Pulang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ginah menatap kesibukan orang-orang di seberang jalan tanpa ekspresi. Sejak seminggu terakhir, terminal bus antar kota di seberang warungnya makin padat. Imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah menyebabkan banyak usaha terpaksa merumahkan karyawan mereka. Tanpa pekerjaan, kehilangan penghasilan, otomatis pekerja yang kebanyakan pendatang itu memilih untuk pulang ke kampung asal masing-masing.

Ginah masih termasuk beruntung. Walaupun jauh berkurang, warung makannya yang berlokasi persis di seberang terminal itu masih memiliki pengunjung. Dia pun masih sanggup menggaji Ula, satu-satunya orang yang membantunya di warung itu sejak sekitar lima tahun belakangan.

"Ul, orangtuamu sehat? Kampungmu masih aman?" tanya Ginah ketika Ula menyusulnya duduk di belakang meja warung.

"Alhamdulillah, Mak. Masih aman. Tapi di sana banyak yang jadi TKW. Takutnya kalau mereka pada balik, terus bawa penyakit, kan kasihan orang-orang di desa, Mak," jawab Ula. Gadis yang hampir berumur seperempat abad itu adalah tulang punggung keluarga. Gajinya selalu dikirimkan ke kampung untuk menghidupi orangtua dan empat adiknya yang masih sekolah. Dulu, dia pernah mendaftar untuk menjadi TKW, seperti teman-temannya yang lain. Sayangnya, dia tak lolos tes kesehatan karena terkena TBC. Setelah selesai pengobatan, dia sudah kehilangan minat untuk pergi ke luar negeri dan memilih untuk merantau ke Jakarta sampai akhirnya bertemu dengan Ginah.

"Mak gimana? Nggak mau pulang? Nggak takut di sini terus?" Ula tahu Ginah berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Timur. Namun, sejak dia bekerja pada Ginah, tak pernah sekali pun dia melihat Ginah libur untuk pulang kampung. Bahkan saat lebaran sekalipun.

"Mak sudah lama di sini, Ul. Sudah berasa rumah sendiri." Ginah berkilah.

Ula pernah mendengar bahwa Ginah pernah berkeluarga, tapi dia tak pernah bertemu atau mendengar tentang mereka dari cerita-cerita Ginah. Padahal menurut desas-desus Ginah punya satu anak. Ula pun tak pernah berani bertanya secara langsung. Takut disangka terlalu ikut campur. Tapi Ula merasa ini saat yang cocok untuk bertanya tentang keluarga Ginah.

"Keluarga Mak gimana? Sehat juga?" Ula memancing.

"Orangtua Mak udah lama meninggal. Saudara-saudara Mak pada merantau semua. Satu di Kalimantan. Satu di Papua. Satu di Malaysia, kawin sama orang sana." Bukan itu yang ingin diketahui Ula. Dia sudah pernah mendengar cerita tentang orangtua dan saudara-saudara kandung Ginah. Ula memutar otak lagi.

"Kalau anak Mak?" Ula berdoa dalam hati semoga pertanyaannya tak membuat Ginah tersinggung.

"Anak Mak juga sudah lama meninggal. Sebelum Mak merantau ke Jakarta. Kecelakaan sama bapaknya." Ula terdiam.

Seekor kucing jantan berbulu oranye melangkah santai ke dalam warung dan mendekati Ginah. Kucing itu menggosok-gosokkan badannya ke kaki Ginah. Perempuan paruh baya itu bangkit dan mengambil sepotong ikan goreng dari piring lauk lalu memberikannya pada si kucing. Dengan lahap, kucing itu langsung menyantapnya. Ginah mengelus kepala kucing itu sekilas.

Benak Ginah melayang lagi ke tahun-tahun silam. Dia masih mengingat wajah suami dan anaknya. Juga hari ketika mengantar mereka ke peristirahatan terakhir. Para pelayat menatapnya simpati, menepuk punggungnya, mengelus pundaknya, tapi dia tak merasakan apa pun. Dia berusaha menangis, seperti yang sering dilihatnya ketika melayat. Namun, air mata itu tak kunjung datang. Begitu juga hari-hari setelahnya. Dia tak merasakan kesedihan, rindu, atau kekosongan, seperti yang biasanya dikatakan orang-orang tentang keluarga yang baru kehilangan.

Tak ada yang tahu. Tidak juga orangtua atau saudara Ginah. Perempuan itu tak punya perasaan apa pun pada suami dan anaknya. Dia menikahi pria yang kemudian menjadi suaminya itu karena dijodohkan oleh orangtua mereka. Karena sampai Ginah berumur 30 tahun, dia tak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada lawan jenis. Apalagi berpikir untuk menikah. Hanya satu orang yang menyadari hal itu. Mendiang Nenek Ginah.

"Maaf, Ndhuk. Gara-gara mbah buyut, kamu jadi seperti ini," bisik neneknya waktu itu, di malam setelah orangtuanya menerima lamaran calon suami Ginah.

"Seperti apa, Mbok?" Ginah tak mengerti. Dia melihat mata neneknya berkaca-kaca. Lalu mengalirlah cerita itu dari mulut keriput nenek Ginah.

"Mbok tahu kamu nggak cinta sama Pardi. Kamu mau menerima lamarannya karena desakan orangtuamu, supaya orang-orang nggak ngomongin kamu aneh-aneh. Iya, kan? Kamu nggak pernah punya perasaan sayang atau cinta sama lelaki mana pun. Betul, kan?" Ginah menggali lagi memorinya dan baru menyadari bahwa kata-kata neneknya benar.

"Itu karena mbah buyut. Dia dulu jatuh cinta sama buyut kakung, padahal beliau sudah menikah dengan perempuan lain. Buyut putri menggoda terus sampai akhirnya rumah tangganya hancur, dan buyut kakung meninggalkan keluarganya begitu saja demi buyut putri. Saking sakit hatinya, istri tua buyut kakung menyumpahi mereka. Dia mengatakan bahwa kelak akan ada keturunan perempuan dari mbah buyut yang tidak bisa merasakan cinta. Tidak bisa jatuh cinta dan mencintai. Supaya buyut tahu bagaimana rasanya tidak dicintai. Supaya tidak ada perempuan keturunan mbah buyut yang tersakiti, seperti dirinya." Ginah mematung mendengar semua cerita sang nenek.

"Sebelumnya, keturunan kandung dari mbah buyut kebetulan laki-laki semua. Baru kamu yang perempuan. Dan ternyata kutukan itu tumus di kamu." Air mata nenek Ginah berderai-derai tak terbendung. Bahu ringkihnya terguncang-guncang. Ginah tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia hanya diam dan melanjutkan hidupnya seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Hingga kini, Ginah tak pernah mendendam. Dia memaafkan mbah buyut atau siapa pun yang dianggap telah membuatnya seperti ini. Namun, dalam hati Ginah tetap mengucap syukur. Dia masih meyakini bahwa ada hikmah di balik segala peristiwa. Walaupun mungkin saat ini dia belum sepenuhnya memahami.

Seorang pelanggan masuk ke warung dan memesan makanan untuk dibawa pulang. Ula meladeni permintaannya dengan sigap, sementara Ginah kembali mengubur cerita itu dalam-dalam, jauh di sudut kenangan.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro