[24] Kesempatan Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apakah akhir dari sebuah kesalahan adalah kata maaf?"

☆☆☆

"Kak Ghazi?"

Ghazi spontan menoleh ke belakang kala mendengar suara nyaring itu. Ada sebuah rasa kecewa saat tahu bukan Razita yang berdiri di depannya melainkan orang lain.

Alis Ghazi terangkat sebelah. Tidak mengenali orang tersebut. "Kamu siapa?"

Perempuan itu terkekeh sejenak. "Aku Zahra! Kakak lupa?"

Jelas Ghazi lupa. Terlalu banyak hal yang harus ia ingat daripada sekadar mengingat wajah seseorang. Apalagi bukan wajah itu yang ia tunggu sekarang. Tetapi setelah ditamatkan lebih detail Ghazi akhirnya teringat sesuatu.

"Zahra yang--"

"Selalu minta digambarin wajahnya tapi selalu Kakak tolak!" Zahra menyahut lebih dulu dengan nada menyindir. Harus ia akui kalau ia cukup terkejut bertemu dengan kakak kelasnya waktu SMA ini. Sesorang yang dulu sempat ia kagumi.

"Ah, iya inget," timpal Ghazi singkat.

Rasanya sedikit canggung. Ghazi tidak mungkin melupakan adik kelasnya yang satu ini. Ia tahu bahwa di balik hobi Zahra mengejar bukan hanya untuk meminta digambarkan wajah tapi Ghazi juga tahu kalau perempuan ini diam-diam menyimpan rasa padanya.

Itulah sebabnya Ghazi sengaja menjauh dulu. Sebab ia tidak mau memberikan harapan palsu. Dunia ini memang selebar daun kelor ternyata.

Zahra sepertinya menangkap aura kecanggungan dari ekspresi Ghazi.

"Santai aja! Aku udah nggak suka sama Kakak kok!" Ucapnya frontal.

Kalau saja sedang makan atau minum sesuatu Ghazi pasti tersedak. Perempuan itu masih sama tidak tahu malunya seperti dulu. Namun itu juga berita baik baik baginya. Setidaknya ia tidak perlu merasa aneh jika harus berbuat atau mengatakan apapun.

"Kakak panitia? Dari penerbit mana?" Tanya Zahra terkejut saat melihat ID card yang menggantung di leher Ghazi.

"Heaven Publisher," sahutnya mencoba biasa.

Zahra langsung membulatkan matanya. "Yang tadi buat ilustrator itu? Jadi--" Zahra menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Wah, pantesan sebagus itu, ternyata Kakak!"

Ghazi hanya terkekeh ringan. "Kamu juga panitia?"

"Iya, Lovemedia." Zahra mengangkat ID card nya dari balik hijab.

Bentar, bentar! Ghazi merasa tidak asing dengan dua kata tersebut. Seperti pernah mendengar tapi dimana ya? Ketika Ghazi tanpa sengaja menatap ID Card di tangan kirinya Ghazi langsung tersenyum lebar. Sebuah kejutan yang lagi-lagi mempermudah jalannya bertemu Razita. Sepertinya Zahra bisa membantunya.

"Kamu kenal Razita?" Tanya Ghazi to the point.

Zahra mengangguk semangat. "Dia kesini sama aku. Kakak kenal sama dia?"

"Panjang ceritanya," jawab Ghazi.

☆☆☆

"Mbak Sekar!"

Seulas senyum terbit di bibir Sekar sembari melambaikan tangan pada Razita. Perempuan itu berlari menghampirinya dan memeluknya seketika.

"Kangen banget, Mbak!" Rengek Razita.

"Kamu sih nggak pernah main ke Bandung!" Canda Sekar membuat Razita meringis. Kembali ke sana mungkin masuk ke dalam list paling akhir di hidupnya.

"Kok nggak ngabarin Mbak kalau ikutan event ini?" Razita mengerucutkan bibirnya.

"Barusan kan udah," canda Razita.

Keduanya mencari tempat duduk di area food court sebelah barat gedung utama. Awan mendung yang membumbung di atas awan membuat mereka memesan hot coffee. Bahkan, langit sepertinya sepakat dengan kondisi hati Razita.

Apalagi setelah beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Sebuah foto id card atas namanya membuat Razita tersadar dan menyentuh lehernya.

"Kenapa Zit?" Sekar terkejut saat melihat Razita mendesah panjang.

"ID card aku Mbak," desah Razita tidak habis pikir. Bagaimana bisa name tagnya berada di tangan Ghazi? 

"Hilang? Loh, kok bisa? Kamu taruh dimana tadi?" Sekar langsung berdiri dan matanya mengedar ke sepanjang jalan yang mereka lalui tadi barangkali benda itu terjatuh di sana.

"Mbak-" cicit Razita tak enak hati melihat sikap Sekar lebih panik darinya. "Nggak hilang, Mbak ada di Kak Ghazi."

Sekar sempat memasang tampang tidak percaya. Setelah diingat-ingat, ia langsung mendesis. Ternyata senyuman Ghazi beberapa menit yang lalu ternyata karena ini.

"Oh... pantesan!"

"Kenapa Mbak?"

"Enggak papa kok." Sekar berniat menarik tangan Razita tetapi perempuan itu menghindar dengan raut wajah cemas. "Kamu nggak mau ambil name tag nya?"

Razita menggeleng pelan. "Boleh minta tolong Mbak ambilin?" Cicitnya ragu.

Ia berharap Sekar mengerti kondisi hatinya sekarang. Razita sama sekali belum siap bertemu dengan Ghazi. Alih-alih menuruti, Sekar lebih ingin bersikap netral kali ini.

"Kamu kamu belum bisa memaafkan setidaknya jangan menghindari kenyataan yang ada," tutur Sekar.

Tangannya meremas lembut bahu Razita. "Kadang mata kita sendiri bisa membohongi kita, Ta!"

Razita menunduk sambil mengecangkan pegangan pada gelas kopinya.

Apa yang salah jika hatinya belum siap berdamai dengan masa lalu? Ia berhak mendapat waktu lebih untuk memulihkan lukanya.

"Mbak tahu kamu kecewa tapi setidaknya kamu juga harus mendengar penjelasan dari sudut pandang dia. Kadang apa yang kita pikir baik belum tentu baik bagi orang lain."

Aatagfirullah. Barang sejenak Razita lupa bahwa dirinya dan Ghazi sama-sama manusia biasa. Baginya mungkin Ghazi bersalah di sini tapi tidak menutup kemungkinan kalau ia juga bersalah.

Salah karena menutup pintu maaf, salah karena mendendam, dan salah karena menaruh kepercayaan kepada selain Allah swt sehingga Allah akhirnya menunjukkan bahwa tiada seorangpun di bumi ini yang bisa dipercaya kecuali Dia.

Maka, biarlah Razita mencoba memperbaiki untuk kali ini saja. Semoga dia tidak mengecewakan hatinya lagi.

"Kak Ghazi di mana Mbak?"

☆☆☆

Alangkah terkejutnya Ghazi melihat seseorang yang ia nantikan akhirnya berdiri di depannya. Tampaknya Razita juga merasakan hal serupa. Apalagi saat melihat temannya, Zahra bergabung di sana.

"Zita!" Sapa Zahra melambaikan tangan dari kejauhan dengan tersenyum lebar.

"Kok kamu ada di sini?" Tanya Razita bingung.

Sejauh ia mengenal Ghazi dan Zahra keduanya bukanlah tipe orang yang akan duduk bersama dengan orang asing yang tidak mereka kenal.

"Kak Ghazi kakak kelas aku waktu SMA," jelas Zahra agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. "Kalian udah saling kenal kan?" Matanya bergantian menatap Ghazi dan Razita. Keduanya sama-sama mengangguk kecil.

Razita tidak ingin memperpanjang waktunya di sini. Oleh karena itu, ia langsung mengulurkan tangannya. "Name tag aku?"

Bukan Ghazi namanya jika serta merta menyerahkan benda tersebut. "Boleh bicara sebentar?"

"Hm, silahkan!" Jawab Razita singkat.

"Maksud saya bicara empat mata?" Ghazi memperjelas arti kalimatnya.

Sekar yang mengerti situasi langsung mengajak Zahra yang bahkan belum ia kenal pergi ke tempat lain. Meskipun ada beberapa orang di sekitar mereka, Razita tetap merasa tidak nyaman.

"Saya minta maaf," ucap Ghazi to the point. Entah sudah kali ke berapa ia mengucapkannya. Sungguh di setiap kata itu ia benar-benar menyesali apa yang pernah ia perbuat. Andai Razita tahu seberapa rasa bersalah itu menghantui dirinya.

"Kalau yang Kakak inginkan sekadar kata maaf saya sudah memaafkan kalian sejak hari dimana saya mencabut tuntutan itu untuk Mbak Ines," ujar Razita sedikit kecewa.

"Kalau?" Ghazi mengulang kalimat Razita dengan tatapan tidak suka. "Saya benar-benar menyesali perbuatan saya dan minta maaf kepada kamu dengan tulus. Kamu pikir saya cuma berkata tanpa tahu artinya?"

Nada bicara Ghazi yang sedikit tinggi membuat Razita bertambah kesal.

"Terus Kakak maunya apa?" Sahutnya tak kalah ketus membuat Ghazi tersadar kalau caranya meminta maaf telah salah.

"Saya ingin kamu benar-benar memaafkan saya. Saya tidak mau kamu menghindar atau bahkan sampai membenci saya. Saya ingin masalah ini selesai," ujar Ghazi mengakui perasaannya dengan nada sedikit lembut dari sebelumnya. Ia bahkan merasa aneh saat harus berbicara 'saya-kamu'.

Sorot mata itu membuat Razita tertegun untuk beberapa detik. Kali ini ia melihat ada penyesalan di sana tidak seperti sebelumnya. Apa ini karena satu bulan lebih mereka tidak bertemu? Atau Ghazi benar-benar menyesalinya? Razita bimbang. Ia menghela napas panjang dan beralih menatap Ghazi.

"Satu kesempatan terakhir. Buktikan kalau Kakak benar-benar menyesal!"

☆☆☆ 

Dari penulis

Jadi ingat pepatah kalau di dunia ini akan selalu ada kesempatan kedua bagi mereka yang mau berusaha.

Jangan lupa follow wattpad aku dan baca cerita lainnya juga ya _storyfadila


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro