14. Telepon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lika menggigit bibir, menahan rasa takut yang menyusupi benaknya. Pandangannya bergantian menatap Pak Hasan—guru biologi—dan jam di dinding. Sepuluh menit lagi istirahat. Lika berharap waktu dipercepat, supaya bisa terbebas dari rasa takut ini. Please, kelasnya beres lebih awal, dong.

Pasalnya, pria paruh baya itu sedang menunjuk asal beberapa murid untuk menjelaskan materi yang dibahas barusan. Lika lumayan ingat materinya apa saja, tetapi dia tidak bisa menjelaskan sekarang. Alasannya simpel: karena ini dadakan. Lika bisa saja menjelaskan dengan lancar, asal sudah mempersiapkan sebelumnya dengan matang. Namun sekarang, mempersiapkan dalam waktu 5 menit tidak akan cukup. Dia belum siap!

Lika pasti akan gagap, dan teman sekelasnya akan melihat kenyataan itu. Tidak. Jangan sampai kalimat putus-putus keluar lagi dari mulutnya! Lika sangat berharap dia tidak ditunjuk. Kini, Pak Hasan menatap jajaran bangku sebelah kanan yang merupakan jajaran bangku Lika. Cewek itu seketika tegang. Seisi kelas juga merasa tegang. Mereka pasti tidak tahu materi yang disampaikan Pak Hasan karena tidak memerhatikan.

Tanpa di sengaja, tatapannya dan Pak Hasan bertemu. Lika kaget bukan kepalang. Dia segera mengalihkan tatapan dan bersikap biasa saja supaya tidak menarik perhatian. Tiba-tiba pria itu mengangkat telunjuk ke arahnya dan Lika merasa jantungnya meletup kencang.

"Jihan, coba jelaskan 5 penyakit pada manusia yang muncul karena mutasi sel."

Ketika mendengar nama Jihan disebut, Lika merasa lega buka main, sementara Jihan tersentak dan punggungnya berubah tegak. Dia tersenyum lebar pada Pak Hasan agar gurunya itu tidak bersikap terlalu galak, lalu berpikir keras. Tidak lama setelahnya, Jihan menjelaskan secara singkat tetapi tepat tentang alkaptonuria, hemofilia, anemia sel sabit, sindrom klinefelter, dan sindrom down. Lika sering mengagumi ketenangan teman sebangkunya itu kalau sedang berada di situasi genting. Jihan bersikap seolah semua anggota tubuhnya sudah siap atas semua ancaman jenis apa pun. Sementara Lika? Ah, dirinya tidak siap untuk apa pun.

Pak Hasan tampak puas mendengar jawaban Jihan. Saat matanya menatap sekeliling untuk kembali mencari mangsa lagi, bel tanda istirahat berbunyi. Lika mendesah lega. Begitu pun teman-teman sekelas. Satu rintangan menegangkan hari ini sudah terlewati. Akhirnya aman.

Lika tidak menyukai kondisi yang tidak dikenali. Dia pasti merasa gugup dan hilang kendali. Lika selalu harus menyiapkan hal-hal tertentu beberapa jam sebelumnya, tidak bisa spontan. Spontanitas dapat membuat pikirannya pecah dan hilang kendali, kemudian bagian terdalam dari dirinya akan dilihat semua orang.

Lika terkadang bisa mengendalikan diri, tetapi seringnya tidak. Saat itu terjadi, dia akan bungkam meski akan terlihat seperti orang dungu.

Pak Hasan menutup pembelajaran dan hilang melalui pintu kelas. Semua murid seketika riuh dan berhamburan menuju kantin. Jihan membereskan meja dan Lika melakukan hal serupa. "Sial banget gue kena telunjuk Pak Hasan." Jihan mendesah muram.

Lika menatapnya prihatin. "Untungnya lo cepat tanggap "

"Iya," katanya. "Kalau enggak, gue bisa tamat. Jujur, nih. Gue nggak suka cara Pak Hasan ngajar. Main tunjuk aja. Kan serem," katanya sambil begidik.

Lika mengangguk setuju. "Bener banget. Mana kalau nggak bisa jawab, pertanyaan itu bakal dijadikan PR. Udah, ah. Yuk, ke kantin. Kita makan biar nggak pusing."

Jihan mengernyit. "Eh? Lo nggak bareng Arik?"

Ah, Arik. Lika menolak ajakan makan siang dari cowok itu dengan alasan ada keperluan penting bareng Jihan. Dia melakukannya karena butuh jarak dengan cowok itu supaya pikirannya jernih dan kepercayaannya pada Arik tetap utuh. Jujur saja, pesan yang masuk ke ponsel cowok itu masih membuatnya terguncang.

"Arik ada urusan," bohong Lika.

Jihan mengangguk dan berjalan terlebih dahulu menuju pintu kelas. Lika hendak meninggalkan kursi, tetapi dering ponsel menghentikan gerakannya. Cewek itu meraih ponsel di atas meja dan membaca nama yang tertera di layar. Lika terbeliak saat mengenali nama itu lalu napasnya tercekat. Cewek itu berdeham untuk menenangkan diri dan melirik Jihan yang kini sedang berbalik ke arahnya dari pintu dengan tatapan bingung.

"Ayo," kata cewek itu sambil melambaikan tangan.

Lika menyembunyikan ponsel ke belakang tubuh. "Gue mau ke toilet dulu bentar. Lo duluan aja."

"Oh," kata Jihan dan kembali masuk ke dalam kelas. "Gue tunggu lo aja."

Lika mengangguk cepat dan segera berjalan ke toilet yang tidak jauh dari kelas. Dia memasuki salah satu kubikel, menyalakan kran air, dan mendekatkan ponsel ke telinga setelah sebelumnya mengangkat panggilan.

"H-hallo?" sapanya gugup.

Suara di sana terdengar kecil seolah si penelepon memang berbisik. Ada suara kran masuk dari ujung panggilan. "Ini gue."

Lika tahu jelas siapa orang ini. Jadi, dia hanya menyahut, "Ada apa?"

"Kenapa Delta masih nyari gue?"

Lika menggigit bibir, berpikir keras harus menjawab apa. Dia tahu kalau orang ini pasti akan menanyakan hal tersebut. Namun, dia tidak menyangka orang itu akan bertanya sekarang.

"Nggak bisa jawab?" Suara di sana terdengar menahan marah.

"Gu—" Suara Lika terpotong dengan cepat.

"Gue udah suruh lo buat nutup kasus ini. Kenapa Delta masih mencari tahu siapa gue?" tanya orang itu.

"Gue udah berusaha mencegah Delta sebisa gue," jelas Lika.

"Oh ya? Terus kenapa Delta malah makin dekat sama gue?"

"Gue nggak tahu," keluh cewek itu.

Hening di ujung sana. Tidak lama, suaranya kembali terdengar. Kali ini ada geraman. "Gue serius soal ancaman gue. Lo mau video itu tersebar?"

Lika tercekat. Tidak. Jangan sampai. Tidak boleh! Cewek itu menegakkan tubuh sebagai sikap defensif. "G-gue akan bikin Delta berhenti mencari tahu kasus ini. J-jangan sebar video itu!"

"Gue harap Delta berhenti secepatnya sebelum dia tahu lebih banyak."

Lika mengangguk mantap. "Iya."

"Bagus "

Sebelum orang itu menutup telepon, Lika segera bersuara, "Gue mau tanya."

"Apa? Gue harap ini pertanyaan penting."

Lika menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, dan mencoba membuat suaranya terdengar jelas di antara suara kucuran air. "Apa lo itu komplotan Thi?"

Terdengar dengusan singkat dari ujung sana. "Memangnya kenapa kalau gue Komplotan Thi dan kenapa kalau gue bukan komplotan Thi?"

"Itu bisa bikin gue menghentikan Delta."

"Payah."

Tut. Sambungan terputus. "H-halo?"

Tidak ada balasan. Cewek itu mengepalkan tangan dan menatap tajam layar ponsel. Sialan. Lika muak dengan semuanya. Orang ini. Delta. Kasus ini. Lika ingin hidupnya seperti dulu. Akan tetapi, jika dia mengabaikan ancaman Si Pelaku, hidupnya akan jauh lebih rumit. Kalau video itu tersebar, maka semua orang pasti akan menjauhinya, sama seperti teman-temannya di sekolah dasar.

Lika tidak mau dipandang remeh seperti Yuli, teman sekelasnya yang mempunyai tanda lahir sangat besar di pipi kanan. Wajahnya jadi setengah cokelat dan setengah kuning langsat. Cowok-cowok sering mengejeknya, dan cewek-cewek kurang mau bergaul dengannya. Yuli sering mendapat kekerasan verbal dan menjadi fokus pandangan saat berjalan di koridor. Anak kelas lain mengenalinya, dan sering mengumpamakannya sebagai sesuatu yang buruk. Seperti minggu lalu, saat Lika berjalan ke perpustakaan dan melewati lapangan tidak terpakai di belakang sekolah, ada seorang cewek yang entah ada di mana mengumpat: semoga otak lo nggak rusak kayak wajah Yuli. Kemudian umpatan balasan terdengar. Sialan. Gue harap wajah lo kayak Yuli! Biar lo nggak belagu!

Umpatan sejenis itu menjadi lumrah, dan Lika tahu Yuli menulikan telinganya pada hal-hal menyakitkan. Cewek itu fokus belajar, sendirian dan mencoba tidak terlibat. Dia menarik diri dari lingkungan. Lika tidak berani mendekat atau mengulurkan tangan. Yuli seolah menjadi gambaran masa depan Lika kalau video itu tersebar. Lika tidak mau seperti itu! Dia ingin normal, seperti orang-orang.

Cewek itu menatap ke depan dan meyakinkan sesuatu dalam dirinya. Delta harus dihentikan, bagaimanapun caranya. Terserah cowok itu memadangnya seperti apa. Lika harus bertindak berani agar semuanya selesai. Cewek itu menenangkan diri dan keluar dari kubikel. Dia menatap pantulan wajahnya dari cermin besar lalu menepuk-nepuk pipinya yang memerah akibat menahan kesal.

Setelah merasa tenang, dia berjalan menuju kelas. Jihan masih menunggu di kursinya sambil memainkan ponsel.

"Yuk," ajak Lika setelah berdiri di depan cewek itu.

Jihan mengangguk, menyimpan ponsel ke saku rok, dan mereka berjalan bersama-sama keluar kelas.

"Mau makan apa?"

Lika mengangkat bahu. "Belum tahu."

"Gue mau bakso ikan, ya."

"Oke."

Setelah melewati pintu, sesosok cowok membuat langkah mereka terhenti. Lika menatap orang itu dan mengerutkan kening saat mengenalinya. Jihan melirik Lika lalu melemparkan tatapan bertanya. Lika menggeleng singkat dan mereka berdua fokus pada Delta.

"Lo nyari Lika?" tanya Jihan.

Lika sudah siap menolak jika Delta mengangguk. Namun, cowok itu menggeleng. "Ada Gani? Gue nyari dia."

"Oh. Gani nggak ada di kelas. Dia udah keluar kelas dari tadi."

Delta tampak kecewa. Mulutnya hendak terbuka, tetapi terpotong seruan Jihan. "Oh, itu Gani!" Jihan menunjuk Gani yang muncul dari arah toilet.

Delta ikut menatap ke arah sana mengamati sosok itu lalu mengangguk, berterima kasih, dan mendekati Gani.

Jihan melirik Lika bingung. "Emangnya Gani sama Delta saling kenal, ya?"

Lika menggeleng ragu. "Setahu gue enggak."

"Tapi mereka kayak kelihatan udah kenal. Eh tapi, lo pasti lebih tahu mereka berteman atau enggak. Soalnya lo kan satu tempat les pas SMP sama Gani."

Deg!

Lika menatap Jihan dengan mata terbeliak. "Lo tahu dari mana?"

"Gani yang cerita."

Wajah Lika memucat. Sial. "Dia cerita apa lagi?"

"Itu aja."

Lika mendesah lega tetapi kedua tangannya mengepal kuat. Sial. Awas saja kalau Gani mengingkari perjanjian di antara mereka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro