Wayfarer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Magical Jackpot
January Event from W_Undercover

1. Ambil buku novel favoritmu

2. Buka halaman secara acak

3. Ambil kata pertama pada paragraf atas, kata kedua pad paragraf tengah, kata ketiga pada paragraf akhir

4. Kombinasikan 3 kata tersebut dengan 1 bunga favoritmu dan ketikkan ke wombo.art

5. Lukisan digital yang muncul adalah prompt sekaligus cover (boleh diedit) untuk ceritamu (cerpen, minimal 1000 kata)

:.:.:

Buku novel yang diambil: The Amulet of Samarkand dari the Bartimaeus trilogy

Kata kunci: Suara menyuruhnya mendadak melati (apa ini ;-;)

Ke Bahasa Inggris: The voice asked suddenly jasmine (wtf is this ;-;)

Art Style: Dark Fantasy

Hasil:

Cover:

WAYFARER

Science Fiction, Drama |
|| 1785 words ||

Writer's block terasa seperti batu kali besar yang tersangkut dalam batok kepala. Kata-kata menolak mengalir keluar dan ilham terjebak macet. Cara untuk mendorong dan menyingkirkan batu kali itu hanya dengan bahan bacaan, atau pengalaman baru yang menggerakkan imajinasi.

Ketika menemui jalan buntu dan deadline tiba di depan mata, kutemui sahabatku yang aneh. Kami tak pernah saling memahami, tetapi kami mencoba.

Abraham terkurung dalam sebuah bungker dan secara harfiah menghabiskan seumur hidupnya di sini—rumah bawah tanahnya yang aman, sangkarnya yang nyaman. Barangkali ketika Tuhan membagikan bakat mencipta dan berpikir, Abraham berdiri paling depan dan mengambil semuanya. Setelahnya, dia tak memperhatikan jatah apa-apa lagi. Jadi, ketika Tuhan membagikan ambisi atau kemampuan fisik sempurna atau kemampuan sosialisasi, pemuda itu melenggang pergi dan ogah melirik dua kali. Dia tak memiliki itu semua.

Daya serap otaknya luar biasa, kemampuan berpikirnya di atas rata-rata, dan memorinya tak terhingga. Namun, Abraham berhenti sekolah saat kelas 5 SD karena takut pada manusia. Orang tuanya angkat tangan, gagal paham pada makhluk yang mereka buat berdua. Masyarakat pernah mencoba menariknya keluar dari kegelapan, atau malah mendorongnya lebih dalam—tetapi Abraham seolah memiliki sistem kehidupan sendiri; maka, lingkungan sosial pun membiasakan diri untuk menganggap pemuda awal 20-an ini tidak bereksistensi di dunia.

Abraham hidup dengan kedua tangannya sendiri. Dari memulung barang bekas, mencipta produk baru. Bungkernya adalah surga teknologi ramah lingkungan yang kemungkinan besar masih belum ditemukan umat manusia untuk satu abad ke depan. Dia cari makan sendiri, membuat pakaian sendiri, mengolah limbah sendiri, mengawini dirinya sendiri—dia semandiri itu.

Hal luar biasa lainnya: sudah lima tahun belakangan Abraham hidup tanpa uang sepeser pun. Dia tidak butuh uang, dan uang tidak butuh dirinya. Pada satu waktu aku iri padanya, di waktu lain aku bersyukur aku bukan dirinya.

Penampilannya masih serupa pemulung. Hanya dengan celana pendek yang kelimannya sudah retas, baju kaus kelabu lusuh, dan kacamata bundar yang agak bengkok. Satu-satunya sandang nan mewah hanya topi baret yang menutupi rambut gondrong berminyaknya.

Aku masih heran kenapa dia mau berkawan denganku. Pun, aku bingung kenapa aku masih bergaul dengannya. Namun, kembali lagi—kami mencoba saling memahami.

"Writer's block?" tanyanya. Jarinya menaikkan kacamata bundarnya yang merosot di pangkal hidung. Tirai rambutnya yang ikal panjang menutupi cahaya intelek dari sepasang mata gelapnya. "Bagaimana kau biasa mengatasinya?"

"Membaca, jalan-jalan di udara terbuka."—Abraham bergidik ngeri pada ide yang kedua. "Atau mendapat inspirasi dari kenangan lama dan mimpiku."

Abraham menyeret langkah pada sesuatu yang tertutup terpal besar di ujung ruangan di antara konter dapurnya. Ketika dia menyibaknya, tampaklah sebuah dipan berseprai putih dan kotak logam besar seperti mesin fotokopi dengan panel-panel rumit yang jelas-jelas fungsinya tak berhubungan sama sekali dengan memperbanyak dokumen.

"Wah," kataku mencoba terkesan. "Dipan biasa dan mesin canggih yang entah apa."

"Wahai kawanku, Adam," katanya seraya tersenyum lebar. Dibenarkannya topi baretnya yang hampir terlepas. "Ini adalah penolongmu. Tadi kau bilang inspirasi bisa datang dari mimpi, bukan? Suatu ketika kau pernah berkata kau punya mimpi hendak menjadi penulis yang melegenda. Aku yang tak pernah punya mimpi macam dirimu sempat penasaran—bagaimana rasanya bermimpi besar macam itu? Segeralah aku membuat terobosan ini. Mesin ini bisa membawa penggunanya pada mimpi-mimpi paling liar dan gila, hingga mengungkap potensi paling tersembunyi di sudut otakmu Kau hanya perlu berbaring di sini, dan dipasangi wirehead ini."

Dia menarik keluar gulungan kabel dan mesin fotokopi canggihnya. Kabel-kabel itu seperti alat elektroensefalografi yang biasanya kulihat di film-film.

"Si 'Pengelana' akan membantumu mengatasi writer's block, mencarikanmu ide segar yang terjebak dalam pojokan otakmu." Abraham menepuk-nepuk mesin fotokopinya. "Ia akan merekam aktivitas elektrik dan mengukur tegangan dari arus ion dalam neuron otak, lalu menyusupi—"

"Tolong," mohonku. "Jangan pakai Bahasa Sanskerta."

Abraham mengernyit. "Yang barusan bukan Bahasa Sanskerta, kawanku. Tapi kalau kamu mau bercakap-cakap dengan bahasa itu—"

"Tidak. Tidak. Komohon. Jelaskan dengan kalimat yang gampang dimengerti saja. Tidak perlu teori. Secara praktikal saja—apa yang akan dilakukan mesin ini pada otakku?"

"Intinya, alat ini akan membuatmu bermimpi. Si 'Pengelana' akan membongkar kenangan lamamu—pengalaman nyata mau pun imaji yang nantinya bisa kau pilah dan kau jadikan bahan cerita. Bahkan, kau takkan memerlukan banyak riset. Si Pengelana akan merangsang memorimu, membuatmu menalar dengan lebih baik, dan aku akan sumbangkan sedikit pengetahuanku nanti agar semua bahan menulismu lengkap."

"Wah ...." Kali ini, aku takjub sungguhan. "Kau tahu berapa miliar yang mungkin kau dapat kalau mengenalkan alat macam ini pada dunia?"

Abraham menelengkan kepala. Topi baretnya hampir copot. "Untuk apa uang sebanyak itu?"

"Untuk ...." Kuhentikan diriku. Yang ada di hadapanku ini adalah Abraham, bukan manusia kebanyakan. Jadi, aku asal menjawab. "Yah, kau benar. Satu miliar tidak bisa dipakai apa-apa di tanganmu."

Ketika kami mulai bekerja, Abraham memberiku beberapa pil dan menginjeksi sesuatu ke punggung tanganku. Aku percaya padanya, maka kusembunyikan saja ketakutanku pada semua prosedurnya yang tampak paling berbahaya sekali pun.

"Waktumu mengelana mencari inspirasi tergantung pada sebanyak apa kau ingin membuat naskah," beri tahunya saat tengah berkutat di atas panel.

"Kalau bisa ratusan naskah," bisikku penuh damba. "Bisakah alatmu membuatku menghasilkan ratusan judul sekaligus? Aku ingin namaku melegenda sampai berabad-abad ke depan."

Abraham menghentikan aktivitasnya untuk sesaat. Keningnya yang besar mengerut di balik helaian rambutnya. "Kenapa?"

"Karena ...." Aku berpikir-pikir sejenak. "Ada kepuasan tersendiri ketika apa yang kucipta mendapat apresiasi. Atau saat aku mendapat pengakuan dari orang-orang."—Kau tentu takkan memahaminya, Abraham.

Abraham menautkan alisnya lagi. "Aku tak mengerti. Apa untungnya—"

"Saat ambisi tercapai," kataku. "Rasanya seluruh kerja keras kita tak sia-sia. Kita tak sekadar bernapas dan menumpang hidup di bumi, tapi kita punya kontribusi, entah untuk memberi harapan atau malah menghancurkan hidup orang lain. Apa pun, ada rasa di sana."

Sekali lagi, kau dan sistem hidupmu yang terisolasi takkan memahaminya.

"Aku tak mengerti," gumamnya seraya kembali berkutat dengan panel-panel, "kenapa kau bekerja sekeras ini untuk sebuah pengakuan dari orang-orang yang bahkan belum pernah kau temui seumur hidupmu. Tapi, tentu saja. Ratusan naskah. Ini akan butuh waktu lama."

"Namaku akan dikenal sebagai penulis genius nantinya," harapku lagi. Meski dia tampak tak peduli, Abraham tentu mendengarku. "Aku akan menyebut namamu juga sebagai kawan karibku, Abraham. Dan seratus tahun mendatang, bukuku akan menjadi karya klasik yang membuat umat manusia di masa depan terkesima—"

Sepertinya, saat itulah aku terlelap. Aku mengawang, mengelana. Seluruh ingatan masa kecil dan remajaku berseliweran. Seluruh imajinasi yang pernah mampir dan terlupa olehku kembali mengemuka. Tak ubahnya triliunan bintang yang memancarkan cahaya di atas kanvas kelam semesta, menari layaknya kupu-kupu sewarna langit di atas hamparan bunga liar yang beriak bak ombak laut. Aku terlena dalam pengelanaan itu.

Mahakaryaku—aku datang. Kau akan kunamai "Abraham Kelana". Terinspirasi dari sahabat karibku yang sulit dipahami, tetapi tetap kucoba untuk mengerti dirinya.

Begitu bangun, aku merasa ringkih dan letih. Lapar. Haus. Kering kerontang. Aku bangkit dan mendapati es batu di sekelilingku. Kepalaku terantuk kubah kaca.

Tahu-tahu dipan itu sudah berganti menjadi kapsul aneh. Aku di dalamnya, berselimut ratusan keping es batu yang tampaknya tak bisa mencair. Pakaianku berupa terusan berbahan anti air yang menempel longgar di badanku. Aku pasti terlalu lama terlena dalam alat itu sampai-sampai Abraham mengganti pakaianku.

Kuangkat pintu kaca kapsulnya dan keluar. Kudapati bungker Abraham yang kosong. Perabotnya lenyap, digantikan bangkai hewan pengerat yang nyaris memfosil dan bungkus makanan serta kerangka manusia—

Di sisinya, berserakan lembaran-lembaran kertas yang sudah menguning dimakan usia. Ada tulisan-tulisan di sana, tetapi beberapanya sudah tak terbaca. Namun, ada beberapa kertas yang masih tidak terlalu rusak, dan di sana tertera tulisan yang tampaknya ditulis dengan penuh pengharapan:

Kapan kau terbangun, Kawan?

Maaf, aku menyesal.

Apa pun yang kulakukan, semuanya sia-sia. Kau tetap tak terbangun juga.

Ada banyak sekali yang kau lewatkan, Kawan.

Aku berusaha berjalan ke dunia luar untuk mendapat pengakuan seperti yang kau bilang, tetapi pada akhirnya aku kembali kemari. Aku selalu kembali padamu.

Kuharap kau membuka matamu besok, Adam.

Sadarlah aku bahwa tulang belulang itu adalah apa yang tersisa dari Abraham.

Berapa lama aku tidur? Berapa lama aku mengelana di bawah pengaruh alatnya?

Segera saja aku terduduk sebelum kemudian merangkak ke arah sahabatku. Dari ukuran semua tulang ini, tampaknya dia mati di sini di usia muda. Tengkoraknya tertutupi topi baret usang robek-robek yang tak mungkin salah kukenali meski usia menggerogotinya. Aku menangis sejadinya. Aku berduka, kebingungan, dan linglung.

Layar monitor mesin Pengelana menampilkan hasil dari pengelanaanku—ide-ide segar dan eksentrik yang belum pernah dicetuskan siapa pun. Ratusan jumlahnya, sesuai permintaanku pada Abraham. Namun, rasanya semua itu tak penting lagi.

Di sisi layar monitor itu, tampak kertas-kertas catatan—tulisan tangan Abraham. Tampaknya, selama menungguku bangun, dia mencatat semua hasil pengelanaanku dan membuat draft-nya. Di bagian paling atas di antara semua catatan itu, tertulis: Kawan, aku masih mencoba memahami dirimu, seperti kau yang senantiasa memahami diriku. Cepatlah bangun.

Dengan langkah gontai, aku berjalan keluar. Cahaya matahari terasa ganjil, atau mungkin ini hanya efek dari lamanya aku tertidur.

Jalan raya tak tampak seperti jalan raya—mereka membentang di atas kepala. Ubin yang kupijak terasa tak stabil, lalu kusadari seluruh pijakan ini melayang di atas lautan yang tak berujung. Air kemilau di bawah sana, diarungi kapal-kapal raksasa yang benderang oleh cahaya lampu yang kurasa berlebihan. Gedung-gedung tinggi bergaya futuristik berdiri di atas petak-petak tanah yang mengambang pula di atas lautan ini, dijembatani jalan-jalan memanjang seperti yang kulalui sekarang. Tampak layar besar pada beberap gedung, menayangkan iklan produk-produk yang tak kuingat pernah ada. Salah satunya menampakkan tanggalan hari ini ....

Aku sudah mengelana selama satu abad penuh.

Terseok-seok aku berjalan sambil menggundah. Kepalaku sakit luar biasa. Orang-orang tampak berusaha menghindariku, beberapanya mengernyit jijik. Mungkin karena pakaian praktis mereka yang licin itu enggan bersinggungan dengan tubuh purbaku.

Seorang wanita kemudian menghampiriku dengan tatapan iba, menawarkan bantuan karena melihatku berjalan seperti orang pincang. Aku tak punya pilihan selain menerima pertolongannya karena rasanya seluruh organ dalamku seperti akan ambruk ke kaki.

Kami berhenti berjalan saat salah satu layar jumbotron di gedung menampakkan iklan sebuah karya klasik yang akan diangkat ke layar lebar. Itu ....

Itu mahakaryaku. 'Serial Pengelana'. Itu ideku.

"Oh, kau membaca karya klasik juga?" tanya wanita itu sembari mengamati ekspresiku. Baru saja ingin kusanggah dia bahwa aku adalah Adam, yang menelurkan karya klasik itu, walau aku sendiri masih terlalu pening untuk memikirkan bagaimana bisa aku menulis buku selama 100 tahun tertidur.

Layar itu kemudian menayangkan wawancara dengan seorang pemuda kurus tinggi—penulis dari karyaku. Seketika itu juga aku merasa mati di dalam.

"Saya mencoba memahami sahabat terbaik saya," ungkap pemuda jangkung itu, masih berambut gondrong dan tetap lusuh. Dari tanggalan dokumentasinya, wawancara itu dilakukan 90 tahun yang lalu. "Saya ingin merasakan ambisinya, berjalan dengan sepatunya, dan menatap dunia melalui lensa matanya. Jika kau melihat ini, Adam, wahai sahabatku, aku sedang dalam perjalan untuk memahami dirimu. Karena kau selalu mencoba memahamiku, sahabatmu yang aneh ini."

"Abraham," desah wanita di sebelahku dengan nada memuja. "Penulis yang genius—dan eksentrik. Penampilannya yang sederhana tapi unik itu sempat jadi tren selama bertahun-tahun kala itu. Karya klasiknya, Adam Pengelana, adalah yang terbaik."

~ Komentar Anda sekalian (dalam bentuk apa pun) akan menjadi motivasi untuk Penulis.

~ Menekan bintang di bawah ini tidak akan membuat Anda kehilangan jari
👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro