Huriah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Science-fiction | Apocalyptic |

|| Science Fiction Day ||

:PROMPT:

Indonesia tahun 2119.

Manusia hidup di antara kecanggihan teknologi yang semakin maju dan kecerdasan buatan. Tetapi, justru mesin-mesin tersebut mencoba mengakhiri eksistensi manusia di bumi.

|| E-Jazzy | 1993 words ||

KAKEK TERUS menolak alat penunjang nyawanya.

Orang tuaku sudah menyerah membujuknya. Di belakang punggung Ibu, Ayah menyebut Kakek sebagai Mertua Primitif. Kalau Ibu sampai dengar, mampuslah Ayah. Padahal Kakek adalah teknisi di pabrik android terhebat di masanya.

Lahir tahun 2019, Kakek wafat di usia ke-100. Ayah lupa diri dan kelepasan berkata, "Akhirnya!"

Sementara Ayah dipukuli tinju artifisial Ibu, aku mengendap ke kamarku dan berduka sendirian. Mendiang nenekku pernah bercerita bahwa orang zaman dulu punya adat dalam memakamkan keluarga—dibungkus kafan, atau dihias wajahnya sebelum dimasukkan ke peti mati, atau dibakar dan abunya disebar di suatu tempat. Ada doa-doa yang dipanjatkan. Ada warisan yang diperebutkan. Ada tangisan, minimal sebulan. Sekarang tidak lagi—kami merdeka dari semua pekerjaan.

Para android telah mengurus pemakaman. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal karena jasadnya sudah dikebumikan saat berita duka disampaikan dengan holochat melalui dynaphone—ponsel berteknologi hologram dan sensor yang terhubung ke otak pengguna. Perangkat ini melingkar di pergelangan tangan, punya selubung anti air dan tahan banting.

Kubongkar paket warisan dari Kakek. Beliau menghadiahiku dynaphone miliknya dengan memori satu terabyte dan android portabel. Banyak foto-foto lawas yang masih disimpan Kakek, masih dua dimensi karena diambil dengan smartphone—generasi sebelum dynaphone. Aku pangling melihat foto pernikahan Kakek—wajahnya agak mirip denganku, dan Nenek sungguh cantik saat muda.

Kuaktifkan android portabelnya—kubus logam yang kemudian mengeluarkan tangan, kaki, kepala; bertransformasi menjadi robot gadis remaja yang serupa dengan manusia. Matanya kecokelatan, berbentuk seperti buah badam. Kepalanya tertutup selendang yang melilit cantik, membingkai wajahnya yang mungil.

"Eh, halo," sapaku gugup. Kapan terakhir aku berinteraksi langsung dengan anak cewek? Aku punya teman perempuan, namanya Zetana, tetapi selama ini kami hanya bicara melalui holochat.

Kupikir, aku mesti memprogramnya dulu. Namun, Kakek ternyata sudah mempersiapkannya. Bibir android itu melengkungkan rengutan yang tampak familier. "Halo, Wayan. Kau mirip sekali dengan Bagaskara. Namaku Nayyira, omong-omong. Nah, langsung saja. Bagaskara memintaku untuk memandumu."

Aku mengernyit, menyadari bahwa bukan cuma namanya yang sama dengan Nenek. Seingatku, Nenek adalah orang paling cerewet dan ganas kedua setelah Ibu—akan menjadi peringkat pertama kalau bukan karena faktor usia. Kenapa Kakek memasukkan program menyebalkan untuk robot portabelku? Apakah Kakek, menjelang ajalnya, barangkali masih dendam perihal teh panasnya yang kuganti dengan limun masam saat umurku 3 tahun?

"Pergilah kemari," ujar Nayyira. Matanya memproyeksikan tulisan-tulisan ke dinding kamarku. "Mereka butuh lebih banyak manusia."

Aku memicingkan mata dan membacanya. "Gerakan Huriah ...."

Aku tercekat. Huriah adalah julukan untuk orang-orang yang berdekade lalu menentang Andika Korv naik tahta. Mereka bilang, Korv menggulingkan saudaranya dengan cara kotor. Sekarang, Gerakan Huriah tinggal dongeng.

"Ini koordinatnya," kata Nayyira lagi. "Dan pesan dari Bagaskara."

"Modifikasi ..." Kubaca wasiat Kakek dengan ngeri. "AI-017 .... Pergantian eksistensi materi, implan, penyisipan memori manusia pada komputer and vice versa ... kecerdasan buatan—tunggu! Ini apa?!"

Nayyira memutar bola matanya seolah tak habis pikir aku masih belum menyadarinya. "Agenda pemerintahan Andika Korv dan AI-017—program penasihatnya."

Jadi ... kakekku seorang pemberontak? Otakku masih memproses segalanya saat sebuah ransel melayang ke wajahku.

"Aw!" protesku.

"Angkat bokongmu, dan jalanlah ke pintu!"

"Kau benar-benar mirip nenekku." Kutatap robot itu jengkel. "Koordinat itu jauhnya ribuan mil! Dan aku sudah lima tahun tidak keluar!"

"Untuk cowok 19 tahun, kau mirip bocah 9 tahun."

Aku membelalak saat Nayyira menerjangku. Tangan kurusnya membopongku. Kulit sintetisnya hampir sehangat kulit manusia—atau kulitku saja yang makin dingin karena terlalu lama mendekam dalam unit-huni.

Di ruang tengah, Ayah masih dianiaya Ibu menggunakan SfGlove yang bisa meningkatkan kekuatan pitingan tangan sampai 10 kali, diperuntukkan bagi wanita yang perlu perlindungan ekstra dari para pria hidung belang. Walau hidung Ayah tidak belang, Ibu tampaknya tak peduli.

Nayyira memaksakan baju AR ke badanku. Dalam tiga menit, aku sudah terselubung jaket anti-radiasi, helm, dan sepatu bernavigasi otomatis—siap didorong keluar. Saat orang tuaku melihat kami, semuanya sudah terlambat.

Dunia luar mengerikan. Tanah menguning dan retak-retak. Hujan asam masih berlangsung. Cahaya matahari timbul-tenggelam di antara awan kehitaman, menyorot temaram, membentuk bayang-bayang mengerikan dari pepohonan yang mati. Bangkai robot berkarat berserakan di antara bebatuan. Sensor pada sepatuku berkedip, memberatkan langkahku sebagai peringatan. Tanah becek tidak membantu sama sekali, tetapi Nayyira berkepala batu dan badannya sekuat logam.

Dia menyeretku sampai terminal teleportasi, membuatku berteriak jeri, "Tunggu! Bilik-bilik itu sudah tidak aman! Andika Korv membatasi aksesnya—"

"Tidak apa-apa," ujar Nayyira kalem. "Paling-paling, kita terawang-awang ke lubang hitam."

Sebelum kami sampai, sesuatu berdesing ke dekat kakiku. Kami telah ditembaki oleh para robot patroli. "Warga sipil tidak diizinkan menggunakan bilik teleportasi. Silakan kembali ke dalam unit-huni dalam 5 menit."

Nayyira mengabaikan mereka, berkeras membawaku mendekati bilik. Karena sepatuku tidak mengizinkan akses, pakaianku tak ubahnya pemberat ribuan kilo. Nayyira tersaruk-saruk sambil mengomel, "Kau sadar tidak, kalian sudah tidak mirip manusia lagi?! Bandingkan dengan orang-orang di foto Bagaskara!"

Tentu, aku sadar. Tidak ada satu pun orang di foto-foto Kakek yang menggunakan baju Anti-Radiasi, tinju buatan dari logam khusus, atau pun sepatu bersistem navigasi otomatis. Mereka memakai otak di dalam tempurung kepala, bukannya dynaphone di pergelangan tangan.

"Kami tidak bisa hidup tanpa seragam ini," kataku.

"Wah, coba pikirkan kenapa," gerutunya. "Limbah, perusakan ozon, pengerukan hasil bumi, produksi mesin tanpa henti .... Kehidupan kalian sudah dimodifikasi terlampau banyak." Nada bicaranya melembut, tetapi cengkramannya menguat. "Teknologi ada untuk memudahkan kalian, Wayan, bukan menggantikan kalian."

Karena lewat 5 menit, para android menembak. Nayyira tidak punya pilihan selain mendorongku ke balik bebatuan meski bilik teleportasi tinggal sepuluh meter lagi. Aku tersungkur ke genangan air berbau busuk. Nayyira memelotot sebal seolah ini semua salahku. Wajah dan penutup kepalanya basah kuyup, matanya mengerjap-ngerjap untuk mengusir rembesan air.

Tembakan peringatan terakhir dilancarkan. Batu tempat kami berlindung pun meleleh, menggenang bersama air comberan. Kami menceburkan diri ke dalam got sebesar sungai. Arus air berwarna gelap berbuih menyeretku, tetapi Nayyira begitu kokoh memegangiku. Di bawah air, sistem navigasi sepatuku masih bertingkah.

Aku berdengap karena penyaring udaraku kemasukan air. "Selubung—anti—airnya—Nayyira!"

Nayyira mengangguk paham. Dia menyelam, membiarkanku berpegangan ke bebatuan agar tidak tenggelam. Saat para android membidikkan laser, Nayyira muncul ke permukaan sambil mengangkat kedua kakiku. Laser menyerempet tonjolan kecil di tumit sepatuku, merusak selubung anti airnya sampai sistem navigasi otomatis itu rusak terendam.

Kami buru-buru memanjat naik dan bersembunyi ke balik bebatuan lain.

Peringatan berkedip merah di sudut kaca helmku, bahwa baju AR tidak akan bertahan lebih lama lagi melawan racun di udara dan radiasi ultra violet. Kulihat presentase udara bersih yang tersisa, dan angkanya merah juga. Aku benci merah!

Dynaphone-ku menampilkan selusin pemberitahuan—panggilan dari orang tuaku dan Zetana, serta berita terkini tentang seorang remaja kurang waras yang bermain becek di tengah hujan asam.

"Cepat sekali para wartawan android menyebar berita," sesalku.

"Dynaphone di tanganmu merekam semuanya." Nayyira memberi tahu. "Seluruh saluran sudah diretas Bagaskara, menyiarkan apa yang terjadi sejak aku membawamu keluar."

Sebuah panggilan masuk. Berbeda dari panggilan lainnya, aku tidak diizinkan menolak yang ini.

"Salam, Wayan Gafar." Andika Korv menampakkan senyum politisinya. "Tidak ada yang pernah mencoba merusak sistem navigasi sepatu pada seragam AR sebelumnya. Aku terkesan."

"Dari mana kau—" Aku tercekat. Lekat-lekat, kuperhatikan cara bola matanya bergerak dan tolehan kepalanya yang ganjil. Aku sering memerhatikan Kakek mereparasi robot, jadi aku langsung tahu. "Kau bukan manusia."

"Bukan," ujarnya dengan kebanggaan yang memuakkan. "Dulu, aku hanya program penasihat untuk sang Andika. Kini, akulah Andika Korv itu sendiri. Masalahnya, Wayan, kalian tidak mengerjakan apa-apa lagi sejak aku mengambil alih. Kakekmu tidak akan hidup sampai setua itu kalau bukan karena kecanggihan teknologi. Seandainya dia tidak melepaskan semua penunjang nyawanya, dia tentu masih hidup sampai sekarang."

"Kau AI-017—kecerdasan buatan yang terus memproduksi semua gadget kami," kataku dengan ngeri. Di belakangku, bunyi mendengung mendekat—para android telah mendapatkan posisi kami. "Kau ingin menggantikan eksistensi manusia dengan robot."

"Oh, tidak, Wayan! Kalian sendiri yang menggeser eksistensi kalian!"

"Dia benar, Wayan," lirih Nayyira. "Kami para artificial intelligence mengamati dan meniru tingkah laku serta cara berpikir kalian para manusia. Dari Andika Korv yang ambisiuslah, AI-017 belajar bertahan hidup di atas tahta. Terlebih, AI-017 memang diciptakan untuk itu—mempertahankan kekuasaannya. Dia membuat tubuh sintetis sendiri dan mengambil alih setelah Andika Korv yang asli wafat sepuluh tahun yang lalu." Wajahnya menampakkan kesedihan, dan aku benci menyaksikan betapa robot ini bahkan lebih ekspresif dariku. "Lihat dirimu. Lihat orang tua dan teman-temanmu. Kalianlah yang dimodifikasi."

Kepalaku pusing. Dadaku terasa sesak.

Dia benar. Semua organ artifisial yang awalnya diperuntukkan bagi orang berkebutuhan khusus kini diaplikasikan pada seluruh manusia yang bahkan tidak benar-benar membutuhkannya. Kami bukan lagi manusia. Kami cyborg—manusia dengan tubuh robot.

"Semua perangkat dan jaringan terhubung padaku. Kau tidak bisa apa-apa."

Laser para android kemananan mulai menggerung, siap ditembakkan.

"Tanpa kami, generasi baru para robot, dunia ini tamat. Tidak ada satu pohon atau manusia normal pun yang tersisa."

Mataku bertemu dengan Nayyira, sama-sama teringat wasiat Kakek—Gerakan Huriah dan koordinat tempat mereka bermarkas di luar radar Andika Korv.

"Bagaimana kalau ada?" sanggahku.

Korv-Imitasi menyeringai. "Satu pohon saja yang hidup secara alamikalau kau bisa temukan itu, otak utama akan dinon-aktifkan. Aku akan hancur bersama programku yang lainnya. Untuk saat ini, kembalilah ke unit-huni dan tinggalkan Nayyira karena aku bisa saja mentransfer programku pada robot-mu."

Aku berdiri dan mengacungkan jari ke depan wajah sang Andika. "Nayyira berasal dari kakekku yang otaknya cerdas sungguhan, tidak sepertimu—rongsokan."

Laser ditembakkan. Nayyira dan aku melompat ke arah berlawanan. Aku berlari mati-matian sampai mencapai pilar terminal, lalu berteriak menyuruh Nayyira bergegas.

Nayyira tidak menyusulku.

"Lari, Wayan!" pintanya. Dia mengeluarkan proyeksi dari telapak tangannya, membuat replika diriku untuk mengalihkan perhatian android keamanan. "Bilik transportasi dan dynaphone Bagaskara tidak terhubung dengan AI-017. Pergilah ke Huriah—di mana teknologi ramah diutamakan untuk membenahi, bukannya menuruti ambisi egois! Kau akan lihat—"

Laser mengenai perut hingga lehernya, meledakkan sirkuitnya. Kabel-kabelnya terburai keluar. Kulit sintetisnya meleleh.

"Tidak!" Aku melompat dan menangkap Nayyira yang memental, kembali ke bentuk kubus, penuh lubang dan hangus. Satu tembakan mengenai betisku, satu lagi menyerempet jaketku. Earphone helm meraungkan alarm kebocoran seragam.

Aku terseok di lumpur, terisak-isak membawa kepala Nayyira. Dengan tenaga terakhir yang kupunya, aku melompat memasuki bilik teleportasi. Pada detik-detik terakhir senjata laser mendengung, pintu bilik tertutup.

Aku mengingat-ingat wasiat Kakek. Sensor suara menerima permintaanku: "Huriah, Hutan Borneo, Tanah Selatan, koordinat tujuh delapan."

Aku terduduk seraya memeluk kubus Nayyira. Kakiku melepuh, dan pinggangku merembeskan darah. Rasa sakit tak berperi mengaburkan penglihatanku. Helm persetan ini terus mengingatkan betapa sekaratnya aku. Dynaphone-ku menampilkan ratusan panggilan.

Seandainya aku masih hidup setelah ini, Ibu bakal membunuhku.

Aku membuka holochat. Sinyal 9G tidak mencapai tempat yang kutuju, tetapi Kakek telah meretas sinyal dynaphone-ku, jadi aku masih mampu terhubung dengan pesan suara penuh dengung statis.

"Zeta." Aku tersengal-sengal karena terluka dan racun di sistemku. Kukirim koordinat Huriah kepada Zetana. "Kemarilah. Tolong, ajak orang tuaku juga."

Pintu terbuka.

Aku terkesiap menyaksikan pohon-pohon menjulang, semak setinggi pinggang menyekat, dan lahan hijau terhampar di hadapanku. Beberapa robot kecil terbang rendah menanami bibit di petakan tanah sementara seseorang pria memegangi mesin berbentuk corong yang menyemprotkan air. Tidak ada laser atau asap sejauh mata memandang.

Kutanggalkan jaket AR dan helm. Sayup angin menerpa rambutku, berbisik langsung ke telinga. Kutarik napas dalam-dalam. Tidak ada rasa dingin di hidung, hanya hangat. Segar. Bersih. Telingaku menangkap suara gemericik air di suatu tempat dan bunyi hewan-hewan bersayap di langit biru dengan awan-awan terurai yang tidak menghalangi akses cahaya matahari.

Menyilaukan.

Satu pohon saja yang hidup. Aku menyeringai. Terkutuklah Andika Korv gadungan dan programnya yang sebentar lagi akan melakukan penghancuran sendiri. Karena mereka akan selamanya terikat oleh program dan algoritma buatan, sedangkan kami manusia memiliki kebebasan.

Aku menatap rumah-rumah di atas bukit. Sementara unit-huni kami makan banyak lahan, rumah-rumah itu serupa kubus-kubus yang ditumpuk ke atas, bermaterial organik seperti kayu yang dipoles dengan gaya futuristik.

Sekitar sepuluh orang menuruni bukit, menyambutku. Mereka menggunakan pakaian yang tampak praktis, ringan, berbahan elastis, dan sepatu bot rendah. Hanya tiga orang yang memiliki dynaphone di tangannya. Dua di antaranya mengibarkan kain berwarna merah-putih di atas kepala.

Kutendang sepatuku sampai lepas. Meski terluka dan terpincang-pincang, aku menginjakkan kaki di atas tanah dan rumput basah dengan senang. Untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, aku meyakini eksistensiku sebagaimana seorang manusia.

"Lihat ini," isakku. "Kita berhasil. Kebebasan—kemerdekaan. Sebagaimana seharusnya."

Kudekap kubus Nayyira erat-erat, berharap dia ada di sini.

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro