Flowing Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan gerak perlahan, perempuan itu menutup pintu rumah. Merasa aman, dia melangkah cepat untuk sampai pada tujuan.

Halaman yang luas, juga bangku besi bercat putih masih seperti baru. Satu laki-laki duduk di sana, kemudian mengembangkan senyum kecil kala sosok yang ditunggu akhirnya mendekat.

"Kau membuatku seperti istri yang diam-diam main di belakang suaminya tahu!" Tanpa izin, Minjoo memukul bahu kiri Ilhoon, sehingga laki-laki yang sejak tadi duduk kalem mengaduh. Kepalan tangan Minjoo tidak main-main.

"Nuna selingkuh?" Ilhoon menggoda atas balasan pukulan tadi.

"Berselingkuh denganmu," sahut Minjoo. Dia mendesis untuk menampilkan rasa kesal. "Tengah malam kau memintaku keluar rumah, aku mesti hati-hati meninggalkan kamar, belum lagi saat membuka pintu rumah."

"Kakak ipar tidak akan marah bidadarinya selingkuh bersama pria paling tampan," kata Ilhoon berkelakar. Namun, Joo cukup tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu sang adik.

"Jung yang tampan, kau belum pernah merasakan bagaimana sepatu tinggiku mengenai kepalamu, 'kan? Mau coba?" Jung Minjoo tersenyum menawan, yang artinya akan ada bagian menyakitkan. Ilhoon paham, mereka pernah berbagi tempat, dalam perut sang ibu maupun rumah. Mereka tumbuh bersama, bertengkar adalah hal wajar bagi mereka sepasang saudara.

Meski tahu ada kegundahan dalam relung si adik, Joo belum mau mempertanyakan. Biar Ilhoon sendiri yang menceritakan, biasanya begitu.

Beberapa saat setelah jenaka yang terlontar, hanya hening. Ilhoon yang tadinya menatap mata Joo—seolah berbicara melalui telepati, menyerah. Ia menunduk.

"Nuna, sudah membaca postinganku?"

Tepat. Intuisi Joo tak pernah meleset jika berhubungan soal adik satu-satunya.

"Sebelum membaca itu aku sudah tahu lebih dulu. Kenapa? Kau mau mengundurnya?"

Ilhoon menggeleng. Adalah hal tergila jika Ilhoon sampai menunda berangkat militer, anggotanya yang lain sudah lebih dulu berjuang. Ini saatnya, bukan?

"Besok, Nuna." Ilhoon masih menunduk. Beruntung bahwa kedua telinga Joo masih berfungsi secara baik, sehingga deru angin tidak mampu untuk menghalangi Joo mendengar kalimat Ilhoon.

"Seperti aku yang melepas Nuna menikah, apa yang Nuna rasakan sama?"

"Memang apa yang kau rasakan ketika melepasku menikah?" Joo bertanya balik. Itu berhasil membuat Ilhoon mendongak, menoleh arah sang kakak yang berada di samping—menghadapnya. Ilhoon selalu merasa istimewa jika Joo sudah memusatkan seluruh perhatian kepadanya.

"Ada segumpal rasa tidak rela, sedih...."

"Aku tidak merasa begitu."

Lantas helaan napas terdengar berisik dari angin—bagi Joo. "Apa begitu caramu memperlakukan adik tampanmu? Tega sekali, astaga."

Sok tersakiti, pikir Joo.

"Aku merasa bersalah sebetulnya." Ungkapan Joo berhasil memancing ribuan rasa penasaran dalam diri Ilhoon. Laki-laki itu menyimak baik-baik, memaknai tiap kata yang dilontarkan.

"Aku tidak bisa seperti penggemarmu. Iri menyerangku, mereka bisa mengekspresikan banyak kesedihan sebagai tanda bahwa mereka betul menyayangimu, tapi aku tidak bisa terlalu sedih melepasmu pergi militer. Mungkin karena aku kakakmu, atau... karena aku tahu, kau pergi untuk kembali? Dibanding satu setengah tahun yang panjang, waktumu akan lebih banyak setelah kau kembali. Itu yang kupikirkan, juga menjadi sumber rasa bersalahku."

Tatapan Ilhoon kian lekat, Joo mencair pada akhirnya. Tidak mungkin dirinya bersikap seperti es terus, bagaimana pun, Ilhoon memang membutuhkan dukungan.

Joo mengusap punggung Ilhoon. "Kau bisa melaluinya, Saengi. Pasti. Dari banyaknya penggemarmu, aku salah satu orang yang akan menunggumu kembali. Terpenting, kau harus selalu sehat, Jung Ilhoon."

Mengingat kembali masa lalu di mana tawa menguar dari anak laki-laki, tengah riang bermain pasir bersama anak perempuan yang begitu disayang. Joo yang pertama kali menjadi sahabat Ilhoon sebelum dirinya memasuki dunia yang lebih nyata. Dunia yang banyak orang baik, tapi tercemar karena kejahatan mendominasi. Mereka menyukai hal sama; seni musik. Membicarakan musik sampai larut malam, dan menjalani waktu esok dengan sebentuk senyum, walau mungkin ada hari di mana membuat mereka muak.

"Kau sudah benar-benar dewasa, Ilhoon-ah. Aku serius baru menyadari, entah bagaimana nanti saat aku melihatmu memakai seragam militer. Mungkin aku akan tertawa, menertawakan bagaimana bayi kecil yang cengeng menjadi gagah. Atau bisa juga menangis, karena ternyata waktu sudah berlalu selama ini, kita bersama sudah sebesar ini...."

"Bicara dengan perempuan memang membutuhkan emosi yang dalam," balas Ilhoon. Dirinya menahan mati-matian untuk tidak meneteskan air mata di depan Jung Minjoo. Bukan takut merasa malu, tapi Ilhoon tidak ingin membuat suasana semakin mendayu.

Dua jam lalu, Ilhoon sudah mengerahkan energinya kala menemui Eunkwang dan Peniel. Ilhoon ingin Eunkwang bersama Peniel menemaninya besok. Padahal tanpa diminta, mereka berdua pasti meluangkan waktu untuk maknae nomor enam mereka. Paling parah mengaduk emosi sendiri, Ilhoon menitipkan Peniel kepada Eunkwang dengan kata-kata yang Eunkwang sendiri tidak pernah duga.

"Eunkwang Hyung tahu tidak, apa yang paling membuatku senang setelah Eunkwang Hyung pulang? Karena Peniel Hyung tidak akan sendiri. Anggota kita berhasil menepati kata, bahwa Peniel Hyung tidak sendirian saat kita melakukan tugas. Jaga Peniel Hyung baik-baik ya."

Kunyahan Peniel pada kentang rebus yang sudah masuk mulut sampai melambat, lalu berhenti sebab perasaannya terlalu menghangat.

Sungguh, Ilhoon tidak tahu dirinya bisa seperti itu hanya karena akan masuk militer. Rasanya campur aduk, dan tidak bisa dijabarkan melalui satu kata.

"Kau mengejekku? Perasaan perempuan memang lebih halus dari laki-laki." Joo tidak terima atas perkataan Ilhoon barusan.

"Setidaknya laki-laki lebih kuat menahan tangis."

Baik, jika sudah menyangkut gender tidak ada yang mau mengalah.

"Hih, padahal waktu itu aku lihat kau menangis—"

"Tidak boleh mengungkit kejadian lama," tukas Ilhoon.

Joo mencebik, sementara Ilhoon beranjak dari kursi—berdiri di hadapan Joo, pandangannya tak terbaca.

"Aku berharap waktu cepat berlalu, Nuna. Seperti waktu yang tidak terasa mengalir pada kita, semoga aku bisa cepat menemuimu lagi." Ilhoon mendekat sedikit arah Joo, membungkuk demi memeluk sang kakak.

Sebentar.

Pelukan Jung Ilhoon memang sebentar, tapi rasanya ada kesan yang tidak sedikit dalam pelukan itu. Diam-diam, Ilhoon menyeka air yang sempat membasahi pipi sewaktu masih memeluk.

Ya, Ilhoon merasa Joo tidak tahu. Padahal kakaknya tahu benar apa yang dilakukan jari Ilhoon di belakang.

Jung Ilhoon menangis, tapi menurut Joo tidak masalah, Ilhoon menangis untuk menjadi lebih kuat.

"Aku pulang," pamit Ilhoon. Menggunakan maskernya sebentar, kemudian kembali bersuara. "Istirahatlah. Selamat malam, Nuna."

Kemudian tubuh Ilhoon menjauh usai berbalik. Ingin Joo mengatakan, bahwa dirinya pun merasakan hal serupa yang Ilhoon rasa ketika melepas dirinya menikah; tidak rela. Mungkin tidak terlalu sedih, tapi kiranya ada sebagian dari dalam yang dibawa pergi hingga sepi menimpa. Manusia adalah makhluk paling sensitif ketika menghadapi perpisahan. Sementara atau lama, yang namanya perpisahan selalu membuat hati merasa hampa.

"Waktu akan mengalir lebih cepat dari yang pernah kita duga, Ilhoon-ah," gumam Joo. Bangku yang menghadap arah gerbang memungkinkan Joo untuk melihat punggung Ilhoon yang kini semakin mengecil, sebelum menghilang ditelan kesunyian malam.


.
.
.


Selesai ~




Dari lagu Someday, sampai Because We Can Meet Again, lalu ditemani guyuran hujan yang deras; cucok buat ambyaran 😂 itu gambaran daku pas Bang Run berangkat tugas negara. Sampai jumpa lagi, Bang Run...

Um, sampai jumpa lagi juga di oneshoot berikutnya, readers. Oh ya, menurut kalian, haruskah BYSBTOB diakhiri? 😆 cuma tanya pendapat, hehe.

See yaa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro