[25] Di Antara Buku-Buku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Assalamualaikum, happy reading

___

"Tidak ada cinta tanpa memaafkan dan tidak ada memaafkan tanpa cinta."

☆☆☆

"Jadi kamu ngasih dia kesempatan kedua?"

"Bukan kedua, lebih tepatnya terakhir!" Sengaja Razita menekan kata terakhirnya untuk menegaskan kalau ia tidak ingin dikhianati lagi. Cukup sekali saja.

"Aku nggak nyangka sih Kak Ghazi bakal segigih itu minta maaf ke kamu. Seinget aku dulu dia orangnya cuek. Bukan cuek dalam artian nggak nyapa ya, kalau itu sih nggak perlu diraguin lagi, Kak Ghazi kakel paling humble yang aku kenal," pujian Zahra sedikit membuat raut wajah Razita berubah-ubah. Antara percaya tidak percaya.

"Maksud aku Kak Ghazi orangnya bodo amat kalau emang dia enggak merasa bersalah. Dia bukan tipe orang yang bakal ngasih penjelasan beruntut hanya supaya orang lain nggak punya image buruk ke dia sih," imbuh Zara sebelum menyesap matcha tea-nya.

"Sekenal itu kamu sama Kak Ghazi?" Tanya Razita penasaran.

Zahra awalnya sedikit terkejut. Ia sama sekali tidak berniat melebih-lebihkan Ghazi kalau itu yang Razita pikirkan. Ia hanya bicara apa adanya. Ketakutannya mendadak hilang saat menyadari ada sesuatu yang aneh dengan raut wajah temannya. Tidak seperti biasanya.

Ah, dia tahu sekarang!

"Aku pernah dengar ada quotes gini loh Ta 'cemburu adalah salah satu bentuk tanda sayang'. Jadi, kamu suka sama Kak Ghazi?" Segah Zahra.

Hampir saja Razita menyemburkan minumannya. Untunglah ia masih bisa menahan. "Hah? Kok jadi aku? Gak ada hubungannya Ra, sama pembahasan kita."

Razita mencoba membela diri. Di saat mulutnya berkata demikian, kenapa hatinya berdebar lebih kencang?

Sangat tidak sinkron kan!

Menyebalkan.

"Ya kali aja gitu selama di Bandung kalian ada something gitu," goda Zahra lagi. "Eh bentar... jangan-jangan alasan kamu nolak ikut acara ini karena dia juga?"

Habis sudah. Bisa apa Razita kalau sudah terpojokkan seperti ini? Niat awal bercerita hanya untuk berbagi masalah dan meminta solusi berakhir dengan Razita menceritakan semua pengalamannya. Catat! Tanpa terlewat sedikitpun.

"Fix kalau ini udah pasti Kak Ghazi suka sama kamu sih Ta, orang udah terang-terangan gitu!" Potong Zahra di tengah-tengah. Padahal Razita masih sampai di bagian Ghazi mengantarnya pulang.

"Kan udah berbulan-bulan lalu, Ra. Mungkin aja perasaannya udah berubah," elak Razita.

"Kalau berubah kenapa susah-susah minta maaf ke kamu sekarang?" Tukas Zahra membuat Razita terdiam berpikir.

"Dari awal juga aku udah ada feeling sih kalau di antara kalian itu... apa ya? Kaya ada ikatan tak kasat mata gitu tapi sama-sama gengsinya buat ngungkapin."

"Emang mau ngapain kalau udah sama-sama bilang? Pacaran gitu? Dalam Islam bukan kayak gitu Ra pendekatan yang bener. Nambah dosa iya," sanggah Razita.

Zahra tersenyum senang. "Oh... jadi ngaku nih kalau emang ada perasaan?"

Skak mat. Razita terjebak ucapannya sendiri.

"Ck, bukan gitu!" Razita panik. Di luar dugaan, dari arah kejauhan Razita bisa melihat Sekar dan Ghazi berjalan menuju ke arah mereka. Lengkap sudah. Sebisa mungkin Razita berusaha menunduk agar tidak terlihat.

Padahal Razita pikir di hari kedua ini ia akan bebas tanpa melihat wajahnya. Sayangnya, takdir berkata lain.

Sehari nggak ketemu nggak bisa ya? Batinnya kesal.

"Mbak Sekar! Kak Ghazi!"

Zahra malah menganggil keduanya ke meja mereka. Perempuan itu tidak menghiraukan kode-kode yang diberikan Razita. Mau tidak mau Razita harus memaksakan senyum canggung saat keduanya datang.

"Dari tadi Mbak cariin tahunya kalian di sini," ujar Sekar pada Razita.

"Ada perlu apa ya Mbak?" Suara Razita sudah normal. Setidaknya tidak ketara kalau ia sedang menyembunyikan kegugupannya. Apalagi saat tahu kalau Ghazi sedang memperhatikannya.

"Enggak ada apa-apa. Mau ngajakin lunch tapi kalian udah duluan," ujar Sekar santai. "Lo mau pesen apa Gaz?" Tanyanya beralih ke arah Ghazi.

"Nggak usah gue masih ada urusan. Gue duluan ya!" Jawabnya di luar dugaan. Sebelum pergi Ghazi tersenyum sekilas pada Zahra dan Razita. "Duluan ya!"

Sangat jelas kalau Ghazi sedang berusaha menghindar. Tapi kenapa? Razita memperhatikan punggung yang perlahan menjauh itu. Bukannya dia kemarin sudah bilang akan memberi kesempatan terakhir? Lantas kenapa Ghazi malah menghindar bukannya minta maaf seperti yang dulu? Razita jadi bingung.

"Ada masalah Mbak?" Tanya Razita menebak.

Pasalnya ekspresi Ghazi tadi juga tidak begitu bersahabat. Barangkali ia bisa membantu mereka, mengingat di Bandung mereka sudah banyak membantunya. Hitung-hitung balas jasa.

Sekar menggeleng. "Dari tadi pagi Ghazi udah murung mukanya. Nggak lagi ada masalah sama kamu kan?"

"Eh?" Seketika Razita merasa terpojokkan. Perlahan kepalanya menggeleng. Sekar dan Zahra percaya begitu saja dan melanjutkan obrolannya. Malah justru pikiran Razita yang masih terusik. Entah kenapa ia berubah jadi tidak tenang.

"Aku ke toilet bentar ya," pamitnya tiba-tiba.

Razita mempercepat langkahnya. Dari kejauhan ia melihat punggung pria itu berderap memasuki gedung. Sesampainya di dalam Razita sedikit kesulitan menemukannya lagi. Pasalnya ada begitu banyak orang di sela-sela tumpukan buku ini. Ketika Razita menghampiri stand Heaven Publisher, Ghazi juga tidak ada di sana. Sampai akhirnya, Razita melihat pria itu berdiri di tumpukan buku non-fiksi islami.

"Mau beli buku Kak?" Tanya Razita basa-basi. Ghazi tidak menjawab tetapi tangannya sibuk mencermati satu persatu blurb buku lalu menaruhnya lagi karena tidak cocok. Entah apa yang sedang ia cari.

"Lo tahu buku non fiksi yang bagus enggak?" Tanya Ghazi tiba-tiba.

Razita mengangguk. "Mau nyari yang topiknya apa?" Tangannya mulai mengambil acak buku-buku di depannya. Eh, tapi dia butuhnya apa ya? Kiat Menjadi Muslim yang Baik? Lelaki Tegar? Muslim Enterprenur? Hhh, emangnya dia butuh yang seperti itu?

"Zit!" Tegur Ghazi cukup keras membuat Razita tersentak. "Nglamun?"

Razita langsung menggeleng cepat. "En- enggak kok!" Sangkalnya berbohong.

Ghazi melirik tangan Razita dan sedikit memicing saat membaca judulnya, 'Assalamualaikum Calon Imam'. Sejurus kemudian ia menoleh ke arah Razita dengan pandangan bertanya. "Lo mau ngasih buku itu ke gue?"

"Enggak!" Razita yang tersadar langsung melepaskan buku itu dari tangannya. Bisa-bisanya dia mengambil buku seperti itu? Semoga Ghazi tidak salah paham. "Aku tadi nggak sengaja lihat aja, kok bisa buku fiksi ada di rak non-fiksi. Pasti kerjaan orang-orang nggak bertanggung jawab ini. Habis lihat-lihat nggak dikembalikan di tempatnya."

Ghazi hanya tersenyum simpul menikmati kegugupan Razita. "Emang tentang apa ceritanya?" Tanya Ghazi pura-pura penasaran.

"Seorang perempuan yang jatuh cinta sama sahabatnya tapi lelaki itu malah menikah dengan kakaknya. Terus akhirnya dia nikah sama seorang dokter yang dari dulu udah suka sama dia," terang Razita singkat. "Aku suka sama penulisnya Kak! Hebat!"

Ghazi mangut-mangut. "Sayangnya gue nggak baca novel romantis gitu," tolaknya halus. "Tapi kelihatannya bagus sih ceritanya. Klise ya hidup ini, kalau nggak nikah sama orang yang kita inginkan ya sama orang yang menginginkan kita."

"Ya mau gimana lagi, emang udah jodoh," jawab Razita singkat. Pasalnya ia tidak pernah membahas topik sejenis ini dengan lawan jenis pula.

"Lo sendiri gimana?"

"Hah? Apanya?"

"Maunya nikah sama siapa? Orang yang lo cintai atau orang yang mencintai lo?" Dari sekian banyak pertanyaan kenapa Ghazi malah mengajukan pertanyaan yang Razita sendiri belum tahu apa jawabannya.

"Opsi kedua," jawab Razita pada akhirnya.

Ghazi membulatkan mulutnya. Ia pikir Razita akan memilih opsi pertama. Mengingat kebanyakan perempuan tulus sepertinya akan memilih mencintai daripada dicintai. Namun, ia lupa. Bukan Razita namanya kalau tidak membuatnya terkejut.

"Kenapa?"

Razita tampak berpikir keras. Sebab ini benar-benar mendadak. "Dulu, ada orang yang pernah bertanya pada Imam Hasan perkara dengan siapakah beliau harus menikahkan putrinya? Kemudian Imam Hasan menjawab, Nikahkanlah dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah. Kalau laki-laki itu mencintai anakmu, ia akan memuliakannya, dan kalau tidak mencintainya, ia tidak akan menganiayanya."

MasyaAllah, kalau gini gimana saya nggak jatuh cinta sama kamu?

Kalimat itu lewat sebentar di pikiran Ghazi. Syukurlah buru-buru ia beristigfar dan mengalihkan pandangannya ke arah selain wajah Razita.

"Kakak sendiri gimana?" Razita yang tidak menyadari keterkejutan Ghazi atas kalimatnya malah balik bertanya.

"Gue opsi pertama." Ghazi menoleh sesekali ke arah Razita.

"Kenapa? Karena Kakak laki-laki jadi harus mengejar?" Tebak Razita klise.

Ghazi menggeleng. "Terlepas gue sebagai laki-laki atau bukan, gue akan tetap memperjuangkan orang yang gue cintai," jawabnya mantap.

Kayak usaha gue ke lo, Ta, batinnya tak berani menyuarakan. Syukur-syukur jika Razita sadar. Jika tidak maka biarlah. Memang sudah nasibnya.

Mendadak situasi menjadi canggung. Baik Razita maupun Ghazi tidak mau meneruskan topik ini lebih lanjut. Takut jika apa yang mereka harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.

Sebab sejatinya sejauh apapun kita menginginkan seseorang, hanya ada satu nama yang akan bersanding dengan kita sampai ajal tiba, yaitu dia yang namanya tertulis di Lauhul Mahfudz untuk kita.

Cukup lama keduanya sibuk memilah-milah buku, Ghazi dan Razita sama sama menoleh seolah hendak berkata bahwa mereka sudah menemukan buku yang sesuai. Ghazi lebih dulu menaruh buku pilihannya di depan Razita. Pada salah satu halamannya tertulis quotes seperti ini,

Orang yang paling sabar di antara kamu ialah orang yang memaafkan kesalahan orang lain padahal dia berkuasa untuk membalasnya. (HR Baihaqi)

"Makasih, Ta udah ngasih gue kesempatan untuk menebus dosa gue ke keluarga lo!" Ujarnya diakhiri senyuman lantas meninggalkan Razita yang masih membeku di tempatnya. Perlahan pandangan Razita turun ke buku di tangannya. Di sana tertulis,

Jadilah seperti bunga yang memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang telah menghancurkan keindahannya. (Ali bin Abi Thalib)

Padahal Razita ingin menunjukkan quotes ini pada Ghazi. Namun, ia buru-buru menghilang. Sehingga Razita hanya bisa terdiam dengan perasaan berkecamuk.

Kenapa quotes mereka bisa berkesinambungan? Apa ini ada kaitannya dengan perbincangan mereka tadi? Ah, tidak mungkin!

Razita lantas menutup kedua buku itu dan mengalihkan pikirannya. Setidaknya hatinya mulai menghangat karena ucapan 'terima kasih' Ghazi tadi. Secepat inikah pengaruh Ghazi pada hatinya?

☆☆☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro