Bloodstain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Horror | Drama |

Pernah diikutkan lomba halloween tahun lalu

Tapi nda menang (* ̄︶ ̄*)

Ahaha

//korek labu pakai gunting kuku

|| E-Jazzy | 1002 words ||

Part 1: Sarah

Trick or treat!

Akhirnya, teman-temanku berinisiatif membuat sendiri pesta kostum penuh jajanan manis, diadakan di rumah kosong di jalan tusuk sate dekat sekolah. Tidak kusangka mereka mau mengundangku. Biasanya, mereka menjauh saat aku datang, lalu membicarakanku di belakang.

Bermasker bengkoang retak-retak dan bergaun kain putih lusuh bau anyir yang katanya daster berlumur saus tomat, aku menunggu di depan rumah kosong yang cat kuningnya sudah memudar jadi putih busuk. Pemilik rumah sudah pindah ke luar kota. Kuncinya dititipkan ke seorang janda yang tinggal di sebelah, yang sesekali datang untuk menyalakan atau mematikan lampu pelataran rumah kosong ini.

Kuhubungi Iria, teman yang meminjamiku kostum dan make-up-nya, padahal dia sendiri belum bersiap-siap petang tadi. Disuruhnya aku pergi duluan sementara dia berdandan.

Sejam aku menunggu. Teleponku tidak diangkat. Pesanku tak dibalas. Kuangkat ponsel untuk memastikan ada sinyal, tetapi yang kudapati malah pantulan wajah seseorang di balik bahuku.

Aku melompat kaget dan buru-buru berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Gang ini begitu sepi, lampu jalannya tak menyala ... mungkin tadi salah lihat.

Angin malam berembus. Bau tidak sedap menusuk penciumanku. Kutarik-tarik ujung daster lusuh pinjaman Iria dengan tidak nyaman. Noda darah buatannya lengket di tanganku.

Masuk saja deh, pikirku.

Kudorong pintu gandanya dan menyelonong masuk dengan senter menyala dari ponsel. Langkah kakiku bergema dalam ruangan besar beratap tinggi tanpa perabot. Ada banyak jendela tidak bertirai, memantulkan cahaya lampu jalan, membentuk bayangan-bayangan aneh.

Kok seram?

Kuputuskan untuk keluar saja saat kemudian pintu ganda berdebum menutup di belakangku. Dengan panik, aku berusaha membukanya. Kudorong, kutarik, kutendang, kusumpahi—pintu itu bergeming.

Dari jendela-jendela berterali, sesuatu yang menyerupai kain berkelepai terbang melintas. Ada suara perempuan terkikik nyaring. Sosok itu membentur kaca jendela, memperlihatkan wajahnya yang tak bermulut mau pun berhidung, matanya yang besar dan membelalak kepadaku.

Lidahku tergigit saat aku menjerit. Sekujur badanku bergetar hebat. Celakku luntur oleh keringat dan air mata.

Kucoba menghubungi siapa saja yang ada di kontak, tetapi tanganku terlalu gemetaran untuk menggeser layar.

Makhluk itu masih menjerit dan berusaha masuk. Dengan tungkai yang lemas, kupaksa diriku bangun dan berlari ke bagian belakang rumah, menjauhi jendela-jendela depan.

Makhluk itu berembus mengikutiku dari jendela samping.

Ponselku akhirnya berdering. Ada nama Iria di sana. Aku berjongkok di tengah ruangan, mengangkat panggilan sambil tersedu. Iria terbahak dari seberang sana bersama teman-temannya, membicarakan tentang darah hewan sungguhan di dasterku.

"Kami tahu, sih, Sarah, kamu rada bodoh, tapi nggak sebodoh ini juga—"

"Nak!" teriak seorang wanita yang masuk dari pintu samping, terkejut melihatku. Iria berhenti bicara.

"Bu!" jeritku lega. Meski kami tak pernah bertemu, aku yakin wanita itu pasti janda di sebelah rumah. "Saya bukan hantu, Bu! Saya dikerjain teman saya!"

Kutatap jendela. Hantu itu sudah hilang.

"Ya, sudah, sini! Cepat!" Ibu itu menarikku berdiri dan membimbingku ke halaman belakang. Dia berjalan di belakangku, mendorongku maju. Tangannya mencengkram erat daster lusuhku.

"Sarah?" Suara Iria terdengar dari pengeras suara yang sejak tadi belum kumatikan. "Kamu sama siapa?"

"Ibu di rumah sebelah! Beliau mau mengantarku pulang!" jawabku ketus seraya mendekatkan ponsel ke bibir. Saat kujauhkan ponsel itu, kulihat bayangan wanita di belakangku terpantul di sana. Dia menelengkan kepalanya. Tangannya masih mencengkram daster berdarahku. Dia mulai melenggok, seperti menari. Tubuhnya tampak berombak ... seperti kain berkelepai.

"Ibu itu sudah nikah lagi minggu lalu dan pindah. Sarah ... kamu ini ... diantar siapa?"

Part 2: Iria

Sarah sialan!

Gara-gara dia, kami mesti keluar malam-malam. Teman-temanku malah menyalahkanku, padahal rencana mengerjai orang aneh itu bukan hanya datang dariku—mereka juga sama bersemangatnya! Sekarang, begitu sesuatu terjadi, semuanya malah mengambing-hitamkanku!

Kami berpencar begitu masuk ke gang. Aku dan Vida mencari ke sekitar rumah kosong itu, sisanya—Nando, Rima, dan Jati ambil aman dengan mengunjungi rumah yang memegang kunci dengan dalih, "Kami mau memastikan—bisa saja ibu-ibu itu ternyata belum pindah. Mungkin memang dia yang sedang bersama Sarah."

Rumah itu keterlaluan kotornya dan tampak siap ambruk kapan saja.

Saat kami masuk, tercium bau anyir dan busuk. Seperti darah hewan ternak dan sayuran layu yang sudah berbulan-bulan tak dikeluarkan dari dalam kulkas. Vida langsung beranjak keluar untuk muntah.

"Sarah! Kamu di mana?!"

Aku terus bberteriak memanggil cewek sial itu, sesekali membentak Vida agar bergegas mengeluarkan isi perutnya. Aku tidak suka ditinggalkan di dalam sini lama-lama.

Kusorotkan lampu senter ke sepenjuru ruangan. Sarang laba-laba di mana-mana, dan kain putih menempel di pojok langit-langit—

Tunggu, kain itu punya muka—

Suaraku hilang dan kakiku ambruk ketika kain berwajah itu menerjangku. Tak ada mulut mau pun hidung, tetapi matanya begitu besar dan gelap. Tepat di depan wajahku.

Segalanya gelap. Aku jatuh pingsan.

Getar ponsel membangunkanku.

Saat terbangun, mataku masih tak menangkap cahaya. Kuraba-raba sekitarku untuk mencari senter, satu tanganku masuk ke saku celana untuk meraih ponsel.

"Iria!" Suara Vida menyambutku di seberang sana. "Kamu di mana, sih? Tadi aku masuk, kamunya sudah nggak ada! Ini Sarah sudah ketemu!"

Aku mencoba menyumpahinya, tetapi suaraku tak mau keluar. Seluruh tubuhku lemas, senternya masih tak bisa kutemukan, dan cahaya ponselku cuma mampu menerangi tanganku sendiri.

Tolong! Jemput aku di sini! Namun, yang bisa kulakukan hanya membanjiri wajah dengan air mata.

"Sarah kami temukan di emperan jalan dekat rumah besar tadi, cuma pakai baju dalaman. Dastermu hilang, katanya. Dia nggak bisa berhenti nangis dari tadi, minta diantar pulang. Kamu di mana, sih? Kamu sudah pulang duluan?"

Bodo amat sama Sarah! Aku hendak membentak demikian, tetapi rahangku seperti disemen.

"Kalau begitu kami antar Sarah dulu," kata Vida terdengar jengkel. Jantungku langsung mencelus. "Besok, awas kamu di sekolah."

Jangan pergi! Aku menjerit sejadinya, tetapi tak ada yang bisa keluar. Mulutku tak mau terbuka. Aku tidak tahu aku di mana! Tolong aku! Aku takut

Sambungan diputuskan.

Kutekan-tekan ponsel dengan panik. Jari-jari tanganku bergetar tak terkendali sampai ponsel itu menggelincir jatuh ke lantai. Cahayanya kemudian membuatku menemukan di mana senternya berada ....

Di bawah senter itu, ada sehelai kain putih kotor. Kepalaku langsung membeku, tak berani mendongak.

Aku mencoba merangkak mundur, lalu tatapan mataku jatuh ke lutut celanaku sendiri. Ada noda merah menjijikkan yang rupanya luput kuperhatikan sebelum ini—darah hewan yang kupakai untuk mengerjai daster Sarah.

Bau anyir menguat. Angin dingin menyelubungiku.

Dari kegelapan, masuk ke sorot cahaya ponselku, sosok hantu itu yang merayap di kakiku. Wajahnya menggesek bekas darah di sana. Cekikikan, bagian bawah wajahnya tercabik jadi dua layaknya mulut besar, memperlihatkan gigi-gigi taring kehitaman dan lidah bercabang yang meneteskan darah segar.

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro