[26] Alasan di Balik Kata Maaf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Memaafkan memang tak akan mengubah masa lalu, tapi pasti akan mempermudah masa depan."

☆☆☆

Rasanya lama sekali sejak terakhir mereka melihat hujan turun di siang hari. Karena itu, alih-alih makan di kantin dalam, mereka berempat memilih untuk membeli pop mie di luar gedung sambil memandangi rintik-rintik air yang membasahi bumi. Beberapa orang juga nampaknya menikmati situasi serupa. Ada yang dengan bakso ataupun mie ayam.

"Sekali lagi makasih ya Kak bantuannya buat yang tadi!" Ujar Zahra melirik Ghazi. Namun, sepertinya dia tidak menyadari kalau ucapan itu ditujukan padanya sampai Sekar menyenggol kakinya.

"Lo ngomong sama gue? Emang gue ngapain?" Ghazi benar-benar tidak sadar.

"Yang laptopnya Razita ngehack tadi. Kalau datanya hilang nggak kebayang deh!" Zahra masih terngiang kejadian beberapa jam yang lalu.

Perkataan Zahra membuat Razita teringat sesuatu. "Oh ya makasih Kak, maaf tadi keburu lupa nggak bilang," ujarnya sungkan.

Pagi ini tadi mendadak semua file di laptop Razita hilang. Untunglah masih bisa dipulihkan. Karena semua file itu adalah file penting pekerjaannya. Padahal sebelum berangkat Razita sudah membaca doa. Namanya saja ujian, datangnya pasti tiba-tiba ya. Syukurlah Allah masih mengirim perantara untuk membantunya. Tapi dari sekian banyak umat di bumi kenapa harus Ghazi lagi?

"Nggak terasa ya tiga hari lagi acara ini udah selesai, padahal masih pingin banget terlibat acara literasi kayak gini. Tahum depan juga pasti jatuhnya nggak di Surabaya lagi," komentar Zahra sedikit kecewa.

Pasalnya tadi siang untuk pertama kalinya Zahra bisa memberi masukan pada beberapa penulis secara langsung tentang naskah mereka karena kebetulan hari ini dan besok Lovemedia sedang membuka sesi konseling naskah bersama editor. Jelas ini menjadi kebanggan tersendiri baginya yang setiap hari hanya berkomunikasi via email dengan penulis.

"Tapi seenggaknya kita udah pernah ngrasain gimana rasanya jadi mentor sih, Ra," imbuh Razita yang juga senang karena bisa memberi masukan terkait penulisan sebuah naskah setelah Zahra mengomentari bagian isinya.

"Mentor apa?" Tanya Sekar tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

"Jadi tadi penerbit kami adain sesi konseling naskah Mbak sama penulis. Bukan penerimaan naskah lagi," jawab Zahra antusias.

Sekar melirik Ghazi sekilas lantas mengangguk. "Bagus juga ide kalian!"

"Idenya Razita!" Zahra menunjuk Razita di sebelahnya. "Kata dia biar penulis bisa tahu salahnya dimana dan memperbaiki. Soalnya kalau email seringnya nggak kebales."

"Barangkali Mbak mau bikin sesi gitu juga, lumayan bisa ngramein stand juga," usul Razita serius. Baginya tidak ada persaingan antara kedua penerbitan mereka.

"Apalagi kalau yang jadi mentor Kak Ghazi, ya nggak Zit?" Zahra menyenggol Razita di sebelahnya tapi malah Ghazi yang tersedak. Sekar sontak menertawakannya.

Razita yang merasa tidak enak langsung menyodorkan sebotol air putih. "Minum, Kak!"

Ghazi yang sudah menegak minuman itu lantas berujar, "Gue nggak bakat jadi mentor!"

"Terus yang biasanya piching desain waktu rapat siapa?" Sindir Sekar tidak setuju.

Ghazi hanya mengendikkan bahu. "Razita kali," celetuknya asal.

Razita langsung membulatkan matanya. "Mana pernah aku piching? Orang desain aku aja masih berantakan. Kan aku dulu editor. Kalau ikut desain palingan cuma bikin konsep," ujarnya membenarkan.

"Desain mengikuti konsep. Kalau dari awal konsepnya udah bagus ya desainnya bagus juga kalau konsepnya jelek ya jelek," debat Ghazi tak mau kalah.

"Ya nggak bisa, tergantung orangnya!" Razita masih ingin menimpali. Keduanya yang saling tidak ingin dipuji malah berujung dengan perdebatan yang tak kunjung usai.

"Bisa lah, suka-suka gue, orang gue yang ngomong!"

"Yaudah jangan sangkut pautin nama aku kalau gitu!"

"Lo dulu yang mulai!" Ghazi mulai menaikkan suaranya.

"Kok aku? Kan kakak dulu yang nyebut nama aku!"

"Terusin aja sampai hujannya selesai!" Sindir Zahra tapi tidak digubris.

Razita dan Ghazi masih saling melempar opini masing-masing dan tidak ada yang ingin mengalah.

"Iya udah kalian sama-sama bener!" Sekar menengahi namun suaranya hanya dianggap angin lalu. Meja makan ini seperti sudah beralih fungsi menjadi meja debat kursi panas.

"Berantem sekali lagi, gue doain lo berdua JODOH!" Sekar sengaja mengeraskan suaranya barulah keduanya sama-sama terdiam. Entah karena takut dengan mimik wajah Sekar atau ucapannya.

"Nah gitu dong! Tinggal saling memberi pujian aja apa susahnya sih, nggak usah saling debat. Biasanya yang sering berantem ujung-ujungnya demen!"

"Kalo ini sih udah demen!" Cicit Zahra selirih mungkin.

"Apa, Ra?" Sayangnya telinga Razita masih cukup normal untuk mendengarnya.

"Enggak aku nggak bilang apa-apa!"

Tidak ingin pembicaraan berlanjut lebih jauh dan agar wajahnya tidak semakin memerah karena dijadikan bahan bercandaan, Ghazi segera bangkit dari kursinya. Beruntunglah popmie-nya sudah habis di saat yang tepat.

"Cepet amat Gaz makannya!" Ujar Sekar tidak mendapat balasan. Setelah kepergian Ghazi mereka kembali mengobrol seperti biasa. Razita juga bisa kembali menormalkan degup jantungnya yang mulai berdetak tidak karuan.

☆☆☆

Setelah insiden laptop pagi tadi, siang ini Razita kembali mendapat musibah. Popmie yang ia makan tanpa sengaja tersenggol Zahra sehingga kuahnya membasahi hampir sebagian roknya. Karena itu Razita bergegas ke toilet untuk membersihkannya.

"Hmm alhamdulillah, senggaknya Razita udah nggak marah lagi sama gue."

Merasa namanya disebut Razita yang kebetulan melewati toilet pria menghentikan langkahnya. Ternyata benar, disana ada Ghazi yang sedang bertelepon dengan seseorang entah siapa. Tapi kenapa namanya dibawa-bawa lagi? Karena penasaran Razita tetap berdiam diri di balik dinding tersebut.

"Iya Nil gue tahu, ini gue juga lagi berusaha biar dia bisa maafin gue sepenuhnya,"

Razita tertegun. Entah mengapa mendadak rasa bersalah menyeruak di hatinya. Sekuat itukah usaha Ghazi untuk meminta maaf darinya? Jadi dia benar-benar menyesal?

"Kenapa sih Gaz, lo ngotot banget dapetin maaf dari dia?"

Razita tahu itu suara Daniel. Cukup lama Ghazi terdiam dan itu membuat Razita semakin cemas. Kenapa ia tidak kunjung menjawab?

"Gue nggak mau kehilangan dia, Nil. Gue cinta sama dia."

Wajah Razita seketika pias. Ia pikir jawaban yang keluar dari mulut Ghazi adalah karena dia benar-benar merasa bersalah karena sudah membohongi Razita. Mungkin kalau situasinya lain Razita akan senang mendengar penyataan itu tapi sekarang tidak. Ia tidak menyangka ternyata niat Ghazi hanya supaya Razita tidak marah lagi. Tidakkah sedikitpun laki-laki itu menyesali perbuatannya?

"Zita," ujar Ghazi terkejut kala mendapati Razita berdiri di sana. Tidak tahu sejak kapan. Apalagi dengan pergerakan tangan Razita yang menghapus air mata di pipinya. "Lo nangis Ta? Kenapa? Siapa yang-"

Razita hendak pergi namun tangannya dicekal oleh Ghazi. Beruntunglah Ghazi memegang lengan bagian atasnya sehingga kulit mereka tidak bersentuhan. Razita segera menjauh dan tetap tidak ingin menatap wajah Ghazi.

"Ta lo kenapa?" Ghazi sendiri tidak tahu apa yang membuat Razita sampai menangis.

Apa jangan-jangan Razita mendengar percakapannya dengan Daniel tadi? Tapi bagian mana yang salah? Ia tidak merasa mengatakan sesuatu yang buruk tadi.

"Lo denger ap--"

"Iya dengar," sahut Razita cepat. "Aku kira selama ini Kak Ghazi tulus minta maaf ke aku karena Kakak bener-bener ngrasa bersalah. Aku kira selama ini Kakak baik ke aku karena memang Kakak baik. Tapi ternyata apa? Kakak egois. Kakak cuma mentingin perasaan Kakak aja!" Ujarnya menggebu-gebu karena berusaha agar tidak meneteskan air mata lagi. Apalagi di depan laki-laki yang sudah membuatnya kecewa lagi.

"Gue bener-bener nggak paham maksud lo apa, Ta!"

Razita tersenyum miris. "Sekarang aku tanya. Waktu Kakak minta maaf ke aku siapa yang Kakak lihat? Aku atau kedua orang aku? Rasa bersalah itu buat siapa?"

Ghazi meraup wajahnya kasar. Ia tidak mengira Razita akan salah paham dengan maksud ucapannya tadi. "Lo salah pahan Ta maksud gue ta--"

"Aku nggak mau denger lagi! Intinya aku butuh jawaban dari pertanyaan aku barusan!" Razita mulai memandangnya dengan mata berair.

Ghazi menghela napas panjang. Berhati-hati agar tidak salah bicara lagi. Kenapa perempuan selalu membuat kesimpulannya sendiri tanpa mau mendengar penjelasan yang sebenarnya?

Walaupun begitu Ghazi tidak boleh menyerah. Ia hanya harus meluruskan kesalah pahaman ini saja. "Kalian berdua. Gue merasa bersalah sama kalian berdua, Ta."

Tatapan Razita mulai meredep tidak nyalang seperti tadi tetapi hatinya masih tidak percaya. "Apa buktinya kalau Kakak benar-benar menyesal?"

Ghazi menhgernyitkan keningnya. "Maksud lo apa? Kalau gue nggak merasa bersalah gue pasti nggak akan rela nglakuin apapun supaya lo bisa maafin gue, Ta!"

"Bukan karena Kak Ghazi nggak mau kehilangan aku?"

Ghazi tercekat. Apa maksud Razita dengan membelitkannya pada pertanyaan semacam ini. "Iya itu juga salah satu alasannya," jawabnya mengakui.

Percuma saja berbohong. Toh, Razita sudah mendengar semuanya.

"Tapi di sisi lain gue juga nggak tahu harus dengan cara apalagi supaya lo percaya kalau gue bener-bener menyesal."

Razita semakin bimbang. Semua perhatian yang selama ini Ghazi berikan memang terasa tulus untuknya tapi entahlah. Razita hanya ragu kalau perasaan Ghazi padanya hanya sekadar obsesi atau lebih parahnya Ghazi hanya ingin membersihkan nama baiknya dengan permintaan maaf dari Razita.

Astagfirullah, hentikan hamba dari pikiran buruk ini ya Allah.

"Oke kalau Kakak benar-benar menyesal. Ada satu cara untuk membuktikan."

"Apa?"

"Kalau emang tujuan Kakak mendapat maaf dari aku, iya aku akan maafin Kakak. Tapi tolong jangan pernah muncul lagi di hadapan aku setelah ini!"

Ghazi terlihat ingin menyela namun Razita tidak memberinya kesempatan bicara.

"Kalau emang Kakak benar-benar menyesal harusnya Kakak menyetujui hal ini. Kecuali kalau Kakak benar-benar egois," ancamnya halus.

Tanpa Razita sadari, ekspresi wajah Ghazi sudah mengeras, tangannya mengepal sempurna menahan gejolak emosi dari dirinya sendiri. Apakah salah jika ia berharap Razita memaafkannya sekaligus perasaannya terbalaskan. Apa itu terlalu egois sehingga Razita harus membuatnya memilih salah satu di antaranya. Setidak pantas itukah dirinya di mata Razita? Atmosfer ruangan itu mendadak berubah dingin.

"Apa kalau gue benar-benar nggak muncul di depan lo setelah ini lo akan bener-bener maafin gue?" Ujar Ghazi pasrah.

Melihat anggukan kepala Razita membuat bahu Ghazi merosot seketika.

"Oke kalau itu yang lo mau. Gue akan pergi."

Setelah mengatakan itu Ghazi keluar lebih dulu meninggalkan Razita yang seketika langsung tertunduk di lantai dan membekap mulutnya agar tangisannya tidak terdengar.

Ia sendiri yang menyuruh Ghazi untuk pergi tapi kenapa mendengarnya langsung dari mulut Ghazi terasa sangat berbeda. Itu sungguh menyakitkan.

Namun, mungkin dengan begini semuanya akan usai. Mereka akan impas. Ghazi berhasil mendapat maaf dan Razita bisa menjalani hidupnya dengan damai tanpa bayang-bayang pria itu lagi.

Salahkan keduanya yang terlalu berharap satu sama lain. Padahal mereka tahu bahwa satu-satunya yang tidak pernah mengecewakan harapan hanyalah Allah Swt. Hanya Dia. 

☆☆☆

Dari penulis

Kapal Razita dan Ghazi harap bersabar ya, mereka emang hobinya berantem!

Kita amati aja kelanjutannya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro