dendam untuk membuat mereka ikut merasa terpuruk, tentu saja mereka hanya sebuah alat.

namun tetap saja, ketika kondisiku seperti ini aku rela melakukan apa saja. Aku frustasi, sangat frustasi akan belakangan ini yang entah mengapa perkuliahan membuatku lari tampa henti, tampa memberi jeda aku bernafas sejenak atau sekedar meluruskan kakiku.

dengan nafas yang tidak beraturan aku menjatuhkan diriku kembali pada kursi kayu di hadapanku, menatap laptopku yang masih menunjukan layar hitamnya. baiklah jika ini rusak, bukankan tidak apa aku membantingnya? atay aku menyiramnya dengan segelas ice coklat di sebelahnya? ya sepertinya tidak apa karena jelas aku sangat membenci laptopku, kambing hitam atas seluruh frustasiku belakangan ini.

tapi, tidak.

aku tahu itu akan memuaskan hatiku, tapi otaku terus berkata bahwa itu bukan jalan keluar yang baik. jadi aku hanya mengepalkan keras kedua tanganku, memejamkan mata sambil megertakan gigi dengan keras.

di sela-sela diriku yang sedang berperang antara ego dan logika, notifikasi muncul dari ponselku yang tadi juga bermasalah--batrainya habis dan kabel casanya sepertinnya bermasalah jadi tidak dapat di cas. nyaris aku mengigitnya membuatnya pecah, namun tidak, ada banyak foto miliku dan pacarku didalam sana.

iya, notifikasi itu pesan dari Pandji, teman yang naik status menjadi pacar lintas fakultasku. sepertinya ia mengabari bahwa kelasnya sudah usai, bertanya apakah aku sudai selesai dengan urusanku di kampus, jika sudah ia mengajak pulang bersama.

pria ini, otaku bekerja dengan cepat menemukan obat dari segala emosi berantakan akhir-akhir ini, Pandji dapat membereskan emosiku dalam sekali tindakan, benar.

menyambar totebagku, memasukan laptop sialan itu dengan asal ke dalamnya serta ponsel dan buku buku lainya. kakiku bergerak cepat menuju luar gedung perpus, tanganku sibuk memasak earpod padda telinga ku, lagu akan membuat moodku kembali dengan tenang walau tidak begitu berpengaruh namun setidaknya ia bisa--

roti dan selai, bunga dan kumbang, romeo dan juliet, beberapa hal dalam hidup, memang ditakdirkan selalu bersama.

"anjing"

kini aku benar benar ingin menghancurkan segala elektronik dimataku. moodku kembali turun jauh jauh lebih turun dari masalah layar laptopku blackscreen. bagaimana bisa spotifyku tetap muncul iklan ketika kemarin baru saja aku membayar akun premiumnya?

aku ingin sekali mengulik mengapa iklan sialan itu tetap muncul ditengah tengah lagu lawas yang mulai menenangkanku, tapi ternyata egoku hadir jauh lebih besar. sambil berjalan dengan cepat menuju parkiran fakultas hukum dan masuk kedalam mobil sedan milik pandji, aku mengengam dengan sangat erat ponselku, aku tidak perduli lagi jika ponselku benar benar remuk, bahkan jika saat sampai tujuan dan ponselku baik-baik saja aku akan membantingnya.

setiap langkahku penuh hentakan kasar, alisku menekuk tajam, bibirku melengkung ke bawah, tatapanku benar benar marah tidak ingin di gangu atau di sapa oleh siapapun. hal ini yang menghindariku dari beberapa orang yang mengenalku, mereka memberi aba aba hendak menyapaku namun gagal, bagus, lebih baik mereka diam sebelum aku mengeluarkan kata kasar.

tidak butuh waktu lama aku sudah menarik pintu sedan pandji dengan sedikit kencang. Pria yang sudah duduk didalam sana sambil mengatur radiomobil sedikit terkejut atas tindakan cepatku, rasa terkejutnya berganti dengan raut wajah bingung melihat wajahku marah.

ketika aku menarik sitbelt dengan gerakan agresif, ia mencoba bergerak dengan tenang dan tidak menimbulkan sesuatu yang membuat emosiku terpancing. kepala kecilnya menganguk nganguk perlahan sambil mencoba menebak nebak alasan sore hari ini aku benar-benar tampak seperti akan mengancurkan segalanya.

pandji mencoba rilek dengan menyenderkan pungungnya pada jok, "gimana kabar hari ini?" tanyanya basa basi,

hanya aku jawab dengan anggukan, mulutku masih terkatup rapat. masih terbayang soal iklan spotify dan laptop sialan.

pria ini kembali mengubah posisinya untuk siap mengendarai sedanya ini, tanganya mulai mengengam setir. "mau kemana kita sore ini?" tanyanya lembut.

Aku menaikan bahuku acuh. mungkin ke kantor spotify atau pabrik pembuatan laptopku, membawa sedirijen minyak tanah untuk membakar pabriknya, tentu saja aku tidak akan menyuarakan rencana sinting penuh emosi itu pada pandji.

Ketika mobil mulai berjalan perlahan, membelah jalanan jakarta sore hari yang terlihat sedikit padat, untungnya radio memutar lagu lawas yang hendak aku dengar namun kejeda iklan sialan itu.

perlahan bersama dengan kemacetan yang mulai terurai, emosiku menurun begitu saja,terobati dengan suasana santai, lagu the beatles, bau parfum khas pandji yang aku hirup, serta raganya langsung di sebelahku yang dengan kepekaanya ia diam tidak ingin mengusiku lebih jauh.

sejujurnya aku tidak begitu menyukai mobil sedan, aromanya entah kenapa selalu membuatku mual. Tapi mobil adji berbeda, aroma nya sama dengan aroma baju dan dirinya, melebur dalam pendingin mobil ke seluruh penjuru mobilnya, jadi aku senang ketika bajuku juga kadang mengeluarkan aroma yang sama milik parfum adji ketika setelah duduk didalam mobilnya sedikit lebih lama.

ketika kami berada di flyover, adji mulai membuka mulutnya setelah mungkin banyak pertimbangan, "aku mau beli makan dulu, kamu mau makan apa?" tanya-nya perlahan, sekilas ia menoleh padaku sebelum kembali memperhatikan jalanan.

makan ya, aku ingin yang manis. mungkin seperti donat yang dilumuri coklat leleh lalu ditaburi seres dan topping manis di atasnya? . iya aku ingin itu. seperti biasa aku menjawab dengan kata andalan para wanita: "terserah"

adji kembali menoleh sekilas padaku, "mcd mau?"

membayangkan seberapa padat antrian restorant cepat saji itu membuatku malas, aku ingin pulang dan menyelesaikan essaiku yang harus tertunda akibat laptop sialan ini. "aku mau pulang" akhirnya aku mengeluarkan penyataanku,

adji menganguk, "oke, kita bisa pesan grab ya"

perjalanan itu dipenuhi keheningan dan pertanyaan satu arah yang selalu berakhir tragis, jawabanku memotong seluruh panjang topicnya. adji tidak kembali berusaha mengajaku berbicara, ia mungkin berfikir aku butuh waktu menerung sendiri, jadi di mobil itu benar benar tidak ada perbincangan selain ocehan daari radio.

saat gedung apartment ku terlihat, aku berfikir mungkin adji akan bertanya kembali soal dimana ia harus memakirkan mobilnya? di halaman luar atau di besment? aku sudah menyiapkan jawaban singkat padat yang membuat adji kembali berfikir. namun TENG TONG! aku salah, adji dengan gesit memutar stir menuju besment, tidak ada pertanyaan kembali yang membuatnya bingung. mobil pun turun menuju dalam gelap, menukik memutar sebelum akhirnya landai.

aku memperhatikan wajahnya yang tenang, matanya yang gesit mencari celah diantara deretan mobil mobil lainya, memperhatikan tanganya yang cekatan memutar stir kekanan kekiri bersamaan dengan kakinya yang menginjak pedal, caranya menyetir mobil memang lembut. sungguh ironis, padahal lebih lama aku bisa membawa mobil dari pada dirinya, memang insting pria soal menyetir itu sudah tidak perlu diragukan.

sedikit jauh dari pintu masuk, adji memakirkan mobilnya dengan sekali ijakan pedal, mengandalkan camera belakang mobil yang ditampilkan pada layar radio yang berubah serta suara sensor belakang yang terus berbunyi aman, dalam hitungan detik mobil pun sudah sempurna berhenti.

gerakanku lambat untuk membuka sitbelt, bersiap turun dengan meraih tas tote bagku dengan mudah karena adji menyalakan lampu orange di atas antara kami.

aku mendengar helaan nafas beratnya sebelum ia membuka suaranya, "aku boleh ikut turun niih? apa mau sendiri dulu?", adji memiringkan badanya, tanganya merangkul leher jok duduknya, menatapku serius, tatapanya seperti khawatir dari pada benaar-benar bertanya hal itu.

bagaimana ia bisa berfikir seperti itu? aku butuh seseorang untuk mengehentikan niat buruku untuk membanting laptop ku ini? mungkin karena diam ku membuatnya tidak nyaman ya?.

aku tidak menjawab peratanyaanya langsung, mulutku sedikit terbuka akibat pengurungan niatku mengatakan aku butuh waktu sendiri namun aku juga ingin ia menemaniku. jadi aku hanya balik menatapnya sambil pikiranku saling memulai perang.

merasa tidak enak adji masih menunggu jawabanku, helaan nafas panjang keluar dari hidungku sebagai jawaban, entah lah aku benar-benaar tidak tahu. emosi marah tadi menguras tenagaku hingga benar-benar habis, apalagi saat aku menahan tanganku untuk menonjok, itu sangat mengambil banyak tenaga.

kusenderkan tubuhku pada jok, alih alih menjawab pertanyaan adji aku malah memejamkan mataku. sebentar saja ya ji, aku butuh berfikir jernih supaya kamu tidak menjadi kambing hitam atas ruwitnya emosiku ini. "sebentar, aku mau kaya gini sebentar" kataku

sebuah tangan dengan ujung jari yang memiliki suhu lebih rendah darai pada telapak tanganya, mulai mengengam tanganku lembut. jari-jarinya mulai menyelinap diantara jari jariku, mengisi celahnya lalu mengengamnya erat. "Ayo cerita ada apa, aku selalu dengerin kamu kok" ujarnya,

abaikan masalah laptop, abaikan tugas kuliah, abaikan masalah transaksi spotify ku. sudah lama kami tidak bertemu secara langsung, aku yang menarik diri akkibat kesibukan ini membuatku frustasi. Barang kali semenit saja, semenit semua kesialan itu hilang, semenit saja aku ingin bersandar dan menarik nafas.

mataku kembali terbuka, adji disana masih dalam posisi terakhir aku membuka mata, tubuhnya sedikit tercondong ke arahku agar tanganya leluasa mengengam tanganku. wajahnya seperti biasa tenang dengan sabar menungguku kembali membuka mulut.

aku tidak ingin bercerita, mulutku sakit memaki seharian ini.

aku melepas gengaman tangan kami, merentangkan tanganku dan mulai mengangkat tubuhku mendekati dirinya yang sudah ikut merentangkan kecil lenganya setelah sadar aku ingin memeluknya. ia terkekeh, gigi nya muncul menertawaiku, ya biar saja.

ketika aku dapat menubrukan wajahku pada depan pundaknya lalu menengelamkannya pada hoodie creamnya, bau aroma khasnya semakin jelas masuk kedalam hidungku, seperti aroma terapy yang dapat menenangkanku seketika, mengusir emosi marahku dengan sekali hidup. benarkan otaku, adji adalah musuh dari amarahku yang sedang meluap-luap, bagai hujan yang datang ketika hutan secara mendadak terbakar, kehadiranya seperti air, begitu jernih dan banyak manfaatnya untuk jiwa dan ragaku.

begitu aromanya semakin jelas, tanganku yang melingkar pada pingangnya semakin memeluknya erat, lalu mulai terdengar suara tertawa pelan lagi milik adji, namun kini aku bahkan bisa mendengar suaranya bergema pada dadanya yang ikut bergetar. tangan kiri adji melingkar pada pundaku, tangan satunya mengelus pucuk kepalaku mengelus nya perlahan.

apakah adji tahu bahwa posisiku sekarang menduduki gagang ganti gigi pada mobilnya? jika ia tahu sepertinya akan marah walau sebenearnya ini juga tidak nyaman untuku..

kalian tahu rasanya ketika memeluk adji di waktu terburuk seperti ini? rasanya seperti anak kecil yang lega melihat ibunya setelah tersesat, perasaan lega ketika menemui seseorang yang peduli padamu, yang sayang pada dirimu sendiri ketika kamu bahkan membenci dirimu sendiri. memeluk adji seperti memberi nafas padaku, melepaskan seluruh beban beban dipundaku seseaat lalu bersembunyi dari seluruh masalah dalam pelukanya. pelukan adji seolah ia sedang berusaha melapisiku dengan seluruh tubuhnya, membuatku merasa aman dan bisa bersantai sejenak, aku selau candu pada tindakan ini, seperti zat adtiktif saja bukan?

aku kembali menghirup dalam dalam aromanya, menikmati aromanya saat masuk mengisi paru-paruku dan menimbulkan kupu-kupu pada perutku. aku mulai beraharap pakaianku meyerap juga aroma parfum ini sehingga saat sedang kacau aku tidak perlu adji.

pria ini kembali mengeratkan pelukan kami, kini aku yang tersenyum lebar. aku mendengakan wajahku agar oksigen benar benar masuk dalam hidungnya, aku memposisikan kepalaku untuk bersender pada pundaknya, mendekatkan wajahku hingga pangkal hidungku menusuk lehernya. kedua tangan adji kini melingkar pada pingangku, kini ia yang mengeratkan pelukan ketika tanganku mulai melepaskan tenaga.

dalam dekapanya, aku bisa mendengar deru nafasnya, merasakan detakan jantungnya yang ritmenya semakin cepat, melingat ujung telinganya yang mulai memerah, atau rahangnya yang mulai mengeras. aku senang memperhatikanya sedekat ini, memastikanya memiliki respon yang sama denganku, terbang naik melayang layang.

aku hendak protes ketika tangan adji kembali bergerak menarik pundaku menjauh, belum sempat aku menyuarakan keberatanku, protesku sudah di bungkam oleh bibir miliknya. Rasanya seperti benar benar terbang melayang-layang diantara kupu kupu yang keluar dari perutku, setiap gerakan yang ditimbulkan oleh adji benar benar membuatku mabuk dan benar benar melupakan segala tekananku akhir-akhir ini.

tangan kanannya yang sudah berada di belakang tenguk ku, menariknya mendekat membuatnya memimpin jalur permainan kali ini. sedangankan tangan lainya betaut dengan jariku, mengatur agar permianan kali ini akan tetap pada jalurnya . aku selalu bertanya tanya sejak dulu, bagaimana ia masih bisa memiliki tenaga disituasi seperti ini? bahkan ketika memeluknya saja tenagaku seperti terkuras habis lemas adanya, aku benar benar tidak berdaya lemas pasrah mengikuti arahan tindakanya saat ini.

adji, aku bahkan tidak akan menyangka akan sesayang ini dengan mu.

andai kau tahu rasanya di hujani cintamu yang begitu jernih dan memabukan.














____________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro