The Victim

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Teenfiction | Drama |

|| Ini nyelip di pc saya, entah udah pernah saya publish atau belum ._. ||

---***---

| E-Jazzy | 2297 words |

"Apa yang kamu takutkan?"

"Kamu."

"Aku?"

"Ya, kamu. Aku takut padamu."

***

Segalanya bermula saat kami kelas 1 SMA. Hari pertama sekolah, aku duduk di depannya, sendirian. Dia menotol bahu seragamku, mengajakku berkenalan. Satu kali lihat saja aku tahu Meri anak yang supel. Dia kemudian mengenalkan kawan sebangkunya padaku, Vera, yang tampak sama pemalunya denganku.

Meri bertanya dengan luwesnya kenapa aku duduk sendirian.

"Cuma aku sendiri ...." Jawabanku menggantung. Aku selalu lambat berbicara saat gugup.

"Cuma kamu sendiri yang berasal dari SMP-mu di sini?" Meri menerka.

Aku mengangguk. "Di sini ... aku belum kenal—"

"Kamu belum kenal siapa-siapa?" Meri tertawa renyah. Dia punya jenis suara tawa yang menular. "Nih, kita sudah kenalan. Tapi, aku belum tahu namamu."

"Rona ...." Aku memberitahunya.

"Namamu bagus banget," katanya, membuatku merasakan secercah harapan akan kelas baru ini.

Sebelum aku bisa merespons, dua anak lain menghampiri Meri. Mereka mulanya mencoba berakrab-akrab denganku, lalu akhirnya fokus ke Meri—mengobrolkan siapa saja siswa SMP mereka yang masuk ke sekolah ini. Lalu, mereka mulai heboh membicarakan sesuatu yang tak kupahami—teman-teman lama mereka, kakak kelas, sampai ke masalah idola dan semacamnya. Seolah tak pernah bicara padaku, Meri berdiri dan pergi bersama kedua temannnya.

Tertinggal aku berdua dengan Vera, sesama pesies yang mustahil memulai percakapan. Tak ada yang kami lakukan selain bertukar senyum canggung, lalu pura-pura sibuk dengan ponsel masing-masing.

***

"Kamu ikut reuni yang kali ini, Rona? Sudah tiga kali kamu enggak datang, lho."

Kugigiti ibu jariku. Tanganku yang lain mencengkram ponsel di telinga. "Kayaknya aku nggak bisa—"

"Kamu enggak bisa menghindar selamanya." Vera berucap. "Kamu harus menghadapi dia, Rona."

Ujung ibu jariku berdarah di bawah apitan gigi. "Aku enggak menghindar! Aku ada kesibukan—"

"Acara keluarga lagi?" Vera menebak. "Tapi untuk yang satu ini, mau enggak mau kamu harus datang, 'kan? Alasan kamu selalu sama, dan semuanya tahu kamu hanya menghindar. Bahkan Kak Naresh mulai curiga."

Kakiku mulai gemetaran. Sekujur tubuhku dibungkus keringat dingin. "K-kalau kamu bisa kasih Kak Naresh pengertian bahwa aku enggak bisa ke reuni—"

"Aku enggak mau ikut campur lebih jauh. Walau Kak Naresh itu sepupuku, tapi yang pacaran itu kalian. Dia mau ikut datang ke reuni SMA kita buat menemani kamu karena dia cemas sama kamu! Dia ingin kasih kamu support. Kamu yang harus bicarakan ke Kak Naresh langsung." Vera menarik napas. "Tapi saranku, Rona, kamu datang aja—"

Kututup teleponnya sepihak. Aku tidak mau dengar. Aku tidak mau tahu. Aku takut ....

***

"Ron Weasley!"

Senyumku dipaksakan, tetapi aku harus ikut tertawa. Kalau tidak, aku bakal dicap baperan.

"Eh, sudah, dong!" Meri berseru pada anak-anak cowok yang masih mengejek namaku. "Namanya, tuh, bagus banget! Rona! Kenapa diejek Ron Weasley?"

"Lah?" Salah satu anak cowok terkekeh-kekeh pada Meri. "Bukannya kamu sendiri yang sering panggil dia 'Ron, Ron' begitu? Kalau bukan Ron Weasley, apa lagi?"

"Ronaldo-wati," celetuk salah satu anak cewek di pojok depan. Kelas pun jadi riuh dengan suara gelak tawa. "Bercanda, ya, Rona! Namamu bagus, kok."

Entah sejak kapan, pandanganku terhadap Meri berubah. Aku dulu mengira dia anak yang akan jadi teman baikku, tipe anak yang akan mendukung sahabatnya saat kesusahan, bukan yang akan ikut tertawa saat aku merasa tidak nyaman.

Siapalah aku berharap demikian? Meri disukai semua orang. Semuanya pasti mengharapkan hal serupa tentangnya. Dia lucu, periang, menyenangkan. Apa pun yang keluar dari mulutnya selalu dianggap asyik. Bahkan hal-hal yang seharusnya menyinggung, Meri mampu mengatakannya dengan cara yang membuatnya terdengar kocak.

Dulu, aku sendiri menganggapnya demikian. Sekarang tidak lagi.

"Muka dua."

Aku menoleh ke belakang. Vera melirikku sedikit. Aku bertanya padanya, "Apa katamu tadi?"

"Dia muka dua." Vera menunduk dalam-dalam, tampak malu sekaligus ketakutan. "Jangan bilang-bilang aku ngomong begini."

"Tidak akan, kok." Kuberanikan diri untuk menepuk kursi di sebelahku yang masih kosong. Aku masih duduk sendirian karena anak lainnya cepat bosan denganku. "Kamu mau duduk di sini dulu?" Kulirik Meri yang masih sibuk bercanda dengan yang lainnya. "Kita cerita-cerita."

***

"Kamu harus hadapi ketakutanmu," kata Kak Naresh. Tangannya menarikku menuju restoran yang sudah di-booking untuk reuni. "Aku akan temani sampai akhir."

Kami sudah di sini. Tinggal masuk. Rasanya aku akan pingsan di depan pintu.

"Kalian sudah dewasa. Semua anak sekelasmu pasti sudah sadar apa yang Meri pernah lakukan ke kamu itu salah. Kamu harus hadapi dia. Dia yang merundungmu. Kamu jangan takut."

Sudah setahun kami berpacaran. Mulanya, aku memuja sikap protektifnya. Aku suka saat Kak Naresh mencemaskanku. Sekarang, perhatian dan kalimat sokongannya mulai menggangguku. Aku tidak mau dia ikut campur sejauh ini. Tahu apa dia tentang masalahku? Tahu apa dia tentang ketakutanku? Tahu apa dia ....

Tentu saja dia tidak tahu.

"Kak." Aku menarik tangannya. "Kak Naresh, aku ingin bilang sesuatu dulu sebelum kita masuk ...."

***

"Ada apa, nih?" Husna yang kebetulan lewat langsung duduk di depanku. "Meri ngomong apa tadi? Aku enggak bermaksud menguping, tapi aku telanjur dengar sekilas dan jadi penasaran."

"Meri, waktu main ke rumah Vera, pernah bilang begini ...." Syifa yang duduk di depanku berbisik, matanya mengawasi pintu diam-diam, di mana Meri masih cekikikan dengan kakak kelas yang ditaksirnya. "Meri bilang, Kok, aku cuma dikasih air putih? Kalau di rumahku, pasti kusuguhkan yang mahal dan enak. Itu, 'kan, jahat banget. Harusnya Meri tahu kalau Vera itu ..."—Syifa menurunkan volume suaranya lagi, takut didengar Vera yang duduk di belakangku dengan telinga tersumpal headset—"Kalau Vera itu anak kurang mampu."

Husna berdengap. "Ya, ampun, sama teman sebangku sendiri dia begitu?"

Aku menelan ludah. Aku tidak tahu bagaimana bisa menyebar secepat dan sebrutal ini, tetapi cerita-ceritaku dan Vera sudah didengar hampir semua anak sekelas. Dan ceritanya melenceng jauh. Yang sebenarnya terjadi adalah, saat Meri ke rumah Vera, Vera merasa malu karena hanya menyuguhkan air putih. Vera yang merasa rendah diri sempat berkata, "Kalau di rumahmu, pasti tamu dikasih yang mahal-mahal dan enak-enak, ya?"

Menanggapi itu, Meri berkelakar: "Enggak. Kalau menjamu tamu, kami keluarin sama kulkas-kulkasnya."

Sejujurnya, aku menganggap itu lucu, tetapi Vera tidak. Vera memang agak sensitif.

Nah, aku memang sempat cerita ke Dianni tentang Vera yang tersinggung dengan ucapan Meri. Saat itu Dianni mengajakku mengobrol, dan aku yang membosankan ini tidak punya bahan obrolan, jadi aku menyampaikan gunjingan Vera tentang Meri, tapi aku menceritakannya sesuai kenyataan. Sekarang, dari mulut ke mulut, ceritanya malah berubah. Aku harus meluruskan ini.

"Tahu, enggak," kata Husna kemudian, "kalau dipikir-pikir, Meri kadang bercandanya kelewatan. Dia bikin Rona diejek Ronald Weasley, tapi setelahnya sok-sokan membela."

Mulutku terkatup. Meri sebetulnya sudah meminta maaf tentang yang itu. Dia juga betul-betul berhenti memanggilku "Ron" sekarang. Namun, kudapati diriku mengangguk. "Meri itu ... muka dua."

"Iya, lho! Aku juga selama ini berpikir begitu." Syifa menyambar. "Pernah ada kejadian ...."

Semua ini jadi berbuntut panjang. Teman-teman sekelas masih berteman dan bercanda dengan Meri, tetapi kemudian mereka datang kepadaku dan Vera untuk membicarakan keburukan Meri di belakang punggung gadis itu. Semua keburukan yang kami obrolkan ... aku bahkan tak percaya ada separuhnya saja yang benar. Ada kejujuran di sana, tetapi sebagian besarnya dipoles dusta dan dilebih-lebihkan.

Namun, kudapati diriku merasa lebih betah di sekolah sekarang. Teman-teman sekelas mulai mendekat padaku, menunjukkan simpati, memuji kesabaranku terhadap Meri. Dengan lancar aku mencurahkan isi hatiku, dibubuhi sedikit bumbu untuk membuat mereka bertahan di sisiku. Meri pernah berkata ini padaku. Meri pernah begitu pada si Anu. Meri tidak selugu itu.

Tiap kejelekan Meri yang terucap dari mulut mereka terasa seperti skor tambahan buatku.

Vera akhirnya pindah duduk denganku. Meri sempat syok, tetapi dia menutupinya dengan candaan: "Ya, sudah, enggak apa-apa. Sekarang aku bisa rebahan di dua kursi—yeay!"

Itu adalah kelakar terakhir yang keluar dari mulutnya. Sejak itu, perlahan-lahan Meri menarik diri. Dia jadi sering duduk menelungkup dengan lengan terlipat di atas meja, dan kami jadi lebih berani membicarakannya.

"Ada cewek yang centil sama kakak kelas waktu awal semester, lho," ujar Syifa padaku. Meri pasti mendengar karena dia tepat di belakangku. "Terus, Rona tahu enggak? Kakak kelas itu sekarang malah pacaran sama yang lain, lho! Pasti malu banget tuh cewek, sudah cari muka, malah ditinggal pas sayang-sayangnya."

Aku tahu dia membicarakan Meri. Aku tahu itu bukan salah Meri. Aku tahu memang si kakak kelas yang pelesiran ke adik kelas. Dan kakak kelas itu pernah PDKT ke Syifa juga—karenanya gadis ini diam-diam marah saat si kakak kelas malah mendekati Meri setelahnya. Meski tahu kebenarannya, dan sadar bahwa Syifa saat ini hanya dikendalikan emosi sesaat, tetap saja kudapati diriku cekikikan dengan tampang polos, "Siapa, sih? Ceritain, dong!"

Di penghujung semester satu, Vera berkata padaku, "Rona ... tentang kalimat Meri waktu itu, setelah kurenungi lagi, kayaknya aku saja yang terlalu sensitif. Dia cuma bercanda untuk meringankan hatiku. Dia tidak pernah mempermasalahkan apa yang kusuguhkan buatnya saat main ke rumahku."

Kukatakan pada Vera bahwa dia tidak perlu terlalu memikirkannya. Kami korbannya di sini.

Sampai kenaikan kelas, Meri tidak punya teman sebangku. Tidak ada yang mau sekelompok dengannya saat tugas. Ketika guru memasukkannya ke satu kelompok, para anggota memperlakukannya seperti beban tambahan.

Setelah pembagian raport, Meri menghampiriku. Aku telah menyiapkan segala argumen kalau dia mau mengekspos beberapa cerita bohong yang tersebar di luar kendaliku. Bukan salahku dia dikucilkan. Namun, gadis itu justru tersenyum. Matanya bengkak. Aku tahu dia menangis hampir tiap jam istirahat. Barangkali dia juga menangis di malam hari—aku pernah berada di posisinya dahulu kala, saat aku masih kesulitan berteman.

"Rona," kata gadis itu. "Kita enggak sekelas lagi setelah ini karena beda jurusan. Aku cuma mau bilang, aku minta maaf kalau ada candaanku yang pernah menyinggungmu."

Aku tidak bisa merespons sampai Meri berbalik pergi dariku.

Belakangan kuketahui bahwa Meri pun meminta maaf pada Vera, dan Vera balas meminta maaf padanya. Mereka menangis, lalu berbaikan begitu saja. Aku agak terlambat mengetahuinya, tetapi rupanya Meri dan Syifa juga berbaikan dengan cara yang hampir serupa. Lantas, kenapa Meri tidak bisa berbaikan denganku?

Aku menyangkalnya saat itu, tetapi hati kecilku tahu bahwa, pada momen itu, Meri-lah yang pergi sambil mengangkat wajah dengan bangga dan hati lega, bukan aku.

***

"Kak Naresh, sebetulnya—"

"Oh, Rona! Akhirnya datang juga!" Syifa menarikku masuk. Husna dan yang lainnya mengerubungi Kak Naresh, lalu menggodaku betapa kini aku punya pacar cakep.

"Kamu punya teman-teman yang baik, Rona," kata Kak Naresh, setengah kebingungan, setengah lega. "Tampaknya kamu enggak perlu khawatir lagi sama perundungmu itu, 'kan?"

"Perundung?" Husna bertanya. Matanya menatapku. Sudut bibirnya berkedut sedikit, mungkin mencoba memasang senyum, tetapi gagal.

Dadaku mencelus. Kakiku terasa kebas. Jelas saja mereka sudah sadar. Kami tidak akan berumur 15 tahun selamanya. Mulut-mulut masih berbicara. Bumbu-bumbu yang kutabur mulai menjadi pahit di lidahku sendiri.

"Perundung apanya?" Syifa terkekeh pahit sambil menggeleng-geleng. Tatapan bersahabatnya padaku lenyap, digantikan lirikan lewat sudut mata. "Jadi, begini, lho, Kak—pernah ada salah paham ... yah, susah juga kalau cuma dibilang salah paham. Kami sendiri sebetulnya tidak tahu mana yang benar. Jadi—"

"Kalau di reuni, biasanya kita menyombongkan kerjaan dan pasangan, 'kan?" ujar suara di belakangku. Aku kenal suaranya yang menyenangkan dan tawa yang menular ini. "Eh, Wira sekarang jadi tentara, lho!"

Aku berbalik, mendapati Meri dalam balutan baju terusan cokelat elegan, rambutnya dipotong sebahu.

"Cocok betul—namanya Wira, sekarang dia betulan jadi 'wira'." Meri menyengir sambil menunjuk mantan ketua kelas kami yang terkekeh-kekeh malu. "Terus ... Syifa jangan-jangan buka apotek, ya, sekarang?"

Syifa tertawa dan melupakanku sepenuhnya. "Mentang-mentang namaku Syifa, gitu?"

Yang lain mulai mengerubunginya. "Meri, kamu masih lucu kayak dulu!"

Dirinya bagai magnet dan menarik semua orang ke arahnya. Dia tidak bawa pacar cakep, tidak membawa-bawa kisah masa lalu untuk menarik simpati. Meri hanya jadi Meri.

Aku dan Kak Naresh duduk berdua dengan canggung. Bahkan Vera terus berada di antara teman-teman yang lain, mengobrol tentang pengalaman mereka menjadi ibu. Tak ada yang melirikku dua kali.

***

"Kenapa kamu berusaha membelaku?" Aku segera menanyakan itu pada Meri sebelum dia pulang dari reuni. Kami kini di lahan parkir yang sepi, berdua saja. "Aku tahu kamu senang melihatku seperti tadi!"

"Kenapa aku harus senang?" Meri balik bertanya. "Rona ... mungkinkah kamu dulu merasa senang waktu melihatku dipojokkan? Makanya kamu mengira aku senang melihatmu seperti tadi, hampir dipojokkan oleh Syifa?"

Ayo katakan, kusemangati diriku sendiri. Bibirku bergetar. Bahwa cerita bohong itu bukan salahku—

"Syifa dan Husna meminta maaf padaku waktu kita lulus," kata Meri tiba-tiba, "Vera dan aku sudah berdamai. Aku menghampirimu waktu kenaikan kelas—kamu tidak bilang apa-apa. Rona, apa menurutmu, kamu itu korban bully dan akulah perundungnya?"

Pada saat itulah aku meledak. "Iya! Kamu enggak tahu rasanya enggak punya teman karena dianggap membosankan, 'kan? Kamu anak orang kaya! Kamu cantik! Kamu—"

"Kamu kira, perundungan cuma menimpa orang jelek, pendiam, miskin, bodoh, dan sebagainya?" Meri berjengit. "Ataukah kamu merasa bahwa orang jelek, pendiam, miskin, dan bodoh memang pantas di-bully? Jadi, kamu menganggapnya lebih wajar kalau perundungan cuma menimpa golongan tertentu?" Meri menunjuk ke dalam, di mana Vera masih betah duduk mengobrol dengan teman-teman perempuan yang sudah bersuami. "Aku enggak akan pernah bilang Vera miskin—bagiku, itu tidak ada hubungannya. Dia dulu juga sependiam kamu. Apa dia di-bully karena itu? Aku kaya atau apalah—tidak ada hubungannya. Kenapa aku dulu dikucilkan? Kenapa teman-teman kita menggunjingkanku di belakang? Rona, kamu pasti tahu kenapa."

Aku tersaruk mundur saat Meri melangkah mendekatiku.

"Kamu pernah takut masuk sekolah sampai demam? Kamu pernah menangis di WC perempuan sampai jam istirahat habis? Kamu pernah kesulitan tidur malam-malam, memikirkan kenapa teman-teman sekelas sering cekikikan di belakang punggungmu? Aku pernah. Aku mati-matian mencari salahku di mana." Meski matanya berkaca-kaca, Meri mengangkat dagunya. "Aku masih berpikir kalau namamu cantik, Rona, dan aku sempat menyesal kita tidak bisa akrab. Tapi setelah kupikir lagi, tidak masalah. Aku masih bisa punya teman lain, yang tidak membuat hari-hariku jadi neraka. Satu-satunya penyesalanku adalah aku terlambat menyadari itu."

Telapak tanganku sakit karena kuku-kuku jariku menghujam ke dalam, saking kencangnya ia mengepal. Memang bukan Meri yang salah. Dia tipe anak yang disukai semua orang dan aku menginginkan itu. Untuk menaikkan derajatku, aku berusaha menginjaknya.

Setetes air mataku jatuh ke pipi. Sambil membayangkan semua cerita-cerita bohong yang kukarang dan perasaan girang yang pernah kudapat saat melihatnya dirundung, aku berucap gemetar, "Karena inilah aku tidak pernah ke reuni, Meri. Aku takut."

"Aku yang dicemooh sama teman-teman sekelas selama satu tahun penuh." Meri menggeleng. "Apa yang kamu takutkan?"

"Kamu."

"Aku?"

"Ya, kamu. Aku takut padamu. Aku pernah merundungmu, aku menyesal, tapi aku takut mengakuinya." Kupejamkan mataku. Kugigit bibirku kuat-kuat. Pada detik itu juga, kuruntuhkan pertahanan diriku yang terakhir. Kepalaku tertunduk rendah-rendah, dan hanya secuil kewarasan yang menghentikanku dari jatuh berlutut di hadapannya. Aku sudah tidak sanggup menanggung perasaan ini bertahun-tahun, maka aku berkata, "Meri, maaf ...."

How to stop bullying: Jangan bully orang

Kadang bully ga harus pukul-pukulan, tampar-tamparan, atau hina-hinaan depan muka. Kadang bully juga bisa dari ucapan atau tindakan yang keciiiil banget, tapi dilakukan barengan. Damage yang harusnya cuma kayak digigit semut, rasanya jadi kayak dipatuk buaya.

Kadang pelaku bisa merasa sebagai korban. Kadang korban enggak sadar dia korban.

Sedikit komentar kalian amat berarti untuk saya; dan,
Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda sekalian kehilangan jari '-')/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro