Breaking the Norm

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Fantasy | Teenfiction |

|| Turnamen NPC 2022 ||

:Tema:
METANOIA

:Latar:
TAMAN BUNGA

---***---

| E-Jazzy | 1424 words |

Ada tiga bunga di hadapanku—bloodroot, wolf's bane, dan belladona. Ketiganya disajikan di atas daun maple. Karena ini upacara sakral, aku harus memilih salah satu bunga dan memakannya. Fungsinya? Katanya, sih, menentukan nasib kami di masa depan, atau membuka jalan bertemu jodoh. Menurutku, omong kosong. Mungkin pencetus upacara ini cuma memiliki kegemaran aneh melihat sekumpulan remaja mengunyah bunga mentah.

Peserta lain juga begitu—memilih satu bunga, menjejalkannya ke dalam mulut, mengunyah, menelannya, dan berusaha untuk tidak memuntahkannya kembali ke dalam piring daun maple.

Aku menjadi satu-satunya anak dalam sejarah yang mengabaikan ketiga bunga itu dan malah memakan piringnya.

***

Pada upacara kedewasaan, anak yang telah menginjak usia 15 tahun dikumpulkan di Elysium—taman bunga sakral tempat bertemunya Dewa Orph dan Dewi Eury ribuan tahun silam.

Inti dari upacara ini adalah acara makan-makannya, tetapi aku tidak sedang membicarakan meja prasmanan di mana kami boleh memenuhi piring dengan daging panggang sedap dan buah-buahan segar. Acara makan-makan yang kumaksud adalah saat kami dihadapkan pada tiga jenis bunga berbeda dan diharuskan memakan salah satunya.

Semua anak berpakaian seragam serba putih. Gaun dengan sandal bertali untuk anak perempuan dan jas dengan sepatu pantofel untuk anak laki-laki.

Total 30 muda-mudi berbaris di hamparan rumput hijau yang dari wanginya baru dipangkas tadi pagi, dinaungi rangka atap lengkung yang dirambati alamanda kuning. Sisi-sisi lahan dikepung pagar hidup hortensia, mengular ke podium berhias anak-anak pohon dan wisteria, di mana singgasana para tetua dan Saintess berada. Gerbang yang dirambati morning glory dijaga seorang pria.

Setelah beberapa kata sambutan dari Saintess dan pidato-pidato menjemukan para tetua, kami memanjatkan doa-doa untuk dewa-dewi. Acara makan-makannya akan dimulai, yang nantinya ditutup dengan acara dansa.

Aku cuma menggerakkan mulut seadanya saat memanjatkan doa-doa. Buat apa berdoa untuk dewa-dewi?! Yang mengisi meja makanku adalah Ayah dan Ibu. Dewa-dewi tak ada andil apa-apa selain menjerumuskanku dalam acara kunyah-kembang tak berguna ini.

Saat para peri muncul membawa meja-meja melayang di atas kepala mereka, aku sudah merasa tidak enak. Kubayangkan tekstur lunak berambut halus dari kelopak bunga, aromanya yang lebih cocok buat parfum, dan sisa-sisa duri yang luput dicabut. Huek! Lidahku histeris dalam rongga mulut.

Para peserta membuka barisan, membentuk lingkaran menghadap ke dalam. Jauh di seberang sana, berhadapan denganku, ada Hal—cowok tampan berkulit kecokelatan dan rambut sehitam arang. Aku naksir dia diam-diam, tetapi mendapatkan hatinya adalah hal paling mustahil nomor tiga di dunia, setelah bersin dengan mata terbuka dan menjilat sikumu sendiri.

Meja-meja mendarat di hadapan masing-masing anak. Banyak yang dapat bunga beracun, atau yang baunya membuat alis gosong. Anehnya, sejak tadi aku seperti membaui aroma karamel di sekitarku.

Peri yang membawakan mejaku tingginya hampir dua meter, berambut pirang lurus sepunggung, tatapan matanya angkuh. Lya di sebelahku mendapatkan peri yang terus-terusan cekikikan karena bunga yang dia dapat semuanya buruk: sea holly yang mirip bulu babi ketumpahan cat biru dan bau kotoran, crown imperial yang aromanya tak kalah mematikan seolah ia habis keluar dari bokong sigung, serta euphorbia yang masih berbatang dan bergetah.

Peri laki-laki Hal di seberang sana sepertinya melontarkan ejekan pada pemuda itu. Tangan Hal mencengkram mejanya seperti hendak memakainya untuk menempeleng perinya. Kemudian, mata kami bertemu. Garis alisnya tajam, tetapi dia punya sorot hangat. Bola matanya sewarna kopi pekat.

Hal menggerakkan bibirnya seperti membisikkan sesuatu padaku. Walau jarak kami jauh, kuusahakan sebaik-baiknya membaca gerak bibirnya. Gagal, jelas saja. Yah, kutebak dia sedang mengejek perinya. Aku membalasnya dengan mengedik ke arah periku sendiri sambil memeyot-meyotkan bibir. Pemuda itu hampir tertawa. Kuluman senyumnya menambah rasa cintaku padanya.

Salah satu tetua mempersilakan kami memilih bunga. Kedengarannya seperti vonis potong lidah bagiku. Dia menambahkan bahwa kecil kemungkinan kami bakal mati. Ras kami sudah sekian ratus generasi hidup dengan segala jenis tumbuhan beracun. Jadi, paling parah sih kami hanya akan kena gangguan pencernaan atau ruam kulit. Dia mengatakan itu seolah-olah kami bakal menikmati kena diare.

Lya di sampingku mencuri lihat ke arah mejaku. Dia merengek. "Key ...."

"Lya," balasku. "Senang mengenalmu."

Lya yang malang. Dalam hati aku menyemangatinya memilih sea holly. Walau bentuknya bakal membuat kerongkongannya berlubang-lubang dan baunya aduhai, itu lebih baik daripada coba-coba dengan bunga beracun. Namun, dia menjumput euphorbia. Rupanya kawanku lebih senang mati dengan gaya dibandingkan bertahan hidup dengan bau mulut mirip kotoran anjing.

Para peserta mulai membuat pilihan. Ada yang menangis. Ada yang cengengesan, mungkin sakaw karena bunga yang dipilihnya bikin mabuk.

Pilihanku ada bloodroot, wolf's bane, dan belladona. Hmm, asyiknya mati pakai bunga yang mana, ya? Mungkin aku bisa coba peruntunganku dengan bloodroot. Setidaknya, ini herba.

Tanganku bergerak, tetapi akhirnya aku mengambil dan memakan daun maple yang menjadi piringnya. Kelihatannya lebih enak.

Peserta lain berdengap. Periku tampak geram dan mengayunkan tangannya ke pipiku.

"Penghinaan!" geramnya lantang. "Kau anggap apa upacara suci ini?"

Para tetua hanya berdecak-decak. Namun, sang Saintess berdiri. Rambut putihnya bergelombang diterpa angin sepoi-sepoi. Dia buka suara, "Hal dan Key—sepertinya kalian sudah bertemu jodoh masing-masing."

Kini semua orang menoleh pada Hal. Pemuda itu juga tidak memilih bunganya—semuanya berhamburan di rumput. Dia sedang menyentuhkan ibu jarinya ke bibir, menjilatnya sedikit, seolah dia habis memakan sesuatu yang enak. Mejanya hilang.

Mejanya.

Lalu, aku tersadar. Meja-meja ini sepenuhnya dari permen, ada rasa kayu manis juga.

"S-Saintess—" Periku tergagap. "Mereka—"

"—memiliki pandangan dan intuisi yang unik." Saintess tersenyum geli. "Unik, tapi tidak salah. Sebelum melanjutkan ke acara dansa, kau punya sesuatu untuk dikatakan kepada gadis muda itu?"

Sementara periku menyembuhkan pipiku dan menggumamkan maaf, mataku dan Hal bertemu lagi. Kali ini, aku mengerti gerak bibirnya: Mau berdansa denganku?

***

Ini dansa terbaik karena ini pengalaman dansa pertamaku dan satu-satunya.

Usai upacara, Saintess mengajakku dan Hal ke sisi lain Elysium—jalan berbatu putih berbingkai hamparan semak lilac. Sang Saintess membuka percakapan dengan sebuah pengakuan: "Saya aslinya tiga orang."

Hal dan aku menganga. Barangkali sang Saintess kerasukan lagi seperti hari pertama dirinya dibawa ke altar suci dan ditunjuk sebagai—

Oh. Aku paham.

Saintess disebut "manifestasi dewa-dewi". Beliau berkomunikasi dengan alam, bertransaksi dengan makhluk-makhluk magis, dan menjadi figur keramat bagi para tetua.

Sosok sang Saintess bergetar dan seperti terbelah dua, lalu sesosok pria muncul di sisinya. Itu pria yang sebelum ini kulihat berjaga di gerbang.

"Dewa Orph," kata Hal seraya berlutut. Kemudian, sambil menatap Saintess, Hal mengumumkan, "Dewi Eury."

Sosok dewata mereka menyatu lagi menjadi Saintess. Jadi, maksudnya tiga orang itu adalah sosok manusia yang tubuhnya ia pakai, Dewi Eury, dan Dewa Orph. Pantas kadang Saintess cekikikan sendiri. Pasti berat hidup bertiga dalam satu tempurung kepala yang kecil.

"Bagaimana pendapatmu," ujar sang Saintess lagi, "jika kau menjadi Saintess yang berikutnya?"

Aku melirik Hal. Dia balas melirikku. Saintess sendiri menatapku penuh antisipasi. Lalu, kusadari pertanyaan barusan itu buatku.

"Saya?" Kulambaikan tanganku menepis. "Tidak. Maaf. Saya ateis."

Saintess tertawa kecil. Suaranya mirip lonceng mungil merdu. Jari tangannya yang lentik memutar-mutar ke arahku. Mendadak, akar-akar gemuk menerobos keluar dari bawah tanah berbatu, melilit sekujur tubuhku. Hal terlompat dan berusaha menarik-narik akar dariku dengan percuma.

"Dewi Agung," cerocosku sebelum tulang punggungku remuk. "Sebuah kehormatan untuk menjadi tiga orang dalam satu badan. Sebagai hamba yang beriman, saya akan jadi Saintess dengan senang hati."

Akar-akar itu terurai dan kembali masuk ke dalam tanah. Saintess tersenyum. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

Akar-akarmu yang kesetanan. Namun, kurasa tak bijak menjawab demikian. Lagi pula, jawaban Saya ateis memang tidak relevan setelah tahu bahwa yang berdiri di depanku adalah Dewa-Dewi itu sendiri. Lalu, aku terpikir ucapannya tadi ... Unik, tetapi tidak salah.

Kalau di hadapanmu cuma ada bunga yang tidak bisa dimakan, daun maple dan meja dari permen adalah pilihan paling logis. Hal dan aku mematahkan tradisi, tetapi kami tidak salah. Saintess menegaskan itu dan menangani situasi. Meski penganut dan hamba-hambanya seringkali menanggalkan logika demi menyembahnya, Dewa dan Dewi ini justru menunjukkan bahwa menjadi logis adalah salah satu esensi diri mereka.

"Saya introspeksi diri." Aku mengakui dan membungkuk hormat. "Saya akan mengabdi sepenuhnya pada Anda."

Hal ikut membungkuk. "Saintess, ada alasannya saya memilih meja itu—selain karena saya mengetahui bahannya. Saya pernah membaca kitab kuno dan di dalamnya tidak ada perintah khusus mengonsumsi bunga pada upacara kedewasaan."

Aku terkejut. "Serius?"

Hal mengangguk. "Para peserta semata diwajibkan memilih bunga, atau daunnya, atau akarnya di Elysium. Apa yang hendak mereka lakukan padanya, entah dikonsumsi atau disimpan sampai mati, akan menentukan takdir mereka. Jadi, Saintess, apa yang berubah? Mengapa upacara ini berubah jadi ajang makan bunga?"

"Ada yang memulai—orang-orang yang mendewakan keindahan dan kecantikan." Saintess menjawab. "Mereka tidak menyukai akar yang kotor dan dedaunan yang tidak menarik. Mereka memilih bunga karena kecantikannya. Orang-orang tanpa pendirian pun mengikutinya tanpa bertanya. Dari sana, tradisinya berbelok dengan sendirinya. Yah, tidak ada yang salah pula dari tradisi baru ini. Semua orang bebas memilih. Namun, semuanya jadi terobsesi dan tepaku pada satu aspek saja. Terbentuklah tradisi yang, sekonyol apapun, tak ada yang berani melanggar karena takut dipandang menyimpang."

Tekanan sosial. Masuk akal. Pasti ada banyak peserta yang menyadarinya selama ini, tetapi tak satupun punya keberanian mengunyah piring dan mejanya, kecuali aku dan Hal.

"Anda tahu selama ini?" tuntutku. "Kenapa tidak mengatakan apa-apa?"

Saintess menangkupkan tangannya ke pipi. "Aduh, bagaimana, ya. Lucu saja. Cara kalian menangis dan ketakutan—itu imut sekali. Sepertinya saya punya kegemaran aneh melihat sekumpulan remaja mengunyah bunga mentah."

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro