Thrice As Hard

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Young adult | Psychological drama |

|| Mental Health Awareness Week ||

Event by YAIndo

:Prompt:
Bertema "Cinta untuk Penderita Mental Illnes"
(Memuat unsur mental illnes dan perjuangan untuk pulih)

---***---

:BLURB:
Gadis anorexia dipertemukan dengan pengidap split personality dan penderita depresi. Percakapan mereka membuka jalan bagi masing-masing untuk berjuang sedikit lebih lama lagi.

| E-Jazzy | 1497 words |

Bus hampir datang saat Rexi melihat penganiayaan di sudut jalan.

Pandangannya terhalang bangunan bekas warnet yang telah tutup, tetapi Rexi yakin dia tadi melihat seseorang diseret ke emperan toko itu.

Rexi menatap jalanan yang sepi—belum ada tanda-tanda kedatangan bus yang ditunggunya. Mungkin dia bisa mengecek ke sana dan menghubungi aparat setempat jika memang terjadi sesuatu.

Tertatih-tatih Rexi menyebrang. Hanya karena angin sepoi-sepoi menerpa ke arah yang salah, Rexi nyaris terbang ke trotoar jalan. Namun, dia berhasil mencapai ambang gang dan melihat seorang lelaki berseragam sekolah tengah dipiting oleh seorang perempuan.

Perempuan itu mungkin awal 20-an seperti Rexi, mengenakan rok sepan yang robek dan sepatu dengan salah satu haknya yang patah akibat aksinya. Rambutnya tersanggul tinggi.

Didesak kecemasan saat melihat remaja malang itu meringis dengan pipi menempel di tanah, Rexi langsung menghampirinya dan berteriak, "Hentikan!"

Bagus sekali, Rexi—dia meringis saat si perempuan bengis berganti menatapnya. Perempuan itu mengangkat lututnya dari punggung si remaja, bangkit berdiri sampai Rexi sadar betapa tinggi berisinya perempuan itu.

"Kaukira aku melakukan apa?" Perempuan itu bertanya. Suaranya melengking aneh, terdengar sama gugupnya dengan Rexi. Saat melepaskan sepatu hak tingginya, pandangan matanya goyah, membuat Rexi terheran-heran mengapa perempuan itu malah ikut ketakutan. "A, anak ini mencoba terjun dari jembatan. Dia berontak mau bunuh diri."

Rexi berdengap. Buru-buru dibantunya lelaki itu duduk. Dengan iba, Rexi menepuk-nepuk seragamnya. "Kenapa kau mau mengakhiri hidupmu?! Mana orang tuamu?!"

Lelaki itu mulai gemetaran. Wajahnya dia tenggelamkan di antara kedua lutut yang tertekuk. Badannya terayun maju-mundur.

"Maaf, aku sudah curiga," ucap Rexi kepada perempuan bersanggul, yang kini berjongkok di depan mereka dengan kaki terbuka. Rexi mengernyit. Apa hanya perasaanku atau perempuan ini sekarang mirip laki-laki?

"Ya—ya, tidak apa-apa, Nona. Namaku John." Perempuan itu menarik tangan Rexi dan menjabatnya. Kalau dia terganggu dengan tatapan Rexi, John tidak menampakkannya. Malah, John mengerucutkan bibir bergincunya dan balas mengamati Rexi. Suaranya tidak lagi melengking saat berkomentar, "Eh, kau sangat ... langsing."

"Kau bisa langsung saja bilang ceking," tukas Rexi dengan wajah masam. "Aku sudah terbiasa. Kurus kering, badan tangkai, dan sebagainya."

John mengangkat alisnya dengan tatapan menghakimi. "Bulimia?"

"Anorexia," sanggah Rexi. "Aku tidak memuntahkan makananku. Aku cuma ... tidak makan."

"Bagaimana kau hidup, Non?"

Rexi buru-buru mengalihkan perhatian ke remaja SMA. "Siapa namamu?"

Lelaki itu tidak mau menjawab. Dia sekepala lebih tinggi dari Rexi, tetapi postur tubuhnya cekung. Dia membola, bersimbah keringat, dan tak berhenti gemetar.

Rexi mengeluarkan botol air mineral dan wadah makan dari tasnya, lantas menyodorkannya pada lelaki itu. Rexi biarkan John ikut mencomot roti isi dagingnya—apa pun untuk mencairkan suasana.

"Katanya kau tidak makan," singgung John.

"Memang. Tapi, ibuku tetap membekaliku ... meski sudah kukatakan ratusan kali tidak bakal kusentuh."

Beberapa menit berlalu. Akhirnya, Rexi memulai lagi. "Aku Rexi." Dengan lembut, Rexi menarik tangan si remaja—telapak tangannya basah. "Tidak apa-apa. Siapa namamu?"

"Deo ...." Lelaki itu berbisik.

"Oh, astaga!" John tiba-tiba menjerit dengan suara falset, mengejutkan Rexi dan Deo. Perempuan itu kini duduk bersimpuh, merenungi rok sepan dan sepatu hak tingginya. "Aku tampak kacau!"

Rexi berjengit. "Ada apa denganmu?!"

John mengangkat wajah dan seolah baru menyadari kehadiran dua orang di hadapannya. Perempuan itu lantas terkekeh. "Oh, maaf. Kita baru bertemu, ya? Tentu kalian bingung! Ya, kadang aku juga bingung—tapi, aku lebih baik dalam menanggapi ini semua daripada dua lainnya! Nah, mari kita ulang—hai! Namaku Joane!"

Rexi dan Deo terpaku saja melihat perempuan itu, yang dulunya—sekitar 20 menit lalu—adalah John, kini menjadi Joane.

Joane melepaskan sanggul, mengurai rambut kecokelatannya, lalu tersenyum manis. Katanya, "Kalian mungkin sudah bertemu John dan Jane. John agak tempramental, tapi dia bisa diandalkan. Jane agak ... yah, pengecut, tapi aku suka gadis itu karena tingkahnya tidak terlalu merepotkan. Dan, oh, omong-omong, cuma aku yang tahu eksistensi keduanya di sini. Jane mengira tubuhnya diambil alih roh jahat, dan John menyangka dia kena amnesia ringan karena tidak bisa mengingat apa yang terjadi kalau aku dan Jane muncul. Oh, apa aku terlalu banyak bicara? Aku mesti berhenti bicara untuk bernapas, ya? Baiklah, aku berhenti bicara sekarang."

Rexi mengatupkan rahang yang entah sejak kapan terbuka lebar. "Jadi ... aku mesti memanggilmu siapa?"

Joane tampak senang mendapat alasan untuk bicara lagi. "Panggil 'J' kalau kau tidak tahu siapa yang sedang muncul. Walau, yah, biasanya kami bertukar tempat tidak sesering ini dalam kurun waktu tertentu. Tapi, sekarang kami sama-sama tidak stabil, habis melihat seorang bocah yang—oh, ini dia anaknya! Kau, 'kan yang tadi mau melompat menjemput ajal?"

Deo mengayun tubuhnya maju-mundur lagi sambil menggigil ketakutan. "A, aku tidak mau pulang .... Bapak suka memukuliku. Ibu sering berteriak padaku, membuatku—ingin—menghilang—saja."

Rexi menepuk bahu Deo. Saat itulah dia melihat lambang di seragam lelaki itu. "Hei, SMA 3! Adikku sekolah di sana. Namanya Rafi."

Deo kembali menyembunyikan wajah di antara kakinya. "Iya .... Rafi ... satu-satunya—yang—tidak—memanggilku De-Gagap a ... atau De-Gila di kelas."

"Oh, lingkungan yang tidak suportif," desah Joane sambil memilin rambutnya. "Aku merasakan itu—keadaanku dimulai saat SMA juga. Teman sekelasku suka menjadikanku bahan bercandaan. Saat John muncul, mereka melepaskan rok sekolahnya. Saat Jane muncul, mereka menakuti gadis malang itu. Nah, untung, keluargaku mengerti kondisiku. Mereka melakukan yang terbaik agar aku nyaman."

Hening sesaat. Pandangan mata Joane jadi kosong.

Rexi memeluk tasnya erat-erat. "Kau tidak ingin berobat? Aku tahu psikiater yang bisa membantumu. Yah, kaubisa datang ke tempat psikiaterku ...."

Joane mengerjap. Alisnya bertaut dan posisi kakinya jadi bersila sampai roknya makin robek. "Kenapa? Kau tidak mau sembuh?"—Rexi langsung sadar Joane sudah ditelan John. "Karena orang-orang lebih memanjakanmu—jadi kau terus memuntahkan makanan itu keluar?!"

"Sudah kubilang, aku bukan bulimia!" Rexi menatap John dengan benci. "Aku lebih suka Joane."

"Ya? Wanita kurang ajar itu pasti menjelek-jelekkanku, 'kan? Oh, aku tahu eksistensinya. Dan aku tahu eksistensi Jane—si penakut itu! Mereka pikir aku tidak tahu!"

Deo mulai gemetaran lagi. "Aku mesti pulang, tapi tidak mau pulang. Tapi, harus! Bapak bilang tidak boleh manja! Ka—katanya penyakit ini hanya ada dalam kepalaku, jadi aku tidak boleh bikin alasan .... Harus pulang ...."

"Mereka tidak tahu rasanya," lirih Rexi seraya merangkul Deo. "Tapi berlagak mengerti. Mereka seharusnya menerimamu apa adanya!"

"Kau sepertinya sedang bicara ke dirimu sendiri," dengkus John. "Menerima apa adanya—cuih! Jika aku menerima bocah ini apa adanya, bakal kubiarkan dia terjun ke sungai tadi! Ayo, inilah dirimu—rengkuh takdirmu! Loncatlah! Matilah! Begitukah maumu, Non?"

"Tidak!" tukas Rexi tersinggung.

"Kedengarannya seperti itu," balas John. "Dan jangan repot-repot menawariku psikiater! Umurku 23, dan masih pengangguran! Aku beberapa kali punya pekerjaan, tapi untuk suatu alasan yang tak bisa kuingat, aku selalu dipecat! Adikku punya tumor dan ayahku buruh bangunan—kami tidak punya waktu apalagi duit untuk memikirkan psikiater!"

"Tapi, split personality tidak bisa dianggap remeh dari penyakit fisik!"

"Oh, dan anoreksia remeh? Non, kaubisa mati kelaparan! Kaupunya kesempatan tapi membuangnya, berlagak mau memberikannya kepadaku?! Seperti kau memberikan makananmu pada kami agar kau tidak perlu memakannya?!"

"Tidak! Selama ini aku dan psikiaterku cuma bicara ... tidak ada kemajuan! Ibuku terus mendesakku ke tempat itu—aku tidak menyukainya! Aku malu! Kenapa mereka tidak menerimaku saja apa adanya?!"

John memutar-mutar tutup wadah bekal Rexi. "Jadi, maksudmu, kalau adikku punya tumor ... aku harus menerimanya—mencintai tumornya, berhenti mengobatinya, dan membiarkannya hidup bersama penyakit itu?"

Deo menangis tanpa suara, sementara Rexi mulai memerah wajahnya.

"Sini, Dik!" John menarik Deo berdiri. "Kuantar kau pulang. Jangan mencoba melompat lagi."

John menyeret Deo ke luar gang, meninggalkan Rexi yang masih memeluk tasnya. Namun kemudian, John buru-buru kembali, menggamit lengan Deo. Sambil mengucapkan maaf, dia membantu Rexi membereskan barang-barangnya.

Rexi memandangi perempuan di hadapannya dan menilai .... "Jane?"

"Bukan. Ini Joane." Joane berdecak. "Jane masih ketakutan. Sekali lagi, maaf, ya."

"Tidak," gumam Rexi lemah. "John benar ... aku—"

"Oh, Sayang, jangan terlalu keras pada dirimu!" Joane merangkul Rexi saat gadis itu terisak. "Setidaknya kau paham tiga hal penting untuk sembuh. Pertama, dukungan orang dekat. Kedua, fasilitas. Dan, ketiga, keingingan sendiri untuk berjuang. Aku tak memiliki fasilitas, Deo tidak memiliki dukungan dari orang dekat—kaupunya keduanya, sayangku! Tinggal satu yang harus kau capai. Ayo, berdirilah!"

Saat mereka keluar dari gang, bus telah datang. Rexi mengucapkan selamat tinggal pada Deo dan menerima pelukan Joane yang berbisik, "Kau sangat dicintai, Rexi."

Di dalam bus, Rexi nyaris mati sesak tergencet para penumpang lainnya. Namun, begitu orang-orang menyadari postur tubuh gadis itu, beberapanya berdiri untuk menawarinya tempat duduk.

"Terima kasih," ucap Rexi, yang dibalas senyuman oleh pria yang memberinya kursi.

Mengintip ke jendela bus, Rexi mencari-cari sosok J dan Deo. Namun, dia hanya sempat melihat kibasan rambut J sebelum bus melaju dan membatasi jarak pandangnya sepenuhnya.

Rexi membuka tas untuk merapikan isinya. Matanya langsung terpaut pada wadah bekalnya. J tidak meletakkan tutupnya dengan benar sehingga bagian dalam tutup itu menghadap ke atas. Ada kertas yang diselotip pada bagian dalam tutup tersebut.

Gadis itu menangkup mulutnya untuk meredam tangis. Kertas-kertas itu mungkin selalu ada di sana—dalam kotak makan, di bagian bawah botol minumnya .... Seseorang berharap Rexi melihatnya saat makan. Mata Rexi yang berkaca-kaca tak henti-hentinya bergulir meresapi tulisan tangan ibunya.

"Tidak ada yang mampu menyembuhkanmu jika kau sendiri tak ingin sembuh. Kami menyayangimu, bagaimana pun kondisimu."

Dengan air mata yang berjatuhan, Rexi menggigit roti terakhir yang disisakan oleh Deo dan J.

Hollah ( ~'-')~

So sorry jika terasa loncat-loncat

The words limitation kills me.

And anyway thanks for reading ✧ \( °∀° )/ ✧

---***---

Rexi, 20 (struggles with anorexia)

Anorexia nervosa (anoreksia) merupakan eating disorder atau gangguan makan yang ditandai dengan rasa takut berlebihan akan kenaikan berat badan dan menolak untuk makan. Gangguan pola makan ini lebih banyak ditemui pada wanita ketimbang pria. Pengidap anoreksia cenderung terobsesi untuk melakukan diet ketat meski berat badan sudah sangat rendah, olahraga secara kompulsif, dan memiliki ketertarikan berlebihan terhadap makanan, kalori, nutrisi, atau memasak.


Deo, 17 (struggles with depression)

Depresi merupakan gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan kemerosotan perasaan (muram, sedih, tertekan, dan gelisah). Penderita depresi acap kali merasa tidak berharga/bersalah, mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi/mengambil keputusan, dan berpikir tentang kematian atau mencoba bunuh diri.


J (Joane, John, Jane), 23 (struggles with DID)

Dissociative Identity Disorder (DID) adalah gangguan kejiwaan di mana penderitanya memiliki dua atau lebih identitas dan kepribadian dalam dirinya. Saat ini terjadi, seseorang kehilangan kontrol atas perasaan, pikiran, memori, perbuatan, sampai kesadaran atas dirinya sendiri sehingga menjadi pribadi lain dengan tempramen dan sifat yang berbeda. Kepribadian-kepribadian alternatif ini tidak terpaut pada umur dan gender sehingga ia bisa saja menjadi lelaki paruh baya meski bertubuh perempuan muda.
Beberapa kepribadian bisa saja memiliki kesadaran dan mengobservasi kepribadian lainnya, atau tak mengetahui eksistensi kepribadian lain. Misal, seseorang memiliki dua identitas sebagai A dan B. A mengetahui keberadaan B dan mampu mengobservasi kepribadiannya, tetapi B tidak mengetahui keberadaan A.

---***---

Now the problem is, penderita mental illness sering kali kena diskriminasi dan tidak ditanggapi seserius penyakit fisik. Dari pandangan orang-orang terdekat yang tidak suportif, penderitanya pun berakhir menjadi tidak nyaman dalam menerima keadaannya sendiri. Pergi ke psikolog, psikiater, dan menerima medikasi untuk penyakit kejiwaan pun jadi hal tabu karena bakal langsung dipukul rata dengan satu panggilan: orang gila.

I have a friend with this condition dan satu-satunya alasan dia sukar membuka diri tentang kondisinya karena ini; takut dipanggil "gila" dan dipandang berbeda.

Teman saya dan keluarganya yang begitu suportif menginspirasi cerita ini. Seperti yang John yakini di cerita ini: Mencintai seseorang dengan penyakit kejiwaan berarti menerimanya dengan keadaannya, dan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhannya.


Some words to cheer you up; that you are loved in any condition and in any circumstances:

"Kesehatan mentalmu merupakan prioritas. Kebahagiaanmu adalah hal yang esensial (hakiki). Perawatan dirimu adalah keharusan."

***


"Orang-orang merasa tak nyaman menjalani pengobatan mental karena mereka cemas teman-temannya akan menganggapnya tak stabil atau gila."

***


"Ia dinamakan penyakit jiwa bukan tanpa alasan, karena itu memang penyakit. Mengapa penyakit kejiwaan tak bisa diterima selayaknya penyakit lainnya?"

***


"Bayangkan bertemu seseorang yang ingin mengetahui masa lalumu, bukan untuk menghukummu, tetapi untuk memahami betapa kau butuh dicintai."

***


"Saat seseorang mencintaimu, ia tak perlu mengatakannya. Kau akan tahu dari caranya memperlakukanmu."

---***---


Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro