[23] Di Tempat yang Sama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Akan ada saatnya dimana doa-doa yang selama ini kulangitkan terjawab oleh skenario-Nya yang begitu indah. Aku hanya perlu bersabar sampai waktunya tiba."

☆☆☆

Hari pertama pagelaran Summer Writers Camp berlangsung dengan meriah. Siapa sangka antusiasme masyarakat begitu besar untuk mengikuti acara literasi ini. Mungkin karena yang menjadi bintang tamu adalah penulis ternama tanah air.

Sebab bagi para penulis pemula bertemu dengan senior mereka untuk menimba ilmu secara langsung merupakan suatu kehormatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Kamu nggak ke lantai dua?" Zahra menyandarkan tubuhnya di kursi saat stand kami beranjak sepi. Syukurlah sampai detik ini sudah ada delapan orang penulis yang tertarik menerbitkan naskahnya di Lovemedia.

Razita menggeleng, "Masa iya kamu aku tinggal sendirian di sini? Emang mau?"

Zahra menggeleng cepat, "Jangan deh! Bisa pusing aku bicara sama penulis yang banyak maunya. Mentang-mentang kita penerbit indie dan mereka bayar seenaknya aja mereka sama kita! Mana banding-bandingin sama penerbit mayor lagi!" Sulutnya teringat seorang penulis yang cukup menyebalkan tadi pagi.

Razita menepuk bahu Zahra menenangkan. "Sabar! Nggak semuanya gitu kok. Masih banyak juga penulis yang etikanya baik."

"Berilmu tapi tak berakhlak... percuma!" imbuh Zahra.

Matanya beralih depan untuk mengamati stand penerbit lain yang dibuat berjajar mengelilingi ruangan. Jadi ia juga bisa menyaksikan tumpukan buku dan lalu lalang orang di depannya.

"Beneran nggak mau lihat seminar di atas?" Zahra memastikan lagi. Sebab ia tahu kalau Razita dulunya adalah penulis. Dia pasti juga punya penulis favorit yang ia kagumi.

"Aku di sini sebagai editor, Ra bukan sebagai pembaca yang ingin bertemu idolanya," tolaknya halus membuat Zahra tersenyum tulus.

Pilihannya mengajak Razita ternyata tidak salah. Perempuan itu tahu benar kapan dan di mana harus menempatkan hak dan kewajibannya.

Sekitar satu jam kemudian Razita mulai merasa bosan. Pasalnya tidak ada satu pun penulis lagi yang mendatangi stand mereka lagi. Ketika ia melirik stand di sebelah-sebelahnya ternyata sama sepinya seperti mereka.

"Ra, ngrasa ada yang aneh nggak sih? Mendadak stand di sini jadi sepi semua," ujar Razita menyuarakan isi hatinya.

Zahra melihat jam di pergelangan tangannya. "Habis ini mau jam istirahat."

"Ya tapi nggak mungkin mendadak sepi banget kaya gini!"

Zahra juga merasakan hal serupa. Dia pun segera bangkit dari kursi. "Bentar, aku cek stand sebelah sana ya!" Pamitnya lalu bergegas pergi ke stand di seberang.

Sudah lima belas menit Zahra belum kembali juga. Razita mulai resah. Ia putuskan untuk menyusul Zahra setelah menitipkan stand mereka pada editor di stand sebelah. Sampai di tengah jalan keduanya bertemu.

"Kamu kemana aja?" Tanya Razita khawatir.

"Ihh Ta, pantesan stand kita sepi orang semua penulis pada kumpul di sana!" Tangannya menunjuk salah satu kerumunan. "Ada penerbit yang nawarin jasa ilustrasi bagus baget!" Ujarnya dengan mata berbinar.

Razita mengernyit. Setiap penerbit yang diundang memang diperbolehkan memakai cara promosi apapun untuk menarik minat penulis. Asalkan tidak menangganggu kenyamanan penerbit lainnya. Sama seperti Lovemedia yang menawarkan bonus gift PO dalam jumlah banyak, ternyata ada penerbit lain yang tak kalah kreatif juga.

"Ada ilustratornya?" Tanya Razita penasaran. Sayang sekali kerumunan itu terlalu padat hingga Razita malas menghampirinya.

Zahra mengendikkan bahu. "Tapi denger-denger yang jadi ilustrator ganteng banget!"

Razita memutar bola matanya jengah. "Udah ah balik! Stand kita kosong loh!"

Sampai keduanya duduk kembali di kursi Zahra masih bersemangat menceritakan kejadian di seberang sana. "Kamu pasti kaget kalau tahu yang dia ilustrasikan itu bukan vektor anak remaja kayak biasanya tapi bangunan-bangunan islami, Ta!"

Razita melebarkan matanya. "Serius? Mereka penerbit genre islami?"

Zahra mengangguk mantap. "Cuma kita sama mereka, dua stand yang nerbitin genre islami di sini. Lainnya genre romance sama teenfiction!"

"Beneran?" Entah mengapa pandangan Razita tiba-tiba berubah. Awalnya ia kira penerbit yang berhasil menarik minat begitu banyak pengunjung itu tidak sevisi dengan mereka. Namun, tebakannya salah. Harus ia akui kalau penerbit itu benar-benar hebat.

"Wah, dari penerbit apa mereka?"

"Heaven Publisher," jawab Zahra cepat.

Senyuman di wajah Razita langsung memudar. Dua kata itu menyeret kembali ingatannya pada kejadian satu bulan lalu. Dimana ia dihadapkan pada pengkhiatan dan kebohongan yang membuatnya meninggalkan Bandung lalu kembali ke sini.

"Zita, are you okay?" Tanya Zahra cemas melihat wajah Razita pucat.

Suara adzan yang tiba-tiba berbunyi dari ponsel Razita membuatnya tersadar. Ia berusaha mengenyahkan segala pemikiran buruk itu.

"Sholat sekarang yuk!" Ajaknya mengalihkan perhatian Zahra.

Sepanjang perjalanan Razita lebih banyak diam. Hanya ada satu kalimat yang berputar di otaknya sekarang.

Apa dia juga ada di sini?

Entahlah. Razita hanya belum siap jika harus bertemu dengannya sekarang.

"Ra," panggilnya saat Zahra memakai mukena di sebelahnya. "Kamu lihat wajah ilustratornya nggak?"

Zahra langsung berjongkok dan memicing. "Ciee kamu penasaran sama ilustrator ganteng itu ya!" Tudingnya menggoda Razita.

"Enggak bukan gitu." Razita mulai merasa bimbang. Bagaimana caranya ia menjelaskan? "Kira-kira ciri-ci--" ucapannya terpotong saat suara iqomah terdengar.

Semua orang mulai merapatkan shafnya. Kini saatnya Razita membuang pikiran-pikiran negatifnya untuk menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim.

Hanya pada Allah tempatnya mengadukan masalah. Razita sudah membaca niat dalam hati sampai suara takbir pertama berkumandang.

Allahu akbar!

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Suara yang perlahan memasuki rongga telinganya terdengar begitu jelas. Tidak mungkin Razita bisa melupakan suara ini. Dia jelas hafal betul siapa pemiliknya.

Oh.. Allah kenapa Kau pertemukan kami lagi di saat seperti ini?

Batinnya tetap mencoba untuk kusyuk walaupun pikirannya berkecamuk. Orang yang selama satu bulan ini ia hindari sekuat tenaga kini hanya berjarak beberapa shaf di depannya.

"Assalamualaikum warahmatullah," ucapnya lirih saat salam terakhir.

Razita melipat mukenanya dengan tergesa-gesa. Ia ingin kembali secepat mungkin sebelum Ghazi menyadari kehadirannya.

"Ra, agak cepet!" Pinta Razita gelisah.

Zahra bingung dengan perubahan sikap temannya yang mendadak. Raut wajah Razita terlihat seperti sedang dikejar sesuatu.

"Ta, kamu nggak papa?"

Tanpa perlu Razita menjawab sorot matanya sudah menunjukkan kalau ia tidak sedang baik-baik saja. Dia ketakutan. Entah takut untuk menghadapi Ghazi atau takut menghadapi dirinya sendiri saat mereka bertemu nanti.

☆☆☆

Ghazi memungut sesuatu yang tergeletak di barisan paling belakang mushola. Sebuah name tag yang sama seperti miliknya tetapi dengan nama yang berbeda. Ujung bibirnya tertarik ke atas kala mendapati nama 'Razita Nirmala' tertulis di baliknya.

"Jodoh emang nggak kemana," gumamnya senang.

Ghazi memasukkan name tag ke dalam sakunya dan berderap keluar dengan sudut bibir menahan tawa.

"Jadi artis dadakan sehari aja udah senyam-senyum sendiri!" Sindir Sekar menghampiri Ghazi yang belum memakai sepatunya.

Ghazi mendengus. "Gue nggak mau nggambar lagi, Mbak! Males jadi pusat perhatian," Keluhnya tidak suka dengan usul yang Sekar berikan pagi tadi. Cara promosi itu memang berhasil tapi Ghazi bersumpah tidak akan ada yang kedua kalinya.

Sekar menaikkan sebelah alisnya. "Lah itu barusan lo senyam-senyum?"

Ghazi menggeleng dan tersenyum samar. "Nggak papa."

"Kayak cewek aja lo bilang nggak papa tapi ada apa-apa," cibir Sekar sekali lagi.

Surabaya yang terik ini tiba-tiba mengingatkannya dengan Razita. Lantas, ia melirik ke arah Ghazi.

"Gue kok tiba-tiba pingin ketemu Adek gue ya?"

"Punya Adek di sini?" Tanya Ghazi terkejut.

Sekar mengangguk. Sejurus kemudian ponselnya berbunyi. Sekar sengaja menekan tombol loudspeaker agar Ghazi bisa mendengarnya.

"Hallo, Razita!"

Pergerakan Ghazi terhenti sejenak sebelum ia berpura-pura tidak mendengar apapun.

"Mbak lagi di Surabaya, Summer Wtiters Camp, kamu bisa kesini nggak?"

Cukup lama suara di seberang sana terdiam. "Aku juga di sini. Mbak ada di mana?"

Sekar tersenyum cerah sambil melirik Ghazi. "Biar Mbak aja yang kesana." Wanita itu menutup telponnya dan menoleh ke arah Ghazi.

"Lo nggak mau ketemu Razita? Dia ada di sini juga loh."

"Dia yang nggak mau ketemu gue," jawab Ghazi berpura-pura tidak peduli

Sekar menghela napas panjang. "Gimana kalau gue kasih lo tantangan! Kalau lo berhasil lo boleh deh nggak usah nggambar lagi, cukup duduk manis aja!"

"Apa?" Tanya Ghazi curiga karena penawaran yang diberikan sangat menggiurkan.

"Lo harus ketemu sama Razita sebelum gue, bisa?"

Terdengar mustahil tetapi bukan Ghazi namanya jika menyerah begitu saja.

"Siapa takut!" Jawabnya lantang.

"Deal," jawab Sekar sebelum beranjak pergi.

Sebenarnya tantangan itu hanya sebagai gertakan pada Ghazi agar mau mencari Razita dan segera menyelesaikan masalah mereka berdua. Itulah sebabnya Sekar mengajak Ghazi kemari. Meskipun ia sendiri tidak yakin apakah Razita ada di tempat ini atau tidak. Dan ternyata Allah meringankan jalannya. Razita ada di tempat ini sekarang.

Di sisi lain, Ghazi sudah menyiapkan rencana cadangan. Ia mengeluarkan mane tag milik Razita dari dalam sakunya kemudian memotretnya dan mengirimkannya lewat dirrect massage instagram.

Ghazialmultazam : masih tidak mau bertemu?

Sekarang ia yakin kalau Razita akan menemuinya. Pasalnya mereka tidak bisa masuk ke dalam gedung tanpa ID card tersebut. Bukan berniat memanfaatkan. Ghazi hanya butuh alasan agar bisa bertemu dengan Razita.

Pesan itu sudah dibaca Razita tetapi belum mendapat balasan. Karena tidak sabar menunggu, Ghazi memutuskan untuk mencari Razita sendirii. Baru saja ia hendak beranjak pergi sebuah suara memanggilnya.

"Kak Ghazi?" 

☆☆☆

Dari penulis

Siapa tuh yang manggil?

Ada yang nggak sabar dengan part berikutnya?

Bagaimana kesan kalian setelah membaca sejauh ini?

Ambil yang baik, buang yang buruk yaa


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro