[7] Touching My Heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia yang semula bisa membuatku membencinya ternyata juga bisa membuatku kembali mengaguminya lewat lantunan kalam cinta-Nya." 

☆☆☆

Dinginnya angin malam tidak lantas membuat pria berkaos putih itu mendekam diri di dalam kamar atau berdiri di dekat perapian. Ia justru memilih duduk di lantai kayu sambil mendekam kamera yang sepanjang hari sudah menemani harinya. Dari sekian banyak foto yang sudah Ghazi ambil, ia hanya tertarik pada satu foto saja.

Apa yang ia lihat sekarang, membuat Ghazi bertanya-tanya dalam hati, bisa-bisanya tadi sebelum pergi ia sempat mengambil gambar Razita dari kejauhan? Apa faedahnya coba? Bahkan, kalau dipikir-pikir ia jarang sekali atau hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Razita di kantor.

Entah ini hanya perasaannya saja atau memang demikian, tapi Ghazi selalu merasa sikap Razita aneh saat bersamanya. Apa karena kertas itu? atau kopi yang ia berikan pada Yudha? Tapi Razita juga menolak uluran tangannya waktu di Starbucks. Jadi, anggap saja mereka impas.

"Foto siapa tuh?"

Ghazi langsung mematikan kameranya begitu mendengar suara Yudha yang kini sudah duduk di sampingnya dengan alis naik turun meminta jawaban. "Bukan siapa-siapa."

"Bukan siapa-siapa tapi kok disembunyiin," cibir Yudha dengan suara dibuat-buat. "Wah, mentang-mentang gak ada Ines jangan main mata loh, Gas! Kualat baru tau rasa lo!"

"Kualat kenapa?" Daniel yang baru datang dengan membawa segelas pop mie ikut menyahut.

Ujung mata Yudha melirik ke arah Ghazi yang pura-pura sibuk dengan kameranya. "Kayanya ada yang baru tapi bukan oreo!"

Bukannya paham Daniel malah semakin bingung. "Lo ngomong apa sih, Yu?"

Yudha menghela napas panjang. "Susah emang ngomong sama kuda nil!" tangannya mengelus dada atas ketidakpekaan temannya itu. "Tanya aja sama si gas elpiji punya gebetan yang mana lagi sampai gue gak boleh lihat fotonya!"

"Orang gue gak suka kok sama dia!" Ghazi membela diri.

"Gak ada masalah juga kalau lo suka!" Yudha tidak mau kalah.

"Enggak!"

"Pacar baru, Nil! Pacar baru! habis ini kita dapet traktiran lagi!" Yudha semakin gencar menggoda Ghazi. Baginya, penderitaan teman adalah kebahagiannya.

"Loh, lo udah putus sama Ines?" Daniel malah menganggap serius gurauan mereka.

Ghazi berdecak dan sebisa mungkin menahan kekesalannya. "Siapa yang putus sih?!"

"Halah, ngaku aja lo suka sama dia kan?" yudha mengarahkan jari telunjuknya ke depan wajah Ghazi sambil tersenyum jenaka.

"Nggak! Ngapain juga gue suka Razita!"

Keheningan mendadak yang terjadi membuat Ghazi seketika sadar kalau ia sudah masuk ke dalam perangkap Yudha. Dengan seringai lebar, Yudha merasa kemenangan ada di tangannya.

"Emang kapan gue nyebut nama 'Razita'?" tekannya di akhir kata.

"Au ah males!" Ghazi langsung beranjak ke luar balkon. Meninggalkan kedua temannya yang sibuk menertawakan kebodohannya. Seharusnya Ghazi bersikap biasa saja tapi reaksinya terlalu berlebihan tadi. 

Ah, otaknya mungkin sudah tidak waras hari ini!

☆☆☆

Danau Koalin menjadi destinasi terakhir kunjungan mereka di Pulau Bangka. Danau ini terletak di Desa Air Raya, Tanjung Pandan. Sekilas danau ini seperti kawah gunung yang terbentuk alami. Namun, siapa sangka kalau dulunya danau ini merupakan bekas area pertambangan koalin. Sejenis mineral yang biasa digunakan sebagai kosmetik atau obat-obatan.

Warna biru turquoise dari air danau sangat kontras dengan putihnya tumpukan koalin yang tampak seperti salju. Belum pernah ia melihat danau sejernih dan sebersih tempat ini. Apalagi perpaduan warnanya adalah kesukaan Razita, biru dan putih. Mungkin sepulang dari sini Razita akan menjadikan danau ini tempat wisata favoritnya.

"Foto bertujuh yuk! Nanti ditaruh di ruangan," ajak Sekar pada keenam orang yang kebetulan berada tak jauh lainnya.

"Ayuk!" Lita dan Mesya terlihat sangat bersemangat dan mulai mengatur posisi. "Kak Suaka Margasatwa buruan kesini!" panggilnya sangat tak sopan.

"Lita!" tegur Razita yang tidak suka dengan panggilan tersebut.

Lita meringis. "Hehe maaf, Zit!" tangannya membentuk huruf v. "Habisnya nama bagus-bagus mereka saling panggilnya aneh. Kuda nil lah, yuyu kangkang lah, gas elpiji! Sekalian aja aku jadiin satu! Kalau mereka gak menghargai nama mereka sendiri ya bukan salah gue kan?"

"Lo juga jangan ikut-ikutan Lit, biar mereka aja!" imbuh Mesya sepemikiran dengan Razita.

"Heh, bocah manggil apa lo tadi!" Yudha hendak menodong Lita tetapi diseret ke sisi yang berlawanan oleh Sekar agar perdebatan tidak berlanjut panjang. Setelah menata posisi yang pas, Ghazi meminta seseorang dari divisi lain memotret mereka bertujuh.

"Nanti siapa yang nyetak fotonya?" tanya Sekar.

"Aku."

"Gue."

Jawab Razita dan Ghazi berbarengan. Yudha langsung berdehem keras seolah disengaja. "Ghazi aja Mbak, katanya sekalian nyetak foto yang kemarin," usulnya kemudian.

Sekar mengangguk, "Boleh terserah."

"Foto yang kemarin? Emang kita kemarin foto bareng?" tanya Mesya merasa ada yang aneh. Sementara Ghazi langsung memberi tatapan tajam kepada Yudha sebagai peringatan.

Karena sudah puas menjahili Ghazi sehingga kini Yudha hanya menggeleng dan berkata. "Bukan apa-apa." Namun, tetap dengan nada menirukan ucapan Ghazi kemarin.

"Zit!" panggil Yudha tiba-tiba. "Gue punya foto lo bagus banget! Nanti gue kirim sekalian," ujarnya sambil mengacungkan jempol dan mengabaikan tatapan tajam temannya. "Tanya aja sama kuda nil bagus kan?"

"Hmm," Daniel mengangguk sekali.

Razita mengernyit. Seingatnya ia tidak berfoto bersama Yudha kemarin. "Eh, foto yang dimana Kak? Kapan motonya?"

Semua orang langsung mengubah ekspresi wajahnya saat memahami arti tatapan jahil Yudha dan wajah murung Ghazi. Mungkin hanya Razita yang tidak peka disini. Kebingungannya semakin bertambah saat Yudha hanya berkata, 

"Soal itu rahasia."

Memasuki waktu ashar rombongan bus mereka berhenti di sebuah mushola kecil karena kebetulan tidak menemukan masjid sejak tadi. Mereka turun untuk melaksanakan shalat jama' dhuhur dan ashar sebelum nanti menyebrang kembali ke pulau Jawa.

Karena mempertimbangkan tempat, jamaah dibagi menjadi dua kloter. Kebetulan Razita mendapat kloter kedua. Sambil menunggu, ia menyempatkan diri untuk hafalan lewat aplikasi Al-quran di ponselnya. Daripada harus berdiam diri sambil menopang dagu, lebih baik melakukan sesuatu yang bermanfaat.

"Hafalan ya, Zit?" Tanya Mesya tatkala melihat mulut Razita berkomat-kamit dan sempat mengintip ponselnya beberapa saat. Razita hanya balas tersenyum samar.

"Kenapa ya, Zit aku kalau hafalan surat itu cepat lupa? Padahal ngafalinnya susah banget. Berbulan-bulan!" sahut Lita sambil mencembikkan bibirnya.

"Al-qur'an itu suci, Lit. Dia nggak bisa bersanding dengan sesuatu yang batil." Perkataan Razita yang hanya satu kalimat membuat kedua sahabatnya merasa kurang puas. Terlihat dari kerutan-kerutan di kening mereka.

"Dulu Imam Syafi'i juga pernah mengadukkan kepada gurunya tentang jeleknya hafalannya. Lalu beliau memintanya untuk meninggalkan maksiat. Karena ilmu adalah cahaya dan cahaya tidak bisa diberikan kepada ahli maksiat. Lalu setelah diingat-ingat kembali ternyata beliau pernah tidak sengaja melihat seorang wanita yang tersingkap betisnya. Sesederhana itu."

Mesya dan Lita menundukkan kepalanya. Sadar kalau mereka belum bisa menghindari maksiat seratus persen. "Tapi manusia kan tempatnya salah, Zit," cicit Lita.

Razita menggenggam sebelah tangannya. "Di dunia ini nggak ada manusia sempurna. Aku, kamu, Mesya, dan lainnya juga sama, penuh dosa. Tapi bukan berarti selamanya kita tetap memilih jalan yang salah kan? Maka dari itu kita berdoa sama Allah. Minta diberi hidayah, dijauhkan dari maksiat, dan diistiqomahkan di jalan kebenaran!"

Lita memandang Razita dengan binar kekaguman. "Gue bangga bisa kenal lo, Zit!"

"Gue juga!" Sahut Mesya seraya merentangkan tangannya dan mereka bertiga saling berpelukan. Sampai sebuah deheman melerai pelukan tersebut.

"Em, kalian nggak sholat?" Tanya Yudha ragu. Dari gerak-geriknya pria itu sepertinya bingung kenapa tiba-tiba mereka berpelukan. Apa yang sedang terjadi?

"Iya Kak, habis ini nyusul."

Selepas mengambil wudhu, Razita dan jamaah lain sudah memakai mukenanya dan berdiri menunggu siapa yang akan menjadi imam mereka. Hingga beberapa menit tidak ada satu pria pun yang maju ke shaf terdepan sebagai imam. Semua saling menunjuk satu sama lain.

Hal tersebut membuat Razita geram. Dasar pria zaman sekarang! Kalau mengimami sholat saja tidak bisa bagaimana membimbing keluarganya ke surga!

Sampai akhirnya, seorang pria berkemeja putih yang digulung sampai ke siku memasuki ruangan dan langsung mengambil baris terdepan. Sebelum itu, ia menekuk celananya sampai ke atas mata kaki. Ketika takbir pertama dikumandangkan, ada rasa aneh yang menyelimuti hati Razita.

Mungkin karena ia sangat sangat terkejut. Entah karena mengetahui pria tersebut melakukan sunnah dan kewajiban sebagai imam atau karena presepsinya dalam menilai pria itu telah salah.

Ternyata Ghazi yang selama ini ia pandang remeh bisa menjadi imam shalatnya.

Dia tidak seburuk itu. 

☆☆☆

Dari penulis 

Triple update dong hari ini:)

Anggap aja ini obat buat kalian yang rindu sama Razita atau Ghazi. bacanya pelan-pelan aja gapapa sambil diresapi baik-baik supaya aku nggak baper sendirian.

Ambil yang baik, buang yang buruk ya! 

Kalau mau share cerita ini juga boleh tapi jangan lupa tag aku _storyfadila juga

sampai bertemu di part berikutnya
 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro