13. Rafi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesampainya di rumah, Delta melepas helm. Aroma hangat dari kue yang dipanggang menelusup ke indra penciumannya. Delta tahu jelas arah aroma itu dari dapur. Ibunya pasti sedang membuat kue pesanan seseorang. Soalnya kemarin sore, ibunya memaksa Dreval untuk mengantar berbelanja dan dibalas dengan wajah cemberut olah adiknya.

Semenjak ayahnya meninggal, ibunya membuat kue sesuai pesanan untuk mencari uang. Hasilnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Uang sekolah Delta dan Dreval sudah tersedia sampai kuliah. Saat ayahnya masih hidup, beliau sudah menyiapkan uang sekolah mereka. Delta bersyukur dengan sikap bertanggung jawab ayahnya. Itu memperkuat posisi sang ayah sebagai kesatria dalam pandangannya.

"Rafi kirim pesan, tuh."

Sebelum Delta sempat ke dapur untuk menyapa sang ibu, tahu-tahu Dreval muncul dari lantai atas. Adiknya itu sudah pulang dan mengganti seragamnya dengan kaus oblong serta kolor berwarna hitam. Delta mendongak sambil mengernyit. "Rafi? Kenapa?"

Kedua mata Dreval menyipit. "Dia sering pinjam uang sama lo, ya?"

Delta mengangguk. "Iya. Kenapa?"

"Dia mau pinjam uang lagi," cibir Dreval sambil menunjukkan ponsel Delta. "Seingat gue, ini kali ke sepuluh?"

Delta menggeleng. "Kali ke lima belas," jawabnya masa bodoh.

Muka Dreval mengerut ngeri. "Lo kenapa mau sih, kasih uang ke dia? Kalau gue jadi lo, gue nggak akan pernah mau. Gue denger, anak sekolah lo udah sebel sama dia karena modus pinjam uang mulu."

Delta mengangkat kedua bahu. "Dia selalu bayar tepat waktu. Itu cukup buat jaminan. Lagian, dia teman gue." Rafi satu-satunya teman yang paling bisa diandalkan untuk mencari tahu informasi tentang murid sekolah. Delta terbantu banyak olehnya sehingga bisa mendapat beberapa informasi tentang kasus pencurian ponsel Lika.

Dreval mencibir. "Jadi gue harus balas apa?"

"Balas oke aja," jawab Delta lalu berjalan menuju dapur tepat saat dia teringat sesuatu. Delta segera menoleh ke atas dan berseru sebelum Dreval masuk lagi ke kamarnya. "Suruh Rafi ke sini aja." Delta ingin membicarakan masalah pencurian ponsel dengannya.

Terdengar sahutan setuju kemudian Delta berjalan menghampiri ibunya di dapur. Wajah perempuan paruh baya itu dipenuhi peluh. Rambut panjangnya yang terikat mencuat beberapa helai sehingga menambah kesan berantakan. Beberapa bagian wajahnya terdapat noda terigu. Delta mengucapkan salam dan mengecup pipi sang ibu, menghindari area kulit yang ada terigunya. "Pesanan siapa?" tanyanya basa-basi.

Ibunya menjauhkan adonan dan fokus ke Delta. "Ini pesanan teman kamu."

Delta mengernyit. Tidak banyak temannya yang tahu kalau ibunya membuka jasa pemesanan kue. "Siapa?"

Sang ibu berpikir keras kemudian bersuara dengan ragu. "Dinda kalau nggak salah."

Delta mengingat-ingat. Dinda teman sekelas Rafi? Si biang gosip itu, kan? Delta begidik ngeri. Sudah pasti berita soal ibunya yang membuka jasa pemesanan kue akan menyebar dengan bumbu-bumbu aneh. Bagus kalau bumbunya manis. Kalau pahit, Delta angkat tangan.

"Katanya ini kue ulang tahu buat sahabatnya. Kemarin  dia ngobrol-ngobrol sama mamah. Anaknya manis banget."

"Dia tukang gosip," papar Delta antipati. "Mamah jangan kehasut kalau dia tanya-tanya soal Delta."

Seolah paham maksud Delta, sang ibu mengangguk mantap, tetapi balas menggoda putra sulungnya. "Pede banget kamu bakal ditanyain."

"Iya lah. Delta sekarang jadi bahan pencarian gosip di sekolah."

Gerakan tangan ibunya yang kini sedang membuat krim terhenti. Dia menatap Delta serius. Ada binar khawatir di kedua bola matanya. "Delta, kamu di sekolah baik-baik aja, kan? Mamah nggak salah langkah dengan bilang kebenarannya ke Pak Dodi, kan?"

Salah, tetapi Delta menggeleng. Dia malas saat membahas hal ini dengan siapa pun. Seolah dirinya cacat dan tidak sesuai dengan batas normal yang dibuat orang-orang. "Enggak. Semuanya baik-baik aja." Semoga, harap Delta.

Sang ibu tersenyum lega dan kembali membuat krim. "Baguslah."

"Delta ganti baju dulu ya, Mah."

Ibunya mengangguk dan Delta meluncur memasuki kamar. Cowok itu membersihkan diri serta berganti seragam dengan kaus oblong dan celana kolor. Saat akan merebahkan tubuh di kasur, panggilan sang ibu terdengar.

"Delta, ada Rafi, nih!"

Jadi juga dia ke sini, pikir Delta. Cowok itu turun ke ruang tamu dan menyambut temannya. Rafi duduk di sofa sambil memasang senyum lebar. Delta duduk di depannya. Sebelum percakapan di mulai oleh tuan rumah, Rafi membeberkan penjelasan kenapa dia membutuhkan uang. "Gue mau coba merakit Gunpla."

Delta mengernyit. "Sejak kapan lo suka Gunpla?"

Rafi memamerkan giginya. "Gue sebenernya udah lama pengen nyoba, tapi ragu mulu. Sekarang gue bener-bener pengen nyoba. Papah gue bakal pulang minggu depan. Dia bakal kasih gue uang jajan. Jadi, kalau lo pinjamkan uang ke gue sekarang, gue bakal bayar minggu depan."

"Oke," kata Delta enteng.

Rafi tampak lega dan memasang ekspresi penuh syukur. "Gue tahu lo itu sahabat—"

"Tapi gue butuh informasi dari lo."

Raut wajah Rafi berubah serius. "Apa? Soal kasus pencurian ponsel Lika lagi?"

"Iya."

"Kali ini tentang apa?"

Delta mengamati Rafi lekat-lekat lalu mengajukan satu pertanyaan penting. "Lo tahu kalau lo itu ada di TKP saat pencurian terjadi?"

Rafi membelalakkan mata. "Gue ada di TKP?"

"Iya."

"Mana gue tahu." Raut wajah Rafi berubah ngeri dan tatapannya menyipit pada Delta. "Kenapa lo kasih tahu gue info ini? Jangan-jangan lo nuduh gue?"

Delta memutar bola mata. "Jangan bego. Gue nggak akan nuduh lo tanpa bukti."

Rafi merasa lega. "Terus?"

"Gini. Gue mau tanya-tanya sama lo mulai dari pertanyaan dasar."

Rafi mengangguk serius. "Oke."

"Apa selama ini lo bantu gue tanpa tahu benar kasus yang gue hadapi?"

Rafi melempar senyum canggung, seolah ketahuan, lalu mengangguk.

Dugaan Delta benar. Cowok itu hanya menjawab pertanyaan Delta soal informasi murid di sekolah tanpa tahu informasi itu berguna untuk apa atau akan dibawa ke mana. "Apa aja yang lo tahu soal pencurian ponsel Lika?" tanyanya.

"Yang gue tahu kayaknya sama kayak orang-orang. Ponsel Lika hilang dan lo yang menemukannya. Pak Dodi menyuruh lo mencari si pelakunya agar bisa bebas dari hukuman."

"Lo tahu kapan dan di mana ponsel Lika hilang?"

Rafi mengangkat bahu. "Mana gue tahu. Gue nggak terlalu tahu kasus pencurian ponsel Lika. Tapi apa kata lo barusan? Gue ada di TKP? Kapan dan di mana?" Rafi mengerjap. "Jangan bilang pas dia lagi antre ke WC buat ganti baju olahraga dan gue lewat? Gue soalnya lihat dia di sana."

Delta mengangguk mantap. Bodoh sekali, maki Delta pada diri sendiri. Seharusnya dari awal dia mencari informasi dari Rafi, temannya sendiri, bukannya malah mencari tahu dari orang lain yang hasilnya malah berupa praduga.

"Benar. Lo jalannya bareng gerombolan, kan?"

Rafi teperangah, terlihat tidak memecaryai semua yang didengarnya. "Iya."

"Lo ingat ada Arik di sana?"

"Ingatlah! Arik ada bareng gue. Kita bahas soal Gunpla. Ternyata dia tahu banyak soal Gunpla dan nonton Gundam juga."

"Menurut lo, apa ada kemungkinan kalau dia pencurinya?"

Rafi mengerjap dan menyadari sesuatu. "Lo nuduh dia?"

Delta mengangguk. Rafi menyesuaikan ekspresi dan fokus pada sahabatnya. "Dia fokus sama gue. Gue seratus persen yakin dia bukan pencurinya. Lo bayangin. Emang dia bisa fokus ke hal lain saat ngobrol sama gue?"

Tidak akan. Informasi ini menyebar di sekolah: sekalinya lo ngobrol bareng Rafi, lo akan dipaksa fokus ke dia sampai cowok itu selesai bicara.

Delta mendesah muram. "Lo sama rombongan itu mau ke mana dan siapa aja orang yang ada di gerombolan itu?"

"Gue waktu itu nggak bareng mereka. Gue jalan bareng Arik ke kantin. Terus di belokan sebelum toilet, gue berpapasan sama 5 orang itu. Mereka nggak tahu mau ke mana. Terus di lorong WC itu, gue gabung deh sama mereka. Soalnya kita searah."

"Apa lo kenal salah satunya? Atau kira-kira mereka anak kelas mana?"

Rafi menggeleng. "Gue nggak terlalu tahu. Waktu itu gue asik banget ngobrol sama Arik jadi nggak fokus ke sekeliling."

Delta semakin muram.

"Tapi, lo bisa tanya ke Gani. Waktu itu gue lihat dia ada di belakang gue. Jalan ke kantin juga. Siapa tahu dia tahu 5 orang yang ada di depan gue dan Arik," lanjut Rafi.

"Siapa Gani?"

Kedua mata Rafi melebar. "Lo nggak kenal dia?!" pekiknya.

Delta menggeleng. Rafi menghela napas maklum. "Lo ternyata kudet banget soal info di sekolah," cibirnya. "Jadi, Gani ini anak sekelas gue. Waktu MOPD, dia itu satu-satunya cowok yang bisa sebutin no absen sama nama lengkap teman sekelasnya padahal itu hari kedua MOPD. Dia dikenal sebagai cowok dengan ingatan super tajam. Pernah juara olimpiade matematika juga! Kata cewek-cewek, dia itu favorit mereka. Cool gimana, gitu. Tapi, orangnya sebelas dua belas sama lo."

Delta tersinggung. "Emang gue gimana?"

"Judes. Ngeselin. Nggak asik," kata Rafi lalu menyeringai jahil.

"Sialan lo," omel Delta.

Rafi mengangkat telunjuknya. "Tuh, kan!"

Menolak candaan Rafi, Delta fokus pada informasi yang diterimanya. "Gani, ya..." gumannya. Delta akan menemui cowok itu segera. Mungkin, Gani bisa memberinya petunjuk tentang siapa anggota komplotan Thi yang telah mencuri ponsel Lika.

Saat sedang berpikir keras, sesuatu terlintas di benaknya. "Raf, apa di belakang lo ada gerombolan cewek juga?"

Rafi menggeleng. "Nggak ada. Di belakang Gani nggak ada siapa-siapa."

Delta mengernyit. "Serius?"

Rafi mengangguk mantap. "Iya."

Delta terdiam. Jadi, Lika berbohong soal gerombolan cewek yang ada di belakang gerombolan cowok saat kejadian perkara? Tapi, kenapa?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro