Sekar Sapada - Aubade

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari Final Turnamen NPC

Tema:
Voice for the Voiceless

| Young Adult, Mystery/crime |
||4670 words ||

Sayup-sayup, Ketua Yayasan menyelundup. Satu per satu anak pantinya sendiri dijual pada konglomerat jahat atau perompak bejat. Tiada yang mau mengadopsi remaja labil, maka ke rumah bordil mereka berakhir. Tiada yang sanggup mengurus bocah-bocah gelandangan, maka menjadi budaklah satu-satunya pilihan.

Ilegal memang, tetapi kata Ketua Yayasan, "Peduli setan!"

Diam-diam, anak-anak Yayasan Aubade menghantar kabar. Mereka layaknya burung-burung gereja bercuit di pagi hari—sekumpulan makhluk kecil tak berdaya, tiada bahaya yang ditimbulkan. Namun, dari sanalah langkah kecil selalu bermula.

Tidak pernah ada bukti konkret atas kejahatan Ketua Yayasan. Dia disokong para konglomerat dan perompak relasinya. Pria berusia separuh abad itu tak tersentuh hukum ... sampai aku dan Sapada menjejakkan kaki di ruang kerjanya yang semerbak pengharum ruangan aroma lemon pagi ini.

"Detektif Sapada." Sang Ketua Yayasan menyambut kedatangan kami. Dia menjabat tangan pemuda di sisiku, lalu mengangguk samar ke arahku, "Sekar."

Aku memasang wajah angkuh, meniru sikap detektif muda di sebelahku, tetapi Ketua Yayasan—seperti kebanyakan klien selama ini—mengabaikan kehadiranku setelah sapaan singkat.

Kami duduk berseberangan, dibatasi satu meja kerja jati yang seluruh berkasnya telah disingkirkan ke satu sisi dalam tumpukan tinggi. Seorang wanita bernama Rossa masuk kemudian, membawakan tiga cangkir teh lemon. Ketua Yayasan dan Detektif Sapada membahas detail kasus berdua dan—seperti kebanyakan kasus selama ini—menganggapku tak pernah ada di antara keduanya.

"Namanya Agatha." Ketua Yayasan memberikan berkas seorang anak panti—akta lahir, foto, dokumen pengadopsian. "Hilang sejak tiga hari yang lalu. Anak ini akan diadopsi keluarga Alto, dan seharusnya sudah dibawa ke kota kemarin."

"Bila boleh saya bertanya." Aku menyela sampai Ketua Yayasan menoleh. "Tidakkah ada kemungkinan Agatha telah berada di tempat lain saat ini? Entah, seseorang mengantarnya ke desa untuk menjadi pelayan bar, atau dilempar ke kapal perompak di Laut Mediterania?"

"Mungkin sudah sering tersiar kabar tak mengenakkan tentang saya," kata Ketua Yayasan dengan senyum yang tampak sudah dilatihnya tiap hari. "Tapi saya pastikan bahwa saya tak tahu di mana dan apa yang terjadi pada Agatha. Satu hal yang saya yakini, penculiknya ada di sekitar sini. Itulah mengapa saya memanggil detektif swasta tersohor,"—matanya mengerling Sapada—"yang di usia mudanya telah memecahkan ratusan kasus. Keluarga Alto menghubungi saya berkali-kali—kasus hilangnya anak yang hendak mereka adopsi ini bisa lebih mencemarkan nama saya lagi."

Aku mengenyakkan diri ke kursi. Rupanya kami di sini bukan untuk mengekspos si tua bangka, melainkan membantunya membersihkan nama.

Kulirik Sapada, harap-harap cemas apakah dia akan berpegang pada prinsip bisnis dan mengutamakan klien, ataukah memijak mantap pada sisi hukum. Bagaimana pun, si tua bangka ini harus dicopot dari posisinya.

"Jadi," kata Ketua Yayasan berbasa-basi, "memang benar Detektif Sapada selalu membawa adik perempuannya sebagai asisten pribadi?"

Aku membalasnya dengan senyum simpul. "Saya bukan adiknya."

"Bukan?"

"Saya baru lulus dari sekolah jurnalistik dan mulai magang tahun lalu saat bertemu Detektif Sapada. Sekarang saya selalu mengikutinya untuk bahan berita. Tapi Anda benar perihal asisten—saya adalah 'Watson'-nya."

Ketua Yayasan mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. "Tentu saya tahu Anda. Sekar Aswad—jurnalis muda dari Asia ... Tengah?"

"Tenggara."

"Ya, saya mengira selama ini Anda adiknya Detektif. Akan tetapi, Anda sudah tersohor jauh sebelum meliput kasus Sapada karena ... kasus-kasus sensasional yang Anda liput."—Aku tahu di Tua Bangka ini menahan tawa—"Kenapa Anda berhenti menulis artikel tentang penampakan hantu dan makhluk ajaib? Sudah tak menjual?"

Aku membenarkan kuncir rambutku di balik topi baret. "Hanya sedang mencoba cerita baru. Terutama dengan maraknya kasus kekerasan terhadap anak-anak yatim belakangan ini."

Ketua Yayasan masih mempertahankan senyum bisnisnya.

Kami duduk sampai siang di ruangan itu dan membahas kronologi hilangnya Agatha. Lalu, saat makan siang, kami diperkenalkan pada para penghuni panti. Total ada empat pengurus dan tersisa sebelas anak—tiga di antaranya penyandang disabilitas.

Anak-anak itu nyaris semuanya berkulit pucat. Mereka riuh bermain petak umpet sambil menyanyi tentang burung-burung yang bersembunyi dari peri hutan, membuat para pengurus terlibat kejar-kejaran untuk memaksa mereka makan.

Satu anak lelaki bernama Arsen terus duduk diam di ujung meja, menolak bermain, menolak makan. Anak itu hanya mengaduk-aduk kentang tumbuknya.

Salah satu pengurus panti berbisik padaku dan Sapada, "Arsen baru masuk panti tahun lalu. Kedua orang tuanya berasal dari Hopevale dan pindah ke kota sebelah lima tahun silam sebelum tewas dalam kecelakaan mobil. Meski selamat dari kecelakaan, Arsen menjadi tunawicara sejak itu."

Setelah makan siang, kami menyisir wilayah panti sebelum interogasi.

Yayasan Aubade terkucil dari desa-desa dan perkotaan di sekitarnya. Ia berupa bangunan berbata merah menghadap utara dengan seluruh jendela yang diberi terali, dikelilingi pagar tanaman bonsai. Ia berdiri reyot di atas satu hektare tanah hijau, dibordir danau yang dibelah oleh dua jembatan pada masing-masing sisi barat dan timurnya. Kedua jembatan terhubung pada jalan beraspal yang menembus hutan pinus. Namun, sejak jembatan di sisi barat ambruk oleh peristiwa alam sedekade silam, jalan itu kini ditutup, menyisakan satu jembatan di sisi timur sebagai akses keluar-masuk.

"Agatha terakhir kali terlihat di sini." Aku mengingat-ingat seraya menelaah jembatan timur. "Jembatan ini adalah tempat pertama yang dituju para pengurus untuk mencari Agatha, tapi mereka tidak menemukannya. Arsen—anak tunawicara tadi—melihat Agatha dari jendela kamarnya. Saat ditanyai di mana dia melihat Agatha, anak itu menggambar jembatan dengan matahari terbit di atasnya."

Sapada melesakkan kedua tangan pada saku jaketnya. "Tapi, Agatha menghilang tengah malam."

"Ya," sahutku, "gambar matahari terbit itu untuk menekankan jembatan timur."

"Dari mana mereka tahu itu matahari terbit?"

"Warna langitnya," jawabku. "Panti Asuhan Aubade menyediakan pendidikannya sendiri. Aku sudah bicara pada pengurus yang merangkap guru—Rossa, wanita yang membawakan kita teh tadi pagi. Dia mengajari demikian saat menggambar dan mewarnai: ungu-merah untuk fajar, oranye-kuning untuk senja."

Sapada menyipitkan mata seolah ambiguitas warna fajar-senja ini salahku.

"Aku sudah temui sendiri anak itu untuk memastikan," tukasku. "Lagi pula, anak itu tidak tuli. Aku bertanya tiga kali kalau itu memang matahari terbit, dia menjawabku dengan dua kali anggukan dan melemparkan pensilnya ke hidungku di kali terakhir."

"Di mana kamarnya?"

Aku menunjuk jendela di puncak bangunan. Kamar Arsen terletak di bagian belakang bangunan, lantai tiga, di mana jarak pandangnya bisa sampai ke hutan pinus. Meski akan sulit mengenali Agatha dari jarak itu, Arsen yakin yang dilihatnya adalah objek bergerak.

"Kenapa dia mesti menggambarnya?"

"Arsen juga mengidap disleksia," kataku. "Jadi, dia menggambar untuk mengatakan sesuatu. Dia membawa-bawa memo kecil untuk menggambar."

Sapada menengadah dan menelaah jendela Arsen. "Kalau begitu, anak-anak juga perlu diinterogasi."

Aku mengernyit. "Apa itu perlu? Si Tua Bang—maksudku, Ketua Yayasan hanya mengizinkan kita menginterogasi para pengurus. Lagi pula anak-anak ini paling tua masih 11 tahun. Nah, aku punya dugaanku sendiri kalau Arsen mengidap direction dyslexia—"

"Si Tua Bangka menyewaku," ucap sang detektif muda. "Jadi, dia ikut aturan mainku, bukan sebaliknya."

Kami mengelilingi wilayah panti sekali lagi untuk mengambil foto sampai ke jembatan di sisi barat.

Hilangnya Agatha terasa ganjil bagiku. Tidak ada publisitas atau sekadar pengumuman anak hilang. Ketua Yayasan sendiri yakin benar ini kasus penculikan.

Setelah mendenah wilayah panti, Sapada mulai mencatat—catatan rahasia. Selalu begitu. Dia tak pernah membiarkan siapa pun melihat catatannya. Namun, aku sesekali mengintip—terutama sekarang—dan melihat kalau catatannya terfokus pada hal-hal tertentu.

Dia mencatat arah mata angin dan fakta bahwa bangunan menghadap utara, jembatan ambruk di barat, jembatan yang masih bagus di timur, kamar Arsen, jam antik besar di ruang tengah, semua lemari tinggi, meja-meja berlaci, dan jendela-jendela bertirai. Aku menyalin semuanya diam-diam. Bagaimana pun, dialah detektifnya di sini. Aku harus mengikuti pola pikirnya untuk menulis berita valid.

Selain hal-hal di atas, Sapada mencatat detail kamar dan fungsi tiap ruangan, termasuk pengaturan jadwal—anak-anak tidur pukul 20.00, bangun pukul 05.00 sebelum matahari terbit, lalu menghabiskan sebagian besar waktu di kelas atau ruang tengah.

Lima anak perempuan termasuk Agatha tidur di kamar paling besar di lantai dua. Empat anak laki-laki di kamar sebelahnya. Dua kamar ini berseberangan dengan kamar dua pengurus panti, Rossa dan Lattoya. Tiga anak laki-laki berkebutuhan khusus—termasuk Arsen—di kamar lantai tiga, diapit oleh dua kamar yang dihuni pengurus panti lain. Ketiga kamar anak-anak panti itu memiliki toilet sendiri. Semua kunci pintu dipegang oleh Ketua Yayasan, kunci cadangan ada pada Rossa.

Kami menghabiskan tiga jam untuk menginterogasi keempat pengurus. Cerita mereka semua cocok. Yang makan waktu adalah menanyai anak-anak. Setelah lewat jam makan malam, barulah kami mencatat runtut waktunya:

Pukul 20.00, anak-anak sudah dikunci di kamarnya masing-masing untuk tidur.

Pukul 21.10, Lattoya ke toilet dan mendengar Agatha di balik pintu kamarnya, menyanyikan lagu "Peri Hutan" yang Rossa ajarkan setiap mengakhiri kelas.

Sekitar pukul 22.00, anak-anak perempuan terbangun. Mereka berteriak bahwa ada peri di dalam kamar. Tiga pengurus menenangkan anak-anak, sedangkan Rossa pergi ke lantai satu dan membuat dua botol susu untuk dua anak paling muda. Rossa memastikan dia turun ke dapur pukul 22.25.

Pukul 23.00, Rossa membawa botol susu ke atas saat jam antik di ruang tengah berbunyi. Jam antik tersebut hampir dua meter tingginya, dengan lemari kecil di bawahnya, dan ia berbunyi setiap satu jam dengan burung-burungan yang mencuat keluar serta berkukuk.

Pukul 23.11, anak-anak ditenangkan dan sebagian dari mereka tertidur, termasuk Agatha. Rossa dan Lattoya kembali ke kamar mereka, sementara dua pengurus lain begadang di ruang tengah, bermain halma. Mereka melek setidaknya sampai 23.30 sebelum ketiduran.

Tepat tengah malam, jam antik berbunyi. Dua pengurus itu terbangun dan mendapati pintu depan terbuka. Agatha hilang.

"Tidak lama setelah itu, Arsen terbangun dan melihat Agatha dari jendela," kataku saat Sapada mencatat lagi di catatan rahasianya, "kedua pengurus itu mengecek kamar anak-anak, dan Agatha tidak ditemukan di mana-mana. Lalu, Arsen mengatakan Agatha ada di jembatan timur. Saat mereka mencoba mengejar, Agatha tidak ada di sana."

Aku menyenggol lengan Sapada. Alisnya mengerut jengkel saat penanya salah coret.

"Ada kemungkinan anak itu pergi sendiri keluar, 'kan?"

Dia tak mengacuhkanku dan lanjut mencatat.

"Si Tua Bang—" Aku menghentikan diriku saat seorang anak di atas kursi roda mendekati kami. "Ketua Yayasan," ralatku, "tidak berada di tempat saat kejadian. Dia di ibu kota, memenuhi undangan seorang teman. Saksinya adalah semua orang yang diundang ke acara itu. Pukul 03.00 pagi, Rossa baru menghubunginya. Dari kota itu kemari butuh lima jam dengan transportasi darat. Pukul 08.00, Ketua Yayasan tiba dan ikut mencari Agatha, tetapi nihil. Nah, sayangnya beberapa pengurus mengatakan bahwa pencarian mereka sering terganggu oleh anak-anak yang bermain di dalam rumah."

Sapada masih sibuk mencatat saat salah satu anak menarik-narik ujung jaketnya. Dengan tatapan tertarik, anak itu mengamati bolpoin lain dalam saku jaket sang detektif. Tangannya terulur, memencet-mencet tombol di ujung bolpoin.

Sapada mengibas tangan anak itu. "Ini bukan mainan."

"Pipa yang biasa disedot Bu Rossa juga ada tombol begitu," oceh bocah itu.

"Ha?" tanyaku.

"Kayak pipa buat main intip-intipan di kapal selam," oceh bocah itu lagi. "Kak Mia sering membuatkanku kapal selam dari kertas lipat, tapi sejak diadopsi dia tidak ada lagi."

"Periskop?"

"Tapi terbalik," katanya. "Taruhnya di mulut, bukan mata."

"Itu pipa bambu yang dipakai ninja untuk bernapas di bawah air!" bantah anak di kursi roda.

"Ih!" Si bocah tampak tidak terima. "Bu Rossa peri! Bukan ninja!"

"Ibu Rossa ninja!" Temannya bersikeras. "Makanya dia sering dipukul Bu Lattoya!"—Dia meninju-ninju punggung temannya. "Malah, tadi Ibu Rossa bilang, dia akan membantu detektif! Itu pekerjaan ninja!"

Sapada menatapku. "Singkirkan mereka."

"Mereka anak-anak," kataku. "Ajak mereka bermain. Alihkan perhatiannya."

Sapada melemparkan bolpoinnya ke ujung ruangan, lalu menunjuk, "Tangkap."

Aku baru akan memprotesnya, tetapi anak berkursi roda segera meluncur, disusul bocah satunya. Mereka mulai berebut bolpoin di ujung sana.

"Aku tidak mengerti," kataku seraya memiringkan badan untuk mengintip catatan Sapada. Dia ikut memiringkan tubuh menjauhiku dan mengangkat tinggi catatannya. "Kalau benar penculikan, anak itu pasti sudah dibawa jauh dari sini. Didukung kesaksian Arsen—kalau benar Agatha di jembatan timur, artinya anak itu masuk ke hutan pinus malam itu juga. Kenapa kita tetap mencari sekitar panti? Dan, wanita bernama Rossa itu agak mencurigakan, 'kan? Dia yang pegang kunci."

"Kau jurnalis, tapi tidak bisa menangkap gosip di sini?" Sapada berdecak. "Aku kecewa, Sekar."

"Gosip yang mana? Bahwa keluarga Alto yang akan mengadopsi Agatha itu menjalankan human trafficking ke seberang benua?" Aku menerka, lalu menambahkan sambil tertawa, "Atau gosip tentang peri hutan?"

Sapada mengangkat kedua alisnya.

"Kau pasti bercanda," kataku. "Itu cuma ocehan anak-anak."

"Hei, Arsen!" Sapada memanggil si bocah yang termangu sendiri sementara teman-temannya bermain petak umpet. Saat si bocah tunawicara berada di depan kami, Sapada memerintah, "Nyanyikan 'Peri Hutan' itu."

Aku berdengap. Aku tahu pemuda ini hatinya sudah hitam, tetapi tidak ke level ini juga!

Namun, Arsen tidak marah. Dia mulai membuka memonya, memperlihatkan gambar peri-peri di hutan.

Gambaran peri-peri itu tampak ... ganjil. Agak tak beraturan, dan bersudut tajam. Peri-peri digambarkan memiliki muka peyot, ekor lancip, sayap capung; berlatar belakang pohon, buah lemon, dan kelap-kelip bintang yang diarsir pulpen hitam.

"Peri-peri muncul dari pohon!" Kudengar anak-anak bernyanyi sambil cekikan dan mendorong satu sama lain ke balik tirai. "Di atas jalan menuju jembatan, membawa aroma lemon!"

Arsen membalik halaman, menampakkan peri yang mengangkut bangkai burung.

"Jangan tertangkap! Jangan terlihat! Sekali terjerat, kita takkan selamat!" Beberapa anak berteriak dari balik tirai, lalu berpindah ke balik kursiku. Terus begitu seolah mereka tak bisa memutuskan mesti bersembunyi di mana. "Berkicau keras-keras, tidak ada yang mendengar! Cari suara sengal napas, dan pulang pada peri bunga yang mekar!"

"Kau tidak menggambar sehebat ini tadi," kataku sampai Arsen cemberut.

"Seniman kecil ini harus memperhalus bahasanya agar orang dewasa mengerti, 'kan?" ucap Sapada seraya menumpukan pipinya ke sebelah tangan. "Kau jurnalisnya di sini, Sekar. Kau pasti tahu bahwa, untuk menyuarakan suara-suara yang tak terdengar, kau tidak semata harus mendengar, tetapi menyimak. Lalu, memilih bahasa yang tepat untuk menyampaikannya. Ataukah kau hanya mendengar suara dari dunia supernatural? Aneh, mengingat kau tidak memercayai kehadiran peri."

Aku memutar bola mata. "Jadi, kau sudah dapat petunjuk? Barang bukti?"

"Barang bukti pasti ada," decaknya. "Masalahnya adalah ... mereka tidak bicara."

Aku melirik Arsen, lalu menatap Sapada tajam. "Kau serius menyamakan anak ini dengan barang?"

"Tidak, maksudku barang sungguhan. Benda mati. Bukan bocah bisu secara metafora." Sapada menepuk-nepuk saku jaketnya yang kosong. "Benda mati tidak bicara—karenanya ia disebut 'saksi bisu'. Semua jejak dan barang bukti yang tidak bicara itu, detektif atau polisi yang menerjemahkannya, dan jurnalis rewel yang menyuarakannya pada dunia."

Anak-anak mencoba membuka lemari jam antik besar di sisi ruangan, tetapi pintunya terkunci. Seketika aku merasakan jantungku naik ke kerongkongan, dan suhu udara merosot drastis. Anak-anak itu kemudian berpindah lagi, bersembunyi ke bawah meja.

"Kenapa?" tanya Sapada saat aku menegakkan punggung.

Mataku menelaah jam antik—pukul 18.56. "Kurasa, aku butuh minum."

Aku berjalan ke dapur. Di sana, Rossa tengah menyeduh teh lemon.

"Anda dan Detektif ingin minum sesuatu?" tanya wanita itu tanpa menatapku.

"Sesuatu selain teh lemon," kataku. Aku melirik Sapada, yang telah berdiri dari kursinya. Pemuda itu berjuang mengarungi lautan anak-anak yang berlarian, lalu kembali menggeledah ruang tengah.

Sementara aku berkutat dengan mesin pembuat kopi, Rossa bersuara lirih, "Apa menurut Anda Agatha akan ditemukan?"

"Entahlah," ujarku. "Masih tidak jelas apakah ini penculikan. Ah, ya, tadi anak-anak bilang, Anda hendak membantu detektif? Anda menemukan sesuatu?"

Kudengar wanita itu mendengkuskan tawa lemah.

"Apakah menurut Anda—" Suara kukuk burung dari jam antik menyela. Pukul 19.00. Lalu, Rossa melanjutkan, "—burung-burung kecil itu bisa dibebaskan?"

"Ya?" tanyaku tak fokus. Kuteguk kopiku banyak-banyak, lalu menoleh. "Anda bilang apa tadi?"

Namun, Rossa sudah pergi dari dapur. Secangkir teh lemon yang tampaknya sudah dingin menganggur di atas kabinet dapur.

"Sekar," panggil Sapada yang tiba-tiba memasuki dapur. "Kau mau berguna jadi Watson?"

"Apa lagi?" tanyaku.

Napas Sapada terengah. Di belakangnya, anak-anak masih riuh bermain sendiri. "Hubungi petugas kepolisian."

***

Lewat tengah malam, seluruh orang berkumpul. Anak-anak sudah tidur, kecuali Arsen, yang berkeras menempel pada Sapada. Rossa tidak terlihat di mana-mana.

Tanganku jadi dingin. Kenapa wanita itu kabur saat aku memanggil polisi?

Sementara kami semua berdiri, Sapada duduk sendiri di atas kursi sambil menelaah catatannya. Di sampingku, Ketua Yayasan mengeluhkan kehadiran beberapa polisi di ruangan.

"Anda takut tertangkap?" tanyaku sambil terkikik. "Bukankah kali ini Anda tidak bersalah?"

Pria itu memasang senyum sekecut aroma parfumnya. "Tidak ada bukti atas tuduhan selama ini—"

"Tentu," sahut Sapada. "Anda memang tidak bisa ditangkap tanpa bukti."

"Maksud Anda?" Ketua Yayasan masih mempertahankan sikap santunnya.

"Pertama, Anda menyewa saya, dan terus memberi sugesti bahwa pelaku penculikan Agatha adalah salah satu pengurus panti sendiri."

Ketiga pengurus panti di sekitarku menahan napas.

Sapada melanjutkan. "Kedua, keluarga Alto belakangan berada di bawah intaian badan intelijen karena diperkirakan menjadi trafficker terbesar di negara ini. Kita asumsikan motif Anda memang menjual Agatha pada mereka, maka Anda butuh mendapatkan anak itu kembali. Tapi, sekali lagi, itu tuduhan yang tidak berdasar.

"Ketiga, kenapa Agatha tidak ditemukan malam itu meski para pengurus sudah berlarian ke jembatan timur, tempat anak itu terakhir kali terlihat? Bisakah anak kecil mengungguli empat orang dewasa saat berlari, atau memang ada yang membawanya? Jika ada orang dewasa yang membawanya, kenapa Arsen tidak melihatnya? Persekongkolan? Bukankah akan sulit sekali mengoordinir sekian banyak anak yang sulit diatur untuk bersekongkol menculik teman mereka sendiri?"

Sapada menepuk-nepuk kepala Arsen. "Keempat, anak ini pandai melukis, tapi dia tidak bisa menulis. Mengapa?"

"Dia disleksia," jawab salah satu pengurus begitu saja.

"Itulah akibatnya," ujar sang detektif seraya menunjuk Ketua Yayasan, "jika Anda terlalu sibuk dengan bisnis pribadi, sampai mempekerjakan orang-orang yang kurang kompeten."

"Hei!" protes si pengurus.

"Disleksia adalah gangguan membaca," terang Sapada. "Dysgraphia adalah gangguan menulis. Aku membuka memo anak ini dan menemukan beberapa kosakata sederhana serta sebait penuh lirik lagu 'Peri Hutan'. Dia jelas tidak mengidap dysgraphia. Jadi, mengapa dia tidak menulis?"

Sapada mengeluarkan sebuah map dari bawah kursi yang didudukinya, menghempaskannya ke atas meja. Bukan dokumen Agatha, tetapi dokumen Arsen.

"Anda mencuri dari laci arsip?" tanya Ketua Yayasan dengan suara rendah.

"Meminjam," ralat Sapada. "Anda yang memintaku menyelidiki tempat ini, itulah yang kulakukan. Jika tidak begini, bagaimana aku bisa tahu bahwa Picasso cilik sebenarnya tidak bisa menulis dalam bahasa kita—secara harfiah?"

Aku membaca berkas Arsen, lantas berdengap. "Bahasa Guugu Yimithirr!"

"Begitu mendengar anak ini berasal Hopevale di Queensland, aku segera mencari tahu bahasa ibunya," ujar Sapada. "Dia sudah tinggal di negara ini selama lima tahun. Dia mengerti kosakata sehari-hari. Dia paham saat kita bicara. Tetapi dia belum mampu membuat kalimat sendiri. Selama ini, Arsen menyesuaikan bahasanya agar kita mengerti dengan apa yang tak bisa diucapkannya."

Ketua Yayasan mendesak, "Apa hubungannya dengan Agatha?"

"Dalam Bahasa Guugu Yimithirr, mereka tidak mengenal 'kiri' 'kanan' atau 'depan' seperti kita. Persepektif mereka terhadap arah lebih secara ... geografis."

"Mereka menggunakan arah mata angin," sahutku. "Sementara kita menunjuk kiri atau kanan, pembicara Bahasa Guugu Yimithirr tidak memiliki padanan kata untuk itu. Mereka menunjuk arah barat, timur, dan lainnya."

"Nak." Sapada mendorong Arsen menghadap sudut ruangan. "Dari tempatmu berdiri, mana yang timur?"

Arsen menunjuk ke kanannya. Namun, yang ditunjuknya itu arah tenggara.

"Kau tahu arah di mana matahari terbit di sini?"

Arsen menggeleng. Dia membuka memo dan menunjukkan gambar ruang kelasnya yang memiliki banyak jendela. Di atas papan tulis, terdapat gambar kompas besar. Anak itu membalikkan halaman, memperlihatkan gambar burung-burung yang dikerangkeng.

Para pengurus panti tertunduk melihat gambar anak itu.

"Dia tidak bisa membedakan timur dan barat tempat ini," kata sang detektif, "kecuali saat berada di ruang kelasnya bersama Rossa, yang menunjukkan kepada mereka arah mata angin di ruangan itu. Karena mereka nyaris tidak pernah melihat sendiri di mana matahari terbit dan tenggelam di tempat ini."

Aku menahan napas, mengetahui satu lagi kenyataan mengerikan yang entah bagaimana luput kuperhatikan: anak-anak tidak pernah keluar dari bangunan ini.

"Kalianlah para peri dalam lagu mereka." Sapada menunjuk tiap pengurus panti, lalu jarinya berhenti di depan wajah Ketua Yayasan. "Yang menyimpan anak-anak ini di sangkar selama bertahun-tahun, hanya mengamati danau dan hutan dari jendela berterali. Dengan jadwal kegiatan yang ketat, tak satu pun dari mereka pernah melihat matahari terbit-tenggelam dari jendela."

"Jadi," kataku ngeri, "saat dia menggambar jembatan dengan matahari terbit—"

"Bangunan ini menghadap utara." Sapada mengangguk. "Jika kau berdiri menghadap utara, kirimu adalah barat, kananmu adalah timur. Lain soal jika kau berdiri di kamar Arsen, di mana jendelanya menghadap selatan. Karenanya para pengurus tidak menemukan Agatha di jembatan timur malam itu."

"Karena memang bukan jembatan timur." Aku menutup mulut dengan ngeri. "Arsen melihat Agatha malam itu di sebelah kanannya, di jembatan barat."

Para petugas kepolisian baru akan bergegas menuju lokasi dan mencengkram alat komunikasi mereka untuk melancarkan pencarian, tetapi Sapada mengangkat sebelah tangannya.

"Tidak perlu mencari. Agatha memang berada di tempat berbahaya tersebut malam itu. Tapi, malam itu juga, saat orang-orang mengobrak-abrik jembatan timur untuk mencarinya, seseorang memisahkan diri di antara kekacauan, dan menjemput Agatha di jembatan barat. Ketika orang-orang baru akan mencari ke jembatan barat, si 'penculik' sudah membawa Agatha kembali ke dalam rumah, dan mereka bermain petak umpet bersama anak-anak lainnya. Tidak ada persekongkolan—Agatha hanya terlalu pandai bermain petak umpet bersama teman-temannya."

Peri-peri muncul dari pohon. Di atas jalan menuju jembatan, membawa aroma lemon. Nyanyian anak-anak itu, yang dikarang Rossa, mengiang di kepalaku. Nyanyian saat semua anak saling dorong untuk bersembunyi. Mereka bukannya mencari tempat sembunyi sendiri. Mereka sedang mendorong temannya untuk bersembunyi. Dan para pengurus inilah yang mereka jadikan setan pencarinya.

"Sebuah permainan petak umpet massal." Sapada tersenyum untuk pertama kalinya seharian ini. "Dari anak-anak yang dilatih selama kelas berlangsung. Saat para peri—" Sapada melambai pada para pengurus dan Ketua Yayasan, "—mencari burung kecil yang bersembunyi."

Jangan tertangkap. Jangan terlihat. Sekali terjerat, kita takkan selamat.

"Tetapi, ada satu peri yang menuntun mereka—pelaku penculikan Agatha."

Tangga berkeriut. Kami semua pun menoleh. Para pengurus membelalak terpana. Di sana, seorang gadis kecil kurus dengan rambut pendek menuruni tangga dengan langkah canggung.

"Agatha," panggil Sapada ke gadis kecil itu, yang buru-buru melompat ke sisi Arsen. "Selama penggeledahan, sebetulnya aku sudah menemukannya berkali-kali. Di bawah taplak meja makan saat kita makan siang, di belakang lemari arsip saat aku mencari berkas Arsen, lalu terakhir dalam lemari salah satu kamar."

Berkicau keras-keras, tidak ada yang mendengar. Cari suara sengal napas, dan pulang pada peri bunga yang mekar.

"Rossa," gumamku, teringat lemari besar di catatan rahasia Sapada. "Lemari di kamar Rossa."

"Ya!" Ketua Yayasan berseru. "Wanita itu menculik Agatha—"

"Anda tampaknya sudah tahu Rossa pelakunya." Sapada beranjak dari kursinya. "Tapi Anda tidak tahu cara mengeksposnya. Maka, Anda menyewaku, benar? Namun, alasanmu menyewaku bukan karena kau butuh detektif. Kau hanya butuh Sekar."

Aku berjengit. Bahkan Ketua Yayasan terlompat di tempatnya berdiri. "Apa-apaan tuduhanmu itu?!"

"Dengan segala hormat," kata Sapada tanpa rasa hormat, "izinkan aku menyelesaikan kalimat. Anak-anak yatim-piatu paling mudah diperdagangkan—tidak seorang pun merasa kehilangan mereka. Tidak ada keluarga yang mencari mereka. Lalu, jejakmu ditutupi oleh para klienmu. Anak-anak bukanlah musuh berat bagimu. Musuh terbesarmu adalah salah satu pengurus yang mencoba bersuara pada dunia luar atas tindakanmu. Rossa bukan anak yatim-piatu. Dia wanita dewasa yang memiliki keluarga dan kerabat di suatu tempat, tetapi cukup sial hingga bekerja di sini. Jika para perompak kasar itu datang untuk membereskannya, akan ada mayat, dan akan ada keluarga yang merasa kehilangan. Hanya masalah waktu sampai Aubade yang terpencil menjadi sorotan."

Ketua Yayasan kehilangan sikap tenangnya. "Berani sekali kau, Detektif—"

"Maka kau butuh seorang jurnalis untuk memberitakan hal yang sebaliknya—tentang pekerjamu yang menculik anak pantimu." Sapada menunjukku. "Yang kebetulan sekali, jurnalis itu selalu bersama seorang detektif."

Jurnalis dan detektif—kombinasi terbaik untuk menyingkirkan Rossa dan mengalihkan perhatian orang-orang dari isu utama: Agatha yang akan dijual pada keluarga Alto.

Aku merutuki diriku sendiri karena telah gagal melihat kemungkinan itu. Ketua Yayasan memang tidak bersalah atas hilangnya Agatha. Dia tahu Sapada tidak mungkin memaksakan tuduhan untuk sesuatu yang memang tidak dilakukannya.

Sapada melanjutkan, "Anak-anak bilang, Rossa hendak membantuku—artinya, wanita itu siap mengaku dan memberi tahu kebenarannya. Tapi, setelah interogasi, wanita itu menghilang."

Aku mengernyit. "Tunggu, pukul 19.00 tadi Rossa masih—"

"Wanita itu hanya berucap omong kosong," ucap Ketua Yayasan lantang. "Saya tak bisa membiarkannya mencemarkan nama baik saya di hadapan Anda, Detektif!"

"Jadi, di mana Rossa?" tanya Lattoya seperti akan menangis.

Seluruh mata terpaut pada Ketua Yayasan, seolah semua orang telah mengetahui apa yang mampu pria itu lakukan meski tiada yang berani menyuarakannya.

"Rossa melakukan segalanya dengan lamban, kulihat," ujar Sapada lagi. "Di saat anak-anak terbangun tengah malam, Rossa pergi ke bawah untuk membuat dua botol susu. Itu berlangsung dari pukul 22.25 sampai 23.00. Merebus air tak mungkin lebih dari lima menit. Asumsikan dia memanfaatkan waktu itu untuk membuka kunci pintu depan diam-diam agar Agatha kabur keluar, tetap saja itu terlalu lama. Ada orang-orang tertentu yang membutuhkan waktu ekstra—atau lebih tepatnya, napas ekstra untuk naik-turun tangga."

Sapada merogoh saku jaketnya lagi dan mengeluarkan sebuah inhaler. Lattoya membelalak.

"Saat asma seseorang kambuh, ada anjuran melakukan akupresur; yaitu menekan titik tertentu di bawah leher penderitanya dengan jari, atau memukul-mukul ringan punggungnya." Sapada memberi contoh kepada punggung Arsen sampai anak itu berjengit. "Anak-anak sering melihat Lattoya melakukannya pada Rossa. Dengan ini, bait terakhir 'Peri Hutan' menjadi masuk akal. Cari suara sengal napas—yang dimaksud memang Rossa."

Sapada memepet Ketua Yayasan, yang kini menghindari tatapannya.

"Kelelahan dan tertekan adalah sebuah pantangan bagi penderita asma. Anda tahu pantangan terbesar?" Suara pemuda itu merendah. "Terkurung tanpa ruang gerak atau lubang udara, selama satu jam saja bisa membahayakan nyawa—"

Ketua Yayasan tergopoh-gopoh ke arah lemari jam antik. Tangannya mencari-cari di antara serentetan kunci lain di sakunya. Saat pria itu menemukan kunci yang tepat, didapatinya engsel pintu lemari tersebut telah lepas. Pintu tidak terkunci dan langsung ambruk ke lantai.

Semua orang menahan napas saat melihat bagian dalam lemari jam yang kosong.

"Wanita itu lari!" Ketua Yayasan tergopoh lagi, tetapi para petugas kepolisian menghentikannya. "Kenapa kalian menangkapku?! Memang kenapa kalau aku hampir membunuhnya dengan menyekapnya dalam lemari itu?! Dia yang mengkhianati bosnya dan mencuci otak anak-anak ini! Pun aku masuk sidang, atas tuduhan apa?! Percobaan pembunuhan?! Aku akan lolos—"

"Anda telah mengakui sendiri," potong Sapada, "bahwa Anda adalah pelaku pembunuhan pegawai Anda, Rossa Lynn."

Semua suara di ruangan itu seperti terserap habis, kecuali detak jam yang nyaring.

Sapada mengerling inhaler, lalu menatapku. "Selain barang bukti, kau tahu apa lagi yang tak punya suara dan menjadi saksi bisu pada sebuah kasus, Sekar? Korban jiwa. Mayat."

Arsen terpaku, memo meluncur jatuh dari tangannya. Matanya berkaca-kaca. Agatha, sambil berlinangan air mata, memeluk lengan Arsen.

"Aku yang merusak engsel pintunya, tepat pukul 19.00, dua jam pasca interogasi selesai." Sapada mengakui. "Aku curiga karena kulihat anak-anak sering bersembunyi di sana. Tetapi setelah interogasi, pintunya terus terkunci. Lalu, hal lain yang membuatku tergerak untuk mencari ke sana ...."—Sekilas, matanya melirikku. "Intinya, Rossa sudah tidak bernapas saat aku menemukannya, dalam keadaan terikat dan mulut tersumpal. Sekar memanggil polisi, lalu para petugas ini mengamankan jasadnya."

***

"Apa jadinya tempat ini nanti?"

Tanpa menoleh, Sapada menjawabku, "Entahlah."

Bunyi sirene meraung. Si Tua Bangka digiring masuk ke mobil polisi. Para pengurus meratap dari depan pintu, membiarkan anak-anak yang baru bangun berlarian keluar.

Anak-anak itu menginjak rumput untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Anak berkursi roda menunjuk jembatan dengan pekik gembira, mengelu-elukan matahari terbit di ufuk timur. Tidak ada yang menggubris Ketua Yayasan, hanya beberapa anak yang terpana melihat mobil polisi.

Di tepi pagar, Lattoya menggendong Agatha yang tertidur. Arsen di sisinya, menekuri memo kecil dengan mata sembap dan tatapan menerawang.

"Arsen—yang tunawicara dan beda bahasa—suaranya malang lebih lantang ketimbang para pengurus panti ini," gumamku. "Bahkan Rossa, melalui nyanyian anak-anak ini, menyuarakan apa yang takut mereka suarakan."

Sapada merengut. "Bagaimana denganku?"

"Ya, ya, kau juga lumayan—kau mewakili Arsen bicara. Tapi, tentu saja kalau aku melihat berkas Arsen, aku pasti juga cepat menyadari perihal barat-timur itu."

Sapada menerawang ke hutan. "Tampaknya kau akan lembur malam ini."

"Hmm," jawabku. "Tapi setidaknya, aku bakal menyuarakan kebenaran, bukan drama penculikan yang dirancang Ketua Yayasan." Kulipat bibirku ke dalam. "Rossa ... memang menghambat proses adopsi Agatha dan menculik-nya. Andai kata Ketua Yayasan tidak membunuhnya, wanita itu yang berada dalam mobil polisi sekarang. Bukannya ini ironis sekali?"

Sepoi angin dari hutan menelusup, membawa sebuah bisik lembut yang familier. Bisikan yang kudengar tadi malam di dapur, dengan aroma seduhan teh lemon yang mendingin, tepat saat Sapada menemukan mayat Rossa.

Apakah menurut Anda burung-burung kecil itu bisa dibebaskan?

Aku menelaah anak-anak. Mereka masih menyanyikan peri-peri hutan yang mencoba menangkap mereka, tetapi kali ini tidak satu pun bersembunyi. Aku pun menggumam, "Ya."

Sapada mengerlingku. "Bicara dengan hantu lagi?"

"Mungkin aku harus kembali menulis artikel perkara supernatural di desa," kataku seraya menggamit lengan Sapada. "Kau bisa jadi Watson-ku untuk kasus macam itu."

Sang detektif melepaskan lengannya dari gamitanku, lantas berjalan pergi lebih dulu menuju mobil jemputan kami. Aku berlari kecil menyusulnya. Di belakangku, burung-burung kecil itu berkicau dengan bebas.

"Peri-peri muncul dari pohon!"

"Di atas jalan menuju jembatan!"

"Membawa aroma lemon!"

"Di mana Ibu Rossa?"

~ Komentar Anda sekalian (dalam bentuk apa pun) akan menjadi motivasi untuk Penulis.

~ Menekan bintang di bawah ini tidak akan membuat Anda kehilangan jari
👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro