[31] Tiada?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tim happy ending siapkan hati dan mental dulu sebelum baca part ini!

Nb : Kalau udah baca jangan marah-marah yaa > <

____

"Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu." (Imam Syafi'i)

☆☆☆

Hati-hati apabila bermimpi gigi lepas, itu bisa menjadi pertanda buruk akan kehilangan sesuatu atau kehilangan orang terdekat kita.

Begitulah hasil searching di google Razita pagi ini tadi. Sebenarnya ia tidak begitu mempercayai tafsir mimpi seperti ini tapi entah kenapa mimpi buruk kemarin malam rasanya agak berbeda. Razita pernah merasakan hal serupa saat orang tuanya mengalami kecelakaan dulu. Bedanya dulu ia bermimpi memetik bunga turi sementara kali ini giginya lepas.

"Kamu mimpi buruk, Zita?" Sepertinya Razita terlalu tegang sampai tidak menyadari kalau budhenya sudah keluar kamar dan duduk di sebelahnya.

Razita mengangguk pelan. "Salah ya Budhe kalau Razita lihat tafsir mimpi gini?"

"Kamu lupa kalau Nabi Ibrahim dulu hendak menyembelih putranya karena meyakini perintah Allah melalui mimpinya, Nabi Yusuf juga pernah menafsirkan mimpi banyak orang sampai beliau diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir, Abu Bakar dan Rasulullah pun pernah menafsirkan mimpi seseorang." Budhenya memang tidak pernah memberi jawaban pasti, selalu meminta Razita mengartikannya sendiri.

"Jadi artinya boleh?" Tanya Razita ragu.

Budhenya menggeleng. "Mimpi itu hanya berupa kabar gembira atau peringatan, Zita. Kalau memang kamu takut kamu boleh waspada tapi jangan menyakininya sungguh-sungguh. Wallahu a'lam. Segala sesuatu di dunia ini hanya akan terjadi atas izin Allah swt."

Razita masih belum bisa tenang. Bagaimana kalau mimpi itu benar terjadi? Ia harus kehilangan siapa lagi kali ini? Membayangkannya saja Razita sudah tidak sanggup.

"Kamu jangan lupa kalau mimpi itu ada tiga macam : bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah, daripada kamu mikir yang aneh-aneh lebih baik kamu berdoa supaya hati kamu tenang," pungkas Budhenya sebelum kembali ke kamar. Meninggalkan Razita sendiri, barangkali perempuan itu perlu waktu untuk merenungi tindakannya.

☆☆☆

"Jeng, udah denger belum kalau Bu Hamidah yang biasanya narik arisan meninggal dunia?" celetuk salah seorang tetangga Razita saat ia baru sampai untuk membeli sayur.

Memang kalau sudah di tukang sayur berita apapun mulai dari ujung kompleks sudah pasti terdengar.

"Innalillahi, bukannya kemarin masih narik di sini?" Sahut yang lainnya.

Sedangkan Razita hanya bisa mendengarkan karena ia juga juga tidak mengenali orang yang mereka bicarakan, mungkin kalau budhenya pasti tahu.

"Katanya kena serangan jantung."

"Ya namanya umur gak ada yang tahu."

Razita tertegun. Mendadak ia kembali mengingat mimpinya. Niat kemari untuk mengalihkan pikiran malah menambah beban pikiran.

"Loh, itu masih mending. Saudara saya malah gak sakit apa-apa cuma kepleset di kamar mandi langsung meninggal," imbuh Bu Ima, penjual sayur.

Entah kenapa setiap kali membahas tentang kematian dada Razita selalu berdebar kencang. Setiap orang memang akan selalu menghadapi kematian termasuk dirinya tapi trauma ditinggalkan kedua orang tuanya secara tiba-tiba sepertinya masih membekas dan sulit untuk dilupakan.

Jujur sebenarnya Razita sendiri masih takut kalau tiba-tiba ajalnya datang. Rasa takut itu karena ia sadar bahwa amal baiknya tidak sebanyak itu, amal itu jelas masih belum cukup untuk membawanya sampai ke Surga Allah tapi ia juga masih belum siap menghadapi api neraka.

Sampai detik ini pun Razita masih mencari cara bagaimana agar dirinya bisa ikhlas. Entah itu ditinggalkan atau meninggalkan. Apakah setiap orang juga sama sepertinya, takut akan kematian?

Tidak mau terlalu lama terhanyut dalam pembicaraan mereka, Razita segera membayar belanjaannya dan pulang ke rumah. Untuk mengalihkan pikiran buruknya, Razita akhirnya berusaha untuk membuat dirinya tetap sibuk. Mulai dari memasak, mencuci baju, mencuci piring. Setidaknya kesibukan itu benar-benar membuatnya lupa dengan kegelisahannya. Meskipun hanya sementara

Selesai makan siang, Razita memilih bersantai menonton televisi bersama Budhenya. "Gimana udah nggak kepikiran?"

"Nggak terlalu Budhe, udah biasa sekarang," jawab Razita jujur.

"Emang kadang firasat buruk itu cuma berasal dari pikiran kamu sendiri." Demi memastikan apakah keponakannya berbohong atau tidak, dengan sengaja ia mengganti channel televisi ke berita lokal. Dan secara kebetulan muncul berita kecelakaan.

"Belakangan ini banyak kecelakaan kereta ya?" Pancing Budhenya sengaja sambil sesekali melirik ekspresi Razita yang ternyata biasa saja. Mungkin dia benar-benar sudah melupakan mimpi buruknya tadi.

"Alhamdulillah waktu Razita naik kerata nggak pernah terjadi apa-apa," jawab Razita santai. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Reflek matanya kembali terfokus pada layar.

Kecelakaan kereta Argo Wilis jurusan Surabaya-Bandung menewaskan 54 orang yang berada di gerbong utama, sementara yang lainnya diketahui mengalami luka-luka dan dilarikan ke Rumah Sakit setempat.

Razita spontan berdiri. Bahkan Budhenya sampai ikut terkejut, "Kenapa, Zita?"

"Gak, ini gak mungkin," Razita langsung berlari ke kamarnya berniat mengambil ponsel dan menelpon Sekar namun sebelum itu, nama Sekar sudah tertera di layar hapenya.

"Assalamualaikum, Zita." Belum sempat Razita menjawab Sekar langsung memberondongnya. "Zit, ini tadi Mbak baru tahu kalau kereta yang dinaiki Ghazi kecelakaan ini kan posisinya di Jombang, kamu bisa nggak cari tahu kesana dulu dia jadi korban apa gimana soalnya udah Mbak hubungi ponselnya gak bisa."

Razita masih terdiam, bingung harus berkata apa. Apa ini arti firasatnya tadi? Tapi Ghazi bukan siapa-siapanya.

"Hallo- Razita? Kamu masih di sana?"

"Ha- em- iya Mbak," jawab Razita tergagap.

"Ini Mbak sama Yudha sama Daniel mau ke rumahnya Ghazi ngasih tahu Mamanya sekalian berangkat ke sana. Tapi kamu tahu kan kalau itu perlu waktu cukup lama. Mbak cuma gak mau bikin Bibi khawatir, kamu bisa bantu kami kan? Tapi kalau kamu repot gak usah gak papa," dari suara Sekar yang serak bisa Razita tebak kalau ia habis menangis.

"Gak papa, Mbak. Habis ini aku coba ke Jombang." Dan setelah telepon itu tertutup Budhenya langsung menghampirinya di kamar. Sementara Razita masih berdiri tanpa ekspresi.

"Budhe, Kak Ghazi--"

Tanpa banyak bicara seolah sudah mengerti situasi Razita merasakan sebuah pelukan mendarat di tubuhnya. "Budhe Kak Ghazi gak mungkin meninggal kan?"

"Istigfar, Nak. Jangan berburuk sangka dulu. Lebih baik kamu sekarang tenangin hati kamu dulu kemudian kita berangkat bareng-bareng ke sana," tawar Budhenya yang ternyata mendengar perbincangannya dengan Sekar tadi.

☆☆☆

Sesampainya di rumah sakit Razita dan Budhenya langsung menuju bagian resepsionis. Bertanya tentang daftar korban kecelakaan kereta api. Namun, ternyata mereka sih belum membuat daftar rincinya. Hanya ada beberapa nama yang sudah terkonfirmasi identitasnya. Sementara korban lainnya masih dalam proses.

"Kalau mau menjenguk pasien luka-luka bisa ke lantai dua disana ada daftar yang lebih rinci. Kalaupun tidak ada nama anggota keluarga kalian artinya korban selamat atau mungkin meninggal."

Perkataan pegawai itu secara tidak langsung membuat kedua orang itu berjalan cepat bahkan setengah berlari ke lantai dua. Karena sepanjang perjalanan para tenaga medis sibuk menangani pasiennya masing-masing, Razita dan Budhenya memutuskan untuk berpencar untuk mencari di satu persatu kamar.

Sudah semua kamar mereka datangi tetapi wajah Ghazi tidak terlihat di antaranya. Mereka pun kembali ke lantai bawah untuk memeriksa ruang mayat. Ada juga beberapa keluarga korban yang berkerumun di sana. Suara tangisan dari kanan kiri membuat dada Razita makin berdebar. Ketika salah seorang dokter keluar dari ruangan itu, semua orang langsung mengerumuninya.

"Tunggu sebentar! Harap tenang semuanya ini rumah sakit umum! Untuk sementara kami belum bisa memberi data lengkap siapa saja korban dan bagaimana kondisinya, saya harap Bapak dan Ibu mengerti mohon kerja samanya!" Meskipun ada beberapa orang yang masih histeris dan tidak terima, sebagian dari mereka berusaha tetap tenang.

"Oh ya, ini ada beberapa barang yang kami temukan di gerbong utama, tempat para korban ditemukan meninggal dunia. Jika ada salah satu barang milik keluarga kalian mohon segera dilaporkan." Dan ketika dokter itu pergi semua orang langsung berebut mengelilingi nampan berisi barang-barang kecil seperti jam, topi, hp, dan... gelang.

Tangan Razita spontan mengambil gelang hitam itu. "Budhe ini gelangnya--" matanya mulai berkaca-kaca.

Tidak mungkin. Tidak mungkin Ghazi meninggal secepat ini. Orang bilang, irang baik dibutuhkan untuk mengubah dunia ini. Ghazi adalah orang baik. Ia tidak mungkin kan diambil sekarang?

Dan beberapa detik kemudian ponsel Razita berbunyi. Nomer Sekar yang tertera namun ketika Razita mengangkatnya suara wanita lain yang muncul. Ternyata itu adalah mamanya Ghazi. Bagaimana Razita mengatakan kebenaran ini?

"Tante, Kak Ghazi--" mendengar suara terisak dari sana Razita tidak mampu melanjutkan kalimatnya hingga suara Sekar mengambil alih terdengar.

"Halo, Zita? Gimana udah dapat hasilnya?"

"Mbak!" Giliran suara Razita yang bergetar. "Gelang Kak Ghazi ditemukan di gerbong utama. Kata dokter besar kemungkinan kalau--" merasakan sebuah rangkulan di bahunya Razita menoleh. Budhenya tersenyum menguatkan. Razita mengambil napas panjang sebelum akhirnya mengatakan kalimat yang ia sendiri benci mendengarnya.

"Besar kemungkinan kalau Kak Ghazi meninggal."

Entah suara tangisan siapa yang terdengar. Apakah seorang ibu tidak sempat bersama anaknya di saat-saat terakhirnya, atau teman yang selama ini menemaninya, atau seorang perempuan yang tiba-tiba merosot di lantai rumah sakit sambil membekap mulutnya untuk meredam tangisnya.

Andai Razita tahu kalau hari ini adalah hari terakhir Ghazi di dunia ini setidaknya ia akan mengucapkan selamat tinggal atau meninggalkan doa. Bukan malah memancing pertengkaran seperti lusa lalu. Kini, bukan hanya ia yang menyesal. Ada orang lain yang jauh lebih menyesal dan pantas merasa kehilangan. Mereka semua mungkin sama-sama belum mengucapkan selamat tinggal kepada Ghazi.

Karena manusia tidak pernah tahu kapan mereka akan berpisah dengan orang yang mereka sayangi. Bisa lusa, esok, atau hari ini. Setiap waktu adalah kejutan. Dan sudah menjadi tugas kita untuk menghargai setiap detik yang ada dalam dunia yang fana. 

☆☆☆

Dari penulis

Assalamualaikum, maaf ya kalau pagi-pagi bikin jantung copot dengan part ini :v

Yang dari kemarin komen happy ending masih yakin happy ending nggak nih?

Selamat beraktivitas, jangan mikirin Ghazi dulu nanti gak fokus:)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro