Eleven Songs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Songfiction | Romance |

Repost From
Moonlight Sonata
Songfiction of Butterfly Group

|| RAWS Community ||

:SONGFICTION:

---***---

Please have mercy on me ;-;
Saya nda bisa nulis pure romance ;-;

|| E-Jazzy | 2100 words ||

Ada banyak jenis cinta.

Bagi Brighton, mencintai Alaska berarti berlutut di hadapannya sambil menyodorkan kotak cincin, di bawah Eiffel dengan iring-iringan Truly Madly Deeply oleh Savage Garden yang mengalun dari ponsel Riyadh.

Lagu itu juga yang mengalun, selain Bless the Broken Road, dari piano sesaat sebelum Alaska muncul dengan gaun pengantinnya, bersiap berjalan anggun menuju altar.

Awalnya Brighton ingin menyewa pemain biola saja dan meminta musik romantis ala Prancis untuk lamaran, tetapi Riyadh bilang mungkin Alaska tidak paham Bahasa Prancis. Brighton sempat bersikeras bahwa yang akan dimainkan hanya instrumentalnya saja, tidak usah pakai lirik, tetapi Riyadh meyakinkan sahabatnya lagi bahwa musik biola di Menara Eiffel pasti akan menyerupai lagu tema film animasi seekor tikus memasak di dapur.

Brighton tahu itu hanya candaan Riyadh, tetapi dia mengalah saja. Mereka habiskan seharian berdebat masalah lagu—mulai dari Marry You oleh Bruno Mars, Marry Your Daughter oleh Brian McKnight, sampai Marry Me oleh Train dan Marry Me lainnya yang dinyanyikan Jason Derulo. Karena begitulah cinta bagi Riyadh—menemukan frekuensi yang tepat hingga seluruh tubuhmu membeku, mata terpaku, dan hati bergetar. Seluruh indra terasa mati kecuali pendengaran. Yang ada hanya bisik lembut di benak, memberi tahu, Itu jodohmu—tangkap!

Dengan berbagai pertimbangan, Riyadh mengeliminasi satu per satu lagu romantis dari playlist Mari-Melamar-Alaska-nya: Marry You sudah terlalu sering diputar; Marry Your Daughter tidak relevan karena mereka tidak memboyong serta ayah Alaska ke Prancis; dan, dia sebenarnya belum mengunduh lagu Marry Me. Savage Garden pun terpilih, entah kenapa.

"Kenapa bukan lagumu sendiri?" tanya Ivory, gadis yang sudah berteman dengan Alaska sejak keduanya belum bisa berdiri. "Kau idola dunia dengan album yang laku puluhan juta copy dan menyabet banyak penghargaan musik, Brighton. Alaska mencintai lagu-lagumu. Kenapa memercayakan iring-iringan lamaran pada pria yang gagal menikah empat kali?"

"Tiga." Riyadh membela diri. "Yang terakhir itu, Latvia menolakku sebelum kulamar. Pada dasarnya, aku baru gagal kawin tiga kali. Lagipula, kebanyakan lagu Brighton itu aku yang menulis! Andai Brighton memberiku waktu, kami bisa menulis lagu baru untuk lamaran ini!"

Ivory melambaikan tangannya, menepis perkataan Riyadh. "Intinya," ujar gadis itu lagi seraya menyerahkan serangkaian bunga mawar kepada Brighton. "Percayalah pada dirimu sendiri. Apa pun pilihanmu, kami mendukungmu. Dan untuk Alaska, bagiku kaulah yang terbaik."

"Terima kasih, Ive," ucap Brighton tulus seraya mengagumi karangan bunga Ivory. Segala warna yang mungkin dimiliki sekuntum mawar ada di buket, dirangkai sedemikian manis dan berani. Lantaran seestetis itulah cinta bagi Ivory—dengan warna-warna menggoda, semerbak memabukkan meski berduri, dikemas apik untuk menutupi setiap sisi jelek dari permukaan.

"Bukannya aku tak percaya diri," tambah Brighton lirih. "Hanya saja dulu ... pertemuan pertamaku dengan Alaska di backstage ... saat itu rekaman laguku yang berjudul Don't Forget sedang dimainkan. Tidak mungkin aku memutar lagu yang itu."

Ivory mengangkat alisnya, bibir gadis itu berkedut seperti hendak tertawa pahit. Don't Forget adalah lagu patah hati yang dinyanyikan Brighton saat debut—mengenai seorang lelaki yang, saking cintanya, membiarkan kekasihnya bermesraan dengan bebas bersama banyak lelaki lain.

Brighton tancap gas melamar Alaska justru karena tidak sudi gadisnya dimiliki pria lain. Orangtua Alaska sudah mengenalkan gadis itu kepada anak kerabat mereka—London, seorang pegawai bank yang sudah lebih dari mapan. Riyadh pernah berguyon jika London datang padanya untuk lagu penggiring lamaran, dia akan memutar London Bridge is Falling Down.

London hanya perlu menunggu. Dia punya pekerjaan tetap, sudah memiliki rumah sendiri, tampangnya lumayan, catatan kriminalnya bersih, dan penuh tanggung jawab jika status sebagai anak sulung dari empat bersaudara bisa jadi acuan. Alaska tinggal berkata, Ya, dan berangkatlah mereka menuju Honeymoon Avenue. Itulah cinta bagi London—datang dengan cara yang benar jika kau menunggu dan berjuang di saat yang tepat; sebuah komitmen.

Brighton tidak bisa bersaing dengan pria macam London. Brighton secara tak resmi merupakan milik bersama bagi Kaum Hawa yang pernah menikmati lagunya—hak milik para penggemar. Kariernya bisa redup sewaktu-waktu, rumahnya adalah bus tur, dan satu-satunya keluarga Brighton hanya Riyadh yang dibesarkan di panti asuhan bersamanya.

Brighton mencintai pekerjaannya, tetapi pernah ada titik jenuh di mana dia berharap dirinya bukan seorang bintang. Kala itu, Alaskalah yang mengembalikan cintanya terhadap musik.

Melihat Alaska yang akan menyusuri aisle dalam rias wajah yang sama sekali tak mengubah kecantikannya, Brighton kembali teringat alasan mereka berpacaran selama dua tahun.

Pertemuan pertama mereka—detik-detik mencekam manakala puluhan penggemar berhasil membobol masuk ruang pribadinya di belakang panggung. Di antara puluhan gadis yang menjerit-jerit kesetanan, Alaska adalah satu-satunya yang tidak mencoba membunuh Brighton demi segores tanda tangan. Alaska hanya berdiam di belakang barisan para penggemar yang mendorong keamanan.

Brighton bersumpah dia melihat Alaska juga sempat memasang wajah gahar, mengambil ancang-ancang untuk menerjang. Namun, begitu DJ di atas panggung memutar Don't Forget sebagai selingan, Alaska memisahkan diri dari para penggemar gila, lantas menganggukkan kepalanya dengan mata terpejam. Rambutnya yang terurai bergerak lembut seiring dengan kakinya yang melonjak ringan, senada nyanyian Brighton.

Begitu para penggemar dijinakkan dan backstage dibersihkan, Brighton memberi perlakuan khusus kepada satu-satunya gadis yang tidak mencoba membunuh para bodyguard-nya itu.

"Kau tidak mencoba mengeroyokku seperti yang lainnya," kata Brighton untuk bercanda.

"Karena aku nggak terlalu mencintaimu, Bung," cetus Alaska penuh percaya diri. "Aku hanya mencintai suaramu. Dan ... lagu-lagumu."

Kesal bukan kepalang mendengarnya, tetapi tak dipungkiri Brighton, Alaska memang menarik. Setelah bertukar kontak, terlibat berbagai obrolan tak penting, bertemu sembunyi-sembunyi di antara keramaian, dan menghabiskan waktu bersama—Brighton makin menginginkan Alaska.

"Aku tidak mau jadi pacarmu," tolak Alaska dengan sunggingan senyum jenaka saat Brighton mengajaknya. "Pacaran itu bodoh."

"Jadi, aku ditolak ..." ringis Brighton kebingungan, "karena ... aku tidak bodoh?"

"Sebenarnya kau agak lemot," tukas Alaska seraya membenarkan lidah topi Brighton.

"Kalau begitu, aku belum menyerah." Brighton menggembungkan sebelah pipinya. "Sedikit lagi aku bisa jadi pacarmu. Tinggal jadi bodoh saja, 'kan? Gampanglah."

Dia memahami bahwa sebagian besar satire Alaska hanya selubung. Alaska memang bukan penyuka kalimat-kalimat puitis atau pembeli kisah cinta picisan. Alaska senang mengejek kecerobohan Romeo dan Juliet, menghina Bella Swan, dan meniru adegan Jack Dawson yang tenggelam dari batang kayu untuk lelucon. Orangtua Alaska sudah di ambang perceraian beberapa kali. Gadis itu menyaksikan banyak orang yang menikah lagi tak lama setelah pasangan mereka meninggal. Gadis itu tumbuh di kalangan pebisnis, di mana cinta punya kontrak dan komitmen hanya bermakna surat nikah dari negara. Maka, maklumlah Brighton jika Alaska begitu defensif masalah kasih sayang.

"Ada orang gila yang melemparku celana dalam di atas panggung kemarin," tutur Brighton di tengah kencan tidak resmi mereka yang keempat belas (iya, Brighton menghitungnya). "Aku malah memberinya bunga dan pelukan. Kurasa, sekarang aku sudah jadi bodoh."

Brighton melirik Alaska yang menunduk. Pemuda itu pun membungkuk, mencoba menemukan wajah Alaska. Didapatinya gadis itu tengah berjuang menahan senyum geli, jadi dia menyengir.

"Apa aku sudah jadi pacarmu?"

Alaska mengangguk dengan wajah merah, masih berusaha keras mengulum senyum.

"Kau tampak kepanasan," goda Brighton seraya merentangkan jaketnya, menaungi kepala Alaska. Lengannya jatuh di atas bahu gadis itu. "Tunggu ... Alaska itu memang nama gurun, 'kan?"

Alaska menyemburkan tawa dengan kedua tangan masih menangkup wajah.

"Mungkin aku kena karma," lirih Alaska, masih tersenyum di balik lindungan telapak tangannya. Untuk dinding sekokoh apa pun, hanya butuh satu celah berupa retakan sebesar jari kelingking untuk meruntuhkannya. "Aku sempat berencana untuk tidak menikah, apalagi punya pacar. Keparat kau Brighton."

"Shakespeare mengirimku untuk memberimu pelajaran," kekeh Brighton. Pemuda itu menurunkan wajahnya sedikit untuk mengecup pipi Alaska, tetapi gadis itu mendongak, memutuskan bahwa bibirnya adalah pendaratan yang lebih baik. Untuk beberapa detik ciuman itu, Brighton melupakan namanya dan terpaku seperti orang bodoh sungguhan.

Meski Brighton akhirnya tahu bahwa dia punya tempat di hati Alaska—di antara semua kesinisan gadis itu—Brighton tidak pernah bisa menerka jenis cinta yang dimiliki kekasihnya.

Sekarang, memandang Alaska yang akan berjalan mendekat kepadanya dengan iringan piano yang dimainkan oleh Riyadh, Brighton tersenyum. Air matanya hampir tumpah.

Dua tahun. Dengan segala tanggapan miring bahwa hubungan antara idola dan penggemar lebih baik hanya sebatas bintang pujaan dan fans—tidak lebih. Dengan segala skeptisme bahwa mereka tidak benar-benar punya 'cinta', melainkan semata obsesi. Dengan segala prasangka yang sudah dibangun orang-orang—bahwa seorang idola tidak akan pernah bisa diraih oleh penggemar seutuhnya, dan hidup seorang penggemar takkan pernah sama jika memilih jalan bersama pujaannya.

Dua tahun. Dua perayaan hari jadi, belasan dansa, puluhan kecupan, ratusan pelukan, sebelas lagu dari Brighton terdedikasi untuk Alaska. Dan, di sinilah mereka sekarang. Dalam pakaian resmi. Alaska begitu indah—Brighton bersumpah dia bisa saja melompat ke tengah dan langsung membawa lari gadis itu tanpa perlu menunggu janji suci diucapkan. Namun, Brighton tetap diam di tempatnya.

Dua tahun. Inilah akhirnya. Brighton merapikan jasnya dan menegakkan punggung.

Lalu, dia berdiri dari kursi bersama para hadirin.

Ivory yang berada di sampingnya tidak mengatakan apa-apa, tetapi Brighton tahu bahwa, setiap kali mata gadis itu memandang ke sahabatnya, lalu ke tempat London di atas altar, Ivory membayangkan bahwa Brighton yang seharusnya berada di sana. Sesekali mata Ivory melayang ke setiap hiasan bunga yang ada, tampak tak memercayai bahwa dirinya merangkai semua itu bukan untuk Brighton dan Alaska, melainkan untuk London dan Alaska.

Jemari Riyadh mungkin menarikan lantunan musik pernikahan di atas piano, tetapi hatinya menyenandungkan London Bridge is Falling Down—setidaknya, itulah yang dikatakannya kepada Brighton sebelum resepsi.

"Mungkin lagunya!" teriak Riyadh frustrasi malam itu ketika tahu Alaska menolak lamaran sahabatnya. "Seharusnya kubiarkan Ratatouille Main Theme pilihanmu itu jadi penggiring! Cewek itu mungkin bakal iya-iya saja kalau disuguhi lagu yang dia tidak tahu artinya!"

"Tidak apa-apa, Sobat." Hanya itu yang diucapkan Brighton.

Tidak ada yang mengetahui jenis cinta apa yang sebenarnya Alaska miliki untuk Brighton.

Tidak ada—kecuali Brighton dan Alaska sendiri. Keduanya bertukar pandang, lantas bertukar senyum untuk yang terakhir kali sebelum gadis itu menyambut tangan London.

Untuk dua tahun yang mereka habiskan bersama. Untuk dua tahun di mana kekosongan telah terisi oleh satu sama lain. Untuk dua tahun dengan jenis cinta yang hanya dimiliki keduanya.

Maka, sejak malam itu, setiap kali seseorang bertanya mengapa hubungan mereka kandas di malam lamaran, baik Brighton mau pun Alaska hanya akan menggeleng sambil tersenyum, membiarkan setiap benak diusik tanya. Di mana hanya mereka yang tahu bahwa sesungguhnya tidak ada hati yang ditolak malam itu.

"Aku memujamu," tutur Alaska malam itu. Mereka memastikan jarak sudah cukup menghalangi pembicaraan mereka dari Riyadh, Ivory, atau telinga siapa pun. Namun, mereka mendengar Riyadh dari kejauhan memainkan Un-break My Heart menggunakan harmonika.

"Aku mencintaimu," balas Brighton.

"Kau juga mencintai pekerjaanmu," lirih Alaska. Matanya berkaca-kaca, tetapi gadis itu tidak membiarkan air mata menguasainya lagi. Dia masih punya cukup dinding yang tersisa untuk membendung itu. "Kau tahu momen di mana musik menjadi pelarian? Suaramu dari earphone adalah satu-satunya tempat aku lari dan sembunyi di masa-masa sulit. Lalu, suaramu pula yang menuntunku kembali. Jika suatu hari kau akan dihadapkan pada pilihan—karier, atau keluarga .... Jika suatu hari kau harus mengorbankan rasa cintamu terhadap pekerjaan ini ... aku tidak ingin menjadi alasannya. Aku tidak ingin kau membuat pilihan itu untukku."

Brighton mengerjap untuk mengusir air mata. Akan sangat aneh jika dia menangis lebih dulu dibandingkan Alaska. Dialah prianya di sini. Namun, sialan si Riyadh, lantunan harmonikanya menyayat.

"Suatu hari aku akan bertengkar dengan suamiku," lanjut Alaska. Jemarinya membelai kelopak mawar pada buket yang direngkuhnya. "Dia akan menyalahkanku karena terlambat bayar tagihan, dan aku akan mempertanyakan kebecusannya dalam mencari uang.

"Suatu hari kau akan merasa jenuh pada istrimu. Dia akan curiga dan resah akan setiap tindak-tandukmu, dan kau akan menumbuhkan penyesalan singkat karena pernah memilih untuk hidup bersamanya.

"Suatu hari suamiku akan lupa tanggal pernikahan atau bahkan mungkin ulang tahunku. Suatu hari istrimu akan lelah menunggumu pulang dan memikirkan kemungkinan pria lain di luar sana yang bisa membahagiakannya. Orang yang akan menjadi suamiku tidak semata membagikan keindahan, tetapi juga keburukannya kepadaku." Alaska mengerjap, lalu jatuhlah air mata pertamanya di atas kelopak mawar putih. "Aku tidak mau orang itu adalah kau."

Brighton bergerak maju, tangannya terulur untuk menarik Alaska ke dekapannya. Tentu saja—dia tidak akan pernah bisa menjual kata-kata manis semacam 'cinta tanpa syarat' kepada Alaska. Untuk saat ini, karena mereka masih bodoh, cinta tidak punya syarat. Namun, begitu segalanya mulai berjalan, mereka akan mulai membodohi satu sama lain dan diri sendiri. Syarat itu akan muncul dengan sendirinya.

Alaska mulai terisak di atas bahu kekasihnya. "Aku tidak ingin hari itu datang. Aku tidak ingin memiliki secuil pun rasa lelah terhadapmu. Aku tidak ingin kau menyimpan secuil pun rasa terbebani olehku. Aku ingin selamanya mengingat suaramu sebagai tempatku berharap. Aku ingin selamanya mengingat namamu sebagai cinta pertamaku. Aku ingin—"

"Aku mengerti," bisik Brighton, lantas mendaratkan satu kecupan singkat di sisi kepala kekasihnya.

"Maafkan aku," tambah Alaska.

"Tidak ...." Brighton mengeratkan pelukannya—tahu bahwa ini yang terakhir. "Maafkan aku. Untuk segalanya."

Alaska mungkin masih ingin menyampaikan sesuatu di antara isakannya. Namun, tanpa perlu disampaikan lagi, Brighton tahu jenis cinta macam apa yang dimiliki gadisnya. Kalimat Alaska yang takkan pernah terucap menyamai apa yang dipahami Brighton:

Aku ingin cinta kita tetap begini.

Cinta Alaska kepada London akan berbenih, tumbuh, dan berkembang. Cinta mereka akan menjadi besar, sesekali menyusut dan terancam jatuh ke jurang kehancuran, lalu membesar kembali. Menjalani susah-senang bersama, kembali merasa muda saat bergandengan tangan menuju hari tua.

Hingga maut memisahkan.

Cinta Alaska kepada Brighton sama sekali berbeda. Jenis cintanya bertolak belakang dengan semua komitmen London. Alaska memiliki jenis cinta yang stagnan terhadap Brighton.

Selamanya mereka akan jalan di tempat.

Selamanya membeku, abai terhadap sangkala.

Abadi.

Tak lekang oleh waktu.

Inspirasi Eleven Songs:
Conor Maynard - Don't Forget


"Kau bisa berdansa dengan siapa pun yang kau mau,"

"Kau bisa tertawa bersama siapa pun yang bisa membuatmu tertawa,"

"Sayangku, tidak masalah, selama kau tidak melupakan,"

"Siapa yang mengantarkanmu pulang,"

"Siapa yang mendekapmu saat yang lainnya pergi,"

"Sayangku, tidak masalah, selama kau tidak melupakan,"

"Malam-malam saat aku menjagamu,"

"Sayangku tidak masalah, selama kau tidak melupakanku."

Conor Maynard - Don't Forget

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro