Star's Box

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Supernatural | Humorous-horror |

Repost From
Once Upon a Time in STARRAWS
Pagelaran short story oleh
RAWS Community

Content warning:
dark-comedy, death, blood, absurdity

| E-Jazzy | 2123 words |

AKU MATI beberapa menit yang lalu.

Aku tak yakin bagaimana caranya aku mangkat, tahu-tahu saja aku sudah berkeliaran di suatu tempat yang gelap gulita, tersandung-sandung tanpa bisa melihat apa yang kutendang atau kuinjak.

Bisik-bisik di telinga menyampaikan bahwa aku mesti jalan terus dan membuka sebuah kotak kalau mau terlahir kembali. Para orang mati itu tak henti-hentinya membuatku waswas, meyakinkanku bahwa Maut masih kurang mengerikan daripada apa yang bakal kuhadapi saat ini. Sesekali mereka berkata bahwa dosaku yang menumpuk bisa membuatku terlahir kembali jadi jembalang di kebun terbengkalai atau kotoran hidung seseorang. Di lain waktu, suara-suara yang lebih lirih menyemangatiku bahwa terlahir jadi kupu-kupu atau setangkai ilalang itu menyenangkan—walau kedengarannya mereka sendiri tidak yakin.

"Jangan mau jadi ilalang," sambar satu suara yang tak bisa kulihat orangnya. "Cara matinya tidak kreatif—kalau tidak terinjak manusia, dipotong manusia, atau dicabut angin ribut akibat perubahan iklim ekstrem gara-gara ulah manusia."

"Iklim ekstrem hanya akal-akalan elit global kaum manusia. Tidak—tidak! Mending jadi dinosaurus saja. Tidak ada konspirasi wahyudi atau pemotong rumput! Aku sarankan kau jadi T-Rex!"

"Tidak—kau bakal mati dihantam meteor! Mending jadi sebuah botol bening dan mengendap selamanya dalam etalase kaca toko pernak-pernik—"

"Sampai seseorang memecahkanmu! Jangan jadi benda mati! Seluruh hidupmu akan dikendalikan oleh tangan manusia! Kadang mereka menggunakan kaki mereka yang menjijikkan dan menendang apa pun seperti yang sekarang kau—auw! Itu kepalaku!"

Aku terkesiap dan segera melangkah mundur begitu meyakini bahwa kakiku barusan memang menekan sesuatu yang berbulu dan berkedut-kedut.

"Star?"

Aku menoleh pada sumber suara baru. Ada secercah cahaya di belakangku sehingga aku bisa melihat sebuah kotak kayu di pojok ruangan yang tutupnya terbuka—dari sanalah sinar menyilaukan ini datang. Dari dalamnya, sesosok pria merangkak keluar. Dia tergopoh-gopoh menarik sesuatu dari dalam kotak itu, lalu mengeluarkan sebuah meja berlaci dan kursi kayu. Padahal kotak itu bahkan tidak lebih besar dari kakiku.

Pria itu kemudian duduk di kursi di balik meja berlaci. Permukaan meja itu entah sejak kapan dipenuhi berkas-berkas dan alat tulis. Diletakkannya kotak kayu tempatnya merangkak keluar barusan di atas meja di hadapannya. Di atasnya, berayun dengan suara berkarat, sebuah lampu gantung besar yang tidak bisa kulihat ujung kaitannya.

Kupicingkan mataku seraya mendekatinya, mencoba mengenali laki-laki itu—dia berambut gelap dengan sedikit uban di sisi-sisi kepalanya, umurnya mungkin sudah lewat setengah abad, dan kacamata baca menggantung di pangkal hidungnya yang panjang bengkok. Kacamata itu tidak berlensa, yang membuatku hampir kelepasan berkomentar bahwa itu membuatnya tampak konyol.

Dia melirikku dari balik salah satu kertas yang tengah dipegangnya, lalu berucap seperti membaca, "Star, 16 tahun, anak tunggal dari tiga bersaudara—"

Aku dan dia sama-sama mengerutkan kening, merasa ada yang salah.

"Oh, dasar para Pencatat Data zaman sekarang! Yang begini saja keliru! Tidak ada yang becus!"

Pria itu merobek kertas di tangannya dan membiarkan setiap sobekannya berjatuhan ke lantai. Aku bergeser ke samping meja dan mengintip kertas-kertas itu, ingin melihat apa saja tentang diriku yang tercatat di sana. Namun, kertas itu kosong.

Sang pria mengambil kertas kosong lainnya di atas meja dan membenarkan kacamata bacanya, seolah-olah benda itu sungguhan membantunya melihat. "Nah, yang ini sepertinya benar. Star, 16 tahun, anak bungsu dari tiga bersaudara. 178 cm, tapi ogah berdiri dekat teman yang lebih pendek untuk melindungi mereka dari terik matahari saat di barisan upacara bendera. 65 kg, tapi masih mencamil makanan tak sehat dan gencar melakukan hibernasi sepanjang liburan sekolah."

Aku menganga. Timbul keinginan pribadi dalam benakku untuk membalik meja supaya heboh, atau naik ke atasnya dan mengguncang kerah baju si pria tua, tetapi aku terlalu cemas untuk bertingkah macam-macam. Bisa-bisa aku berakhir jadi jembalang sungguhan di kehidupan selanjutnya.

"Kalau tidak mau jadi jembalang, kau bisa jadi jenglot," tawar si pria tua, membaca pikiranku. "Pilihan untuk terlahir kembali tidak semata terpatok pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Kau bisa jadi furnitur di kamar ibumu, atau keripik kentang yang akan dimakan kakakmu nanti malam, atau jadi hantu sumur dan bergabung bersama para penunggu ceruk lainnya."

Aku menganga lagi. Dengan segala pertimbangan, lebih baik aku terlahir kembali jadi manusia.

"Kelahiran kembali tidak pula terpaku pada waktu yang akan datang." Pria itu menerangkan lagi. "Kami bisa menaruhmu di masa prasejarah, atau saat manusia masih saling memukul kepala satu sama lain dengan galah kayu, atau saat penganut bumi datar masih dipuja—kau bisa lahir kembali jadi ilmuwan yang menentang mereka dan disiksa sampai mati supaya kita bisa bertemu lagi di sini dan membicarakan hal serupa. Makin cepat, makin baik."

Aku bergidik.

"Atau, kau bisa jadi seperti namamu. Star—bintang. Kau bisa jadi yang paling terang. Kau mau jadi sirius?"

"Anda serius?" tanyaku terkesiap.

"Tidak. Bukan. Aku Pemandu. Kau yang kutawari jadi sirius."

"Serius?"

Sang Pemandu tampak jengkel kepadaku. "Bagaimana kalau kau dilahirkan lagi sebagai curut di dapur seorang wanita tua? Atau anak ayam saja? Kebetulan aku tahu anak ayam dekat rumah lamamu yang umurnya hanya sampai petang ini—"

"Adakah makhluk yang umurnya lebih panjang sedikit?" pintaku.

Tanganku mulai mengambili benda-benda terdekat di atas meja yang bisa kuraih karena aku mulai gugup dan kebingungan. Lagi pula, cahaya lampu di atas kami membuatku bisa melihat makhluk-makhluk aneh yang sejak tadi berbisik-bisik di sekitar—ada yang cebol, ada yang tinggi besar, ada yang cuma kepala .... Pada dasarnya, segala jenis hantu yang pernah kudengar berada di sekitarku, mulai dari yang cuma bercawat, sampai yang terbungkus rapi.

Mataku salah melirik ke samping. Tahu-tahu aku dihadapkan pada sebuah cermin seukuran badanku. Buru-buru kualihkan pandangan dari cermin.

"Kau bisa jadi cermin di kehidupan selanjutnya." Sang Pemandu bersungut-sungut. Entah hanya mataku atau itu memang jenggot dan kumis yang menumbuhi sekitar bibirnya. "Hitung-hitung menghilangkan fobiamu terhadap cermin. Ayolah, Nak! Aku bisa bangkotan kalau hanya menunggumu membuat keputusan!"

"Kenapa kalau aku belum membuat keputusan?" tanyaku menyelidik.

"Kau bisa terjebak selamanya di sini, dan itu akan menambah pekerjaan kami!" Pemandu tua menghantamkan tangannya pada kotak kayu di antara kami. "Tidak boleh membuka kotak ini sampai kau bisa menentukan, atau siklus kehidupan bisa kacau!"

Entah sejak kapan sebilah pensil sudah menyelip di telingaku—kebiasaan burukku kalau sedang melamun dan tenggelam dalam pikiran sendiri. Aku gampang meleng. Aku bisa saja menyelipkan gantungan lampu di atas kami ke daun telingaku dan takkan menyadarinya sampai tahun depan.

Di antara ribuan hal cerdas yang bisa kukatakan, aku justru menyinggung, "Kacamata Anda tidak ada lensanya."

Pria itu memelotot. "Apa katamu?"

"Anda tampak agak ... anu, aneh."

Ada sebuah kepala menggelinding di dekat kakiku, seorang wanita berjubah putih berlumuran darah yang terkikik-kikik di belakangku, dan sesosok manusia berkepala kera yang melompat ke atas lampung gantung—dan aku malah menyematkan panggilan 'aneh' pada seorang pria tua berkacamata tanpa lensa. Yah, pandanganku akan dunia memang seterbuka itu.

Sang Pemandu tampak memerah wajahnya. Dia berdiri, dan saat kukira dia bakal menyihirku jadi kecoak albino, sang Pemandu malah merenggut lepas kacamatanya dan memaksakannya ke wajahku. Dia mendorongku menghadap cermin besar.

"Lihat? Siapa yang tampak aneh sekarang?! Kau! Ha!"

Mau tak mau, aku jadi mematut diri di depan cermin. Seberapa pun tidak nyamannya, aku tetap mengamati pantulan diriku. Rambut merah ikal seolah cacing-cacing besar alaska dipaksa menyangkut ke sana, mata cekung dan postur tubuh bungkuk gara-gara terlalu lama di depan gadget macam ponsel dan laptop. Luka lecet dan berdarah mengular di mana-mana, dengan siku yang agak miring ke arah yang tidak seharusnya—barangkali kreasi dari kematianku. Aku berlumuran lumpur bau serta beberapa rumput yang menyangkut di badanku, dan hidungku menyerupai tenda anak pramuka yang diruntuhkan. Dan, kacamata tanpa bingkai model purba ini membuatku tambah ... ih.

Katakanlah seorang gembel gila terperosok ke lumpur beracun dan mati jadi hantu—aku belasan kali lebih jelek dari itu.

Cepat-cepat kualihkan pandang kembali ke sang Pemandu. Pria itu sudah kembali duduk di kursinya, menyandar malas dan membaca hikmat kertas-kertas kosong di depannya.

"Aku matinya kenapa, kalau boleh tahu?"

Pastilah ada seorang anak yang akan jatuh ke jurang, lalu aku menolongnya dengan heroik. Keluargaku tengah menangisiku, pacarku patah hati di suatu tempat, dan teman-temanku menggalang dana—koin untuk Star; sahabat karib kita yang ramah, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, dan taat ibadah. Sementara memikirkan itu semua, aku memilin-milin seuntaian rambut di atas telingaku. Rambut itu hitam, dan aku lupa sama sekali kalau rambutku merah. Aku mendengar seorang wanita terkekeh terlampau dekat dengan telingaku, tetapi aku tidak sempat mengecek karena sang Pemandu keburu menjawab pertanyaanku.

"Kau ditantang kakakmu untuk maling ikan di tambak. Kau menurutinya. Karena kebiasaan teledormu terhadap apa yang kau pakai, kau memakai alas kaki yang lain sebelah saat beraksi. Begitu dikejar warga, kau terpeleset, lalu menggelundung jatuh ke salah satu tanggul. Yah, perbuatan berani dan bodoh kadang memang sukar dibedakan. Dan saat ini sepertinya kedua kakakmu tengah berdebat apakah barang-barangmu mesti dibagi rata atau disumbangkan."

Aku menunduk, baru menyadari bahwa satu kakiku memakai sandal jepit, dan yang sebelahnya lagi sepatu high heel. Dua-duanya kanan. Pasti anarkis sekali kala itu sampai-sampai aku tak sadar perbedaan sandal jepit dan sepatu hak tinggi.

Satu jari tanganku mengetuk-ngetuk kotak kayu di atas meja. "Kukira, semestinya kita bakal dipilihkan perihal akan terlahir kembali jadi apa."

"Jangan balik menginterogasiku, Anak Muda. Cepat pilih saja kau mau lahir jadi apa."

"Bisakah aku jadi diriku lagi?" tanyaku. "Mengulangi apa yang sudah kulalui—"

"Tidak!" jawab Pemandu dengan tegas. "Tidak boleh ada pengulangan. Selesai jadi telur, harus jadi ayam. Begitu jadi ayam, harus bertelur. Kalau telur dalamnya telur lagi dan telur terus, siklusnya bisa kacau!"

Aku memuntir dan menarik-narik rambut di atas telingaku lagi. Kikikan wanita itu kini berubah jadi erangan, lalu keluhan kesakitan.

"Jadi," kataku. "Duluan mana—telur atau ayam?"

"Mari langsung saja gorok aku di leher dan taruh mayatku dalam kotak, Nak." Pemandu menggeram. Makin lama, dia makin tampak tua. Kini rambutnya tidak lagi hitam. Dia sudah sepenuhnya beruban. Mulai dari rambut, alis, sampai janggutnya—setiap helai di badannya jadi putih bersinar dan bersaing dengan cahaya lampu gantung. "Ayo! Ayo! Cepat putuskan!"

Karena kasihan pada hantu wanita di sampingku, yang kini mengelu-elukan kulit kepalanya, aku pun melepaskan rambutnya dan memilin rambutku sendiri. Rambutku kusut dan lengket dan lepek, tidak seenak rambut hantu untuk dimainkan.

Jari-jari tanganku yang satunya mulai mencungkili tutup kotak. "Boleh langsung buka saja dan serahkan pada takdir aku bakal jadi apa?"

Pemandu menatapku tajam. Kini, tanpa kacamata tua tanpa lensanya, dia tampak lebih serius—bukan sirius, tentu saja—dan mengintimidasi. Terlebih dengan wajah sepuh dan raut muka mencibir itu. Dia membuatku kepingin melompat masuk ke laci terdekat dan mendekam di sana untuk menghindarinya.

"Tadi sudah kubilang, 'kan? Kau bisa terkurung di sini selamanya dalam siklus abadi jika membuka kotak ini sembarangan."

"Kita belum tahu kalau belum dicoba, 'kan? Lagi pula, tadi Anda membuka kotak ini sembarangan," tuntutku. "Malah, Anda keluar dari sini—bersama dengan semua barang-barangmu—meja, kursi, dan lain-lain."

"Nak." Pemandu mengaitkan jari-jari tangannya satu sama lain, lalu menumpu dagu berjanggutnya di sana. "Apa kau tahu Kotak Pandora?"

Aku mengangguk. "Cerita aneh, kalau Anda tanya aku. Aslinya, benda itu adalah guci, bukan kotak."

Pemandu memicingkan matanya. Kerut-kerut usia tampak di sekitar mata tuanya. Sikunya menyenggol beberapa barang di atas meja, tetapi dia tidak mengacuhkannya. Dia makin serius sekarang, dan aku jadi agak menyesal tidak langsung menerima tawarannya jadi bintang sirius sebelum ini. Semestinya aku tidak memperpanjang perkara.

"Apa kau tahu apa yang terjadi saat Pandora membuka kotaknya?" tanya pria tua itu lagi. Sekarang, suaranya pun ikut menua—terdengar agak sumbang, gemetaran, kering dan kesat. "Monster, wabah penyakit, penderitaan tiada henti—semua hal mengerikan terlepas ke dunia. Semua itu karena Pandora dianugerahi pikiran yang terlampau kritis dan rasa penasaran yang begitu besarnya oleh dewa-dewi."

"Tapi ada satu yang masih meringkuk di dalam kotak," tukasku. " Masih ada harapan yang bersikeras untuk tinggal."

"Nah, sayangnya kisahmu tidak akan semanis itu jika kau membuka kotak ini tanpa persiapan."

"Lalu, buat apa Anda menanyaiku tentang Pandora?"

"Kepingin saja." Sang Pemandu memundurkan kursinya, lalu memunguti berkas-berkas yang berjatuhan.

Sementara sang Pemandu tidak memerhatikan, aku mencuil tutup kotak sekali lagi. Secercah insting manusiaku yang tersisa mendorongku untuk berbuat lebih jauh. Rasa penasaran mendesak dalam diriku, mencoba mendobrak pertahanan akal sehat.

Aku membuka kotak dan melihat isinya. Ada secarik kertas di dalamnya bertuliskan:

MAAF, ANDA BELUM BERUNTUNG. COBA LAGI.

Aku tersedot masuk ke dalam kotak dan kepalaku menghantam kayunya. Aku berteriak, dan kudengar para hantu di atas kotak tertawa gembira. Badanku terlipat-lipat di dalam. Lalu, aku teringat bahwa selain cermin, aku juga fobia tempat sempit.

Kenapa diriku serumit ini?

Aku terlempar ke suatu tempat yang lain sampai kepalaku terbentur. Aku mengerjap, mendapati diriku berada di tengah kegelapan pekat ....

Apa yang kulakukan di sini? Aku nyaris tidak bisa mengingat apa-apa.

Sayup-sayup, aku mendengar suara-suara. Mereka memberi tahu hal-hal yang membuatku terkesiap. Bahwa aku sudah ....

Aku ingat.

Aku mati beberapa menit yang lalu.

Aku tak yakin bagaimana caranya aku mangkat, tahu-tahu saja aku sudah berkeliaran di suatu tempat yang gelap gulita, tersandung-sandung tanpa bisa melihat apa yang kutendang atau kuinjak.

Bisik-bisik di telinga menyampaikan bahwa aku mesti jalan terus dan membuka sebuah kotak kalau mau terlahir kembali.

Music:
Apotechary
(Fantasy & World Music by the Fiechters)

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro