[22] Awal yang Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jika ingin mengukur seberapa jujur diri kita, cobalah untuk menghitung seberapa banyak kebohongan yang kita lakukan pada orang lain maupun diri sendiri! Itulah diri kita yang sesungguhnya."

☆☆☆

1 bulan kemudian...

Tersisa lima lembar lagi sebelum bagian akhir naskah itu selesai ia koreksi. Mata Razita masih jeli mengamati kata per kata yang terkadang typo atau salah tanda baca. Inilah peran editor yang seringkali tak terlihat di mata pembaca. Walau begitu Razita senang bisa kembali lagi ke profesi ini. Meski bukan di tempat yang sama.

"Zit- Zita!" Zahra menarik kecil kursi yang Razita duduki dengan kakinya. Razita hanya bergumam sekilas. "Yakin nih, nggak mau ikut?" Bujuknya tidak mau menyerah.

"Maaf ya Ra," tolak Razita kukuh seperti sebelumnya. Zahra mendesah panjang. Menandakan ia kecewa dengan jawaban Razita.

"Ayolah Ta temenin gue! Perintah dari atasan loh!" Ancam Zahra lagi. Razita menghentikan aktivitasnya sejenak. Memutar kursi untuk menghadap kepala editornya yang terasa seperti teman dekat. Padahal mereka baru bertemu tiga minggu yang lalu.

"Kan masih ada yang lain," bisiknya melirik ke arah dua orang yang berusia tujuh tahun di atas mereka. Zahra mencembikkan bibirnya. Sama sekali tidak setuju dengan pendapat Razita.

"Pokoknya aku maunya sama kamu. Kalau sama mereka aku yang nggak enakan, Zit, nggak bisa diajak ngobrol," jelasnya dengan wajah muram. "Lagian disana bakalan banyak buku bagus. Emang kamu nggak mau beli?"

Razita tampak menimang-nimang. Tiga hari lagi tepatnya, perhelatan Summer Writers Camp dimulai. Sebuah acara tahunan yang di dalamnya berisi serangkaian acara seperti bazar buku, jumpa penulis, dan konsultasi naskah bersama beberapa penerbit besar di seluruh tanah air. Dan tahun ini tiba giliran penerbit mereka, Lovemedia.

"Kamu kenapa sih nggak mau ikut?" Tanya Zahra mendapati Razita melamun.

Razita mulai tidak tega melihat ekspresi melas temannya itu. "Kamu ada list penerbit mana aja yang ikut tahun ini?" Tanyanya hati-hati agar Zahra tak curiga.

Zahra langsung mengangguk semangat. "Ada kemarin baru dikirim Bu Cahya. Bentar aku lihat dulu!" Selama Zahra mencari Razita merasa sedikit berdebar.

Entah kenapa ia seperti mempunyai firasat bahwa Heaven Publisher akan turut serta tahun ini, itulah sebabnya ia bersikeras menolak. Atau mungkin ini hanya kekhawatirannya saja.

"Yah, udah aku hapus, Ta!" Zahra mendengus kecewa. "Sekali ini aja ya! Pliss!" Kalau urusan memasang wajah melas, dialah jagonya. "Kenapa sih nggak mau ikut? Kamu takut ketemu seseorang?"

"Hah?" Razita terkejut. "Eng- gak kok."

Zahra memicing curiga. Karena tidak mau ditatap intens terus menerus Razita akhirnya menyetujui. "Iya deh iya aku ikut!"

Ekspresi Zahra langsung berubah seratus delapan puluh derajat. "Beneran, Ta?"

"Iya, serius," Razita menarik sudut bibirnya.

Zahra langsung bersorak girang sedangkan Razita mencoba untuk berpikir positif.

Jujur, ia belum siap jika harus bertemu dengan Ghazi lagi. Razita tidak ingin membuka kembali luka yang belum sepenuhnya kering. Cukup sekali ia tersakiti, tidak untuk kedua kalinya.

☆☆☆

"Assalamualaikum, Zita pulang!" Salamnya memasuki rumah. Razita melepas sepatu dan kaos kakinya kemudian ia letakkan di rak sepatu.

"Waalaikumsalam," jawab Mariani. Razita menyalami Budhenya sebelum menjatuhkan diri di sofa sebelahnya. "Gimana kerjanya? Ada masalah?"

"Alhamdulillah lancar Budhe," jawab Razita seperti biasa. Berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang menunjukkan kelelahan. Mariani menghela napas panjang, sejak kepindahan keponakannya kemari gadis itu jarang sekali tersenyum. Seolah ada sesuatu yang hilang saat Razita datang kemari.

"Kamu mandi dulu sana biar seger! Habis ini Budhe buatin teh."

Razita menoleh dan tersenyum. "Makasih Budhe." Dengan sisa-sisa tenaga Razita bangkit dan menyeret tubuhnya memasuki kamar.

Lima belas menit kemudian, Razita mematut dirinya di cermin. Ketika akan pergi ke dapur ponselnya berdering. Sebuah notifikasi intragram masuk.

Ghazialmultazam : Zita, kamu masih marah dengan saya? Saya benar-benar minta maaf.

Razita menghela napas panjang. Hampir setiap hari pesan yang sama selalu masuk ke ponselnya. Razita sudah memblokir nomor WhatsApp Ghazi berulang kali tetapi pria itu beralih menghubunginya lewat instagram.

Sungguh Razita tidak ingin berhubungan lagi dengannya. Hatinya masih terasa sakit setiap kali mengingat kebohongan Ghazi.

Razita mengabaikan pesan itu dan melangkah ke dapur. Dua gelas teh hangat sudah tersaji di meja. Razita duduk dengan pandangan kosong.

Apa Kak Ghazi tidak bosan mengirim pesan yang sama setiap hari? Apa dia benar-benar menyesali perbuatannya?

Terakhir kali mereka bertatap mata Razita ingat betul Ghazi menatapnya dengan pandangan yang sulit ia artikan. Razita tahu pria itu tetap berdiri di sana sampai kereta benar-benar menghilang. Tapi kenapa?

Karena melamun Razita tanpa sadar menyeruput teh panas tersebut.

"Astagfirullah!" Razita spontan menjatuhkan gelasnya. Seketika ia langsung tersadar dan berjongkok untuk membereskan pecahan gelas tersebut.

"Kamu mikir apa sampai njatuhin gelas gini?" Omel Mariani yang juga ikut kaget.

Razita mengeleng. "Maaf, Budhe Razita ada sedikit masalah di kantor tadi," ujarnya setengah berbohong.

Melihat budhenya memasukkan pecahan gelas itu ke dalam tong sampah membuat Razita berpikir,

Ketika rasa percayanya sudah hancur berkeping-keping akankah hatinya juga berakhir tak berdaya di tong sampah seperti gelas itu?

☆☆☆

Melihat tanda 'seen' pada pesan yang baru saja ia kirimkan beberapa menit lalu membuat Ghazi melempar ponsel ke meja cukup keras sampai keduanya temannya menoleh. Tanpa perlu dijelaskan mereka sudah bisa menebak apa yang terjadi.

"Diblokir lagi?" Tanya Yudha.

"Diread doang," jawab Ghazi malas.

Entah harus dengan cara apalagi ia minta maaf. Sungguh, Ghazi tidak ingin mengakhiri masalah ini dengan cara diam-diaman. Kalau begini terus, Ghazi akan dihantui rasa bersalah seumur hidupnya.

"Coba lo minta nomer ke Mbak Sekar lagi," usul Yudha.

"Percuma. Ujung-ujungnya dia ganti nomer," jawab Ghazi dengan wajah masam.

Yudha dan Daniel sama-sama prihatin melihat kondisi Ghazi sekarang. Pria itu jadi lebih pendiam, jarang tersenyum, apalagi bercanda seperti dulu. Walaupun kinerjanya semakin meningkat sejak hari itu, tapi Ghazi tidak benar-benar bekerja sepenuh hati. Ia hanya menjadikan pekerjaannya sebagai pelampiasan bukan lagi kegemaran.

"Lo samperin aja kesana!" Celetuk Daniel tiba-tiba. "Kalau lo mau gue bisa tanyain Mesya alamat kostnya Razita dulu. Ibu kostnya pasti tahu di mana dia tinggal."

Yudha menaikkan sebelah alisnya. "Emang lo mau bicara sama Mesya?" Ia jelas tahu kalau Daniel sangat menghindari perempuan itu. Bilangnya sih selalu tidak suka tapi tidak tahu lagi apa yang ada di dalam hatinya.

Daniel mengendikkan bahu. "Kalau Ghazi beneran berangkat nggak masalah."

Keduanya menoleh ke arah Ghazi meminta jawaban. Namun, Ghazi terlihat masih bimbang.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka. Sekar masuk ke dalam membawa selembar kertas ke arah Ghazi. "Pak Andra nyuruh lo yang anterin gue kesana!"

"Mau kemana Mbak?" Tanya Yudha penasaran. "Kok kita nggak diajak!"

Sekar terkekeh, "Summer Writting Camp."

Baik Yudha dan Daniel sama-sama berbinar. "Wah, kita dapet stand tahun ini?" Mereka seolah tidak percaya Heaven Publisher bisa mendapat tempat di acara sebesar itu setelah berulang kali apply tapi tidak kunjung dapat.

"Kita nggak boleh ikut Mbak?" Tanya Daniel.

"Buat editor undangannya." Sebelum Yudha menyela Sekar lebih dulu menjelaskan.

"Ghazi ikut soalnya Pak Andra bilang tahun ini kita bakalan buat konsep baru. Untuk menarik minat penulis nanti di setiap buku yang dicetak akan ada ilustrasinya."

"Sama Yudha apa Daniel aja ya Mbak," tolak Ghazi halus. Ia sedang tidak ingin pergi kemanapun. Ghazi takut tidak akan fokus nantinya.

"Eh?" Sekar terkejut. "Bukannya tahun kemarin lo pingin banget ikut! Satu Indonesia loh ini, jarang-jarang kita bisa kebagian tempat."

Ghazi tetap kukuh tidak mau. Ia malah memilih keluar dari ruangan dengan beralasan ke kamar mandi. Sebelum Sekar pergi mendadak, Yudha dan Daniel menyadari sesuatu.

"Bentar Mbak!" Cegah Yudha. "Acaranya dimana?"

"Surabaya." Sekar menyerahkan selebaran brosur acara tersebut.

Setelah membacanya, wajah Yudha dan Daniel langsung berbinar. Keduanya melakukan high-five dengan semangat.

"Tenang aja Mbak, kita bakal pastiin Ghazi ikut!" Janji Yudha.

Keduanya mulai menyusun rencana untuk meyakinkan Ghazi. Siapa tahu lewat acara tersebut Ghazi bisa bertemu dengan Razita. Walau kemungkinannya hanya nol koma nol nol satu persen mengingat Razita juga belum tentu datang ke acara tersebut tapi keajaiban selalu ada bagi orang-orang yang berusaha bukan?

Ya, semoga saja keajaiban itu terjadi.

☆☆☆


Dari penulis

Wah, kira-kira mereka bakal ketemu nggak ya?

Tim Ghazi jangan kecewa dulu, selalu ada harapan bagi mereka yang mau berusaha kalau kata Yudha.

Kalau mengambil quotes atau apapun dari cerita ini usahakan tag aku ya _storyfadila

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro