Cerita di Tanah Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Songfiction | Poetic |

|| Music Day, 3rd of May ||

:SONGFICTION:

Kalian bisa memilih lagu Indonesia dari berbagai genre musik dan penyanyi .... Pilih satu lagu yang paling menantang untuk kalian dan buatlah cerita fiksi dari sana.

---***---

Warning: Full of metaphor, satire, poetic phrase / idiom.

|| E-Jazzy | 1515 words ||

"... Kawan,

banyak cerita yang mestinya kau saksikan

di tanah kering bebatuan."

____________________________________

INGATKAH KAU, Kawan?

Sekian lama kita menempuh asap dalam belantara bambu runcing, berselimutkan harum mesiu campur darah. Berakrab-akrab kita dengan jerit di antara tubuh-tubuh yang membisu. Sampai tumpul rasanya akan teror dan ancaman maut. Hilang kaki, hilang tangan—asalkan tak hilang harga diri dan secercah harap untuk merdeka.

Siang-siang kita kerja paksa, malam-malam kita bergerilya. Siang malam selundupkan senjata sambil berpikir-pikir mengenai anak dan istri di rumah—kapan pula bisa pulang pada mereka. Berpikir-pikir kita saban hari—kapan sang Pertiwi menghentikan tangisnya. Kita merindu, senantiasa berdoa agar lekas-lekas dijemput kibar bendera dan kumandang lagu bangsa nan raya.

Seumur hidup kita kunyah duka dan lara, lantas menelannya bulat-bulat. Seumur hidup kita berpahit-pahit agar manisnya terpetik.

"Untuk anak dan cucu nantinya," senandung kita bersama. "Untuk generasi kita nantinya."

Berjuang kita, agar Tuhan mendengar sampai doa itu kabul.

Jungkir balik kita, untuk mereka.

Sampai terdengar isak "MERDEKA" membahana.


|| Tubuhku terguncang

dihempas batu jalanan ||


Tahukah kau, Kawan?

Belakangan, kusaksikan segalanya. Kusimpan cerita ini, untuk disampaikan padamu jika suatu hari kita kembali temu.

Telah cerai-berai keluarga kita. Kala kutengok diam-diam cucu cicit kemenakan, para keturunanku dan keturunanmu. Bapak-ibunya telah lama mati, ditelan bencana tanah ini.

Telah merdeka kita, sebenarnya. Pun Peringgi dan Nippon tak lagi sama—tiada pencaplokan, rodi, penyanderaan, dan segala yang dulu kita hadapi. Telah naik sang Merah Putih, menantang angin tanpa ada ketakutan mengiringinya.

Dulu, kita mendengar tangis haru dan khayal tinggi agar sang Merah Putih takkan turun lagi. Kini, kudengar keluh-kesah cuaca dan kaki pegal dari anak-anak kita.

"Panas," katanya. Hormat tangannya alih fungsi untuk menutup wajah dari terik sang surya. "Kapan selesai? Setengah jam lagi? Lama sekali."

Remuk semangatku. Bertahun penderitaan kita sia-sia, hanya beban bagi mereka.

"Lelah," keluhnya. Tiada renungan dalam tundukan kepalanya. Tiada doa seperti yang dulu kita panjat-panjatkan. Tiada hening dalam cipta. "Kapan selesai? Seperempat jam lagi? Lama sekali."

Aku bertanya-tanya, apakah kau juga saksikan ini di seberang sana?

Terbongkok-bongkok, terseok-seok, terpincang-pincang aku mengintip. Hancur hati dan jiwaku, mengunjungi keturunan kita yang tampaknya masih tenggelam dalam penjajahan.

Benar kata sang Bapak. Perjuangan mereka lebih berat lantaran mesti melawan orang dari negeri sendiri.

Mereka masih kelaparan, haus, lelah, dan renta. Hanya sejengkal dari tanah retak itu, saudaranya berpesta pora dengan uang berhamburan dan rezeki terbuang-buang. Kejomplangan itu masih berlangsung saja, hanya berbeda saja cara mereka menyebutnya.

Kita sebut dahulu di antara inlander, kompeni, kaum melarat, kaum terpelajar. Kini, kita punya rakyat pinggiran, elit politik, orang miskin, dan orang kaya.

Ceritaku tak berhenti sampai sana.

Belum lama ini, kusaksikan tanda permusuhan dari teman lama kita. Tanpa tedeng aling-aling ia menggempur, tak terhentikan. Lantas, merekahlah tanah. Berjatuhan puncak gunung dengan muntahan apinya. Ombak menggulung-gulung. Kurasa, alam sudah tidak berpihak pada kita.

Pekik sakit dari mereka yang tertimpa dan tersapu itu tak diacuhkan. Saudaranya berkoar, "Tolong mereka," dari kejauhan, lalu diam menyaksikan tanpa mau mengulurkan tangannya sendiri.

Cekrak-cekrik ambil gambar, raup untung dari penderitaan saudara dan saudarinya. Ada senyum terselubung di antara tangis teman sebangsanya.

Lantas kutanya rumput yang bergoyang—apa pula yang menyebabkan bencana tanah ini?

Coba kau dengar apa jawabnya, Kawan, ketika ia kutanya mengapa.

"Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita," katanya. "Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita."


|| Perjalanan ini pun seperti jadi saksi

Gembala kecil menangis sedih ||


Tak sanggup lagi aku untuk pulang, Kawan.

Aku berdialog dengan kampung halaman baru-baru ini. Katanya, "Tidak banyak yang tersisa di sini."

Kutanya, "Mengapa?"

"Hutanmu habis, rumahmu terjual. Keluargamu tak tahu lagi rimbanya—beberapanya melupa akan dirimu, sisanya terlupakan karena mencoba mengabadikan jasamu. Orang-orang mengikuti perkembangan zaman yang tidak akan mungkin sanggup kau ikuti juga."

Maka aku merantau seperti dulu saat kita tak punya pijakan. Diam-diam aku mengawasi darah dagingku menderita, dijajah saudara sendiri. Darah dagingku menangis, dianiaya orang serumpun sendiri. Darah dagingku tak bernyawa di tangan pemimpinnya sendiri. Darah dagingku mati dicekik bawahannya sendiri. Darah dagingku tewas oleh maksiatnya sendiri.

Sudah mengering tanah kita. Berdebu, tidak lagi subur, tengik dalam bejat. Penghuni tidak berdosa terciprat imbas. Rumput berhenti bergoyang hingga tiada lagi yang memberiku jawaban.

Takut pulang aku, Kawan.

Gemetaran tanganku, padahal tak perlu lagi angkat senjata. Merinding tengkukku, padahal tak harus lagi bersembunyi dalam gelap belantara.

Andai kau di sini, tak perlu kusaksikan horor ini seorang diri. Kuharap kau di sini, agar aku berkawan kembali, hadapi perang sekali lagi.

Banyak cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kita, tentang tubuh-tubuh terhempas, ditendangi tetangganya sendiri. Tentang moral yang digerus dan aturan disungsang oleh kaum beringas. Tentang anak-anak yang rusak, muda-mudi yang tersesat, dan tetua yang abai.

Tanah kita dirajah oleh lembing zina, ditanami bibit fitnah, disirami sampai kebobrokan itu menyubur. Jalanan kita berkeropeng, penuh nanah diterpa lara. Rumah kita diterjang. Dan semua hal mengerikan itu, bukan lagi Kompeni atau Nippon pelakunya.


|| Barangkali di sana ada jawabnya ||


Bising nian dunia sekarang ini, Kawan.

Lantaran tak bisa pulang, aku hanya bergentayangan. Mengelayap saja kerjaku sekarang. Di beberapa wilayah, aku bermukim—dalam hati anak-anak sekolah, lagu-lagu mereka, hari-hari besar, dan tugu-tugu bersejarah. Di wilayah lainnya, aku tak punya tempat.

Makin banyak yang kulihat. Lebih lagi yang kudengar.

Keturunan kita berhenti saling memperbaiki. Malah fokus mereka mencari kesalahan temannya sendiri. Dusta sana-sini. Berdarah telingaku.

Semalam kudengar kebencian lainnya. Ujaran-ujaran busuk yang mengalahkan mesiu di zaman kita. Nyanyian sumbang mereka yang mengubur patriotisme, menginjak-injaknya sampai habis. Berdarah sekujur tubuhku.

Tak banyak yang bisa didengar kecuali bombas dari mulut-mulut bual. Tinggi nian cakap mereka—pasti sakit sekali jatuhnya.

"Kita satu," katanya. "Kita maju. Kita terdepan."

Dasar persetan, kataku.

Bukan hanya penjajah yang berubah. Pribumi pun berubah. Tanah ini tak lagi sama. Semestinya kita senang. Namun, tidak.

Tanah kita masih dihuni bencana. Betapa malang anak dan cucu kita, masih saja harus saling bunuh dalam gelap untuk meneruskan apa yang kita rebut—dalam aksi klandestin hingga tidak ada yang tahu mana kawan dan mana lawan. Masih saja mereka berperang melawan satu sama lain, tetangga sendiri, sanak saudara sendiri. Melawan pimpinan dan bawahannya sendiri. Bersenjatakan jari dan omong kosong.

Melawan iblis dalam diri mereka sendiri.

Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya, lantaran kau tak lagi ada—kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Namun, semua diam. Barangkali, mereka terlampau terpana oleh cericaunya. Barangkali mereka menunggu, kapan pula jatuhnya sang pesilat lidah.

Sesampainya di gunung, kukabarkan semuanya, lantaran kau tak lagi di sana—kepada pohon, kepada bebatuan, kepada mega yang menyelubunginya. Namun, semua bisu. Barangkali, mereka pun bosan. Barangkali mereka letih menunggu, kapan pula negeri ini bersatunya.


|| Tinggal aku sendiri

terpaku menatap langit ||


Di mana kau, Kawan?

Mengapa kau tak datang-datang? Jemput aku, atau temani aku di sini.

Kucari-cari kau, beserta segala hal yang tersisa dari perjuangan kita. Di antara gedung-gedung tinggi, daratan kumuh, musik asing, sumpah-serapah, kecurangan, dan adu domba—masih kucari kau di antara itu semua. Tak tampak lagi batang hidungmu. Sudah mangkat juakah dirimu? Seperti yang lainnya?

Kukais-kais jejakmu, di antara borjuis, proletar, hingga sampah masyarakat. Lenyap juakah dirimu tanpa sisa?

Kutunggu-tunggu dirimu. Senantiasa aku pasang mata dan telinga, menanti kabar kedatanganmu. Masih mendambamu untuk sekadar bertandang, atau menetap bersamaku.

Mungkinkah kau telah sampai di laut, mendengar yang kukabarkan semuanya—kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Masih diamkah mereka?

Mungkinkah kau telah sampai di gunung, mendengar yang kukabarkan semuanya—kepada pohon, kepada bebatuan, kepada mega yang menyelubunginya. Masih bisukah mereka?

Atau barangkali ....

Mungkinkah kau telah sampai di langit, menyaksikan langsung tanpa perlu lagi mendengar kabar dariku?

Di mana kau, Kawan?

Tinggal aku sendiri, mengasihani dan dikasihani. Tinggal aku sendiri, bergeming dibabat rakusnya mereka. Terlupa, terbuang, tiada harga. Namaku pun tak ada lagi yang menahu.

Begitu pulakah dirimu di seberang sana?

Mungkin benar, kata-kata yang dulu diucapnya—oleh rumput yang kini telah menguning mati. Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang bangga dengan dosa-dosa. Alam mulai enggan bersahabat dengan kita.

Aku merindu sekali lagi. Aku merindu akan kita yang merayap mengintai, hasrat merdeka membakar. Aku merindu zaman di mana nasionalisme tiada matinya. Kala nasionalisme bukan jargon omong kosong untuk meraih simpati palsu.

Aku merindu padamu dan teman-teman kita.

Aku merindu hari-hari dan malam-malam kebersamaan kita, dalam sakit dan luka. Kala kita masih berjalan berdua, injak ranjau hingga merangkak keluar bersama. Bersambut tangan kita, saling tarik, saling genggam.

Kenapa tak kau kunjungi aku lagi, Kawan? Banyak yang mesti kubagikan, saking lamanya aku diam menonton dalam rayapan duka. Isak menyesak, tangis tak lagi tertepis.

Tak tahukah kau, hari ini aku hancur sekali lagi?

Terseok lagi aku, Kawan. Sekali lagi aku mati. Sekali lagi aku dikubur.

Rumahku semestinya permanen. Hunianku semestinya indah dan benderang. Pengorbanan kita semestinya menjamin setidaknya untuk anak dan cucu kita hidup nyaman.

Pagi ini aku kena gusur.

Beda agama, katanya.

Beda pilihan, katanya.

Dipindahkan aku secara paksa.

Mereka tak peduli pada kelelahan dan keperihanku. Tetap diusir aku, bersama puluhan tubuh yang juga menangis tanpa bisa didengar. Puluhan jiwa menggeletar, nanar menyaksikan jasad mereka diombang-ambing oleh yang masih hidup.

Padahal, kau dan aku belum lagi temu.

Padahal masih ingin aku menunggumu.

Di mana kau, Kawan?

Tak ingatkah kau pada janji kita? Untuk dijajarkan berdua?

Telah berdebu nisanku, mengering kembangku, tandus tanahku. Hanya kau yang kutunggu.

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku, Kawan.

Inspirasi Cerita di Tanah Kita:
Ebiet G. Ade - Berita Kepada Kawan

Eniwei, untuk cerita ini, jangan nyari komedi di sini, ya '-')/

Saya lagi pengen serius '-')/

Lagi pengen berpuitis ria dan berima-rima ( ~'-')~

Sekali-kali saya juga bisa jadi orang yang serius <(* ̄︶ ̄*)>

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro