[30] Hipotermia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mungkin karena satu ucapan bisa mengantarkan kita ke surga. Namun, ada juga satu ucapan yang dapat menyeret kita ke neraka. Maka, pandai-pandailah menjaga lidah. Karena lidahmu bisa menjadi cerminan dari hatimu."

☆☆☆

Hipotermia. Satu kata yang sejak tadi menghantui kepala Razita karena tepat tengah malam tadi ia baru saja mendapat telepon dari Sekar yang seharusnya masih ada di kereta sekarang.

Dan dengan tergesa-gesa Razita langsung bangun dari tempat tidurnya. Bagimana tidak, Sekar memberitahunya kalau Ghazi baru saja menelpon Yudha dan bilang kalau ia sedang menggigil. Tidak tahu apa alasannya yang jelas dari intonasinya ini bukan sekadar keadaan menggigil biasa.

"Mbak takut Ghazi kena hipotermia, Ta!"

Sama, itu juga yang dikhawatirkan Razita. Berulang kali ia mondar-mandir di kamar karena bingung harus melakukan apa. Aduh, gimana ya, masalahnya ini sudah pukul satu dini hari. Tidak mungkin ia bertamu ke rumah seseorang di jam begini. Apalagi Ghazi laki-laki dan ia perempuan. Apa kata tetangga nanti?

Tapi kalau dibiarkan, bagaimana kalau Ghazi benar-benar terserang hipotermia lalu pingsan dan...

"Astagfirullah jangan mikir aneh-aneh, Ta! Mikir-mikir gimana caranya?" Ujarnya bermonolog sendiri.

Kalau saja beberapa jam yang lalu bukan Ghazi yang mengantarnya, Razita bisa saja berpura-pura tidak tahu. Namun, ia tahu betul kalau alasan Ghazi seperti ini adalah karena mengantarkan dirinya dengan hujan-hujanan beberapa jam lalu.

Mana budhenya tidak ada di rumah lagi. Apa dia harus berangkat sendiri?

Tidak mau membuang waktu terlalu banyak hanya untuk berpikir Razita segera mengambil jaket, sarung tangan, dan beberapa perlengkapan lainnya. Berbekal alamat yang dikirimkan sekar dan GPS mau tidak mau Razita harus menolongnya.

***

"Jadi Nak Razita ini siapanya? Pacarnya ya?"

"Eh, bukan Bu, saya cuma temennya aja. Nanti tolong ibu temenin sekalian ya di dalem biar saya nggak berduaan," ujarnya pada Ibu kost Ghazi. Kebetulan saat Razita sampai beliau baru saja selesai sholat tahajjud sehingga Razita tidak perlu mengetuk pintu rumah orang lama-lama.

"Tadi saya sempet ketemu waktu pulang masih nggak papa loh malahan tadi sempet saya tanya, kok hujan-hujanan Mas? Terus katanya iya Bu lupa bawa payung gitu."

Lah, seingat Razita malahan Ghazi bilang sengaja hujan-hujanan. Hmm, ada yang aneh.

"Iya Bu, saya takutnya kena hipotermia!" Ujar Razita di tengah perjalanan.

Keduanya tergopoh-gopoh menuju kamar Ghazi. Setelah kunci candangan itu diputar beberapa kali barulah pintu terbuka. Yang benar saja, tubuh Ghazi sudah meringkuk menggigil disana.

"Astagfirullah." Saking paniknya bukannya mengucap salam Razita malah beristigfar.

"Ini badannya dingin banget," ujar Ibu kost setelah menyentuh dahi Ghazi. Pria itu masih sadar tetapi matanya hanya sanggup terbuka separuh sementara bibirnya hanya bergemelatuk menahan dingin tidak sanggup berkata apa-apa lagi.

Razita langsung mengeluarkan selimut yang ia bawa dari rumah beserta jaket, kaos kaki, dan penutup kepala juga. Sudah ia duga kalau barang-barang ini sangat berguna.

"Ini bajunya basah semua, nggak mau digantiin dulu, Mbak?"

"Em- gimana ya Bu saya--"

Keduanya menoleh ke arah Ghazi yang ternyata perlahan menggelengkan kepalanya, "Ja-- jangan dilepas."

Huhh, syukurlah. Karena sudah menduga hal ini akan terjadi Razita mengeluarkan handuk kecilnya. "Ini buat ngelap keringatnya, Bu."

Sementara Ibu kost merawat Ghazi, Razita segera menuju ke dapur di sudut ruangan. Menyalakan kompor dan merebus sedikit air. Ia juga berniat mencari jahe untuk dijadikan tambahan sayangnya tidak ada satupun rempah-rempah di sini.

Ah, iya mana mungkin ada toh rencana hari ini Ghazi seharusnya pulang ke Bandung kalau saja ia tidak berbaring tak berdaya di ranjang seperti itu. Setelah airnya matang, Razita menuangkannya ke dalam gelas dan memberi tambahan sedikit air biasa agar menjadi hangat.

"Kamu bantu masangin di kepalanya ya!" Razita langsung mengambil topi tersebut dan memasangkannya di kepala Ghazi. "Permisi, Kak," lirihnya.

"Ra- zita," entah kenapa Ghazi memanggilnya yang jelas setelah itu ia langsung tidak sadarkan diri.

"Kak Ghazi, Kak!" Razita menepuk-nepuk pipinya tapi tidak ada tanda-tanda matanya akan terbuka. "Bu, pingsan."

"Astagfirullah!" Pekik sang Ibu. Keduanya sempat panik meskipun tubuh Ghazi sudah terbungkus rapat dari atas sampai bawah. "Gimana ini? Diantar ke rumah sakit aja gimana? Tapi disini rumah sakit yang 24 jam agak jauh. Takutnya kalau dibawa kemana-mana malah kedinginan di jalan."

"Sebentar ya, Bu." Razita langsung mengambil ponsel. Menelpon satu-satunya orang yang bisa dimintai bantuan. "Halo, assalamualaikum, Ra!"

"Waalaikumsalam. Ya Allah Ta ngapain kamu tengah mal-"

"Ra, tolongin aku ya! Tetangga kamu dokter kan? Tolong kamu tanya ke beliau ya sekarang kalau ada orang hipotermia terus pingsan harus gimana? Aman nggak?"

"Bentar Ta, maksud kamu? Siapa yang hiportermia?"

"Kak Ghazi Ra!" Teriak Razita spontan.

"Loh kok bis--"

"Tanyanya nanti aja! Sekarang kamu bangunin dulu dokternya pliss, ini gawat banget Ra. Aku takut ada apa-apa nanti." Sebab ini pertama kalinya Razita menangani orang hiportemia. Dia bukan dokter dan tidak punya keahlian di bidang itu, pantas kalau dia khawatir. Apalagi ini menyangkut nyawa seseorang.

Sekitar lima menit kemudian Zahra kembali menelponnya. Atas saran dari dokter tersebut Razita meminta Ibu kost untuk memberikan kompres hangat di area leher untuk melancarkan sirkulasi darah karena di area tersebut terdapat banyak pembuluh nadi.

Mereka berdua juga bergantian menggosok baik telapak tangan maupun telapak kakinya. Untunglah Razita sudah memakai sarung tangan tadi sehingga mereka tidak perlu bersentuhan secara langsung.

Sekitar satu jam kemudian suhu tubuhnya sudah mulai menghangat. Dan sepertinya kali ini Ghazi sudah tidak pingsan lagi melainkan tertidur karena embusan napasnya mulai terdengar teratur. Ibu kost itu pun berpamitan pulang setelah menyerahkan kunci cadangan ke arah Razita. Razita sendiri tidak tahu apakah ia harus meninggalkan Ghazi saat ini atau tidak. Bagaimana jika hipotermianya kambuh lagi?

Alhasil Razita pun menyeret kursi tunggal dan duduk di luar kamar dengan pintu yang terbuka. Ia hanya akan menunggu sampai fajar tiba setelah semuanya aman Razita akan kembali pulang. Namun, karena belum tertidur sama sekali sejak tadi Razita tidak sadar kalau matanya perlahan terpejam.

☆☆☆

Ghazi ingat sebelum ia benar-benar menutup mata tadi tubuhnya menggigil kedinginan sampai ia sempat mengira nyawanya tidak akan tertolong lagi, tetapi kenapa sekarang rasanya sangat hangat? Dan benar saja, ketika ia membuka mata. Ada tiga buah selimut, sebuah jaket tebal, penutup kepala, dan juga kaos kaki yang entah milik siapa terpasang di tubuhnya. Matanya kemudian beralih ke tempat lain dan menemukan seorang perempuan tertidur di luar kamarnya.

"Razita?" Ia langsung mengingat-ingat kejadian semalam. Tidak, lebih tepatnya hari ini, dini hari ini. Ya, dia ingat. Setelah ia menelpon Yudha dengan kondisi setengah sadar pasti Yudha memberi tahu Sekar dan berakhir dengan Razita di sini.

Tapi bagaimana perempuan itu tahu alamatnya? Bagaimana caranya dia bisa masuk?

"Ta, Razita!" Ghazi mengguncang pelan bahu Razita karena ternyata ini sudah pukul setengah lima pagi dan kemungkinan besar baik dirinya ataupun Razita belum ada yang sholat subuh. "Razita, Raz--"

"Astagfirullah!" Razita langsung berjingkat dan hampir saja jatuh dari kursinya. "Eh, em maaf Kak!" Razita berdiri dari kursi. "Kalau Kak Ghazi udah sembuh, aku mau pamitan pulang."

Ghazi tidak punya alasan untuk mencegah kepergian Razita. Ia pun membereskan barang-barang milik peremmpuan itu. "Biar saya cuci dulu, besok saya kembalikan!" Ujar Ghazi tidak enak hati karena sudah merepotkan.

"Nggak usah, Kak. Lagian bukannya Kak Ghazi harus ke Bandung hari ini kan?" Jawab Razita yang masih setia menunggu di luar.

Ghazi terdiam cukup lama. "Udah telat. Tiketnya jam tiga pagi."

Ghazi hendak mengantarkan Razita sampai ke depan gerbang tetapi perempuan itu menolaknya.

"Makasih ya Ta bantuannya," ujarnya gugup sambil sesekali menggaruk kepala yang jelas tidak gatal.

"Sama-sama." Razita mengangguk.

"Oh ya..." Razita kembali berbalik. "Lain kali ukur dulu kemampuan diri sendiri sebelum membantu orang lain. Jangan sampai bantuan itu membuat diri kita sendiri terluka."

Ghazi sempat tertegun beberapa saat. Dari awal ia tidak pernah berharap Razita akan terkesan atas bantuannya. Ia benar-benar ikhlas melakukannya tapi perkataan Razita barusan, entah kenapa membuatnya sedikit tersinggung.

"Tidak semua biji padi yang ditanam menghasilkan padi dalam jumlah yang sama. Kadang kala ada lebih banyak rumput yang tumbuh daripada tanaman padi itu sendiri. Tapi kalau petani berhenti menanam padi maka ribuan orang tidak akan makan saat ini."

Razita menghentikan langkahnya. Berbalik dan mengerutkan keningnya. "Maksutnya?"

"Kalau kita menolong seseorang hanya karena ingin mengharap balasan yang serupa maka itu bukan pertolongan tapi perbisnisan. Dalam tolong menolong nggak ada yang namanya untung rugi, Ta kalau dari awal diniatkan Lillah. Perkara balasan, itu bukan tugas manusia tapi Allah sendiri yang akan membalas."

Entah bagian mana dari kalimatnya yang terkesan menyinggung. Tetapi melihat ekspresi Ghazi sepertinya ada kesalah pahaman disini. "Kak aku nggak bermaksud--"

"Enggak. Kamu nggak salah apa-apa kok. Aku cuma bilang aja." Antara ucapan dan raut muka Ghazi jelas jauh berbeda.

Razita menghela napas panjang. "Dan akan lebih baik sebelum menyimpulkan sesuatu kita bisa melihat dari kedua sisi. Kadang apa yang mata kita lihat dan telinga kita dengar tidak sama dengan apa yang sesungguhnya. Karena seringkali kita juga tidak menyadari siapa yang sedang berbicara, hati kita atau logika kita?"

Baru saja Razita berbalik ucapan Ghazi kembali menyinggung egonya. "Kalau sekarang saya tanya ke kamu apakah kamu sudah memaafkan saya apakah jawabannya masih tetap sama?"

"Iya, sudah," jawabnya tanpa menoleh.

"Siapa yang berbicara, hati kamu atau logika kamu?" Pancing Ghazi lagi.

Razita berbalik dengan setengah kesal. "Menurut Kakak? Kalau saya nggak memaafkan Kakak untuk apa saya tengah malem dateng kesini sendiri baw--" Razita langsung menjeda ucapannya ketika sadar kalau ia sudah kelewatan. "Terserah Kak Ghazi mau menganggapnya apa. Yang jelas saya sudah memaafkan Kakak sepenuh hati. Saya pamit, Assalamualaikum."

"Terima kasih," ucap Ghazi lirih. "Di saat saya belum memaafkan diri saya sendiri terima kasih karena kamu mau memaafkan saya. Maaf juga kalau selama kehadiran saya banyak membuat kamu terluka. Saya sudah berjanji pada kamu kalau saya tidak akan muncul lagi di depanmu setelah ini. Izinkan saya menepati janji itu."

Razita tidak menjawabnya. Perempuan itu hanya berlalu. Tidak bisakah Ghazi langsung pergi saja tanpa harus berkata seperti itu.

Baginya ucapan perpisahan malahmenyakitkan karena itu sama saja menimbulkan kesan seolah mereka tidak akan bertemu lagi, selamanya.

☆☆☆

Dari penulis

Jangan senang dulu ya🤣 dari kemarin damai sekarang mulai cek-cok lagi. Sabar yaa bentar lagi ending.

Tim happy ending atau sad ending?

Jazakumullah khair atas semua dukungannya selama ini. Semoga cerita ini bisa bermanfaat ya meskipun sedikit


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro